26 Juli 2009

Mencari sistem inovasi nasional


Kreatif tidak sama dengan inovatif, meskipun inovasi membutuhkan kreativitas. Seseorang yang kreatif belum tentu inovatif, apalagi jika kreativitas itu semata-mata bermotivasikan kesenangan diri sendiri, atau justru untuk merugikan orang lain. Jadi, teori tentang inovasi berbeda dengan teori tentang kreativitas.
Inovasi, jika terjadi, serang merupakan hasil kolektif, bukan hasil individual. Oleh karena itu, dalam literature akademik, teori-teori inovasi merujuk pada gagasan kesisteman melalui system inovasi (innovation system) atau jejaring inovasi (innovation network).

Itulah cuplikan yang sangat menggugah dalam prakata buku Simfoni Inovasi, Cita & Realita karya Kusmayanto Kadiman. Pak Kus alias Pak KK yang mantan Rektor ITB itu sekarang menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Buku ini saya peroleh langsung dari beliau ketika mantan dosen Teknik Fisika ITB itu memanggil saya untuk ikut makan siang bersama di kantornya, pekan lalu.

Buku terbitan 2008 ini tidak tebal, hanya 224 halaman. Tapi sampul dan penampilannya lux karena menggunakan hard cover yang dilapisi pula dengan sampul luar terpisah. Formatnya unik. Sebagian besar berisi dialog antara Pak Kus dengan nara sumber yang dia pilih.

Kemudian pada bagian awal, tengah, serta akhir, Pak Kus berusaha menarik benang merah dari dialog dengan nara sumber, para pelaku di bidang industri dan social yang terkemuka, mengenai ide dasar pembentukan sistem inovasi nasional.

Ini format penulisan buku yang bagi saya agak baru. Buku yang mirip, misalnya, adalah karya para wartawan yang berisi kumpulan dialog dengan banyak nara sumber. Bedanya, kalau wartawan umumnya lebih banyak bertanya, kalau ini lebih banyak pertukaran pikiran antara dua atau tiga belah pihak.

Adanya pengantar dan upaya menjelaskan benang merah juga membuat dialog yang kadangkala melenceng ke sana dan ke sini bisa tetap menghasilkan kesimpulan yang selaras dengan topik utama.

**Kocak dan mendalam***
Ada keunggulan yang muncul dari format dialog ini. Yang paling menonjol adalah sikap atau pendapat spontan dari para nara sumber. Ini jelas berbeda jika yang bersangkutan diminta menulis tentang tema tertentu yang sifatnya searah. Selain itu ada diskusi, ada penggalian, ada pertukaran yang terjadi.

Format dialog semacam ini juga lebih mudah dicerna oleh akal saya yang pendek ini. Lebih menukik ke inti masalah, dengan contoh konkret berdasarkan pengalaman dan kearifan nara sumber.

Sifat spontan dalam dialog ini juga kadang memicu orang untuk berbicara lebih terbuka mengenai hal-hal yang tampak sensitive, misalnya menyangkut lambannya mesin birokrasi.

Karena sifatnya yang spontan, banyak juga dialog yang terkesan kocak. Misalnya, kata-kata Dirut PT Pindad Budi Santoso.
“Pesawat Hercules kita usianya sudah lebih tua dari pilotnya. Maka pilotnya harus baik-baik dengan pesawatnya [seperti baik-baik pada orang yang lebih tua].”

Banyak cerita yang menggugah, mengharukan, tapi juga membuat tertawa seperti cerita Dirut Pindad ketika belajar peluru kendali.
“Seluruh staf saya tidak ada yang tahu cara membuat peluru kendali. Sampai akhirnya saya minta peluru kendari dari TNI yang sudah tidak terpakai. Saya harus menandatangani perjanjian bahwa kalau peluru itu meledak, harus bertanggungjawab. Dan ketika peluru itu datang, kami semua bingung. Kami bingung bagaimana cara membongkarnya, mana bagian depannya, mana belakangnya. Kalau salah kan bisa meledak.”
Ada juga kutipan-kutipan filosofis seperti mengtip teori chaos bahwa kepakan kupu-kupu di satu belahan bumi bisa jadi berpengaruh besar terhadap kejadian di belahan bumi lain.

Ada kutipan Einstein bahwa penyederhanaan itu memberikan kepastian, tetapi bukan kenyataan. Kenyataan tidak bisa disederhanakan sehingga menimbulkan ketidakpastian. Dalam ketidakpastian itu terkandunglah banyak informasi tentang kehidupan.
Dialog dengan Arifin panigoro, CEO Medco, memberi saya banyak sekali informasi baru mengenai energi, pengembangan energi, energi alternatif, serta kebijakan yang tumpang tindih dalam mengaturnya.

