29 Desember 2009

Pergantian tahun & teka-teki waktu*


Dzulhijjah berlalu, disambung dengan Muharram. Desember pun segera pergi, disusul dengan datangnya Januari. Pergantian tahun dari 1430 ke 1431 serta dari 2009 ke 2010 mengingatkan kita akan perhitungan waktu.

Perhitungan kalender yang menjadi penanda waktu, baik versi hijriah maupun versi masehi, didasarkan pada pergerakan dalam tata surya terutama Bumi, Matahari, serta Bulan.

Bagi manusia zaman sekarang, pernyataan bahwa planet Bumi bergerak mengelilingi pusat tata surya berupa Matahari dengan periode satu tahun, serta satelit yang bernama Bulan mengelilingi Bumi setiap satu bulan sekali, bukan lagi tanda tanya.

Akan tetapi, proses menuju kepada pengetahuan itu ternyata lama, dan memakan banyak korban. Kita tentu ingat tragedi yang menimpa Galileo Galilei ketika menyatakan bahwa pusat tata surya bukanlah Bumi melainkan Matahari.

Manusia terus mencari cara perhitungan waktu yang lebih presisi. Misalnya, 1 detik semula didefinisikan sebagai 1 per 86.400 hari, lalu diubah menjadi 9.192.631.770 kali periode radiasi atom tertentu pada keadaan tertentu.

Ukuran fisis seperti gerakan atom dan tata surya di atas hanyalah salah satu cara untuk mencari pegangan dalam mengarungi waktu. Manusia juga berupaya mencari makna yang lebih dalam mengenai bagaimana memperlakukan waktu yang dimilikinya.

Terkait dengan pamaknaan itu, filosof Prancis Voltaire dalam novelet Suratan Takdir menyajikan kisah menarik. Suatu kali, Pendeta Agung Babilonia menggelar sayembara dengan mengajukan cangkriman alias teka-teki.

“Apakah di antara yang di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus paling pendek. Paling cepat namun juga paling lambat. Paling terbagi-bagi namun juga paling luas. Paling disepelekan tetapi juga paling disesalkan. Tanpa hal itu tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan. Dia melahap segala yang kecil, namun mengabadikan yang besar.”

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan dalam sayembara itu hingga muncul seorang tokoh bernama Zadiq. Dia berpendapat jawab atas pertanyaan Pendeta Agung adalah waktu.

“Tidak ada yang dirasakan lebih panjang karena waktu adalah ukuran keabadian. Tidak ada yang lebih pendek karena selalu dirasa kurang untuk mewujudkan rencana-rencana kita. Tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu. Tak ada yang lebih cepat berlalu untuk mereka yang menikmati hidup.”

Zadiq menambahkan, waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi dalam ukuran sekecil-kecilnya. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan semua yang pantas diingat menjadi abadi.

***Relativitas waktu
Pergantian tahun biasanya menjadi momentum untuk merenungi waktu yang sudah lewat dan membuat rencana mengisi waktu yang tersisa. Ini mirip dengan ulang tahun. Bedanya, ulang tahun direnungi sendiri-sendiri, pergantian tahun dirayakan bersama-sama.

Banyak cara untuk mencari kejelasan mengenai waktu. Salah satu tokoh yang paling didengar dalam kajian mengenai waktu adalah fisikawan Albert Einstein yang dikenal melalui teori relativitas. Teori ini menyinggung relativitas waktu yang akan terasa sangat menonjol pada objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya.

Kisah terkenal dalam menjelaskan relativitas waktu adalah Paradoks Si Kembar, cerita tentang dua orang kembar yang mengalami beda usia signifikan karena yang satu tetap di bumi sementara yang lain menjelajahi angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.

Bagi saya, apa yang diungkapkan Zadiq dalam cerita Voltaire di awal tulisan ini merupakan bentuk lain mengenai relativitas waktu. Ini semacam formulasi psikologis dari relativitas waktu.

Orang yang sedang menunggu akan merasa bahwa pergerakan waktu lambat, sedangkan orang sibuk dengan banyak pekerjaan merasa kekurangan waktu. Orang menderita merasakan waktunya panjang, orang bahagia merasa waktu berjalan terlalu cepat.

Waktu, sebagaimana hidup, memang seringkali diterima orang tanpa ucapan terima kasih dan dinikmati tanpa tahu persis bagaimana caranya. Maka benar sekali saran agar berkaca kepada pelari sprinter untuk mengerti arti rentang waktu seperseratus detik. Juga, bertanya kepada orang yang tertinggal kereta api atau pesawat terbang untuk tahu arti pentingnya satu menit.

Berarti atau tidaknya waktu dalam hidup ini juga sangat ditentukan oleh seberapa bisa manusia memaknai peristiwa-peristiwa yang mengisi waktu. Barangkali menarik untuk menyimak pernyataan pendiri Pakistan, Sir Muhammad Iqbal, di bawah ini.

“Aku menilai hari-hari, bulan dan tahun dari pengalaman yang mereka [hari, bulan, tahun] berikan untukku. Kadang aku terkejut mendapati bahwa satu saat peristiwa tertentu lebih berharga dibandingkan dengan waktu setahun penuh,” paparnya dalam Stray Reflections.

