28 Desember 2012

Bersepeda Kurang Aman?


Mengapa bersepeda di jalan raya cenderung kurang aman? Karena, dalam berbagai aspek, sepeda sangat berbeda dengan rata-rata kendaraan lain. Ukuran sepeda jauh lebih kecil daripada ukuran rata-rata kendaraan seperti motor dan apalagi mobil atau bahkan bus dan truk.

Kecepatan rata-ratanya juga jauh lebih rendah dibandingkan laju rata-rata kendaraan lain yang dominan di jalan raya.

Akselerasinya pun kalah jauh. Untuk menggenjot dari berhenti menuju kecepatan 20km per jam pada sepeda perlu waktu lebih lama daripada hal serupa pada motor dan mobil. Di sisi lain, kepakeman remnya juga kalah.

Pada dasarnya, berkendara paling aman itu bila kita sama atau mirip dengan rata-rata kendaraan lain baik dalam hal ukuran, kecepatan, akselerasi, maupun pengereman.

Foto sepeda diambil dari sausedo dot net

Wiyasa dan Ganapati


Mahabharata adalah sebuah cerita besar. Di Jawa kebanyakan orang mengertinya sebagai cerita wayang. Mahabharata dikarang oleh Resi Wiyasa atau Begawan Wiyasa atau Vyasa.

Dalam cerita mengenai asal-usul pembukuan Mahabharata, C. Rajagopalachari menyatakan bahwa Resi Wiyasa meminta kepada seseorang bernama Ganapati untuk menjadi juru tulisnya.

Ganapati mengajukan syarat: Wiyasa harus mendiktekan cerita tanpa jeda. Sebab, pena Ganapati tak boleh berhenti.

Nah, bubungan antara Wiyasa dan Ganapati ini menggelitikku. Ganapati bisa menjadi sebuah kiasan mengenai medium yang tak boleh berhenti beredar, tak bisa berhenti turbit. Ini bisa seperti media massa, atau katakanlah koran.

Jadi, hubungan Wiyasa-Ganapati ini bisa mirip hubungan antara penulis cerita bersambung (cembung) dengan pengelola koran. Penulis cerbung gak boleh berhenti berkisah karena tiap hari harus terbit ceritanya.

Memang ada juga sih media yang minta penulis menyelesaikan cerita lengkapnya dulu baru dimuat secara bersambung. Akan tetapi, untuk kasus cerbung yang belasan atau likuran tahun baru tamat, misalnya cerita Api di Bukit Menoreh, tentu pola seperti Wiyasa dan Ganapati lah yang berlaku. Wallahu a’lam.

Gambar wayang Gatotkaca diambil dari IndoArtNet

Antrean dan Kecepatan

Anak sulungku biasanya sangat senang kalau kami berada paling depan dalam antrean kendaraan. Dia mungkin merasa ayahnya, atau kendaraan ayahnya, adalah yang paling hebat karena berada paling depan dalam iring-iringan.


Namun, benarkah paling depan dalam antrean itu paling hebat karena paling cepat?
Saya justru berpikir lain.

Berada paling depan dalam antrean/iring-iringan bukan berarti yang tercepat. Bisa jadi malah yangg paling lambat. Buktinya, semua kendaraan lain bisa menguntit di belakang kita. Bisa jadi kitalah sumber kelambatan atau iring-iringan itu. Kalau saja kita bisa lebih cepat, iring-iringan mungkin tak perlu terjadi. Jalanan lebih lancar. Mungkin ini akan terasa banget ketika kita mengemudikan kendaraan besar yang lambat seperti truk atau traktor. Semua kendaraan lain yang lebih cepat akan nempel di belakang kita. Kalau bisa nyalip dia akan menyalip. Kalau tidak bisa nyalip maka dia akan menjadi ”pengiring” kita.

Sebaliknya, berada paling belakang dalam antrean/iring-iringan kendaraan bukan berarti yang paling lambat. Bisa jadi malah yang tercepat karena terbukti bisa menyusul kendaraan-kendaraan yang di depan.

***
Antrean ada di mana-mana, bukan hanya soal kendaraan. Ada antrean karier, antrean jabatan, antrean kelulusan dan sebagainya. Kalau antrean kendaraan terjadi karena keterbatasan jalan, maka antrean lain juga terjadi karena keterbatasan sumber daya yang bersedia antuk mengakomodasi harapan.

Nah, berada di manakah kita dalam antrean sisi-sisi kehidupan itu? Paling depan atau paling belakang? Paling lambat atau paling cepat?

Foto dikutip dari Solopos

10 Desember 2012

Pembatasan kendaraan berdasar nomor genap ganjil

Yang kupahami, aturan pembatasan berdasar nomor genap-ganjil itu kan masih kerangka. Praktiknya perlu detail soal jam, jalan mana, serta hari apa.

Sama dengan 3 in 1, bukan berarti mobil yang tidak berpenumpang 3 orang tidak boleh masuk Jakarta. Aturan 3 in 1 kan ada jamnya, ada lokasinya, dan ada harinya. Begitu juga car free day.

Kita masih perlu melihat bagaimana detail aturan nomor genap ganjil itu.

Antara kereta dan bus

Kereta adalah sosialisme, mobil adalah kapitalisme.

Kereta harus didesain secara holistik antara kendaraan, jalan, terminal, tempat parkir, bengkel, sampai jadwal perjalanannya. Adapun mobil bisa didesain terpisah-pisah. Masing-masing bagian dengan kecenderungan dan keterbatasan sendiri.

Kereta mengatasi macet, mobil bikin macet.
Kereta berbagi, mobil berebut.

16 November 2012

Manyatunya penanggalan Jawa dan Hijriah

Tahun baru hijriah telah tiba. Tahun baru Jawa juga tiba. Ini saat yang menarik untuk menengok kembali bagaimana penanggalan hijriah dan penanggalan Jawa menyatu begitu rupa?

Lha, ndilalah, persis di penghujung tahun 1433 Hijriah itu, saya kok menemukan buku yang salah satu bagiannya membahas soal kalender Jawa-Islam. Buku itu tulisan Agus Sunyoto, pengarang Rahuvana Tattwa yang unik dan tidak biasa itu.

Judul bukunya sih provokatif dan terkesan memecah belah: Sufi Ndeso vs Wahabi Kota. Tapi, okelah, lupakan soal perjudulan, toh ini buku sisinya campur aduk, salah satunya ya soal penyatuan kalender Jawa dan Islam.

***
Kalender Hijriah adalah kalender yang berbasis pergerakan bulan terhadap bumi sehingga disebut qomariyah (qomar dalam bahasa Arab berarti bulan). Sistem bulannya sudah ada di Arab sebelum Nabi Muhammad diutus, namun perhitungan tahunnya baru ditetapkan oleh Umar bin Khatab (khalifah setelah Abubakar) dengan berpatokan pada permulaan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.

Sementara itu, di Jawa era kuno, kalender yang dipakai yakni penanggalan Saka yang berbasis pergerakan matahari atau syamsiah (syam dalam bahasa Arab berarti matahari). Penanggalan Saka ini ”ketinggalan” 78 tahun dari penanggalan Masehi. Jadi kalau ada tahun 1200 Masehi berarti sama dengan tahun 1122 Saka. Tahun 1200 Saka berarti 1278 Masehi.

Nah, Islam masuk dalam kekuasaan di Indonesia sejak akhir era Majapahit. Lalu menjadi penguasa terbesar di Jawa pada era Demak, Pajang, dan kemudian Mataram.

Pada masa Mataram (Islam) inilah penanggalan Jawa digabungkan antara Saka dan Hijriah. Hal itu dilakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram dengan kekuasaan terluas, ketika awal tahun 1555 Saka berlangsung bersamaan dengan awal tahun 1043 Hijriah. Ini terjadi pada Jumat legi, 8 Juli 1633 Masehi.