Diskusi dengan Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Jamu Sido Muncul, membuka wawasan mengenai ilmu pengobatan yang berbeda paradigma dnegan ilmu kedokteran.
Apakah tidak lagi merasa sakit sama dengan sembuh dari sakit? Apakah kita tahu persis bagaimana cara obat itu bekerja dan bagaimana cara tubuh bereaksi? Bisakah kita mengukur “kadar kesakitan” itu? Dan banyak sekali hal menarik, pertanyaan-pertanyaan mengelitik tentang macam-macam hal.

*Beda pendekatan*
Pemaparan Pak Kus mengenai pendekatan instrumental dan pendekatan kapabilitas yang kita anut dalam beberapa dekade memberikan gambaran yang menarik.

Pendekatan instrumental menekankan perlunya alat, instrument, dalam hubungan manusia dengan iptek. Dalam pendekatan ini, ketika iptek sudah di tangan masyarakat, maka perubahan akan segera terjadi tanpa perlu upaya yang signifikan.

Pendekatan ini mirip dengan mengatakan bahwa dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Ada bebarapa varian dalam pendekatan ini yang dijelaskan pada bagian awal buku itu.

Pendekatan lain adalah pendekatan kapabilitas yang dimotori Amartya Sen. Dalam konteks ini yang berlaku adalah “di balik bangsa yang maju terdapat iptek yang maju.” Dalam pendekatan ini, jiwa yang sehat merupakan faktor intrinsik yang diperlukan untuk menyehatkan badan.

Pak Kus juga memaparkan bagaimana lintasan inovasi yang ditempuh oleh AS dan China dengan melihatnya berdasarkan empat variable yang diwakili empat sumbu yaitu Tarikan pasar, kepentingan swasta, dorongan kebijakan, serta misi negara.

Penjelasan tentang itu sangat menarik dan membuka mata saya mengenai hubungan-hubungan antara elemen akademisi (A), bisnis dan industi (B), serta pemerintah (G). Dari dulu, Pak Kus memang selalu mengkampanyekan kerja sama ABG ini. Terima kasih Pak Kus.

21 Juli 2009

Business as usual pascateror

“Sapa to ya yang main-main mercon saat long week end begini. Apa ada kaitan dengan pemilu?? Apa mercon itu akan menaikkan bunga KPR?”

Itulah yang pertama-tama terlintas dalam pikiran ketika saya mendengar informasi adanya bom yang meledak di Ritz-Carlton dan JW Marriot, Jakarta. Ketika itu saya sedang dalam bus yang melaju dari Cibinong ke Bandung.

Bagi saya, bom kali ini memang terasa lebih menyebalkan dibandingkan dengan bom-bom sebelumnya. Mungkin karena sekarang saya lebih mendambakan stabilitas ekonomi karena pengen mengajukan KPR ke bank, hehehe.

Entah apa pun alasannya, saya jadi lebih banyak berpikir tentang teror kali ini dibandingkan dengan teror-teror sebelumnya. Dan saya kira bangsa ini (melalui pemerintah) harus melakukan pendekatan yang sama sekali baru, sama sekali berbeda, dalam menghadapi teror. Sudah terbukti bahwa pendekatan konvensional yang dilakukan selama hampir satu dekade ini tidak berhasil.

***
Hemat saya, cara melawan teror yang paling gampang adalah mengabaikannya. Lakukan semua hal seperti rencana semula sebelum ada teror. Business as usual. Bahkan minimalkan berita atau info apa pun yang terkait teror. Maka teror itu kehilangan pengaruh.

Bukankah peneror itu mengikuti rumus "membelanjakan sedikit dan mengharapkan banyak perhatian". Jadi, harus ditekankan bahwa kita tidak akan memberikan "perhatian" kepada orang-orang yang butuh perhatian (aleman, ngalem) seperti itu.
Dalam soal terror yang berlaku justru: too much information will kill you. Makin banyak informasi akan membuat orang makin takut. Jadi, negara perlu meminimalkan dampak teror dengan meminimalkan informasi yang justru menakutkan. Ganti semua dengan pernyataan optimistik.

Saya kira orang-orang intelijen, militer, pemasaran, ahli psikologi massa (atau psikologi sosial) perlu merumuskan metode non-konvensional untuk melawan peneror. Lupakan metode-metode konvensional yang mudah ditebak para peneror.

Kita butuh cara-cara baru, cara-cara segar yang belum pernah dicoba di Indonesia dalam menghadapi teror. Cara-cara lama boleh sebagai cover saja. Cara baru harus ada.
Contoh cara lama adalah memeriksa semua tamu hotel dan bandara secara detil. Pemeriksaan seperti ini tidak akan tahan lama. Penerapannya pasti membuat macet di mana-mana. Banyak sekali dampak ikutannya.