*) Dimuat di Bisnis Indonesia (www.bisnis.com) edisi 29 Desember 2009

23 Desember 2009

Di bawah bayang-bayang Sun Yat Sen


Patung Sun Yat Sen berdiri megah di salah satu sudut pelabuhan Qinzhou. Sekilas, patung setinggi 13,88 meter itu mirip dengan Patung Lenin yang ramai dirobohkan di beberapa sudut Rusia ketika Uni Soviet runtuh pada 1989.

Bila ditambah dengan penyangganya, keseluruhan patung Sun Yat Sen tersebut tingginya mencapai 29,68 meter. Untuk mencapai patung, pengunjung harus mendaki ratusan tangga. Kalau saya tidak salah hitung, terdapat 208 undakan yang harus dilewati untuk sampai ke patung itu.

Setelah melewati 96 undakan pertama, pengunjung akan sampai ke teras. Lalu 76 undakan kedua membawa pengunjung ke golden ding altar, kemudian 37 undakan terakhir mengantar ke patung. Dari posisi patung di ketinggian itu pengunjung bisa melihat gelaran Pelabuhan Qinzhou.

Sun Yat Sen yang lahir pada 1866 adalah bapak pendiri Republik Rakyat China atau China modern. Dia mendirikan partai Kuomintang dan menjadi pejabat presiden para tahun 1912 serta tahun 1923-1925.

Lalu mengapa ditempatkan patung Sun Yat Sen di sudut pelabuhan itu? Pengelola pelabuhan menyatakan bapak pendiri RRC itu pernah menulis dalam satu artikelnya pada 1915 bahwa Qinzhou suatu saat akan menjadi pelabuhan terbesar di China bagian selatan.

Kini, pemerintah China berupaya mewujudkan harapan Sun Yat Sen tentang Qinzhou, bagian penting bagi China selatan dalam hubungannya dengan Asia Tenggara.

Kota Qinzhou memiliki sejarah panjang, lebih dari 1.600 tahun. Pada tahun 420, kota ini dikenal dengan nama Songshojun, kemudian diubah menjadi Anzhou pada tahun 502. Sebelum tahun 1950, Qinzhou merupakan bagian dari Provinsi Guangdong. Akan tetapi, setelah masa transisi, pada 1965 Qinzhou resmi dimasukkan sebagai bagian dari Provinsi Quan Xi bersama dengan Nanning...

Selengkapnya ada di Bisnis.com

22 Desember 2009

Sulitnya mencari motor di China


China punya banyak kota besar dan memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Akan tetapi, sulit mencari sepeda motor di kota-kota besar di China. Yang mudah sekali kita temui adalah sepeda listrik, seperti betrix di Indonesia.

Ternyata ada banyak sekali pembatasan untuk motor yang membuat warga di sana tidak leluasa menggunakan kendaraan roda dua bermesin bensin itu. Kalau ketahuan melanggar aturan, didenda.

Saya menduga barangkali itu salah satu sebab mengapa motor China tidak bisa bersaing dengan motor Jepang. Lha di negaranya sendiri saja tidak bisa tumbuh, tidak banyak pengguna, jadi pasti tidak banyak feed back yang bisa ditangkap para pembuatnya.

Di sisi lain, ada pemanfaatan motor roda tiga yang bagi saya terkesan sangat cerdas. Di beberapa sudut kota Qinzhou di dekat laut China selatan, kita bisa mudah menemukan motor roda tiga yang dimodifikasi menjadi angkutan umum. Jadi fungsinya mirip bemo di Indonesia.

Ada atap yang lancip ke depan hingga melindungi si sopir. Di kotak bagian belakang ada kursi berhadap-hadapan. Ya persis bemo di Jakarta lah. Saya kira ini layak dicontoh di Jakarta. Mesinnya kecil, fleksibel, dan harganya murah. Serta lebih sehat daripada bemo dan bajaj.

Saya kira karena banyak penggunaan motor roda tiga di China maka motor roda tiga juga berkembang baik di Indonesia, lebih baik daripada motor China yang gagal bveberapa tahun lalu. Wallahu alam.

Foto: Motor roda tiga sebagai angkot

Bekal ke China: gula & tissue


Kalau berkunjung di China, jangan lupa bawa banyak tissue dan gula. Jika perlu bawa pula teh bagi yang gemar teh (serta rokok bagi perokok berat).

Demikianlah kesimpulan saya setelah sepekan menjelajahi beberapa kota di China selatan. Sebenarnya pada 2003 saya sudah pernah ke China selama beberapa hari. Tapi kesan kunjungan ke Shanghai ketika itu tidak seperti kunjungan enam hari pada pecan lalu.

Gula adalah hal penting bagi saya sehingga saya sudah menyiapkan gula dalam kemasan sachet dari Indonesia. Demikian pula dengan teh. Tidak demikian halnya dengan tissue.
Biasanya, hotel-hotel yang bagus menyediakan gula di kamar serta, minimal, di tempat sarapan. Namun pengalaman mengunjungi hotel Days Inn di Shenzhen, White Dolphin di Qinzhou, serta Metro Park di Makau, saya tidak menemukan gula di tempat sarapan.

Satu hotel lainnya, yaitu Mingyuan Xindu (Majestic) di Nanning menyediakan gula di tempat sarapan, namun saya menduga itu dilakukan karena hotel tersebut menjadi tempat menginap utama delegasi dari Asean sehingga mereka menyediakan gula serta makanan-makanan khas Asean di lokasi itu. Dalam keadaan normal saya menduga soal gula akan menjadi masalah yang sama di hotel Majestic itu.