Dalam penanggalan Jawa model baru itu, angka tahun tetap melanjutkan tahun Saka, namun siklus dalam satu tahun mengacu pada penanggalan hijriah. Jadi awal tahun Jawa bersamaan dengan 1 Muharram. Bulan Muharram dalam penanggalan Jawa disebut bulan Suro (mungkin ada kaitannya dengan Hari Asy-Syura yang jatuh pada 10 Muharram?). Nama beberapa bulan lain ada yang mengacu pada nama Arab (misalnya Sapar, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Sawal, Dulkaidah)

Karena angka tahunnya hanya lanjutan sementara siklusnya berbeda, maka untuk peristiwa setelah 1555 Saka atau 1633 Masehi angka kalibrasinya tidak bisa konstan 68 tahun seperti semula melainkan kian mendekat berhubung jumlah hari pada tahun syamsiah lebih banyak daripada jumlah hari pada tahun qomariyah.

Namun Agus Sunyoto menegaskah bahwa masyarakat Jawa sebelum era Sultan Agung tidak sepenuhnya menggunakan kalender matahari. Mereka juga menggunakan kalender qomariyah. Hal ini terbukti bahwa hampir semua prasasti sejak era Mataram kuno (abad ke-7) menggunakan candrasengkala atau isyarat tahun yang berbasis bulan.

Agus Sunyoto menjelaskan lebih banyak lagi soal penggunaan candrasengkala di Jawa dan asimilasi nama hari serta pasaran Jawa. Jadi, menurutnya, yang dilakukan Sultan Agung bukan mengganti penanggalan Saka dengan Hijriah, melainkan asimilasi berbagai unsurnya menjadi kalender Jawa yang baru. Wallahu a’lam.

27 September 2012

Menyambangi (bekas) Konstantinopel

Dulu waktu berada di sekolah menengah (SMP/SMA), dari pelajaran sejarah saya mendengar tentang kekaisaran Romawi Timur alias Bizantium. Ibukotanya adalah Kontantinopel.

Meskipun saya penggemar sejarah Indonesia, saya blas tidak paham tentang sejarah Eropa. Waktu itu saya juga tidak tahu bahwa Konstantinopel itu ternyata kemudian berubah nama menjadi Istanbul setelah dikuasai Dinasti Utsmaniah/kesultanan Utsmani (Ottomans).

Waktu kecil saya sering mendengar nama Istanbul (atau Istambul atau Stambul) ya justru dari cerita kethoprak atau cerita berlatar belakang Timur Tengah lainnya.

Eh, lhadalah, alhamdulillah, kok beberapa waktu lalu mendapat kesempatan menengok bekas pusatnya Bizantium yang bernama Kontantinopel alias Istanbul itu. Walaupun cuma mampir beberapa jam karena transit, alhamdulillah bisa mengunjungi Obelisk yang berusia 35 abad, Hagia Sophia yang berumur lebih dari 15 abad, serta Mesjid Biru Sultanahmet yang dibangun pada dekade 1610-an (bareng dengan masa kerajaan Demak di Jawa).

Dan pada saat benar-benar berkunjung itulah saya baru menyadari bahwa kota itu adalah kota yang begitu tua, bersejarah, pernah menjadi pusat peradaban dunia pada beberapa abad yang lampau, dan bekas-bekasnya masih benar-benar bisa dilihat dan ditemui. Alhamdulillahirabbil alamiin.

Kebanggaan Ukraina Setelah Piala Eropa

Surat kabar Kyiv Post edisi 31 Agustus 2012 memuat sebuah karikatur menarik di halaman Opini. Karikatur besar itu menggambarkan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych dengan bangga naik balon udara bertuliskan The World Cup in Ukraine.
Lalu para penonton yang berada di bawah dengan sinis menyatakan betapa Sang Presiden telah melambung tinggi jauh dari kenyataan.


Di sisi kanan bawah karikatur itu dijelaskan konteksnya. Pada 29 Agustus 2012, Presiden Yanukovych menyatakan Ukraina siap menjadi tuan rumah acara sepak bola Piala Dunia FIFA setelah sukses menjadi tuan rumah Piala Eropa pada awal musim panas tahun ini. Pernyataan itu disampaikan di Donetsk, salah satu kota yang dijadikan arena pertandingan Piala Eropa yang baru lalu.

Yang menggelikan bagi orang-orang Ukraina dari pernyataan Sang Presiden adalah kenyataan bahwa tuan rumah Piala Dunia FIFA sudah ditetapkan hingga 2022, yakni Brasil pada 2014, Rusia pada 2018, dan Qatar pada 2022. Jadi, pernyataan itu dianggap sebagai impian yang melambung terlalu jauh dari kenyataan, seperti terbang menggunakan balon yang tidak menginjak bumi.

Bagi saya, secara tersirat, karikatur dalam surat kabar berbahasa Inggris terbitan Kiev, ibukota Ukraina, itu menggambarkan betapa keberhasilan bekas bagian Uni Soviet itu bersama dengan Polandia menjadi tuan rumah Piala Eropa membawa pengaruh dan kebanggaan yang tidak sedikit.

Beberapa ulasan dalam surat kabar dan publikasi yang terbit awal September juga masih menyorot dampak pergelaran Piala Eropa bagi citra dan perekonomian negara yang berpenduduk sekitar 45 juta jiwa itu.


*) Tulisan selengkapnya dimuat di Bisnis Indonesia Weekend yang beredar 21 September 2012

21 September 2012

Kota Seribu Taman

Akhir pekan adalah saat yang menyenangkan untuk bersantai menikmati kota Kiev, ibukota Ukraina, bekas bagian dari Uni Soviet. Di pusat kota ada monumen kemerdekaan.

Di dekat monumen kemerdekaan ini, yakni sepanjang jalan Khreschatyk yang mirip Jalan Thamrin Jakarta, diberlakukan car free day selama Sabtu-Minggu. Orang bebas berjalan-jalan di jalan lebar itu. Asyiknya, pada akhir pekan ada berbagai pertunjukan yang digelar serius.

Akhir pekan yang lalu, misalnya, ada perlombaan loncat tinggi galah. Seperti kita tahu, loncat galah adalah salah satu olahraga kebanggaan Ukraina. Salah satu atlet legendaris adalah Serhiy Bubka, pemegang berkali-kali rekor lompat galah, yang ternyata adalah warga Ukraina. Monumen Bubka telah dibangun dan diresmikan walaupun atlet itu masih hidup.

Perlombaan loncat tinggi dengan galah di arena car free day itu ramai sekali dan padat penonton termasuk anak-anak kecil.

Tidak kalah menarik digelar pula perlombaan sepeda dengan peserta para wanita. Sayang sekali, bahasa dan tulisan dengan huruf cirilik itu tidak bisa kami mengerti. Jadi kami tidak tahu itu pertunjukan dan perlombaan tingkat apa dan siapa pesertanya.

Di ujung jalan Khreschatyk terdapat patung Lenin. Di belakangnya membentang tempat jalan kaki yang diapit jejeran tanaman rimbun. Itu adalah Bulevard Shevchenko. Jika kita susuri sekitar 10 menit akan sampai ke taman Shevchenco yang sangat indah dan bersih. Jika kita lanjutnya menyusuri bulevard itu sekitar 10 menit, kita akan tiba di Botanical Garden. Sepintas mirip rerimbunan pohon Jalan Cilaki Bandung, namun dalam ukuran yang jauh lebih besar.

Ya, di kota Kiev memang banyak sekali taman. Semuanya gratis. Taman Shevchenco dan Botanical Garden hanyalah satu dari belasan atau puluhan taman lain yang tersebar di berbagai sudut kota, baik berukuran besar maupun berukuran kecil.

Pengelola Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia barangkali perlu belajar dari Kiev bagaimana membangun dan mengelola taman-taman di tengah kota agar asri, rimbun dan nyaman.

