15 Maret 2012

Seluruh dunia satu zona waktu saja

Kita yang tinggal di dekat khatulistiwa menikmati berbagai kemudahan terkait dengan waktu. Kita memulai hari pada tengah malam, mulai beraktivitas jam 5 pagi, sholat dzuhur dan istirahat pada jam 12 siang, pulang kerja sekitar maghrib, dan seterusnya. Definisi hari mudah dipahami dan dirasakan tanpa hambatan. Begitu pula dengan musim yang tidak mengenal ekstrem.

Orang di sekitar khatulistiwa biasa berpuasa sekitar 14 jam pada musim apa pun. Paling-paling pergeseran waktu sahur dan buka puasa hanya setengah jam.

Kondisi ini jelas berbeda dengan mereka yang tinggal jauh dari khatulistiwa, bahkan dekat dengan kutub. Ada masa ketika siang sangat panjang atau malam sangat panjang. Puasa kadang waktunya singkat, kadang sangat amat panjang. Orang di dekat kutub bahkan bisa mengalami siang terus selama berhari-hari pada musim panas, dan malam terus selama berhari-hari pada musim dingin.

Di lokasi tertentu negara-negara tertentu bahkan diberlakukan day light saving. Waktu digeser 1 jam pada tanggal tertentu lalu dikembalikan lagi beberapa bulan kemudian (misalnya 1 Maret dimajukan 1 jam dan 1 November diundurkan kembali 1 jam). Dan mereka biasa saja, bisa menyesuaikan diri dengan baik, tidak banyak masalah.

Nah, Indonesia berencana menyatukan 3 zona waktu menjadi satu zona waktu, yakni mengacu GMT+8 yang sekarang berlaku di WITA. Ada bermacam perdebatan soal ini.

***
Menurut saya, sebenarnya permukaan bumi ini bersifat kontinyu, tidak putus-putus. Jadi, waktu ideal kalau mengacu bentuk permukaan bumi adalah berubah secara kontinyu bukan diskrit. Zona waktu yang dibag-bagi per jam adalah sistem diskrit. Misalnya GMT+7, ada juga GMT+8. kalau kontinyu mestinya ada GMT+7 jam 15 menit dan 12 detik. Ada juga GMT+3jam 12 menit dan 16 detik, dan seterusnya.

Sistem waktu yang kontinyu itu masih diacu oleh orang islam dalam jadwal sholat. Misalnya jadwal sholat untuk Bandung adalah 3 menit lebih awal daripada Jakarta. Orang Jakarta tidak boleh sholat mengacu pada waktu bandung atau bahkan waktu Denpasar atau Balikpapan. Itu sistem waktu yang kontinyu.

Sistem diskrit yang membagi dunia dengan zona-zona per jam memang jauh lebih sederhana daripada sistem kontinu.

Secara teknis, pembagian zona waktu merupakan keputusan yang bersifat ilmiah yang didasarkan pada pergerakan relatif bumi terhadap matahari. Akan tetapi praktiknya sering merupakan keputusan politik dan ekonomi.

Keputusan untuk menetapkan waktu global mengacu pada Greenwich Mean Time adalah putusan politik. Mengapa tidak membuat batasan waktu/hari di tempat lain?

Penetapan zona waktu di satu negara juga tak lepas dari masalah politik. Mengapa, misalnya, China yang begitu luas hanya memiliki satu zona waktu? Pernah juga sebuah negara di Pasifik yang mengubah zona waktu sehingga maju satu hari. Mereka berada di dekat perbatasan hari sehingga mengubah zona waktu tidak tanggung-tanggung, tidak Cuma satu jam, malahan satu hari. Nyebrang ke zona lain.

***
Secara pribadi, saya malah lebih suka jika seluruh dunia memakai satu zona waktu saja. Tidak perlu lagi ada garis zona waktu dan garis di mana orang bertetangga namun mengalami hari yang berbeda. Kita mulai saja perubahan hari, misalnya mengacu pada jam 00.00 waktu GMT (GMT saat ini, setelah itu gak ada lagi GMT).