***
Kesulitan yang sama juga terjadi dalam mendapatkan tissue. Bahkan di sejumlah restoran yang cukup besar pun kita akan kesulitan mendapatkan tissue. Setidaknya itu yang saya lihat di Guangzhou, Nanning, Shenzhen, serta Qinzhou. Ini hal yang sangat kontras dengan Indonesia. Kalau sudah begitu, ya kita pakai cara bar-bar saja, menjadikan taplak meja sebagai tissue.

Soal hemat tissue ini tampaknya bisa benar-benar menjadi masalah serius, terutama di toilet. Di hotel-hotel besar tissue toilet mungkin tidak menjadi persoalan. Akan tetapi kalau kita harus menempuh banyak perjalanan darat selama berjam-jam, mampir ke toilet-toilet umum, maka itu bisa menjadi masalah serius.

Agaknya orang-orang di sana benar-benar jorok. Air di toilet pun sangat amat minimnya. Benar-benar kacau.

Adapun soal rokok, saya justru setuju dengan gaya China. Rokok di kaki lima di berbagai lokasi di China itu sangat mahal. Ada yang dijual sampai 60 yuan (hampir Rp100.000). sedikit saja yang dijual di bawah 30 yuan (Rp45.000).

Mungkin itu sebabnya jumlah perokok di China tidak sebanyak di Indonesia. Lha gaji mereka tidak lebih baik daripada gaji orang Jakarta sementara harga rokoknya mahal banget. Mana mungkin mereka menghambur-hamburkan uang untuk merokok.

Ancaman (China) di balik kepalsuan*


Ajiek Tarmidzi sudah tidak sabar untuk segera berkunjung ke Lou Hu. Kunjungan ke salah satu sudut kota Shenzhen untuk mengamati batu giok, kain sutra, serta obat-obatan tradisional selama dua jam terasa begitu menyiksa baginya.

Ada apa di Lou Hu? Lou Hu adalah sebuah pusat perbelanjaan lima lantai di salah satu sisi kota Shenzhen. Di dalam pusat berbelanjaan itu kita bisa menemukan banyak sekali barang dagangan baik berupa barang elektronika, pakaian, sepatu, sepeda, hingga tas dan makanan.

Akan tetapi, barang yang paling menarik bagi Ajiek, yang membuatnya ingin segera sampai ke tempat belanja itu adalah 'iPhone' China. Dia sudah tidak sabar untuk membeli telepon seluler unik itu dengan harga sangat murah.

Ajiek hanyalah salah satu dari beberapa anggota rombongan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi)--yang sedang berkunjung ke China dalam rangka pertemuan Asean-China Young Entrepreneur Association Forum 2009--yang kebelet untuk memborong 'iPhone'.

Sebab, malam sebelumnya, beberapa anggota rombongan itu berhasil membeli iPhone, di Dong Men, sebuah pusat perbelanjaan lain di kota Shenzhen, dengan harga antara 260 yuan dan 300 yuan per buah atau Rp390.000--Rp450.000 per unit.

Fitur yang disediakan juga sangat menarik. Tampilan persis seperti iPhone buatan Apple, dan mampu menyediakan menu serta navigasi geser dan goyang yang mirip dengan iPhone kebanggaan Steve Jobs.

Ponsel 'iPhone' itu bahkan sudah dilengkapi pula dengan fitur Bahasa Indonesia dan bahasa lain di negara-negara Asia Tenggara.

Maka tak heran jika Ajiek dan beberapa anggota rombongan lain membeli beberapa unit 'iPhone' model China itu. Ternyata hasil tawar menawar Senin siang, 14 Desember, itu lebih 'sadis' dari pada tawar menawar hari sebelumnya. Pedagang di Lou Hu bersedia menjual dengan harga 250 yuan, lebih murah 10 yuan dibandingkan pedagang yang ditemui di Dong Men.

"Sebagai oleh-oleh untuk anak buah, kerabat, dan saudara ini sudah bagus sekali," ujar Jhonson Simbolon, pengurus Hipmi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang juga membeli beberapa unit 'iPhone' itu seperti halnya Ajiek.

Saking memesonanya 'iPhone' itu hingga menit-menit terakhir sebelum meninggalkan Shenzhen pun masih ada beberapa anggota rombongan menyempatkan diri membeli iPhone tiruan itu.

Selain menjual iPhone, para pedagang di Dong Men dan Lou Hu juga menjual ponsel berkelas seperti BlackBerry dan Vertu. 'BlackBerry Javelin' dengan tambahan fitur televisi analog bisa didapat dengan harga 460 yuan (sekitar Rp700.000), dan Vertu dapat dibawa pulang dengan 500 yuan (sekitar Rp750.000).

Fenomena 'iPhone' di atas memberi gambaran yang sangat jelas mengenai kemampuan China dalam meniru dan memasarkan produk tiruan itu dengan harga yang sangat rendah. Dalam kasus 'iPhone', konsumen bisa memperoleh produk dengan harga hanya 10% dari harga iPhone asli buatan Apple.

Kecepatan dan daya tiru China memang sudah diakui di segala penjuru. Kadangkala hanya diperlukan waktu seminggu untuk memalsu produk-produk dengan tingkat kerumitan tinggi.

