08 Januari 2013

Kehidupan dalam Gorong-gorong

Jakarta akan membangun gorong-gorong alias terowongan raksasa? Begitulah yang kita baca dari berita-berita tentang Ibu Kota dalam dua pekan terakhir. Hal ini dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, ketika meninjau gorong-gorong di sekitar Bundaran Hotel Indonesia kira-kira sepekan sebelum tahun 2012 berakhir.


Rencana membangun gorong-gorong di kota metropolitan ini sontak mengingatkan saya akan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Klandestin. Itu sebuah cerita pendek tentang hidup dan perjuangan “manusia gorong-gorong”.

Cerpen itu dimuat Kompas pada Agustus 1993. Si tokoh yang disebut sebagai “Aku” hidup dalam gorong-gorong di bawah kota yang ternyata berisi banyak manusia.
Para manusia yang hidup seperti di dalam rangkaian gorong-gorong seperti sebuah labirin itu seolah membangun kotanya sendiri. Jadi mereka membangun sebuah kota di bawah kota.

Awalnya, si tokoh ”Aku” merasa tidak nyaman dengan kehidupan perkotaan yang dirasakannya penuh tirani di sekitarnya. Maka dengan senang hati dia bergabung ketika diajak masuk ke dalam kehidupan di bawah tanah itu. ”Aku datang untuk berpikir bebas,” begitulah pernyataannya ketika pertama kali masuk ke dalam gorong-gorong.

Akan tetapi, kemudian muncul banyak hal yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran merdekanya. Ketaatan mutlak, teror, dan perlawanan adalah ”ideologi” dalam dunia gorong-gorong itu.

Si tokoh ingin keluar dan kembali hidup dalam dunia normal di atas tanah, namun dia menemui kesulitan. Tidak mudah untuk bisa menemukan jalan ke luar dari bawah tanah.
Dia terus menggali dan berupaya. Wajahnya sudah penuh dengan tanah. si ”Aku” tetap tidak kunjung pula sampai ke atas tanah. Namun dia tetap berjuang tak kenal lelah.

****
Kita tinggalkan gorong-gorong Klandestin Seno Gumiro. Kita ikuti cerita lain yang juga bertutur mengenai gorong-gorong atau terowongan. Kali ini cerita pewayangan. Dalam lakon wayang Lahirnya Parikesit, ada kisah menarik mengenai upaya membuat terowongan.

Lakon ini berlatar belakang situasi tepat seusai Baratayuda, yakni perang besar antarketurunan Barata yang diwakili oleh Pandawa dari Amarta di satu sisi dan Kurawa yang mempertahankan Hastina di sisi yang lain.

Dalam perebutan Hastina itu, Kurawa kalah. Nyaris semua tokoh pendukung Kurawa tewas. Istana Hastina dikuasai Pendawa. Tinggal tersisa dua orang petinggi Hastina yakni Aswatama dan Kartamarma.

Aswatama adalah anak dari Resi Durna yang amat sakti. Dia mewarisi senjata sakti ayahnya, yakni Cundamanik, dan didukung oleh ibunya, seorang dewi bernama Wilotama.
Nah, Aswatama ingin membalas dendam kepada keluarga Pandawa. Dia berusaha menyusup ke dalam istana. Caranya, dengan membuat terowongan yang langsung tembus ke dalam istana. Sebagaimana khas cerita wayang, Aswatama membuat terowongan ke istana bermodalkan keampuhan senjata Cundamanik dan dukungan Wilotama.

Setelah masuk ke istana, Aswatama membuat onar. Dalam kekacauan itulah tewas beberapa tokoh penting dari pihak Amarta seperti Drestajumena, Pancawala, Sumbadra, Banowati, serta Setyaki.

Terowongan alias gorong-gorong ini memang dibuat dengan fungsi tunggal yakni menyusup ke sarang musuh. Aswatama bersama Kartamarma berhasil memanfaatkan torowongan yang dibuatnya itu dengan efektif.

****
Bila gorong-gorong labirin Klandestin dan terowongan Aswatama adalah cerita fiksi, lain pula dengan rencana Gubernur DKI Jakarta dalam membangun gorong-gorong atau terowongan ini.

Di Jakarta saat ini fungsi utama gorong-gorong adalah sebagai sarana drainase untuk mengalirkan air buangan. Ada fungsi lain juga seperti untuk saluran kabel dan pipa. Secara umum ukuran gorong-gorong ini kecil. Nah, Pak Jokowi ingin mengembangkan gorong-gorong dengan konsep yang agak berbeda.

Gorong-gorong alias terowongan ini, dalam kondisi kering, akan menggabungkan antara saluran air dan jalan dua tingkat. Terowongan juga berfungsi sebagai jalur untuk pipa air bersih, aliran lustrik PLN, gas, kabel telepon, dan sarana utilitas lainnya. Ukuran tunnel ini tentu saja besar. Diameter sekitar 16 meter dan panjangnya 19 kilometer.

Diperlukan biaya sekitar Rp16 triliun untuk membangunnya. Karena posisi Jakarta yang begitu dekat dengan laut dengan permukaan tanah yang relatif landai, maka terowongan air sedalam 40 meter—60 meter itu memerlukan pompa berukuran sangat besar agar air benar-benar bisa mengalir dan dibuang ke laut.

Ada banyak kendala teknis dan biaya yang mengadang pembangunan gorong-gorong alias terowongan besar ini. Akan ada lebih banyak lagi problem sosial yang mengikutinya. Sebagai contoh, masalah yang terkait dengan kebiasaan warga dalam membuang sampah, memperlakukan saluran air, serta penggunaan ruang publik yang mudah diakupansi warga jika tidak dijaga.

****
Gorong-gorong yang dimaksud dalam cerpen Klandestin tentu bukan gorong-gorong harfiah. Ini adalah pengandaian dari kehidupan bawah tanah alias kehidupan klandestin, seperti judul cerpen itu, yang ditulis dengan gaya khas Seno Gumira Ajidarma.

Gorong-gorong Klandestin adalah terowongan jalan hidup, adapun terowongan Aswatama adalah gorong-gorong perang, sedangkan tunnel Jokowi adalah sarana utilitas.
Lalu apa persamaannya? Semuanya dibangun dengan semangat tinggi, keberanian, pengorbanan besar, serta ”kesaktian” baik senjata maupun modal.

*Gambar wayang Aswatama diambil dari wayang dot wordpress dot com

3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah... bisa jadi novel juga ya! ayo oom cobain bikin! pasti banyak pemikiran Oom yang bisa menginspirasi orang.

bude uci

Anonim mengatakan...

top [url=http://www.c-online-casino.co.uk/]free casino games[/url] brake the latest [url=http://www.realcazinoz.com/]online casino[/url] free no set aside perk at the best [url=http://www.baywatchcasino.com/]easy casino
[/url].

Anonim mengatakan...

I've read several just right stuff here. Certainly value bookmarking for revisiting. I surprise how a lot effort you place to make this type of great informative web site.

Feel free to surf to my web blog - party poker bonus code free money