Cara ini juga saya kira tidak disukai pebisnis hotel dan semacamnya yang mengutamakan layanan dan kenyamanan pelanggan. Yang menanggung biaya ikutannya bukan negara, tapi masyarakat. Akan ada ekonomi biaya tinggi karena banyak orang habis waktu, tenaga, dan biaya.

***
Kalau saya jadi Presiden atau pejabat yang memiliki otoritas tinggi, maka saya akan panggil para pejabat terkait dan meminta mereka hanya mengeluarkan pernyataan optimistik. Dalam setiap peristiwa politik besar selalu ada yang melambung dan terpelanting. Saya tidak akan memberi tempat kepada pejabat mana pun untuk mengambil keuntungan dari perkembangan informasi dan penanganan teror ini.

Saya akan panggil para pemimpin redaksi dan pemilik media massa, terutama televisi. Saya akan minta mereka meminimalkan berita-berita dan analisis yang tidak perlu. Makin banyak informasi, makin banyak pertanyaan orang. Dan semua itu sulit dijawab. Maka muncullah rasa khawatir. Jadi, abaikan teror seolah-olah tidak ada. Yang dimuat hanya pernyataan optimistik.

Saya akan minta semua pihak yang terkait public tetap menjalankan rencana seperti sebelum ada teror. Jangan ubah rencana yang sudah lama disusun. Dengan begitu para peneror akan kehilangan pengaruh. Yang boleh berubah rencana hanyalah pihak-pihak terkait keamanan.

Penerapan single identity number atau pengawasan melekat dan semacamnya saya kira tidak efektif dan justru berbahaya. Sebab, jika negara punya otoritas sangat besar dalam mengontrol warga, bisa terjadi penyelahgunaan kekuasaan sewaktu-waktu.
Belum lama ini kita dengar di koran, konon ketua komisi yang sangat berkuasa memerintahkan penyadapan kepada orang yang tidak terkait korupsi. Kalau suatu saat ada pemimpin yang agak fasis berkuasa ketika negara punya kemampuan kontrol yang tinggi, maka warga bisa berada dalam bahaya.

***
Saya usulkan pendekatan yang sama sekali baru. Benar-benar baru. Akan tetapi saya sendiri belum punya gambaran konkret mengenai pendekatan baru itu. Tapi saya yakin dalam teori-teori psikologi massa, hal-hal semacam itu sudah ada penjelasannya. Wallahu alam.

PS:
Dalam setiap pemboman selalu populer istilah "orang tidak berdosa". Bagi saya yang ndeso dan berpikir linier, istilah ini membingungkan, bertentangan dengan pemahaman keagamaan saya. Setahu saya semua orang, selain nabi yang maksum, pasti berdosa.

Mengapa tidak disebut sebagai orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam konflik? Mungkin memang repot, apalagi, menurut pelajaran PMP jaman dulu, ada pendekatan keamanan semesta sehingga semua bisa menjadi lawan atau kawan. Semua yang dalam semesta menjadi terlibat konflik. Ah, embuhlah adanya…

20 Juli 2009

Kecilnya manusia, besarnya semesta, agungnya Pencipta


Menjelang libur Isra’ Mi’raj saya mendapat kesempatan untuk membaca-baca buku ‘Menjelajahi Tata Surya’ karya A. Gunawan Admiranto. Sebenarnya ini buku istri saya. Kebetulan penulis buku ini bekerja sebagai peneliti matahari dan astronomi di Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), sekantor dengan istri saya.

Buku setebal 302 halaman terbitan Kanisius ini sangat enak dibaca. Bahasanya ringan dan renyah. Cara pemaparannya mudah sekali dimengerti. Memang ada cukup banyak istilah matematika maupun fisika (serta astronomi) yang dipakai di sana. Akan tetapi saya kira asalkan kita pernah belajar dasar-dasar fisika dan astronomi dengan baik di masa SMA akan bisa mengikuti paparan buku ini dengan baik.

Saya menemukan banyak fakta-fakta mengejutkan yang digambarkan dengan sangat indah dalam buku ini. Sebagian di antaranya, seperti suhu inti matahari, sudah sering kita dengar. Akan tetapi penulis buku ini memberikan gambaran yang lebih mudah dicerna mengenai apa arti suhu sekian juta derajat celcius itu. Banyak juga fakta menarik mengenai massa jenis Saturnus dkk yang lebih rendah dibandingkan dengan massa jenis air.

Kutipan bebas atas beberapa hal menarik saya tulis di bawah ini.