Produk palsu pun seringkali sulit dibedakan dengan produk asli, seperti kata Alexander Theil, Direktur Investigasi General Motors Asia Pasifik. "Kami harus membongkarnya atau melakukan analisis kimia untuk mengetahui bahwa produk itu bukan produk asli," paparnya seperti dikutip Pete Engardio dalam bukunya Chindia.

Pemalsuan bukan hanya terjadi pada produk sederhana. Bahkan juga untuk antarmuka router buatan Cisco Systems. "Jika Anda bisa membuatnya, mereka bisa memalsukannya," kata David Fernyhough, Diretur Perlindungan Merek Hill & Associates Ltd Hong Kong, dalam buku tersebut.



***Terkait ACFTA

David Tampubolon, Wakil Ketua Panitia Hipmi Goes To China, mencoba mengaitkan fenomena 'iPhone' tadi dengan perjanjian perdagangan bebas Asean-China.

FTA Asean-China ini akan berlaku pada 2010 bagi China, Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei, Singapura, dan Filipina. Adapun bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, perjanjajian itu dijadwalkan berlaku 2015.

David mengkhawatirkan membanjirkan produk murah dari China yang akan memukul para produsen di Indonesia. "Bayangkan, kalau mereka bisa menjual 'iPhone' dengan harga 300 yuan berarti biaya produksinya jauh lebih rendah lagi. Bagaimana kita bisa bersaing dengan produsen seperti itu?" tanyanya retoris.

Bagi negara-negara Asean termasuk Indonesia, FTA Asean-China bisa menjadi ancaman yang luar biasa. Di pusat perbelanjaan Lou Hu kita memang tidak hanya bisa melihat iPhone dan BlackBerry tiruan, melainkan juga bermacam produk bermerek palsu.

Daya tiru yang tinggi, digabungkan dengan kecepatan produksi yang luar biasa serta harga yang sangat murah, merupakan senjata ampuh bagi China.

Rasanya sangat mudah untuk memahami logika sederhana di atas. Repotnya lagi, ancaman itu menjadi lebih serius karena daya tiru, kecepatan produksi (time to market), serta harga murah itu juga kadang diiringi banyak kecurangan. Setidaknya itu yang tercermin dalam proses jual beli beberapa unit 'iPhone' yang saya amati di Lou Hu.

Membeli barang di sana haruslah sangat hati-hati. Bahkan pemandu kami, seorang wanita kelahiran Pulau Alor yang menetap di China sejak 1960, mewanti-wanti agar mencatat nomor seri uang yang diserahkan serta memastikan barang yang benar yang dimasukkan ke kemasan.

"Kadang mereka suka bohong soal jumlah uang yang sudah dibayarkan atau menuduh uang itu palsu," ujarnya.

Soal kecurangan bahkan juga sempat menimbulkan insiden kecil persis di depan konter check in penerbangan dari Shenzhen menuju Nanning, ketika seorang penjual 'iPhone' berupaya menipu salah satu anggota rombongan Hipmi.

Tampaknya fenomena 'iPhone' beserta liku-liku cara penjualannya benar-benar mewakili ancaman serius yang dibawa China. Siapa sanggup melawan?

*) Dimuat di Bisnis Indonesia edisi 21 Desember 2009
**) Foto: 'BlackBerry' China dan 'iPhone' China

10 Desember 2009

The Werther effect


Werther adalah sebuah karakter dalam novel karya Johann Wolfgang von Goethe. Dalam cerita Penderitaan Pemuda Werther, Goethe berkisah mengenai seorang pria cerdas, baik, lembut, mudah terharu, yang mengalami kehidupan tragis.

Setelah kegagalannya dalam karir, Werther yang muda mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan. Begitu dalam penderitaannya sehingga Werther memilih bunuh diri sebagai upaya mengakhiri tekanan batiniah.

Werther sudah menyatakan rencananya untuk membunuh diri sebagai bentuk ancaman bagi Lotte. Akan tetapi Lotte mengabaikannya. Werther pun menjalankan rencana bunuh dirinya dengan cara menembak kepala.

Cerita mengenai Werther ini dipublikasikan lebih dari 200 tahun yang lalu dan menjadi karya yang sangat digandrungi banyak orang. Namun, cerita yang sangat memikat ini juga dipersalahkan sebagai pemicu bagi sekitar 2.000 bunuh diri di kalangan remaja di Eropa.

Begitu kuatnya pengaruh tulisan Goethe itu sehingga dalam kajian mengenai bunuh diri dikenal Werther effect. Istilah ini digunakan untuk menyebut pengaruh tulisan atau pemberitaan yang memicu bunuh diri ikutan.

Pemerintah Inggris pernah melarang pemberitaan detil mengenai cara orang membunuh diri untuk menghindari apa yang disebut sebagai Werther effect itu.

Dalam kasus bunuh diri, pemberitaan dianggap sebagai faktor pendorong bagi orang-orang yang impulsif untuk mewujudkan rencana bunuh dirinya. Ada semacam peniruan setelah menemukan model, apalagi jika modelnya adalah orang ternama.

02 Desember 2009

BlackBerry 8120 memang nyaman


Sudah sejak lama saya mendengar kehebatan BlackBerry Pearl tipe 8120. Di milis pengguna BlackBerry, gadget ini sering dipuji sebagai handset yang kecil, ringan, keypad-nya super empuk. Ditambah lagi ada Wi-Fi.