Namun ada satu hal yang perlu diingat ketika berjalan-jalan sendirian atau dalam rombongan kecil di Kiev, yaitu keamanan. Sebagian lokasi taman sangat sepi, sementara berbagai buku petunjuk wisata mengingatkan soal perlunya menjaga keamanan. Jadi, hati-hati bila berjalan-jalan sendirian.

Meskipun secara umum orang Ukraina ramah, namun jangan kaget bila anda minta tolong untuk difoto di lokasi yang menurut Anda menarik, namun ternyata ditolak oleh orang yang Anda mintai tolong.

* Tulisan ini telah dimuat di Harian Jogja dan bisnis.com dua pekan lalu

Kiev atau Kyiv atau KNIB?

Dalam berbagai plang yang ada di jalan maupun di peta dan petunjuk perjalanan, ibukota Ukraina itu kadang ditulis Kiev dan kadangkala ditulis Kyiv. Kalau ditulis dengan huruf setempat bahkan seolah-olah penulisannya menjadi seperti KNIB.

Surat kabar setempat yang berbahasa Inggris terbitan Public Media LCC memilih nama Kyiv Post bukan Kiev Post.


Ditelisik lebih jauh, ternyata dua kata itu berasal dari bahasa yang berbeda. Penulisan Kyiv mengacu pada bahasa Ukraina sedangkan Kiev mengacu pada Bahasa Rusia. Sayangnya, yang lebih populer secara internasional dan diadopsi Eropa Barat justru Kiev yang mengacu pada logat Rusia, bukan Ukraina.

Sebelum tiba di Ukraina, yang saya bayangkan tentang negeri itu adalah tanah kelahiran “bapak helikopter” Igor Sikorsky, serta tempat berkarya bapak “tabel periodik kimia” Dmitry Mendeleyev. Namun saya tidak menemukan jejak mereka berdua selama hampir sepekan mengunjungi Ukraina.


Posisi Ukraina cukup dekat dengan Ibu Kota Rusia, Moskwa. Dalam hal kesukuan, sekitar 17,3% warganya beretnis Rusia. Jadi, hubungan kedua negara relatif dekat. Ukraina memerdekakan diri pada 1991 setelah Uni Soviet bubar.

Sebenarnya, banyak tokoh Uni Soviet berasal dari Ukraina. Leon Trotsky, misalnya, salah satu tokoh Revolusi Bolshevick selain Vladimir Lenin, adalah orang Ukraina.
Leonid Brezhnev yang pernah menjadi pemimpin tertinggi Uni Soviet, juga orang Ukraina. Nikita Khrushchev pada saat remaja pernah berpindah dari Rusia ke Donetsk dan mendapatkan posisi penting dalam Partai Komunis di Kiev. Sekarang pun surat kabar yang berpusat di Rusia masih beredar luas di Ukraina.

* Tulisan ini dimuat dalam Bisnis Indonesia Weekend yang terbit 21 September

20 September 2012

“Mudik” ke Desa Tua Ukraina


Serbuan nyamuk yang ganas. Itulah yang kami rasakan ketika kemarin petang mengunjungi Pirogovo, sebuah perdesaan tua dekat kota Kiev, Ukraina, yang dipertahankan sebagai semacam museum.

Kami datang ke sana sebagai bagian dari acara makan malam hari pertama kegiatan Kongres Surat Kabar Dunia ke-64 sekaligus World Editors Forum ke-19 yang digelar WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News Publishers). 

Kami tiba sekitar pukul 19.45.  Seharusnya kami datang lebih cepat, sebelum udara menjad terlalu gelap. Sekadar informasi, waktu maghrib saat di ini sekitar Kiev kira-kira pukul 20.00 malam. Jadi kami tiba persis menjelang maghrib. Dan saat itulah agaknya waktu favorit bagi para nyamuk untuk menyerbu. Maka ratusan orang peserta kongres yang datang dari segala penjuru dunia dan baru turun bus itu pun menjadi mangsa yang menyenangkan.

Pirogovo yang disebut sebagai museum arsitektur tradisional ini berada kira-kira setengah jam perjalanan (bila tidak macet) dari pusat kota Kiev. Jalan di sekitar lokasi hanya pas untuk bus bersimpangan. Menjelang lokasi perdesaan itu hanya ada padang rumput yang luas.

Di Pirogovo terdapat belasan rumah yang dipertahankan asli, mirip dengan perdesaan Indonesia puluhan tahun yang lalu. Rumah-rumah dari kayu dan batu, dengan perabot di ruang tamu, ruang makan, serta ruang tidur ada di dalamnya. Peralatan dapur tradisional juga ditempatkan seperti seharusnya. Sayang sekali ketika kami mulai masuk ke rumah-rumah itu, hari sudah gelap. Dan tidak ada lampu listrik yang dinyalakan. Jadinya hanya mengandalkan penerangan dari “senter” berupa lampu ponsel.

Kegiatan makan malam dipusatkan di sebuah lapangan tak jauh dari rumah-rumah tradisional itu. Disediakan dua buah tenda besar untuk tempat makan. Di antara tenda itu terdapat beberapa meja yang dipakai penduduk setempat untuk menjual sovenir. Ada bermacam gerabah khas Ukraina. Juga pakaian tradisional dari katun dan kulit. Secara umum harga pakaian di Ukraina jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Namun souvenir semacam gerabah tidaklah mahal. Di Lokasi itu banyak pengunjung yang membeli sovenir dari gerabah namun tak banyak yang membeli pakaian tradisonal yang bentuknya mirip sekali baju koko di Indonesia.

Tarian tradisonal yang dinamis dengan puluhan penari berbagai usia agaknya merupakan tampilan khas. Siang hari pada pembukaan kongres para peserta disuguhi tarian itu. Malam hari kembali disuguhi tarian serupa. Ada puluhan orang, dari usia tua hingga anak-anak terlibat menyanyi.

Dengan warna kostum khas paduan antara merah dan putih, para penarik bergerak sangat dinamis. Ini mirip dengan pertunjukan senam. Tarian kolosal yang orang-orangnya bisa melompat-lompat secara sangat atraktif. Barangkali tarian dengan pola semacam ini adalah khas di Eropa Timur dan daerah sekitar Laut Hitam.

Malam semakin larut dan pertunjukan tari dipindah dari panggung ke lapangan terbuka. Kali ini pertunjukan tari dengan api. Kalau di Indonesia mirip dengan pertunjukan obor atau oncor, hanya saja dengan gerakan yang lebih atarktif serta berbahaya.

Nyamuk-nyamuk tetap saja menggigit ketika semua pertunjukan usai dan rombongan harus menunggu bus penjemput yang ternyata sangat lama.  “Nyamuknya lebih besar daripada nyamuk di Jakarta, tetapi tidak terlalu gatal,” celetuk seorang peserta dari Jakarta.  

*) Tulisan ini dimuat di Harian Jogja

Mushola Sederhana di Kiev

Di salah satu sudut bangunan yang digunakan untuk Kongres Suratkabar se-Dunia ke-64 sekaligus World Editors Forum ke-19 di Kiev, Ukraina,terdapat satu ruangan yang diset sebagai mushola alias moslem prayer room.

Ruangan yang disiapkan sebagai tempat sholat bagi peserta kongres di Ukrainian House di Kota Kiev itu sangat sederhana. Sekitar sepuluh buah sajadah diatur sedemikian rupa sehingga rapih menghadap ke arah kiblat. Sekedar informasi, posisi Ukraina berada di sisi barat laut Arab Saudi. Dengan demikian kiblat menghadap ke arah tenggara, bukan ke arah barat sebagaimana di Indonesia.

Nah, yang paling menarik adalah tempat untuk wudlu. Karena WC dan toilet di Kiev ini tidak dirancang untuk memudahkan orang mengambil wudlu, maka diaturlah beberapa perangkat sederhana untuk berwudhu.