“Andaikan Anda sedang mengendarai pasawat ruang angkasa melewati sebuah planet besar yang warna-warni lalu ingin mampir ke planet itu. Anda turun menembus atmosfernya dengan harapan dapat menemukan tempat yang tepat untuk pendaratan. Anda bergerak turun, terus turun, turun terus, tetapi tidak pernah menemukan tempat untuk mendaratkan pesawat.
Saat Anda menyadari hal itu, Anda sudah jauh menembus atmosfernya atau bahkan mungkin sudah “masuk” ke dalam planet itu. Begitulah situasi yang akan Anda alami jika mampir ke Yupiter, planet terbesar dalam tata surya kita. Ini terjadi karena kerapatan Yupiter yang renggang. Kerapatan Yupiter hanya 1,33 gram per cm kubik, jauh lebih rendah dibandingkan bumi yang 5,5 gram per cm kubik.
Begitu besarnya ukuran Yupiter sehingga kita bisa memasukkan 1.300 benda seukuran Bumi ke dalamnya. Yupiter memiliki massa 318 kali massa bumi atau setara dengan 2/3 massa tata surya di luar Matahari.”

“Merkurius, Venus dan Bumi memiliki massa jenis besar. Massa jenis Bumi sekitar 5x massa jenis air. Adapun Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus memiliki massa jenis rendah. Bahkan, Saturnus bisa mengambang di atas air kalau dicemplungkan ke kolam super besar.”

“Inti matahari bertemperatur 16 juta derajat Celcuis. Menurut George Gamow, jika sebuah ujung jarum memiliki panas setinggi itu maka daerah di sekitarnya akan ikut terbakar hingga radius 100 km.”

“Komet Halley memiliki massa 10 pangkat 16 kilogram. Setiap lewat dekat Matahari, komet ini kehilangan sekitar 100 triliun kilogram massa akibat hembusan angin surya.”

“Ekor sebuah komet bisa mencapai panjang 150 juta km sehingga komet dapat menjadi benda terbesar yang ada di tata surya kita.”

“Tata surya didominasi oleh Matahari karena massa seluruh planet hanya 0,0014 kali massa matahari. Konon, ditinjau dari fisika bintang, matahari tidak banyak memiliki aspek yg dpt menarik perhatian ahli astronomi penghuni bintang lain (kalau penghuni itu ada).”

“Ternyata, sejauh ini, tidak ada satu pun sistem keplanetan yang konfigurasinya mirip dengan tata surya kita. Setiap sistem keplanetan itu bersifat unik.”

16 Juli 2009

Empat kelompok dalam kabinet


Di tengah gencarnya rumors mengenai kabinet jilid-2 SBY, ingatan ini melayang pada apa yang saya tuliskan pada halaman belakang diary pada 1994. Lima belas tahun yang lalu, saya menulis pada halaman belakang buku “Inilah Jalanku” kalimat yang berbunyi “Akhirnya Jadi Presiden.”

Kala itu, saya memang terobsesi untuk menjadi seorang presiden. Maka, saat ini saya mencoba membayangkan seandainya diri ini menjadi seorang Presiden dan sedang menyusun sebuah kabinet.

***
Jika berhasil menjadi Kepala Negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan dukungan sejumlah partai politik, maka susunan kabinet yang akan saya bangun kira-kira terdiri atas empat kelompok

Empat kelompok itu meliputi kelompok teman dekat, kelompok garansi partai, kelompok garansi teman, serta kelompok experimental.

Kelompok teman dekat akan mewakili seperempat atau maksimal sepertiga dari isi kabinet. Posisi kunci yang akan menentukan “nasib” pemerintahan akan saya isi dengan teman dekat yang benar-benar tepercaya. Termasuk dalam posisi itu adalah seluruh menko atau menteri utama.

Adapun kelompok garansi partai sudah banyak dibahas di media massa. Pada intinya, ini merupakan semacam kompensasi atas dukungan partai yang telah diberikan selama masa pencalonan maupun selama pemerintahan berjalan. Secara keseluruhan, kelompok ini akan mewakili seperampat dari jumlah menteri. Sebagian memimpin departemen, dan sebagian lagi menteri negara.

Posisi untuk kelompok ini adalah departemen atau kementerian yang relatif rumit namun tidak menentukan “nasib” pemerintahan secara keseluruhan. Dengan demikian saya tetap bisa menjaga posisi aman jika partai melakukan maneuver-manuver yang tidak sejalan dengan target saya, misalnya ketika saya harus mengambil keputusan yang tidak populer. Saya tidak ingin memelihara “anak macan”.

***
Kelompok garansi teman adalah posisi yang akan saya isi dengan para professional di bidangnya. Sebagai manusia biasa, sudah barang tentu saya tidak mengenal semua ahli yang menonjol di berbagai bidang sehingga perlu penghubung dan penjamin para ahli yang akan saya tempatkan dalam kabinet. Ada ribuan doktor, belasan ribu master, serta puluhan ribu sarjana di negeri ini. Ada ratusan atau ribuan manusia unggul yang mungkin tepat untuk mengisi kursi departemen atau kementerian.