Saya sudah membuktikan bahwa Pearl 8120 benar-benar peranti hebat. Ukurannya sangat mirip dengan 8100, bobotnya hanya 91 gram, dan keypadnya empuk sekali. Mungkin ini ponsel dengan keypad paling empuk yang pernah saya kenal.

Ada tambahan jenis huruf yang membuat tampilan teksnya jauh lebih enak dibaca daripada 8100. Begitu pula dengan tampilan browser. Enaknya lagi, harga Pearl jenis ini di bawah Rp2 juta. Bahkan harga bekasnya bisa di bawah Rp1,5 juta. Sejatinya, 8120 memang BlackBerry jadul. Sudah sulit sekali menemukan handset ini dalam keadaan baru di pasaran.

Hal yang mengkhawatirkan calon pengguna dari seri pearl adalah keypadnya yang tipe qwerty SureType. SureType hanya bisa dioptimalkan kalau ada basis data sesuai bahasa yang digunakan sang pemakai. Bagi konsumen Indonesia, perlu ada ‘suntikan’ basis data Bahasa Indonesia. Tanpa itu, SureType akan menyiksa. Dan untungnya, saya sudah berpengalaman dengan Pearl 8100 sehingga tidak canggung menggunakan 8120.

Masalah lain adalah baterai. Pengguna BlackBerry yang intensif hampir pasti butuh baterai cadangan. Sayangnya, baterai non-ori untuk tipe Pearl ini termasuk yang mahal dan jarang dijumpai. Ini berbeda sekali dengan bateri untuk BlackBerry 83xx Curve yang gampang sekali ditemui di toko-toko aksesoris ponsel.

Gambar: BB 8120 dari GSM Arena

01 Desember 2009

Gadget jadul tetap powerful


Jadul adalah singkatan dari jaman dulu. Ini akronim yang biasa dipakai anak gaul untuk menyebut produk atau fenomena yang ketinggalan zaman. Kadangkala anak-anak baru gede menuliskannya sebagai zadoel.

Gadget merupakan produk teknologi informasi yang memiliki siklus hidup relatif singkat sehingga cepat menyandang sebutan jadul.

Sebagai contoh, produk BlackBerry buatan Research In Motion dalam dua tahun terakhir mengalami siklus produk cepat sekali. Siklus yang cepat ditandai dengan penyediaan produk baru serta kejatuhan harga produk lama. Produk yang tersisih segera menjadi jadul.

Hingga pertengahan 2008, harga jual BlackBerry 8320, 8310, serta 8820 dan 8707v masih di atas rp6 juta. Ketika itu, pilihan bagi konsumen juga tidak banyak.

Setelah kehadiran BlackBerry Bold, harga jual produk di atas turun drastis. Harganya semakin tertekan setelah keluar produk Javelin yang kemudian diikuti dengan Gemini serta Onyx.

Sekarang, kita bisa mendapatkan harga untuk produk di atas pada kisaran harga di bawah rp3 juta untuk baru (meskipun sulit dan harus lewat distributor) serta di bawah rp2 juta untuk produk bekas.

Fungsi utamanya sebagai alat akses push e-mail, BBM, pesan instan, jejaring sosial, browser relatif sama saja dengan produk baru. Bagi mereka yang mengutamakan fungsi, saatnya untuk membeli BlackBerry edisi 2008 itu. Fungsinya dapat, sedangkan harga hanya setengah atau bahkan sepertiga dari model baru. Hanya saja, gensi serta beberapa fitur tambahan tidak bisa diperoleh.

Sejauh pengalaman dan pengamatan, alat-alat yang terkesan jadul itu juga masih sangat fungsional.

***Netbook
Contoh lain adalah netbook. Dalam satu tahun terakhir ini ada belasan tipe netbook yang diusung dengan belasan merek. Sebagian tergolong branded, sebagian lagi merupakan merek baru yang bermunculan dengan memanfaatkan popularitas produk notebook kecil nan murah itu.

Harga netbook baru masih bertengger di atas rp4 juta untuk branded dan di atas rp3 juta untuk merek yang kurang ternama. Harga ini relatif sama dengan harga waktu netbook pertama kali diperkenalkan ke publik pada 2007. Waktu itu harga Eee PC 2GB masih di atas rp3 juta dengan layar 7 inci dan sistem operasi Linux Xandros.

Sekarang, kendati harganya sama, fitur yang diusung oleh netbook jauh lebih hebat. Layar lebih lebar, memori lebih besar, prosesor lebih cepat.
Apakah itu berarti sudah waktunya pemilik netbook generasi pertama untuk berganti ke netbook generasi mutakhir? Kesimpulan saya sejauh ini ternyata tidak perlu ganti.

Memang ada godaan besar sekali untuk berganti netbook. Akan tetapi, kalau benar-benar dikaji secara seksama, jika keperluannya hanya untuk mengolah kata atau mengisi waktu kosong di perjalanan, netbook generasi pertama masih memadai. Saya bahkan masih menggunakan netbook Asus versi 2GB dan sejauh ini baik-baik saja.

Produk jadul seringkali ketinggalan zaman, tapi masih banyak cara untuk mengoptimalkannya. Saya bahkan mengetik tulisan ini menggunakan produk sangat jadul, PDA iPaq 4355 yang pernah dipilih sebagai best product oleh PC Magazine pada 2004. Siapa takut mengoptimalkan produk jadul.