Pertama ada dua galon air yang dilengkapi dengan pompa tangan. Lalu ada sebuah gayung yang ujungnya seperti teko. Kemudian ada ember kecil dan ember besar. Dan terakhir adalah lapisan plastik yang dibentangkan di atas karpet sebagai alas wudlu agar air yang muncrat dari sekitar ember tidak membasahi karpet. Perangkat yang praktis yang unik dan sederhana.

Tentu saja kita harus berhati-hati dalam berwudlu di sini. Jangan sampai air tumpah dan muncrat ke mana-mana. Jumlah air juga perlu dihemat agar orang lain bisa ikut menggunakan.

Di depan mushol ada sebuah meja yang dipenuhi dengan buku-buku dan majalah Islam. Sayang sekali tidak satupun yang berbahasa Inggris. Semuanya berbahasa Ukraina atau Rusia dengan huruf yang tidak sama dengan aksara Latin.

***

Usut punya usut, ternyata mushola di arena kongres WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News Publishers) itu disiapkan oleh Religions Administration of Ukrainian Muslims alias RAMU. Kami sempat bertemu dengan Sheikh Rustam Gafuri, Deputi Mufti Ukraina yang juga ketua departemen informasi pada organisasi tersebut.

Pak Rustam ini masih muda dan ternyata pernah berkunjung ke Jakarta pada 5 tahun yang lalu untuk mengikuti salah satu kegiatan yang digelar oleh Nahdlatul Ulama (NU). Dia pun masih ingat tentang Istiqlal serta tokoh NU Hasyim Muzadi.

Menurut Rustam yang juga Presiden pada The All-Ukrainian Cultural Centre of Turk-Speaking and East Peoples itu, terdapat 2 juta warga muslim di negara bekas wilayah Uni Soviet ini. Itu artinya terdapat sekitar 4 persen-5 persen warga Ukraina yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Informasi dari RAMU menyatakan bahwa agama Islam mulai masuk ke wilayah Ukraina telah melalui sejarah yang panjang. Peninggalan arkeologis yang ditemukan menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke wilayah ini sejak abad ke-8.

Sayangnya, selama di bawah kekuasaan Uni Soviet yang ateistik, kehidupan beragama kurang berkembang. Sejumlah mesjid ditutup atau dirusak dan para pemimpin agama dilarang untuk menjalankan ritual agama.

Seiring dengan perkembangan politik yakni bubarnya Uni Soviet dan berdirinya Ukraina sebagai negara tersendiri pada 1991, kehidupan beragama kembali memperoleh tempat.

Rupanya, kegiatan organisasi muslim Ukraina cukup banyak. Rustam bercerita bahwa di Kiev ada sebuah mesjid. Lokasinya agak jauh dari tempat konferensi, yakni sekitar 40 menit berjalan kaki. “Tetapi masjid itu tidak sebesar Istiqlal. Kalau ada waktu, mampirlah ke masjid kami,” ujar Rustam yang fasih mengucapkan kata ‘terima kasih’ ini. Sayang sekali kami tidak memiliki kesempatan untuk menengok mesjid di salah satu bekas wilayah Uni Soviet ini.

*Tulisan ini telah dimuat di Bisnis.com dan Harian Jogja dua pekan lalu

28 Mei 2012

Mungkinkah kita bisa menjauh dari kematian?

Semakin bertambah umur, semakin dekat pula kita kepada kematian. Begitulah nasihat yang klise namun relevan dalam setiap ulang tahun. Pernyataan itu saya kira didasarkan pada beberapa asumsi.

Pertama, kita selalu mendekat kepada waktu kematian bila waktu kematian itu bersifat fixed dan telah ditentukan, bahkan detik T-nya, jauh hari sebelumnya. Di sini, waktu adalah satu-satunya variabel yang membuat seseorang menjauh atau mendekat dari maut. Dan karena kita tidak bisa memanipulasi waktu, maka satu-satunya yang terjadi adalah kian dekat ke waktu T kematian.

Asumsi kedua, pernyataan itu benar jika kita berhitung mundur ketika kematian itu telah terjadi. Jadi T kematian sebagai acuan, lalu semua baru dihitung terbalik maka pernyataan di atas pasti benar. Segala sesuatu kalau dihitung mundur ya selalu begitu, seperti kita menghitung mundur peristiwa-peristiwa penting dari titik perang dunia. Padahal jika berhitung maju, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghindarkan perang dunia yang amat menghancurkan itu.

***
Nah, pertanyaannya, apalagi buat orang yang baru bertambah usia seperti saya, benarkah dugaan semacam itu bila didekati secara statistik atau pendekatan lainnya? Bukankah ada hadits yang menyatakan bahwa silaturahim memperpanjang umur?

Jika mengacu pada statistik tingkat harapan hidup, maka rumusan Nassim Nicholas Thaleb di bawah ini mungkin relevan: “Di sebuah negara maju, seorang bayi yang baru lahir diperkirakan meninggal 79 tahun kemudian. Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-79, harapan hidupnya, berdasarkan asumsi kesehatannya normal, adalah 10 tahun (bukan nol tahun). Pada usia 90 tahun, dia diharapkan hidup 4,7 tahun lagi (bukan minus 11 tahun). Pada usia 100 tahun, dia diharapkan hidup 2,5 tahun lagi (bukan minus 21 tahun).”

Saya kira kasusnya mirip juga dengan perjalanan menggunakan GPS. Sambil berjalan kita bisa melihat bahwa jarak absolut terus mendekat ke tujuan. Di sana ada prediksi waktu, namun kenyataan seringkali berbeda dengan waktu. Benar bahwa jarak kita lebih dekat ke tujuan, namun waktu tempuh riilnya bisa jadi jauh lebih lama dari prediksi awal.

Misalnya, indikator awal menunjukkan jarak tempuh 10 km dengan prediksi waktu perjalanan 12 menit. Nyatanya, jalan macet. Setelah berjalan 5 menit, karena macet, jarak tempuh masih 9 km lagi dan waktu tersisa masih 10 menit. Setelah berjalan 15 menit, jarak menuju tujuan masih 6 km dan sisa waktu diperkirakan masih 7 menit. Begitu seterusnya sehingga setelah 30 menit baru tiba di tujuan. Jadi, semula jaraknya dari sisi waktu hanya 12 menit, jadinya malah 30 menit. (Tapi analogi ini tidak sepenuhnya klop karena di sini masih ada titik tujuan yang lokasinya fixed)

***
Contoh lain adalah orang yang baru saja sembuh dari penyakit yang berat atau parah. Ketika sakitnya mendera dan belum diobati, maka secara medis tingkat harapan hidupnya rendah dan sisa umurnya pendek. Akan tetapi, ketika pengobatan berhasil, maka tingkat harapan hidupnya meningkat dan sisa hidupnya secara teoritis juga memanjang.

Tentu saja ada faktor-faktor seperti kecelakaan, perang, bencana dan sebagainya yang lebih sulit dihitung namun berdampak fatal. Hal-hal semacam inilah yang membuat perhitungan menjadi lebih rumit dan ungkapan mengenai misteriusnya kedatangan maut lebih menemukan relevansinya.

Orang yang bekerja di arena berisiko tinggi, di dekat zona perang, di bidang yang dekat dengan potensi bahaya, secara teoritis memiliki tingkat kedekatan lebih tinggi terhadap kematian. Orang-orang asuransi tentu lebih pintar dalam menghitung hal semacam ini.

***
Jadi, saya kira, kedekatan kita dengan kematian tidak selalu sebanding dengan umur. Paling tidak, hal itu ditentukan oleh kedekatan ditentukan oleh umur, tingkat kesehatan, serta kegiatan berisiko.

Bisa jadi umur mendorong ke dekat kematian, namun tingkat kesehatan yang membaik justru menariknya jauh dari maut. Lalu, tiba-tiba sebuah kecelakaan kerja berperan mempersingkat semuanya secara mendadak.