Dalam teori mengenai keterpisahan, konon, jarak antara satu manusia dengan seluruh manusia lain hanya terpaut maksimum enam langkah. Dalam lingkup kaum professional dan intelektual yang terbatas dan berpotensi masuk dalam kabinet, jarak maksimal saya perkirakan sekitar tiga atau empat penghubung. Kalau saya bisa minta garansi teman atas temannya teman, maka setidaknya saya bisa menjangkau sepersepuluh dari kaum intelektual berpotensi. Artinya, mungkin saya menjangkau 30% atau 50% dari seluruh orang yang berpotensi masuk kabinet.

Saya ingin meniru cerita tentang Pak SBY yang konon waktu memilih salah satu Menteri Perhubungan meminta pendapat dan garansi dari mantan presiden Habibie. Saya kira ini salah satu cara yang baik sekali dalam menyeleksi calon menteri yang secara personal tidak saya kenal langsung. Saya ingin memilih outliers di lini masing-masing dengan cara yang tepat dan tidak meleset. Kaum outliers akan mewakili seperempat hingga sepertiga posisi kabinet.

Berhubung saya sudah membaca buku Blink karya Malcolm Gladwell, saya sudah belajar untuk tidak mudah terpesona pada kesan pertama, namun juga tidak terkecoh pada tampilan luar yang kurang meyakinkan atas siapa-siapa yang sempat diusulkan untuk duduk dalam kabinet.

Kelompok keempat adalah kelompok eksperimental. Saya sebut demikian karena saya akan membuat sejumlah terobosan mengenai jabatan-jabatan baru dalam struktur organisasi pemerintahan. Ini berguna untuk menampung bermacam-macam ide liar yang saya dapatkan dari buku-buku, Internet, dan lintasan-lintasan pemikiran, yang barangkali banyak gunanya di masa depan. Porsi untuk kursi ini adalah 15%-20%. Ini saya umpamakan seperti CSR (country social responsibility) atau USO (universal service obligation) dalam volume yang besar.

Posisi ini juga berguna untuk menampung inovasi-inovasi baru serta kemungkinan-kemungkinan baru yang diadopsi dari negara lain. Pada posisi ini akan ditempatkan orang-orang muda yang paling inovatif dan kreatif. Syukur-syukur kalau posisi ini juga dapat digunakan untuk mengakomodasi partai politik pendukung.

***
Prinsip-prinsip yang akan saya pegang dalam menyusun kabinet adalah akomodasi, revitalisasi, regenerasi, dan reorientasi.

Akomodasi akan diwakili oleh kelompok partai, revitalisasi diwakili oleh kelompok garansi teman alias para professional. Regenerasi bisa diwakili oleh semua kelompok, sedangkan reorientasi diwakili oleh kelompok eksperimental.

Saya tidak mau disetir oleh rumors, namun sebagai orang yang pernah bekerja di media massa, saya akan melakukan uji publik melalui media massa. Saya juga akan mengoptimalkan fungsi jejaring sosial dan blog (ataupun blogger) dalam melakukan uji publik.

Publik akan saya biarkan untuk tahu persis calon menteri pada beberapa posisi. Namun saya akan menjaga penuh rahasia pada sebagian besar posisi sampai pada hari H pengumuman susunan kabinet.

Saya punya cukup banyak waktu untuk menyusun kabinet, jadi tidak perlu terburu-buru seperti Pak Habibie sewaktu membuat kabinet sebelas tahun yang lalu. Saya juga tidak ingin meniru cabinet 100 menteri seperti zaman Orde Lama.

14 Juli 2009

Kembali ke sepeda


Senin pagi saya membeli sepeda bekas di Jl Malabar, dekat pasar Kosambi, Bandung. Sepeda bekas dengan bentuk yang dulu saya kenal sebagai sepeda jenki itu saya beli seharga Rp250.000. Ini bisa disebut sebagai sepeda perempuan dengan keranjang di depan, boncengan di belakang, andang yang rendah, bentuk yang feminin.

Saya coba menggowesnya dari Kosambi hingga Gunungbatu melalui jalan Jawa, BIP, Wastukencana, Pasteur, Djundjunan, Sukaraja. Alhamdulillah, ternyata kaki ini tidak merasa pegal sama sekali.

Ini merupakan sepeda keempat di rumahku. Selain sepeda anak-anak untuk Sekar, ada tiga sepeda lain. Satu di antaranya di Gunungputri. Sepeda terakhir ini saya beli dengan harga yang lebih murah dibandingkan sepeda dengan bentuk sama yang saya beli di tempat yang sama beberapa bulan lalu.