Memang akan muncul perbedaan pergantian hari. Ada yang mengalami hari baru pada pagi, ada yang memulai hari baru pada siang, ada yang sore, dan seterusnya. Definisi hari memang akan berubah. Mungkin sebaiknya hari dihapuskan saja, diganti dengan tanggal. Hari hanya dipertahankan untuk hal-hal yang bersifat keagamaan, misalnya sholat Jumat.

Ini saya kira tidak terlalu rumit mengingat selama ini umat Islam juga sudah mengacu pada sistem waktu yang berbeda. Misalnya, hari menurut penanggalan bulan (qomariah) dimulai saat maghrib bukan jam 00.00 (makanya definisi harinya kan berbeda).

Memang akan terjadi sedikit kebingungan, namun saya kira tidak lama. Dan sistem waktu tunggal di seluruh dunia segala sesuatu terkait perhitungan waktu akan lebih sederhana. Juga dengan sejarah dan semacamnya.

Kredit foto: www dot nist dot time dot dov

Sekilas tentang netbook Elevo R7

Elevo R7 sangat menarik. Pertama, karena ukurannya yang kecil dan bobotnya yang ringan. Ini lebih kecil dan lebih ringan daripada netbook Asus Eee PC generasi pertama (yang benar-benar pertama meluncur di segmen netbook lho).

Kedua, karena harganya yang sangat murah. Harga aslinya di Jakarta Rp1,25 juta. Akan tetapi harga setelah diskon hanya setengahnya. Ini bahkan lebih murah daripada tablet termurah yang dijual saat ini.

Elevo R7 dijual dalam tiga pilihan. Pertama dengan sistem operasi Android (yang gak jelas versi berapa). Kedua adalah Windows CE saja. Ketiga adalah Windows CE yang dilengkapi dengan beberapa software pendidikan untuk anak SD.

Netbook ini dilengkapi dengan WiFi, dua port USB, ada port untuk earphone dan mic, namun tidak ada port LAN.

Netbook yang dilengkapi Windows CE sudah menyertakan Office (di dalamnya ada WordPad juga). Namun, kata penjualnya, ini tidak bisa mengenal modem. Jadi Internetnya akan tergantung pada WiFi.

Adapun yang versi Android belum ada program pengolah kata untuk mengetik, namun bisa mengenali modem tertentu. Saya pilih yang versi Android. Itulah satu-satunya unit Elevo R7 Android yang tersisa di toko tempat saya membeli.
***

Netbook ini menyenangkan karena sangat ringan. Chargernya juga ringan seperti charger ponsel saja. Keyboardnya lengkap namun ukurannya sekitar 80% dari keyboard pada umumnya. Untuk mengetik lebih nyaman daripada layar sentuh, namun terasa agak keras dan ceplak-ceplok.

Yang paling menyebalkan, bagian layar hanya bisa dibuka sekitar 130 derajat terhadap bagian keyboard. Akibatnya, kalau melihat ke layar seolah-olah mengintip atau netbook ini agak dimiringkan. Desain fisik yang aneh sekali dan sangat mengganggu. Dengan kondisi ini, netbook itu hanya cocok digunakan pada meja yang tinggi.

Secara umum kinerja netbook ini lumayan. Bisa mengenali WiFi dengan baik, bisa juga mendeteksi modem Huawei yang saya punya. Koneksi internet sempat tersendat entah kenapa. Connected tetapi browsernya tidak bisa buka ke mana-mana. Dan entah mengapa hal ini terpecahkan dengan sendirinya. Koneksi pun berlangsung lancar.

Soal penggunaan, masalah muncul karena saya belum terbiasa dengan Android. Selain itu, antarmuka Android agaknya didesain untuk layar sentuh. Jadi untuk netbook tanpa layar sentuh malah jadi agak ribet.