Bisa jadi tahun lalu umur mendorong ke dekat maut, lalu kesehatan juga buruk yang membuatnya kian dekat maut, dan kegiatan berisiko banyak dilakukan sehingga makin dekat lagi. Namun tahun ini semua berubah. Umur tetap mendorong ke dekat maut, tetapi kesehatan membaik sehingga menjauh dari maut, dan kegiatan berisiko tidak lagi dilakukan sehingga makin jauh lagi dari maut. Dengan demikian, tahun ini posisinya lebih jauh terhadap maut daripada tahun lalu.

Tapi, embuhlah kebenarannya.
“Dan cukuplah kematian itu sebagai nasihat.”
Wallahu a’lam.

22 Mei 2012

Jl Casablanca: Etalase kehebatan rekayasa sipil


Lebih dari satu tahun terakhir, penderitaan para pengguna jalan Casablanca-Dr Satrio, Jakarta, bertambah-tambah. Pasalnya, ada pembangunan jalan layang ruas Kampung Melayu-Tanah Abang.

Sebelum ada proyek, jalan ini sudah dikenal macet pada jam-jam sibuk, terutama di sekitar Mal Ambassador dan ITC Kuningan. Maka bertambahlah kemacetan dengan proyek ini.

Ini merupakan proyek besar. Menurut jadwal, proyek pembangunan jalan layang bukan tol ini akan memakan waktu hampir 2 tahun. Tahun ini diharapkan proyek berakhir dan jalan layang bisa digunakan. Lalu, penderitaan pengguna itu (semoga) berubah menjadi kenyamanan.

Selama proyek berlangsung, lalu lintas tetap berjalan di bawah dan di sampingnya. Ada penyempitan signifikan yang terjadi karena sebagian badan jalan ‘termakan’ tiang pancang atau hal-hal lain terkait proyek.

Saya sering lewat jalan ini dari stasiun Tebet menuju Karet. Dengan menggunakan angkot M44 yang sering menyerobot antrean, perlu waktu sekitar setengah jam menembus kemacetan seputar Casablanca-Satrio selama ada proyek ini. Dari Tebet hingga ke Karet seringkali memerlukan waktu satu jam pada jam sibuk.

***
Kemacetan memberi kesempatan bagi para pengguna jalan untuk mengamati proyek ini. Puluhan alat berat bekerja keras siang malam di sana. Menggali lubang untuk pondasi, memasang penyangga besar, mengangkat material ke atas penyangga, dsb.

Material bahan jalan berbobot puluhan ton berjejer-jejer di lahan proyek. Ada yang baru tiba, ada yang sedang dipasang, ada pula yang telah terpasang dengan manis seolah menggantung di angkasa.

Bagi saya, material yang ukurannya beberapa kali lipat dibandingkan kendaraan-kendaraan yang lewat di dekatnya, menggambarkan kehebatan proyek ini. Ini merupakan etalase kehebatan rekayasa sipil yang dipertontonkan dengan telanjang di atas jalan yang sibuk.

Bagaimana membangun penyangga sebesar dan setinggi itu? Bagaimana mengangkat material badan jalan yang amat berat itu? Bagaimana merekatkan satu material dengan material lain agar kuat namun juga tetap ada ruang untuk pemuaian? Bagaimana mendesain agar pemasangan di satu titik klop dengan pemasangan di titik lain? Bagaimana jika terjadi gempa? Dan masih banyak pertanyaan lain.

****
Di kanan kiri proyek jalan layang itu juga ada proyek-proyek rekayasa sipil yang tidak kalah memukau. Pembangunan mal, apartemen, perkantoran, gedung bertingkat, dan sebagainya berlangsung hampir bersamaan dengan proyek pembangunan jalan itu.

Saya tidak tahu apakah di antara puluhan ribu atau ratusan ribu orang yang tiap hari melewati proyek itu adakah yang tergugah, terinspirasi, sehingga berharap anak atau keponakannya atau keturunannya bisa menjadi insinyur sipil yang mampu membangun infrastruktur lebih hebat daripada jalan layang dan bangunan di kanan kirinya?

Kalau tidak ada, saya kira ini menyedihkan.

Mestinya para insinyur sipil bisa menjadikan proyek besar semacam ini, apalagi di pusat kota, sebagai etalase pengetahuan, sebagai sarana untuk memancing rasa ingin tahu dan kecintaan publik kepada ilmu sipil. Saya bukan insinyur sipil dan tidak tahu apa-apa tentang teknik sipil, namun saya merasakan kehebatan rekayasa sipil dari melihat proyek pembangunan itu.

Tapi, bisa jadi, bagi para insinyur sipil, ini adalah proyek biasa-biasa saja, atau bahkan sepele, sehingga tidak layak untuk pameran dan etalase. Masih banyak proyek-proyek lain yang lebih hebat, lebih prestisius, sebagai sebuah monumen. Entahlah, siapa tahu.

PS: Ada satu hal ‘sepele’ yang agak mengganggu soal penamaan proyek ini. Mengapa selalu disebut jalan layang non-tol? Mestinya kan jalan layang (saja). Apakah semua jalan layang pasti jalan tol sehingga mesti ditambahi kata non-tol?


Melawan arus tidak selalu jelek

Jangan melawan arus. Begitulah salah satu nasihat penting bagi semua pengendara di jalan raya. Larangan ini lebih ditekankan lagi untuk para pengendara sepeda motor yang biasanya enggan mengikuti rambu lalu lintas tanda jalan satu arah.

Akan tetapi jangan salah. Tidak semua yang melawan arus lalu lintas adalah hal buruk. Bahkan, di jalan tol yang jelas-jelas merupakan jalan searah untuk masing-masing lajur, melawan arus malah bisa menjadi solusi.

Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dan Jasa Marga dalam menangani kemacetan yang seolah tanpa harapan untuk terselesaikan setiap pagi dan sore di tol dalam kota Jakarta. Oleh pihak berwenang, kebijakan ini disebut contra flow.

Seperti kita sadari, setiap pagi dan sore hari terjadi ketidakseimbangan arus lalu lintas masuk dan ke luar dari pusat kota. Bagi siapa saja yang bertempat tinggal di seputar Taman Mini Indonesia Indah, Cibubur, Bogor, serta Bekasi, dan berkantor di sekitar Semanggi, pasti merasakan betapa macetnya tol dalam kota setiap pagi.

Arus dari berbagai lokasi di sebelah timur, selatan, dan tenggara Jakarta tumplek masuk ke tol dalam kota di Cawang. Akibatnya, mobil hanya bisa merayap perlahan menuju arah Semanggi. Sementara pada arah sebaliknya, biasanya sangat lancar.

Makanya informasi lalu lintas di pagi hari tentang kemacetan selalu dihiasi dengan kalimat, “arah sebaliknya lancar.”

Saya sering berpikir, seandainya ‘arah sebaliknya’ itu bisa dimanfaatkan untuk mengurangi kemacetan yang selalu menimpa ‘arah utama’ alangkah menyenangkan.

Ternyata, pihak yang berwenang pun mulai memikirkan dan menerapkan hal itu. Satu lajur jalan dari tol dari arah Semanggi menuju Cawang diberi pembatas dan digunakan untuk kendaraan yang berasal dari arah Cawang menuju ke Semanggi. Maka, kapasitas jalan menuju Semanggi bertambah satu lajur, sedangkan yang menuju Cawang berkurang satu lajur.

Dengan demikian, ruas jalan arah meninggalkan pusat kota yang relatif idle bisa dimanfaatkan untuk menampung arus menuju pusat kota. Hasilnya, kemacetan berkurang, kapasitas jalan pun lebih optimal.

Kebijakan ini mulai diberlakukan 1 Mei di tol dalam kota antara pukul 06.00 hingga 10.00 WIB. Jika dianggap berhasil, akan diperluas ke ruas yang lain di tol dan pada jam yang lain.