***
Bagi saya, sepeda adalah kendaraan paling natural. Saya mengenalnya sejak kecil, melebih segala jenis kendaraan lain. Jadi, saya merasa mengenalnya benar-benar secara alamiah. Hal yang sangat berbeda dengan pengenalanku terhadap mobil maupun motor, apalagi pesawat terbang.

Konon, 200 tahun yang lalu, ketika pertama kali ditemukan, sepeda adalah kendaraan yang cukup berbahaya. Perbandingan roda depan dan belakang yang aneh, kemudi yang belum sebagus sekarang, serta rem dan rantai yang belum canggih, membutnya menjadi kendaraan yang hanya dapat dinaiki oleh sangat sedikit orang.

Penambahan berbagai system kendali membuatnya menjadi kendaraan personal yang nyaman, menyehatkan, aman, serta bebas polusi.

07 Juli 2009

Pepsi dan presiden tampan Warren Harding

(bagian ketiga review buku Blink)

Harry Daugherty, seorang politisi kawakan yang pintar menilai peluang politik, suatu ketika bertemu dengan Warren Harding. Harding, ketika itu, adalah pria berusia 35 tahun, seorang redaktur pada surat kabar kecil di kota kecil Marion, Ohio.

Daugherty mengamati Harding dan dalam sekejab terpesona dengan apa yang dilihatnya. Dia melihat Harding sebagai sosok yang layak diorbitkan ke panggung politik.

Harding yang tampan dan gagah itu bukanlah orang yang sangat cerdas. Dia gemar main poker, golf, minum-minum sampai mabok, dan hampir selalu memanfaatkan kelebihannya untuk merayu perempuan. Selama menjalankan karir politik, dia sama sekali tidak pernah sengaja menonjolkan diri. Dia peragu dan plin plan dalam hal-hal menyangkut kebijakan. Pidato-pidatonya, kelak digambarkan sebagai "serangkaian ungkapan kosong yang baru sampai tahap mencari gagasan."

Pada 1914 dia terpilih menjadi anggota senat, lalu pada 1920 dia terpilih menjadi presiden AS. Komentar yang sering muncul terhadap Harding sebelum dia terkenal adalah: "Lihat, tampangnya seperti senator" "Bukankah penampilannya mirip seorang calon presiden?"

Menurut buku Blink karya Malcoml Gladwell, sebagian besar sejarawan setuju bahwa Warren Harding adalah salah satu presiden sangat buruk dalam sejarah AS.

Gladwell berpendapat kesalahan bangsa Amerika sampai memilih Warren Harding sebagai presiden merupakan sisi gelap dari pemahaman cepat (rapid cognition). Pangkalnya sebagian besar adalah prasangka dan diskriminasi. Prasangka bahwa orang yang tepat menjadi pemimpin negeri haruslah sosok yang gagah, tampan, berbadan proporsional, dan seterusnya.

***
Kasus kesalaham memaknai kesan pertama sering juga terjadi pada para penjual yang kurang berpengalaman. Dalam penjualan mobil, orang yang berpenampilan petani dengan pakaian lusuh seringkali diabaikan. Padahal orang seperti ini justru mampu membeli kendaraan secara cash. Seorang anak muda yang datang siang hari dengan gaya tidak meyakinkan, ternyata malam harinya datang bersama orangtuanya untuk membeli sebuah mobil. Dan seorang gadis yang tampak centil ternyata adalah orang yang ditunjuk oleh keluarganya untuk memilih mobil keluarga yang tepat.

Dalam sebuah penelitian di Chicago terungkap bahwa para penjual mobil cenderung menawarkan harga yang lebih tinggi terhadap pembeli wanita dan pembeli kulit hitam. Alasannya, ada prasangka bahwa pembeli semacam itulah yang lebih mudah dibodohi.

Gladwell menyimpulkan bahwa para pemberi suara dalam pemilu 1920 di AS tidak mengira bahwa mereka "dibodohi" oleh ketampanan Warren Harding, sama seperti para penjual mobil di Chicago tidak sadar telah melakukan kejahatan karena berusaha "membodohi" para pembeli perempuan dan kulit hitam.

***
Gladwell dengan pintar sekali memberikan banyak sekali contoh ketika snap judgement serta rapid cognition berpeluang salah. Dalam kasus riset pemasaran, hal ini telah membawa korban perusahaan besar.

Coke dari Coca Cola merupakan minuman ringan paling populer di AS ketika Pepsi berusaha merebut pangsa pasarnya. Pepsi meluncurkan strategi pemasaran melalui apa yang disebut sebagai Tantangan Pepsi. Mereka menantang masyarakat untuk mencicipi produk minuman ringan dan menentukan mana yang lebih enak. Dalam sebagian besar testimoni terbukti bahwa Pepsi lebih disukai daripada Coke.