Menurut pembuatnya, Elevo R7 memiliki Processor ARM9 (533MHz), layar 7 inchi 800x480pixels, RAM 128MB, Storage 2GB, Wifi 802.11b/g, 2 usb port, 2 in1 SD Card, Audio port in/out, baterai Li Polymer yang tahan sampai 3 jam pemakaian.

Kredit foto: Elevo dot co dot id

14 Maret 2012

Pilih netbook atau tablet murah?


Belum lama ini saya sempat jalan-jalan ke pusat pertokoan komputer untuk melihat perkembangan tablet dan netbook. Ternyata yang paling ramai dijajakan, dipromosikan besar-besaran, serta dipasang di lemari display adalah tablet.

Dalam hal tablet, yang paling banyak muncul di display adalah Advan (Vandroid) T2 dan T1c. Yang T2 speknya lumayan, tetapi tidak dilengkapi dengan 3G. Harga Vandroid T2 berkisar antara Rp1.150 hingga Rp1.500 (tergantung toko dan paket yang disertakan). Adapun T1C seharga Rp2 juta.

Opsi lain adalah tablet IMO. Ini agak jarang tetapi bisa ditemui, misalnya IMO X1 seharga Rp1,7 juta sudah dual SIM, 3G, serta ada TV analog. Softwarenya pun Android 2.3. Sayang prosesornya di bawah 1GHz.

Yang juga agak menarik tablet dari A*Note. Tablet termurahnya seharga Rp1 juta (Vtab VT-751) sudah dapat keyboard, case, serta kabel penghubung dari slot ke lubang USB dan LAN. Ini menarik karena juga memungkinkan pemakaian mouse. Dalam satu paket lengkap, bentuknya jadi mirip netbook, Cuma ada konektor dan kabel nongol yang membuatnya kurang indah.

***
Sejatinya saya lebih tertarik dengan netbook daripada tablet. Menurut saya, tablet lebih cocok untuk memproduksi informasi, menulis, ngeblog, nyetatus dan semacamnya. Adapun tablet lebih nyaman untuk mengkonsumsi informasi, lebih ringan. Dan keunggulan utamanya adalah menawarkan pengalaman baru misalnya karena layar sentuhnya atau software Androidnya.

Jadi, saya berusaha mencari informasi tentang netbook yang ukurannya benar-benar kecil dan ringan. Saya masih terkesna dengan Asus Eee PC generasi pertama yang layarnya 7 inchi dan terutama bobotnya cuma 900 gram sudah termasuk baterai. Dengan charger pun bobotnya paling 1,1 kg.

Ternyata sulit menemukan netbook seringan itu sekarang. Rata-rata netbook memiliki layar 10 inchi dan bobotnya di atas 1,3 kg. Bahkan kalau dengan baterai 6 sel atau dengan charger, bobotnya kebanyakan di atas 1,6kg. Terlalu berat untuk ditenteng-tenteng.

Ada sih netbook ringan, Asus Eee PC seri X101 yang bobotnya di bawah 1 kg, softwarenya MeeGo (yang diskontinu), dan harganya paling menawan: Rp1,7 juta. Sayangnya, unit ini hanya ada di brosur. Sudah tidak ada lagi yang menjual dalam format baru.

***
Setelah jalan ke sana ke mari saya melihat ada yang jual Elevo R7, ukuran 7 inchi dan harga yang dicantumkan cuma Rp1,2 juta. Ini sangat menarik. Apalagi di situ tertulis softwarenya Android.

Setelah tanya-tanya, ternyata harga yang benar adalah diskon besar-besaran, yakni Rp600 ribu. Mencengangkan.

Ada tiga pilihan yakni pakai Android, pakai Windows CE, serta pakai Windows CE plus software pembelajaran. Ini jelas pilihan menarik, bahkan lebih murah daripada tablet termurah.

Begitulah sekilasan hasil jalan-jalan ke pertokoan komputer.
***

Kredit foto: PonselIMO dot com

Sekilas tentang Nokia Asha 200


Saya beli Nokia Asha 200 sekitar sebulan yang lalu. Saya beli dua buah di tempat yang berbeda. Harga dan bonusnya ternyata juga berbeda. Di BEC Bandung harganya Rp750.000 (sudah paling murah setelah muter-muter di berbagai tempat). Dapat bonus kartu Simpati baru.