Gambar: iPaq 4350

19 November 2009

Mengimpikan klakson masa depan


Bulan lalu, selama hampir dua pekan saya tinggal di Bandung dan menggunakan sepeda onthel sebagai sarana transportasi utama ke sekolah anak, ke ITB, dan ke beberapa lokasi di sekitarnya.

Ini merupakan kesempatan tersendiri mengonthel sepeda jengki rata-rata 10 km sehari di jalan-jalan utama kota besar. Sepeda saya model jenki dengan keranjang di depan. Tidak punya klakson maupun lampu dim.

Sebagai alat transportasi tanpa mesin dengan kecepatan maksimal jauh lebih rendah dibandingkan kecepatan rata-rata kendaraan arus utama, sepeda memunculkan kendala tersendiri.

Saya berterima kasih kepada para pengguna mobil dan motor yang cukup sabar untuk memberi jalan serta toleran terhadap keterbatasan para pengontel sepeda.

Namun izinkan saya untuk juga menyampaikan kesebalan terhadap para pengguna motor dan mobil yang tidak sabaran, yang mudah sekali menyalakan klakson nan keras, suka menyalib lalu tiba-tiba berhenti, serta enggan memberi jalan kepada para penyeberang.

Selain sebagai pengonthel sepeda, saya juga pejalan kaki yang cukup setia. Dan apa yang dialami oleh pejalan kaki seringkali mirip dengan para pengonthel sepeda. Klakson yang mengagetkan, zebra cross yang kurang teperhatikan, serta pengendara yang kurangsabaran.

***Segala arah
Secara khusus saya ingin menyoroti klakson. Beberapa kali saya lihat orang-orang dengan mobil hebat, mewah, sangat tidak sabaran. Kena hambatan sedikit saja menyalakan klakson begitu keras, terus menerus, memekakkan telinga pejalan kaki yang tidak tahu menahu persoalan. Kadang menyalakan klakson yang suaranya seperti sirine atau seperti klakson polisi.

Penglakson yang berada di dalam mobil tertutup (sehingga suara dari luar teredam), berada di balik arah klakson (sehingga suara yang dia dengar tidak terlalu keras) sering tidak menyadari dampak sebuah klakson bagi pengendara sepeda onthel atau pejalan kaki. Klakson bisa sangat mengagetkan dan membuat panik. Padahal klakson itu belum tentu diarahkan kepada orang yang bersangkutan.

Klakson yang tersedia sekarang ini memang sifatnya menyebar (broadcast) sehingga jumlah pendengar yang tidak dituju lebih banyak daripada jumlah pendengar yang dituju.

Selain itu, sifatnya tidak timbal balik. Kalau si X mengklakson seseorang di jalan, kemudian si Y juga mengklakson, maka kita tidak bisa menyimpulkan apakah Y mengklakson si X atau mengklakson orang yang sama dengan yang dimaksud oleh si X.

***Klakson portabel
Karena sebal dengan klakson-klakson itu, saya punya ide mengenai klakson portable. Ini klakson yang bisa ditenteng oleh para pengonthel sepeda maupun pejalan kaki. Jadi, kalau dia sebal dengan penglakson yang ada di dalam mobil atau di atas motor, dia bisa klakson balik.

Paling tidak ini bisa mengatasi rasa tak berdaya sebagai pejalan kaki atau pengonthel sepeda yang tiba-tiba harus meloncat atau bermanuver sebagai reaksi atas klakson kendaraan yang lebih besar.

Kalau ada klakson portabel maka pejalan kaki bisa klakson balik. Klakson portabel—sebaiknya digabung dengan senter sehingga bisa menjadi lampu dim juga—harus mampu mengeluarkan suara keras sekeras klakson mobil supaya mereka yang ada dalam mobil tertutup bisa tetap mendengar.

Kalau produsen ponsel China tahu soal ini, saya kira mereka juga akan menambahkan fitur senter dan klakson ke dalam ponsel-TV-qwerty yang sekarang sedang populer itu, hehehe.

***Klakson terarah
Solusi lain adalah alat komunikasi yang terarah dan timbal balik sebagai gantinya klakson. Kalau saja mobil-mobil ini seperti ponsel dengan Bluetooth yang bisa mengenali mobil-mobil sekitarnya pada jarak tertentu, misalnya 100 meter, maka mereka bisa saling berkomunikasi.

Seandainya ada sebuah layar yang seperti radar 2 dimensi atau 3 dimensi yang menggambarkan kondisi riil di jalan. Jadi, kalau dia memencet klakson, cukup kendaraan yang dituju saja yang mendengar. Sama seperti kita kirim pesan dalam instant messenger. Orang-orang lain tidak perlu ikut bising. Bunyi pesan juga bisa diset agar tidak mengejutkan atau menyebalkan.

Tapi khusus untuk yang belakangan ini tentu saja masih butuh waktu lama dan biaya besar. Selain itu, ini hanyalah teknologi sampingan dari sebuah teknologi yang benar-benar baru mengenai cara komunikasi di jalan raya. Jika sebagai teknologi yang dikenbangkan sendiri, biayanya akan sangat mahal.

Jadi, untuk sementara, untuk mengobat kekesalan spikologi, yang diperlukan adalah suatu klakson potabel seperti senter. Bisa ditenteng, masuk saku, atau ditempelkan di tas, agar mudah dipencet. Wallahu alam.

PS: Solusi paling murah dan mudah, beli sempritan tukang parkir yang suaranya bisa kuerasss banget, hehehe.