Bahkan, pemberlakuannya juga dipertimbangkan di jalan bukan tol yang sering macet seperti di kawasan Sudirman dan Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan. Kebijakan melawan arus ini diharapkan bisa mengatasi sebagian masalah utama Jakarta yaitu kemacetan lalu lintas yang kian menggila dan membuat frustasi.

***
Kemacetan memang merupakan masalah besar bagi Jakarta. Dampak dari kemacetan bukan hanya molornya waktu perjalanan melainkan juga pemborosan bahan bakar minyak, berkurangnya produktivitas, berkurangnya daya saing ekonomi, hingga masalah psikologis.

Saling serobot, rebutan jalan, pelanggaran lalu lintas, merupakan efek dari kemacetan yang membuat frustasi. Mudahnya emosi tersulit, mudahnya orang bertengkar di jalanan merupakan dampak lainnya. Belakangan media sosial diramaikan oleh video tentang perselisihan di jalanan yang padat.

Kalau saja lalu lintas lancar dan semua pengendara tertib, kasus pertengkaran di jalan dan pertunjukan arogansi tentu bisa dihindari. Banyak sekali masalah sosial dan kejiwaan yang akan terbantu oleh kelancaran lalu lintas.

Oleh sebab itu, upaya mengurangi kemacetan merupakan hal besar yang layak dihargai. Cara paling sederhana mengurangi kemacetan adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan, mengurangi persimpangan, serta menghilangkan bottle neck.

Melebarkan jalan serta membuat simpang susun jelas solusi yang mahal dan perlu waktu lama. Sebagai contoh, pembangunan jalan layang nonton Casablanca-Karet memakan biaya triliunan rupiah dan waktu lebih dari satu tahun.

Soal bottle neck berupa penyempitan atau kendaraan umum ngetem perlu mendapat perhatian serius. Sebab, kapasitas sesungguhnya dari sebuah ruas jalan bukanlah kapasitas pada bagian terlebar, melainkan kapasitas pada bagian terkecil alias bottle neck itu.

Contohnya, bila ada ruas jalan yang pada bagian lebarnya mampu menampung 100 mobil per menit, namun di bagian ujungnya ada penyempitan yang membuatnya hanya mampu dilewati 20 mobil per menit, maka kapasitas sesungguhnya dari jalan itu menjadi hanya 20 mobil per unit. Kapasitas bagian jalan yang 100 mobil per unit menjadi seperti tersia-sia. Perlu upaya lebih serius mengenali dan mengurangi ‘leher botol’ dalam arus lalu lintas Jakarta.

Solusi out of the box seperti contra flow itu perlu diperbanyak. Penggunaan lampu lalu lintas yang cerdas, yang mampu mengenali arus mana yang perlu mendapatkan prioritas lampu hijau, mungkin perlu diperbanyak. Seiring dengan tantangan yang kian berat dan dinamis, solusi baru juga perlu terus dicoba dan digali. Semoga dugaan kemacetan total pada 2014 bisa dihindari.

10 Mei 2012

Cerita Fabel Kalilah wa Dimnah yang memukau

Kata Kalilah wa Dimnah rasanya akrab dalam telingaku. Ini adalah cerita yang sangat terkenal di Timur Tengah. Maka, ketika ke toko buku baru-baru ini, dan menemukan buku terjemahan dengan subjudul Kalila wa Dimna, saya langsung tertarik.

Sayangnya, ada hambatan, yakni cara penulisan judulnya menunjukkan bahwa ini bukan terjemahan dari Bahasa Arab, melainkan dari Bahasa Inggris. Kalau dari Arab pasti ditulis Kalilah, bukan Kalila.

Setelah hampir satu jam muter-muter di toko buku, saya tidak menemukan buku lain yang menarik sekaligus murah. Ada buku sangat menarik tentang sejarah masa lalu dunia, namun harganya hampir Rp200 ribu, jadi batal saya beli. Akhirnya, pilihan jatuh ke buku ini, Kalila & Dimna 2, fabel tentang Pertikaian dan Intrik.

Ini buku seri kedua. Saya tidak menemukan buku seri pertamanya. Agaknya, buku seri pertama tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia karena selang terbitnya antara seri pertama dan kedua dalam edisi aslinya adalah 30 tahun. Dan pada akhirnya saya berkesimpulan tidak ada masalah membaca langsung pada seri kedua.

***
Buku ini karangan Ramsay Wood, seorang humanis yang berasal dari keluarga diplomat dan pernah tinggal di beberapa negara Asia Tenggara dan Eropa. Menurutnya, Kalilah wa Dimnah aslinya bukan berasal dari Arab melainkan dari India, yang kemudian menyebar ke Persia, lalu ke Arab. Dari sana lah, pada masa kejayaan Islam, cerita ini lalu menyebar ke seluruh dunia.

Sepanjang membaca buku ini, saya tidak menemukan cerita tentang kalila maupun dimna dan tidak ketemu apa yang dimaksud dengan kalila dan apa pula dimna. Tetapi, itu tidak mengurangi maknanya.

Kalila & Dimna adalah cerita fabel. Cerita dengan tokoh utama para hewan. Tentu saja juga dengan tokoh para manusia. Manusia dan hewan bisa berkomunikasi seperti umumnya cerita fabel.

Nah, dalam buku inilah saya bisa menemukan kembali cerita-cerita yang pernah saya dengar di masa kecil. Cerita yang menyebar ke seluruh dunia dan mengalami berbagai modifikasi, kini menemukan kerangka besarnya dalam Kalilah wa Dimnah. Apalagi ini diceritakan dalam bahasa dan konteks kekinian yang melibatkan statistik dan sebagainya.

Melalui buku inilah saya bisa membaca cerita utuh tentang hubungan buaya dan monyet cerdik, soal menghindar dari pembunuhan dengan mengaku jantungnya tertinggal; cerita tentang seorang ibu yang membunuh musang yang membunuh ular karena mengira si musang memakan bayinya; dan banyak cerita lainnya.

***
Cerita-cerita ini bukan hanya dibingkai dengan apik dan indah secara bertingkat-tingkat, melainkan juga disusupkan pemaknaan filosofis dalam bahasa yang indah oleh sang penulis. (penerjemahnya saya kira juga hebat).

Misalnya, bagaimana orang bisa begitu mudahnya jatuh dalam kesengsaraan dan kehilangan, dan bagaimana pula bisa pulih dari penderitaan. Betapa berisikonya berharap yang berlebihan, ekspektasi yang keliru tentang masa depan. Juga tentang kecurangan, keculasan, intrik, dan sebagainya yang digambarkan dengan sangat mencerahkan.

Kutipan seperti:
“Bukan urusan kita untuk mempertanyakan alasannua. Urusan kita adalah mensyukurinya”
“Penjelasan bukanlah pengganti atas pengalaman”
“Kesabaran dalam diam yang dikenal pula sebagai ketergemingan yang terlatih”
“Kau melihat sesuatu tidak otomatis berarti kau memahaminya”
“Kita kehilangan kesabaran dan tergesa-gesa dalam bertindak tanpa memperhatikan konsekuensinya”
“Prediktibilitas akan mengarah pada kebosanan”
dan masih banyak lagi lainnya.

Sungguh, buku yang di bagian atasnya ditulisi “fabel tentang pertikaian dan Intrik” ini memang sangat mempesona. Ini adalah salah satu buku cerita terbaik yang pernah saya baca.

Mencerahkan, mempesona, namun tidak menggurui. Dan tentu saja, merangkai kembali fabel yang pernah saya dengar atau baca pada masa lalu dalam kerangka yang lebih holistik dan filosofis.

Saya rekomendasikan Anda untuk membaca buku setebal 270-an halaman dan seharga Rp48 ribu ini. Saya yakin tidak akan menyesal.

