02 Desember 2015

SPRAY AND PRAY

Kesalahan pemodal ventura adalah mengharapkan laba ventura akan terdistibusi secara normal. Maksudnya, perusahaan-perusahaan buruk akan gagal, perusahaan sedang akan tetap flat, dan yang baik akan memberikan pengembalian 2 kali atau 4 kali lipat.

Dengan mengandaikan pola sederhana ini, para pemodal kemudian merakit sebuah portofolio terdiversifikasi dan berharap (pengembalian dari) perusahaan-perusahaan yang sukses akan mengimbangi (kerugian dari) yang gagal.

Akan tetapi, pendekatan spray and pray ini biasanya hanya menghasilkan portofolio yang sepenuhnya gagal.Tanpa ada satu pun yang berhasil. Ini karena laba ventura sama sekali tidak mengikuti distribusi normal, melainkan mengikuti hukum pangkat (eksponensial). Artinya, segelintir kecil perusahaan secara radikal mengalahkan semua yang lain. (Peter Thiel & Blake Masters, Zero to One)

26 November 2015

Sulitnya Jadi Pemodal Ventura

Andreessen Horowitz berinvestasi US$250.000 di Instagram pada 2010. Ketika Facebook membeli Instagram 2 tahun kemudian senilai US$1 miliar, Andreessen memperoleh hasil bersih US$78 juta. Artinya mereka dapat laba 312 kali lipat dalam waktu kurang dari 2 tahun. Itu sebuah laba yang dahsyat, yang menjadikan reputasi perusahaan itu sebagai salah satu pemodal ventura terbaik di Silicon Valley.

Namun, ternyata, hasil ini belum memadai sama sekali bagi Andreessen. Sebabnya, perusahaan ini telah mengucurkan US$1,5 miliar ke berbagai perusahaan lain. Berarti mereka perlu menemukan 19 Instagram sekadar untuk mencapai titik impas. (dikutip dari Peter Thiel dan Blake Masters dalam Zero to One)

20 November 2015

Persaingan dan monopoli menurut pendiri Paypal

Perusahaan pemegang monopoli cenderung suka mengecilkan diri dan tidak mengakui bahwa mereka memiliki penguasaan pasar yang terlalu dominan. Sebaliknya, perusahaan yang lemah justru sering membesar-besarkan diri, mengaku memiliki posisi yang amat dominan, di segmen yang sengaja digambarkan sebagai terlalu kecil.

Begitulah salah satu pandangan Peter Thiel, salah satu pendiri Paypal, dalam bukunya yang berjudul Zero to One.

Thiel menggambarkan apa yang disebutnya sebagai kebohongan pelaku monopoli. Dia mengungkap pandangan bos Google mengenai bisnis yang dijalankan raksasa mesin pencarian Internet itu.

Sebagai gambaran, hingga Mei 2014, Google menguasai 68% pasar pencarian, jauh di atas pesaing terdekatnya yaitu Microsoft (19%) dan Yahoo (10%).

Lalu bagaimana Google membingkai bisnisnya ini? Selain menyediakan mesin pencari, perusahaan buatan Eric Schmidt dan Sergey Brin ini juga menggarap mobil robotik, sistem operasi Android, wearable device, dan sebagainya. Tapi perlu diingat bahwa 95% pendapatan Google masih berasal dari iklan melalui mesin pencari. Beragam produk lain hanya menghasilkan nilai yang sedikit, dan produk konsumernya lebih kecil lagi kontribusinya.

“Dengan membingkai diri sebagai sebuah perusahaan teknologi yang tidak banyak berbeda dari banyak perusahaan lain, Google berhasil lolos dari perhatian yang tidak diinginkan,” begitu Thiel menyimpulkan.

Dia mengutip pernyataan Chairman Google, Eric Schmidt, pada 2011 di Kongres: Kami menghadapi sebuah medan yang luar biasa kompetitif tempat konsumen memiliki begitu banyak opsi untuk mengakses informasi.

Thiel menyebut kalimat di atas maknanya adalah: Google adalah ikan kecil di kolam besar. Kami bisa tertelan habis-habisan kapan saja. Kami bukan pelaku monopoli yang dicari pemerintah.

***
Lain halnya dengan perusahaan yang tidak mempunyai monopoli atau posisi yang terlalu dominan di pasar. Mereka, menurut Thiel, justru cenderung melakukan “kebohongan” yang sebaliknya, yakni mengaku-ngaku memonopoli segmen tertentu. “Kami satu-satunya dalam pasar ini.”