15 November 2009

Pahlawan formal prosedural


Sutomo yang dikenal dengan nama Bung Tomo adalah ironi kepahlawanan di Indonesia. Cerita Sutomo juga cermin kalahnya kenyataan yang cetho welo-welo oleh prosedur formal yang berbelit.

Bung Tomo merupakan orator ulung dikenal sebagai penggerak arek-arek Surabaya dalam perjuangan melawan pasukan Sekutu yang didomplengi tentara Belanda pada November 1945. Dalam peristiwa itu, Brigjen Mallaby tewas dan pasukan Sekutu berhasil diusir dari Surabaya.

Peristiwa perlawanan rakyat Surabaya itulah yang menjadi dasar penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Akan tetapi, Bung Tomo baru diberi gelar resmi sebagai pahlawan nasional pada 2008, atau 63 tahun setelah peristiwa heroik di Surabaya dan 27 tahun setelah dia meninggal dunia.

Mengapa penetapan Bung Tomo sebagai pahlawan perlu waktu yang begitu lama? Konon karena banyak prosedur formal yang harus ditempuh sebelum seseorang ditetapkan sebagai pahlawan.

Untuk menjadi pahlawan nasional, seseorang harus diusulkan oleh sekelompok masyarakat, kemudian dibahas dulu dalam suatu seminar, lalu diteliti dan diusulkan berbagai instansi pemerintah seperti Badan Penelitian Pahlawan Nasional. Persyaratan prosedural formal itu baru terpenuhi pada 2008.

Sejarah, cerita rakyat, serta dunia pewayangan bertaburan dengan kisah kepahlawan menurut versi masing-masing. Dalam dunia pewayangan Jawa, terdapat beberapa tokoh yang dikenal sebagai pahlawan kontroversial seperti Karna dan Kumbakarna.

Karna adalah anak Kunthi, jadi merupakan saudara seibu dengan tiga ksatria Pandawa. Akan tetapi, sejak muda dia bergaul dengan para Kurawa. Dalam perang Baratayudha, Karna berpihak pada Kurawa, melawan adik-adiknya, Pandawa. Dalam perang Baratayuda, Karna yang berhasil membunuh Gatotkaca akhirnya tewas oleh senjata Arjuna, adiknya sendiri.

Adapun Kumbakarna adalah adik Rahwana dari negeri Alengka. Kumbakarna sebenarnya menentang langkah Rahwana menculik Dewi Shinta, istri Rama, yang menimbulkan sengketa besar. Akan tetapi, dalam perang antara Rahwana dengan Rama, Kumbakarna membela negerinya, Alengka, dari serbuan pasukan kera yang memihak Rama.

Karna dan Kumbakarna, sering digambarkan sebagai penganut nasionalisme fanatik sempit. Mereka berdua mengikuti prosedur formal sebagai rakyat yang harus membela negaranya. Padahal, membela negara dalam konteks kerajaan semacam itu seringkali identik dengan membela pemimpinnya, bukan membela rakyatnya.

“Benar atau salah yang penting prosedur [sebagai warga negeri pewayangan] terpenuhi,” begitulah barangkali dasar berpikirnya, seperti ditafsirkan seorang rekan yang sangat cerdas di milis Lulusan TF-ITB.

Penyederhaan birokrasi
Dalam organisasi, prosedur diperlukan untuk memastikan bahwa semua upaya berlangsung objektif, terbebas dari kepentingan dan kelemahan pribadi-pribadi yang terlibat. Akan tetapi, prosedur yang terlalu banyak sering membuat lumpuh organisasi.

Penerapan tertib prosedural kadang membuat proses organisasi berjalan lambat. Harapannya, proses akan berlangsung lebih cermat, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan. Sialnya, harapan ini sering hampa.

Negara adalah sebuah organisasi sangat besar. Dan akumulasi prosedur yang ada dalam birokrasi sebuah negara bisa besar sekali. Schumatcher dalam Kecil itu Indah memberi gambaran bagus sekali mengenai tidak nyamannya tumpukan prosedur dalam sebuah birokrasi.

“Tidak ada orang yang menyukai organisasi besar. Tidak ada orang yang suka menerima perintah dari orang yang menerima perintah dari seorang kepala yang juga menerima perintah dari kepalanya yang menerima perintah pula. Kalaupun peraturan-peraturan yang dibuat oleh birokrat itu sangat berperikemanusiaan, tak ada orang yang suka diatur oleh peraturan—artinya oleh orang yang kalau ada keluhan selalu menjawab: Saya tidak membuat peraturan. Saya hanya melaksanakan peraturan,” paparnya.

Dalam konteks ini Schumatcher memandang birokrasi yang ruwet sebagai hambatan bagi terobosan, kemajuan, dan inovasi. Banyak pemborosan yang terjadi karena prosedur birokrasi yang rumit. Banyak energi terbuang, uang terhambur, sumber daya tersia-sia.
Krisis hukum yang mencuat belakangan ini, serta ancaman kelangkaan pupuk seperti yang diberitakan Bisnis edisi 11 November, tak lepas dari kerumitan prosedur formal. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, slogan ‘benar atau salah ikut prosedur formal’ tampak sudah tidak relevan lagi.

Kita butuh pahlawan model baru, mereka yang dapat mengurangi kerumitan hidup rakyat, mampu menyederhanakan beragam prosedur tak perlu yang harus dihadapi rakyat ketika berhadapan dengan birokrasi negara.