15 Maret 2012

Seluruh dunia satu zona waktu saja

Kita yang tinggal di dekat khatulistiwa menikmati berbagai kemudahan terkait dengan waktu. Kita memulai hari pada tengah malam, mulai beraktivitas jam 5 pagi, sholat dzuhur dan istirahat pada jam 12 siang, pulang kerja sekitar maghrib, dan seterusnya. Definisi hari mudah dipahami dan dirasakan tanpa hambatan. Begitu pula dengan musim yang tidak mengenal ekstrem.

Orang di sekitar khatulistiwa biasa berpuasa sekitar 14 jam pada musim apa pun. Paling-paling pergeseran waktu sahur dan buka puasa hanya setengah jam.

Kondisi ini jelas berbeda dengan mereka yang tinggal jauh dari khatulistiwa, bahkan dekat dengan kutub. Ada masa ketika siang sangat panjang atau malam sangat panjang. Puasa kadang waktunya singkat, kadang sangat amat panjang. Orang di dekat kutub bahkan bisa mengalami siang terus selama berhari-hari pada musim panas, dan malam terus selama berhari-hari pada musim dingin.

Di lokasi tertentu negara-negara tertentu bahkan diberlakukan day light saving. Waktu digeser 1 jam pada tanggal tertentu lalu dikembalikan lagi beberapa bulan kemudian (misalnya 1 Maret dimajukan 1 jam dan 1 November diundurkan kembali 1 jam). Dan mereka biasa saja, bisa menyesuaikan diri dengan baik, tidak banyak masalah.

Nah, Indonesia berencana menyatukan 3 zona waktu menjadi satu zona waktu, yakni mengacu GMT+8 yang sekarang berlaku di WITA. Ada bermacam perdebatan soal ini.

***
Menurut saya, sebenarnya permukaan bumi ini bersifat kontinyu, tidak putus-putus. Jadi, waktu ideal kalau mengacu bentuk permukaan bumi adalah berubah secara kontinyu bukan diskrit. Zona waktu yang dibag-bagi per jam adalah sistem diskrit. Misalnya GMT+7, ada juga GMT+8. kalau kontinyu mestinya ada GMT+7 jam 15 menit dan 12 detik. Ada juga GMT+3jam 12 menit dan 16 detik, dan seterusnya.

Sistem waktu yang kontinyu itu masih diacu oleh orang islam dalam jadwal sholat. Misalnya jadwal sholat untuk Bandung adalah 3 menit lebih awal daripada Jakarta. Orang Jakarta tidak boleh sholat mengacu pada waktu bandung atau bahkan waktu Denpasar atau Balikpapan. Itu sistem waktu yang kontinyu.

Sistem diskrit yang membagi dunia dengan zona-zona per jam memang jauh lebih sederhana daripada sistem kontinu.

Secara teknis, pembagian zona waktu merupakan keputusan yang bersifat ilmiah yang didasarkan pada pergerakan relatif bumi terhadap matahari. Akan tetapi praktiknya sering merupakan keputusan politik dan ekonomi.

Keputusan untuk menetapkan waktu global mengacu pada Greenwich Mean Time adalah putusan politik. Mengapa tidak membuat batasan waktu/hari di tempat lain?

Penetapan zona waktu di satu negara juga tak lepas dari masalah politik. Mengapa, misalnya, China yang begitu luas hanya memiliki satu zona waktu? Pernah juga sebuah negara di Pasifik yang mengubah zona waktu sehingga maju satu hari. Mereka berada di dekat perbatasan hari sehingga mengubah zona waktu tidak tanggung-tanggung, tidak Cuma satu jam, malahan satu hari. Nyebrang ke zona lain.

***
Secara pribadi, saya malah lebih suka jika seluruh dunia memakai satu zona waktu saja. Tidak perlu lagi ada garis zona waktu dan garis di mana orang bertetangga namun mengalami hari yang berbeda. Kita mulai saja perubahan hari, misalnya mengacu pada jam 00.00 waktu GMT (GMT saat ini, setelah itu gak ada lagi GMT).

Memang akan muncul perbedaan pergantian hari. Ada yang mengalami hari baru pada pagi, ada yang memulai hari baru pada siang, ada yang sore, dan seterusnya. Definisi hari memang akan berubah. Mungkin sebaiknya hari dihapuskan saja, diganti dengan tanggal. Hari hanya dipertahankan untuk hal-hal yang bersifat keagamaan, misalnya sholat Jumat.

Ini saya kira tidak terlalu rumit mengingat selama ini umat Islam juga sudah mengacu pada sistem waktu yang berbeda. Misalnya, hari menurut penanggalan bulan (qomariah) dimulai saat maghrib bukan jam 00.00 (makanya definisi harinya kan berbeda).

Memang akan terjadi sedikit kebingungan, namun saya kira tidak lama. Dan sistem waktu tunggal di seluruh dunia segala sesuatu terkait perhitungan waktu akan lebih sederhana. Juga dengan sejarah dan semacamnya.

Kredit foto: www dot nist dot time dot dov

Sekilas tentang netbook Elevo R7

Elevo R7 sangat menarik. Pertama, karena ukurannya yang kecil dan bobotnya yang ringan. Ini lebih kecil dan lebih ringan daripada netbook Asus Eee PC generasi pertama (yang benar-benar pertama meluncur di segmen netbook lho).

Kedua, karena harganya yang sangat murah. Harga aslinya di Jakarta Rp1,25 juta. Akan tetapi harga setelah diskon hanya setengahnya. Ini bahkan lebih murah daripada tablet termurah yang dijual saat ini.

Elevo R7 dijual dalam tiga pilihan. Pertama dengan sistem operasi Android (yang gak jelas versi berapa). Kedua adalah Windows CE saja. Ketiga adalah Windows CE yang dilengkapi dengan beberapa software pendidikan untuk anak SD.

Netbook ini dilengkapi dengan WiFi, dua port USB, ada port untuk earphone dan mic, namun tidak ada port LAN.

Netbook yang dilengkapi Windows CE sudah menyertakan Office (di dalamnya ada WordPad juga). Namun, kata penjualnya, ini tidak bisa mengenal modem. Jadi Internetnya akan tergantung pada WiFi.

Adapun yang versi Android belum ada program pengolah kata untuk mengetik, namun bisa mengenali modem tertentu. Saya pilih yang versi Android. Itulah satu-satunya unit Elevo R7 Android yang tersisa di toko tempat saya membeli.
***

Netbook ini menyenangkan karena sangat ringan. Chargernya juga ringan seperti charger ponsel saja. Keyboardnya lengkap namun ukurannya sekitar 80% dari keyboard pada umumnya. Untuk mengetik lebih nyaman daripada layar sentuh, namun terasa agak keras dan ceplak-ceplok.

Yang paling menyebalkan, bagian layar hanya bisa dibuka sekitar 130 derajat terhadap bagian keyboard. Akibatnya, kalau melihat ke layar seolah-olah mengintip atau netbook ini agak dimiringkan. Desain fisik yang aneh sekali dan sangat mengganggu. Dengan kondisi ini, netbook itu hanya cocok digunakan pada meja yang tinggi.

Secara umum kinerja netbook ini lumayan. Bisa mengenali WiFi dengan baik, bisa juga mendeteksi modem Huawei yang saya punya. Koneksi internet sempat tersendat entah kenapa. Connected tetapi browsernya tidak bisa buka ke mana-mana. Dan entah mengapa hal ini terpecahkan dengan sendirinya. Koneksi pun berlangsung lancar.

Soal penggunaan, masalah muncul karena saya belum terbiasa dengan Android. Selain itu, antarmuka Android agaknya didesain untuk layar sentuh. Jadi untuk netbook tanpa layar sentuh malah jadi agak ribet.

Menurut pembuatnya, Elevo R7 memiliki Processor ARM9 (533MHz), layar 7 inchi 800x480pixels, RAM 128MB, Storage 2GB, Wifi 802.11b/g, 2 usb port, 2 in1 SD Card, Audio port in/out, baterai Li Polymer yang tahan sampai 3 jam pemakaian.