Perusahaan semacam ini, kata Thiel, cenderung mengecilkan skala kompetisi. Ada godaan untuk menggambarkan pasarnya sebagai pasar yang luar biasa sempit sehingga dapat menguasainya.

Mungkin ini mirip dengan mengaku sebagai pecel lele terenak di pertigaan X (karena di sana memang Cuma ada satu penyedia pecel lele), atau penerbit nasional terbesar di kecamatan anu (karena di situ ya hanya ada satu penerbit), dan hal-hal serupa itu.

Baca juga: Kisah Shakespeare dan Tolstoy di dalam bisnis

19 November 2015

Kisah Shakespeare dan Tolstoy di dalam bisnis

Pendiri Paypal, Peter Thiel, punya cara amat bagus dalam menggambarkan persaingan di dunia digital. Dalam bukunya yang berjudul Zero to One, Thiel menceritakan persaingan antara Microsoft dan Google. Menurut Thiel, yang terjadi di antara dua raksasa teknologi informasi itu mirip dengan perang antarkeluarga dalam novel Romeo dan Juliet karya Shakespeare.

“Dua keluarga, sama-sama memiliki martabat. Kedua keluarga itu serupa, tetapi mereka saling membenci. Mereka bahkan mirip satu sama lain sewaktu permusuhan meningkat. Tetapi pada akhirnya (bahkan) mereka lupa apa alasan mereka (dulunya) mulai berperang.”

Dalam dunia bisnis, kata Thiel, hal serupa terjadi. Perusahaan awalnya berdiri sendiri, lalu sukses, kemudian terobsesi dengan persaingan, akhirnya kehilangan wawasan dan malah fokus pada pesaing mereka.

Thiel menyebut apa yang terjadi antara Microsoft dan Google mirip dengan apa yang terjadi antara keluarga Montague dan keluarga Capulet dalam Romeo dan Juliet. Dua keluarga besar dengan pemimpin cerdas dan ambisius, dan justru saling berperang karena kesamaan mereka.

Sesungguhnya konflik itu bisa dihindari, lanjutnya. Masing-masing toh berasal dari daerah berbeda. Keluarga Montaque membangun sistem operasi dan aplikasi kantoran, sementara keluarga Capulet membuat mesin pencari. Apa yang sesungguhnya dipertaruhkan? Mengapa keluarga Montague mesti terobsesi dengan keluarga Capulet, dan begitu pula sebaliknya? Mengapa kemudian muncul Windows vs Chrome, Bing vs Google Search, Office vs Docs, Surface vs Nexus, dst?

Bukankah pada akhirnya Microsoft dan Google sama-sama kehilangan dominasi mereka dan malahan Apple yang datang mengambilalih posisi? Pada Januari 2013, kapitalisasi Apple telah melampaui gabungan Microsoft dan Google, padahal 3 tahun sebelumnya nilai Apple masih lebih rendah dibandingkan Microsoft sendiri atau Google sendiri.

***
Bagi saya, cara Thiel bertutur soal kompetisi dengan mengambil novel Shakespeare ini amat menarik. Setidaknya ada perspektif baru yang ditawarkan dalam memahami suatu persaingan. Terlepas apakah analoginya menggunakan cerita dan tokoh novel itu benar atau berlebihan, paling tidak ada sesuatu yang bisa diambil di sana.

Pada bagian lain, Thiel juga mengutip novel Tolstoy yang amat terkenal, Anne Karenina. “Semua keluarga bahagia itu sama. Akan tetapi, setiap keluarga yang tidak bahagia itu tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”

Di dunia bisnis, menurut Thiel, justru sebaliknya. Semua perusahaan yang gagal itu sama: mereka gagal membebaskan diri dari kompetisi. Sedangkan perusahaan yang sukses itu berbeda: masing-masing memiliki cara yang unik dalam memecahkan masalahnya.

Peter Thiel, dalam Zero to One, terbukti mampu mengambil cuplikan yang bagus dari kisah-kisah sastra terkemuka dunia untuk dilihat polanya dalam dunia bisnis.

Di bagian lain, dia mengambil cuplikan dari mitologi Yunani dan kisah tenar lainnya. Buku yang versi Indonesia diterbitkan Gramedia Pustaka Utama itu awalnya adalah materi kuliah yang disampaikan Thiel di Stanford. Salah satu peserta kuliah, Blake Masters, mencatat materi itu dengan rapih. Dari catatan Blake Masters itulah buku yang enak dibaca ini disusun.