Beberapa hari kemudian saya bel dii Depok harganya Rp730.000 sudah dapat bonus kartu memori 2GB dengan isi ratusan lagu (lagunya band baru-baru, kebanyakan saya enggak ngerti).

Nokia itu satu untukku, satu untuk istriku. Kebetulan hapeku dan hape istriku rusak hampir bersamaan. Sama-sama Nokia pula. Jadi saya beli hape Nokia lagi. Nokia terbukti bandel, baterai dan charger penggantinya mudah didapat dan murah.

Saya pilih ponsel yang dual SIM karena di satu sisi harus mempertahankan nomor lama, di sisi lain ingin mencoba SIM card baru yang menawarkan berbagai bonus seperti yang sering muncul di iklan. Ini dual SIM namun SIM pertama harus dipasang agar SIM kedua bisa aktif. SIM kedua bersifat hot swap, artinya bisa dilepas pasang tanpa mematikan ponsel.

Saya juga pilih ponsel dengan keyboard QWERTY karena saya lebih suka menulis SMS daripada menelepon. Sudah lama saya tidak akrab dengan ponsel non-QWERTY, jadi pasti menyiksa kalau memasrahkan diri pada keypad numerik atau layar sentuh murahan.

Nah, Nokia Asha 200 itu adalah produk termurah yang memenuhi syarat di atas: Nokia, dual SIM, keyboard QWERTY.

Maka begitulah, saya memilih Nokia Asha 200. Asha berasal dari bahasa India (Sanskrit??) yang artinya harapan. Ini line up baru yang cukup menarik dari Nokia.

Hal yang agak mengecewakan dari ponsel ini antara lain
*Tingkat terang layar tidak bisa disetel. Terlalu menyilaukan buatku. Solusinya ya pasang pelindung layar plastik gelap, Rp35.000.

*Keypadnya lebih kecil dari keypad Blackberry Huron, dan tidak terlalu empuk. Capek buat mengetik pesan agak panjang. Dalam hal ini saya masih mengagumi kualitas keyboard Blackberry jadoel yang jauh lebih empuk dan nyaman untuk mengetik.

*Beberapa menu tidak sehebat handphone dengan software Nokia40 versi terdahulu. Agaknya beberapa fitur dihilangkan untuk meminimalkan biaya atau dianggap tidak penting.

*Browsernya terasa lelet. Mungkin termasuk wajar untuk handset yang belum mendukung 3G.

*Banyak ponsel China/lokal yang lebih murah dengan fitur yang serupa. Bahkan belakangan Samsung juga mengeluarkan ponsel lebih murah dengan fitur yang tak jauh beda dengan Nokia Asha 200.

Begitulah review sekilasan.
Terima kasih

Kredit foto: GSMArena

Menulis lagi setelah jeda panjang sekali

Sudah hampir 4 bulan saya tidak menulis untuk blog ini. Saya masih membuat catatan singkat di beberapa tempat (FB, diary) namun tidak untuk mengisi blog ini. Sangat menyedihkan, sekaligus memalukan. Ini adalah masa jeda alias kekosongan terlama salam sejarah saya ngeblog.

Mungkin betul juga sinyalemen bahwa lebih gampang mengisi blog mikro (twitter atau nyetatus di FB/ Google+) daripada ngeblog yang perlu waktu lebih lama dan konsentrasi lebih panjang.

Apapun alasannya (kesibukan, kesehatan, hal-hal besar yang tidak bisa ditinggalkan) adalah memalukan untuk tidak menulis. Untung saya tidak mengklaim diri sebagai blogger sejati, Cuma blogger pinggiran.

Maka inilah. Saya berusaha mengisi kembali blog ini. Dan tema yang paling gampang serta cepat untuk dipakai memulai adalah tentang ponsel. Saya akan menulis tentang Nokia Asha 200.