Pangsa pasar Pepsi meningkat. Hal ini menggelisahkan Coca cola. Bahkan dalam uji cicip yang sama yang dilakukan Coca cola, peserta memang cenderung memilih Pepsi. Maka Coca cola bekerja keras berusaha menemukan formula baru, resep baru, yang kemudian diberi nama New Coke

Ternyata produk baru ini justru membuat Coca cola semakin terpuruk. New Coke tidak disukai pelanggannya. Hal ini memaksa Coca cola kembali ke resep lama dengan label Classic Coke.

***
Menurut Gladwell, apa yang dialami oleh Coca cola menunjukkan respons yang keliru dalam memahami snap judgement. Pada kenyataannya, orang memang lebih senang dengan Pepsi ketika mencicipi. Akan tetapi, mencicipi tidak sama dengan meminum satu botol sampai tuntas. Apalagi meminumnya sehari-hari di rumah.

Uji cicip ini, menurut Gladwell, baru akan mencerminkan respons yang tepat jika pencicip diberi sekerat minum dan diminta membawa pulang, lalu baru diminta mengisi kuisioner setelah satu kerat itu habis.

Hal yang mestinya dilakukan Coca cola ketika menanggapi Tantangan Pepsi bukanlah mengubah resep, melainkan menciptakan srategi kampanye pemasaran lain yang bisa menangkal sistem cicip ala Pepsi itu.

***
Kasus lain di mana kesan pertama telah "menipu" adalah kasus produk kursi Herman Miller. Herman Miller berusaha menciptakan kursi yang ergonimis dengan desain yang sama sekali baru. Akan tetapi hasilnya adalah produk yang bertentangan sama sekali dengan stereotipe mengenai kursi nyaman yang ada dalam masyarakat AS seperti empuk, menggunakan busa, tebal, dan sebagainya.

Dalam berbagai uji pemasaran, produk ini selalu mendapat nilai jeblok. Penyebabnya, orang yang diuji tidak bisa membedakan mana yang disebut sebagai jelek dan mana yang disebut aneh. Apalagi kuisioner yang disedikan umumnya juga tidak menampung ungkapan "aneh". Ketika orang melihat desain yang aneh, ketika dituntut menjelaskan, maka yang keluar kemudian adalah kesimpulan bahwa produk itu jelek.

Gladwell mengajak kita berhati-hati dalam memaknai kesan pertama. Dalam banyak kasus, orang tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya pada kesan pertama, sama dengan kenyataan bahwa orang tidak bisa menggambarkan wajah orang lain semata-mata dari kata-kata. Jadi, ketika meminta mereka menjelaskan alasan di balik snap judgement, peluang terjadi kesalahan sangatlah besar.

***
Kembali ke kasus Warren Harding yang sangat relevan dengan pemilihan Presiden di Indonesia. Saya berpendapat bahwa "prasangka", "stereotip", "kesan" masih akan sangat menentukan hasil pemilu di Indonesia.

Prasangka suku ini suku itu, sosok yang seperti ini, kesantunan, kerendahatian, gaya yang pas atau tidak pas ketika berbicara, masih sangat menentukan bagi kebanyakan pemilih.

Mungkin ketika menimbang-nimbang, orang cenderung pada pilihan X yang agak radikal, menawarkan debirokratisasi, dan sebagainya. Akan tetapi, sampai bilik suara, kembali ke alam bawah sadar yang sangat dipengaruhi prasangka dan stereotip. Hehehehe. Wallahu alam.

Gambar: northvalleymagazine.com

03 Juli 2009

Dari Soros hingga nikah tanpa pacaran

(Bagian kedua dari review buku Blink)

Putra pemodal superkaya George Soros bercerita tentang cara ayahnya mengambil keputusan. “Ayah saya bisa duduk dan memberi Anda teori-teori untuk menerangkan mengapa dia berbuat begini dan begitu. Namun saya berpikir setidak-tidaknya separuh dari penjelasanya adalah konyol. Maksud saya, keputusan-keputusannya untuk menjual atau membeli saham adalah karena punggungnya tiba-tiba nyeri sekali. Dia betul-betul mengalami kejang, dan baginya ini sebuah peringatan dini.”

Ini merupakan salah satu penjelasan mengapa George Soros begitu hebat dalam pekerjaannya. Dia orang yang sadar tentang hasil-hasil pemikiran bawah sadarnya. Akan tetapi, di sisi lain, jika kita menanamkan uang bersama Soros, pasti akan selalu was-was kalau penjelasan yang diberikannya tentang pengambilan keputusannya adalah karena rasa nyeri di punggung.