Kredit foto: Elevo dot co dot id

14 Maret 2012

Pilih netbook atau tablet murah?


Belum lama ini saya sempat jalan-jalan ke pusat pertokoan komputer untuk melihat perkembangan tablet dan netbook. Ternyata yang paling ramai dijajakan, dipromosikan besar-besaran, serta dipasang di lemari display adalah tablet.

Dalam hal tablet, yang paling banyak muncul di display adalah Advan (Vandroid) T2 dan T1c. Yang T2 speknya lumayan, tetapi tidak dilengkapi dengan 3G. Harga Vandroid T2 berkisar antara Rp1.150 hingga Rp1.500 (tergantung toko dan paket yang disertakan). Adapun T1C seharga Rp2 juta.

Opsi lain adalah tablet IMO. Ini agak jarang tetapi bisa ditemui, misalnya IMO X1 seharga Rp1,7 juta sudah dual SIM, 3G, serta ada TV analog. Softwarenya pun Android 2.3. Sayang prosesornya di bawah 1GHz.

Yang juga agak menarik tablet dari A*Note. Tablet termurahnya seharga Rp1 juta (Vtab VT-751) sudah dapat keyboard, case, serta kabel penghubung dari slot ke lubang USB dan LAN. Ini menarik karena juga memungkinkan pemakaian mouse. Dalam satu paket lengkap, bentuknya jadi mirip netbook, Cuma ada konektor dan kabel nongol yang membuatnya kurang indah.

***
Sejatinya saya lebih tertarik dengan netbook daripada tablet. Menurut saya, tablet lebih cocok untuk memproduksi informasi, menulis, ngeblog, nyetatus dan semacamnya. Adapun tablet lebih nyaman untuk mengkonsumsi informasi, lebih ringan. Dan keunggulan utamanya adalah menawarkan pengalaman baru misalnya karena layar sentuhnya atau software Androidnya.

Jadi, saya berusaha mencari informasi tentang netbook yang ukurannya benar-benar kecil dan ringan. Saya masih terkesna dengan Asus Eee PC generasi pertama yang layarnya 7 inchi dan terutama bobotnya cuma 900 gram sudah termasuk baterai. Dengan charger pun bobotnya paling 1,1 kg.

Ternyata sulit menemukan netbook seringan itu sekarang. Rata-rata netbook memiliki layar 10 inchi dan bobotnya di atas 1,3 kg. Bahkan kalau dengan baterai 6 sel atau dengan charger, bobotnya kebanyakan di atas 1,6kg. Terlalu berat untuk ditenteng-tenteng.

Ada sih netbook ringan, Asus Eee PC seri X101 yang bobotnya di bawah 1 kg, softwarenya MeeGo (yang diskontinu), dan harganya paling menawan: Rp1,7 juta. Sayangnya, unit ini hanya ada di brosur. Sudah tidak ada lagi yang menjual dalam format baru.

***
Setelah jalan ke sana ke mari saya melihat ada yang jual Elevo R7, ukuran 7 inchi dan harga yang dicantumkan cuma Rp1,2 juta. Ini sangat menarik. Apalagi di situ tertulis softwarenya Android.

Setelah tanya-tanya, ternyata harga yang benar adalah diskon besar-besaran, yakni Rp600 ribu. Mencengangkan.

Ada tiga pilihan yakni pakai Android, pakai Windows CE, serta pakai Windows CE plus software pembelajaran. Ini jelas pilihan menarik, bahkan lebih murah daripada tablet termurah.

Begitulah sekilasan hasil jalan-jalan ke pertokoan komputer.
***

Kredit foto: PonselIMO dot com

Sekilas tentang Nokia Asha 200


Saya beli Nokia Asha 200 sekitar sebulan yang lalu. Saya beli dua buah di tempat yang berbeda. Harga dan bonusnya ternyata juga berbeda. Di BEC Bandung harganya Rp750.000 (sudah paling murah setelah muter-muter di berbagai tempat). Dapat bonus kartu Simpati baru.

Beberapa hari kemudian saya bel dii Depok harganya Rp730.000 sudah dapat bonus kartu memori 2GB dengan isi ratusan lagu (lagunya band baru-baru, kebanyakan saya enggak ngerti).

Nokia itu satu untukku, satu untuk istriku. Kebetulan hapeku dan hape istriku rusak hampir bersamaan. Sama-sama Nokia pula. Jadi saya beli hape Nokia lagi. Nokia terbukti bandel, baterai dan charger penggantinya mudah didapat dan murah.

Saya pilih ponsel yang dual SIM karena di satu sisi harus mempertahankan nomor lama, di sisi lain ingin mencoba SIM card baru yang menawarkan berbagai bonus seperti yang sering muncul di iklan. Ini dual SIM namun SIM pertama harus dipasang agar SIM kedua bisa aktif. SIM kedua bersifat hot swap, artinya bisa dilepas pasang tanpa mematikan ponsel.

Saya juga pilih ponsel dengan keyboard QWERTY karena saya lebih suka menulis SMS daripada menelepon. Sudah lama saya tidak akrab dengan ponsel non-QWERTY, jadi pasti menyiksa kalau memasrahkan diri pada keypad numerik atau layar sentuh murahan.

Nah, Nokia Asha 200 itu adalah produk termurah yang memenuhi syarat di atas: Nokia, dual SIM, keyboard QWERTY.

Maka begitulah, saya memilih Nokia Asha 200. Asha berasal dari bahasa India (Sanskrit??) yang artinya harapan. Ini line up baru yang cukup menarik dari Nokia.

Hal yang agak mengecewakan dari ponsel ini antara lain
*Tingkat terang layar tidak bisa disetel. Terlalu menyilaukan buatku. Solusinya ya pasang pelindung layar plastik gelap, Rp35.000.

*Keypadnya lebih kecil dari keypad Blackberry Huron, dan tidak terlalu empuk. Capek buat mengetik pesan agak panjang. Dalam hal ini saya masih mengagumi kualitas keyboard Blackberry jadoel yang jauh lebih empuk dan nyaman untuk mengetik.

*Beberapa menu tidak sehebat handphone dengan software Nokia40 versi terdahulu. Agaknya beberapa fitur dihilangkan untuk meminimalkan biaya atau dianggap tidak penting.

*Browsernya terasa lelet. Mungkin termasuk wajar untuk handset yang belum mendukung 3G.

*Banyak ponsel China/lokal yang lebih murah dengan fitur yang serupa. Bahkan belakangan Samsung juga mengeluarkan ponsel lebih murah dengan fitur yang tak jauh beda dengan Nokia Asha 200.

Begitulah review sekilasan.
Terima kasih

Kredit foto: GSMArena

Menulis lagi setelah jeda panjang sekali

Sudah hampir 4 bulan saya tidak menulis untuk blog ini. Saya masih membuat catatan singkat di beberapa tempat (FB, diary) namun tidak untuk mengisi blog ini. Sangat menyedihkan, sekaligus memalukan. Ini adalah masa jeda alias kekosongan terlama salam sejarah saya ngeblog.

Mungkin betul juga sinyalemen bahwa lebih gampang mengisi blog mikro (twitter atau nyetatus di FB/ Google+) daripada ngeblog yang perlu waktu lebih lama dan konsentrasi lebih panjang.

Apapun alasannya (kesibukan, kesehatan, hal-hal besar yang tidak bisa ditinggalkan) adalah memalukan untuk tidak menulis. Untung saya tidak mengklaim diri sebagai blogger sejati, Cuma blogger pinggiran.

Maka inilah. Saya berusaha mengisi kembali blog ini. Dan tema yang paling gampang serta cepat untuk dipakai memulai adalah tentang ponsel. Saya akan menulis tentang Nokia Asha 200.