Hal di atas menggambarkan banyak hal bawah sadar yang sulit dijelaskan oleh orang yang mengalaminya. Demikianlah yang diungkapkan oleh Malcolm Gladwell dalam buku Blink pada bab mengenai Pintu yang terkunci. Intinya, kita perlu menghormati kenyataan bahwa kita bisa mengetahui sesuatu tanpa tahu mengapa kita tahu dan menerima bahwa kita kadang-kadang lebih baik membiarkannya demikian.

Hal yang mirip itu juga dialami oleh pakar benda seni Bernard Berenson. Dia tidak bisa merumuskan bagaimana dia dapat melihat cacat kecil atau kelainan kecil yang menunjukkan bahwa karya itu palsu. Bahkan, dalam suatu persidangan, dia hanya mengatakan bahwa perutnya mulas, telinganya berdengung, dan dia merasa sangat tertekan ketika berhadapan dengan benda seni palsu.

Penulis buku Outliers dan Tipping Point itu menjelaskan bahwa kesimpulan sekejab (snap judgement) serta pemahaman cepat (rapid cognition) berlangsung di balik pintu terkunci. Gladwell dalam Blink memberikan penjelasan lebih menarik lagi ketika mengungkapkan apa yang terungkap dalam pencarian jodoh melalui program kencan kilat (speed dating)

***
Dalam sebuah program kencan kilat (atau mungkin lebih tepatnya disebut kenalan kilat), setiap peserta pria diberi kesempatan untuk bertemu dengan peserta wanita dalam waktu enam menit.

Jika dalam enam menit itu seorang wanita atau pria merasa tertarik dia diminta memberi tanda tertentu kepada penyelenggara. Jika si pria memberi tanda tentang seorang wanita dan si wanita juga memberikan tanda tentang si pria, mereka masing-masing diberi alamat e-mail untuk meneruskan proses mereka.

Proses ini pada prinsipnya banyak kemiripan dengan proses pada biro jodoh atau proses pernikahan tanpa pacaran. Hanya teknisnya tentu saja berbeda tergantung sistem nilai pergaualan yang dianut.

Menurut Gladwell, proses kencan kilat atau kenalan kilat yang kian populer itu merupakan penerapan dari kemampuan membuat kesimpulan sekejab dalam memilih pasangan.

Dalam sebuah eksperimen, seorang peserta wanita diminta menuliskan kriteria teman pria yang didambakannya. Dia menulis bahwa yang diharapkannya adalah pria yang cerdas dan tulus.

Akan tetapi, dalam praktiknya, lelaki yang dia pilih ternyata justru yang paling jenaka, sama sekali jauh dari kesan cerdas maupun tulus. Esok harinya, ketika ditanya kenapa memilih orang tersebut, sang wanita menjawab bahwa dia menyukai pria yang menarik dan jenaka. Masalahnya, ketika satu bulan ditanyakan kembali criteria pria macam apa yang dia sukai, sang wanita kembali menjawab bahwa dia suka pria yang cerdas dan tulus.

Tampaknya ini menjadi membingungkan. Dan kasus semacam ini, kasus di mana kriteria logis yang dapat dia jelaskan tidak sesuai dengan kenyataan yang dia pilih, terjadi pada banyak sekali peserta yang diamati.

***

Jadi, lelaki macam apa yang sebenarnya diinginkan oleh si wanita? Pribadi asli yang manakah yang sebenarnya ada pada si perempuan? Apakah pribadi yang mengajukan syarat awal atau pribadi yang menjatuhkan pilihan?

Ada yang berpendapat bahwa pribadi yang asli adalah yang terungkap dalam aksi, bukan ketika berpikir. Gladwell mencoba menjelaskan hal ini. Menurut dia, apa yang diungkapkan si wanita tentang kriteria lelaki idaman tidak salah, hanya kurang lengkap.

Apa yang diungkapkan sebelum acara dan sebulan kemudian adalah gagasan berdasarkan pikiran sadarnya. Itu adalah apa yang diyakininya sebagai keinginannya ketika dia merenung. Masalahnya, dia tidak menyadari adanya preferensi lain yang membentuk alam bawah sadarnya. Uraian mengenai apa yang ada dalam pilihan bawah sadarnya ada dalam pintu tertutup.

Hal yang sama sering terjadi pada orang-orang hebat, orang-orang sangat terkenal, ketika ternyata mereka tidak berhasil menjelaskan dengan jelas tentang pengambilan keputusan sekejab-nya.

Saya kira apa yang diungkapkan oleh Malcolm Gladwell ini penting untuk disimak oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang perjodohan atau mak comblang dari pernikahan tanpa pacaran. (semoga bisa bersambung)