Mampukan partai politik dan lembaga-lembaga formal di Indonesia melepaskan diri dari belitan prosedur dan birokrasi sebagaimana lembaga swadaya masyarakat, elemen-elemen masyarakat madani, serta media massa belakangan ini?

Debirokratisasi mungkin terkesan usang, tapi tetap relevan. Pasti menggembirakan kalau ada pahlawan baru yang sanggup menerapkan slogan lama KISS alias keep it simple, Smart!

*) Foto di Tokyo, tempat perdana menteri Jepang biasa memberikan pidato penting
**) Tulisan ini semacam manivesto dari seorang yang baru saja diingatkan oleh seorang mantan menteri mengenai visi lamanya waktu mahasiswa: “akhirnya jadi Presiden”.

08 November 2009

Mencuci sendiri


Sekar yang baru saja berulang tahun ke-5 begitu mendiri. Dia mencuci piring sendiri atas inisiatifnya sendiri. Semoga Sekar menjadi manusia yang cerdas, pintar, sehat, cantik, beruntung, berbakti, dan bahagia.

03 November 2009

Bila Trunojoyo merasa dicatut*

Cerita tentang Trunojoyo adalah kisah tentang sadisme. Kisah Trunojoyo juga merupakan cerita tentang pembantaian ribuan ulama penjaga moral bagi bumi pertiwi. Trunojoyo yang kemudian bergelar Panembahan Maduretno adalah seorang pemberontak besar dan pahlawan pada zamannya. Dia melawan kekuasaan Raja Mataram Amangkurat I, anak Sultan Agung sekaligus cucu Panembahan Senopati. Hebatnya, Trunojoyo berhasil mengalahkan Amangkurat I yang kemudian meninggal dunia dalam pelariannya di Tegalwangi sehingga sering pula disebut sebagai Amangkurat Tegalarum. Trunojoyo menentang kekuasaan Amangkurat I dengan dukungan Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Ulama besar Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, menyebut Trunojoyo sebagai pemimpin perang sabil. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat I menggandeng VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan menyediakan imbalan 250.000 rial dan 3.000 pikul beras. Karena perang lebih lama dari perkiraan, Amangkurat harus menambah lagi 20.000 rial. Dan sejak itu VOC dibebaskan dari biaya cukai memasukkan barang ke seluruh pelabuhan di Jawa, serta berhak mendirikan loji (kantor) di berbagai lokasi. Amangkurat II sebagai penerus Amangkurat I berkoalisi dengan VOC dan Aru Palaka. Mereka berhasil memukul balik Trunojoyo. Kapten Yonker, orang Ambon yang jadi pemimpin pasukan Belanda, dapat menangkap Trunojoyo di Gunung Kelud pada 27 Desember 1679. Yonker berjanji akan memperlakukan Trunojoyo sebagai tawanan perang. Namun apa daya, Amangkurat II justru memilih cara sangat sadis untuk menghabisi Sang Pahlawan. Hukuman mati terhadap Trunojoyo juga diikuti dengan hukuman mati terhadap Pangeran Giri beserta ribuan ulama penjaga moral di Jawa. Seperti kita tahu, Giri sejak zaman akhir Majapahit hingga awal berdirinya Mataram adalah otoritas keagamaan yang paling disegani di Jawa. Hamka menyebutkan Yonker yang kecewa dengan perlakuan Amangkurat II terhadap tawanannya akhirnya berkomplot menentang VOC dan 10 tahun kemudian dia dihukum mati di Batavia. Babad Tanah Jawi mengungkapkan betapa sadis perlakuan Amangkurat terhadap tawanannya yang pernah memberontak itu. Tubuh Trunojoyo hancur dihujani keris oleh puluhan orang, lalu jantungnya dibagi-bagikan untuk dimakan mentah-mentah oleh para kerabat raja. Kepalanya dipenggal, dijadikan alas kaki untuk para abdi dalem, kemudian dihancurkan. Amangkurat lalu menyerbu Giri dan membunuh ratusan santri yang mendukung Pangeran Giri dan Trunojoyo. H. J. De Graaf menyebutkan bahwa pembunuhan ribuan ulama dan santri mula-mula dilakukan oleh Amangkurat I yang memicu banyak ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya. Putra Mahkota (yang kemudian menjadi Amangkurat II) bersekutu dengan Trunojoyo untuk menyingkirkan Amangkurat I. Langkah ini berhasil menggulingkan Amangkurat I, namun Putra Mahkota ingkar janji dan kemudian berselisih dengan Trunojoyo. Dan pembunuhan terhadap para ulama tetap terjadi pada pemerintahan Amangkurat II. ***Melawan penguasa Baik versi De Graaf, versi Hamka, maupun Babad Tanah Jawi, menggambarkan Trunojoyo sebagai seorang pemberani. Dia sanggup melawan otoritas tertinggi di wilayahnya, baik otoritas politik berupa Raja Mataram maupun otoritas ekonomi bernama VOC. Trunojoyo sempat berhasil secara gemilang meskipun kemudian kalah telak. Namanya pun diabadikan sebagai pahlawan di negara yang terbentuk 266 tahun setelah dia meninggal... *) Dimuat di Bisnis Indonesia, edisi Selasa 03 November 2009, Halaman 8.

02 November 2009

Kacamata di kakilima


Satu lensa kacamata saya pecah ketika liburan Lebaran yang baru lalu. Itu membuat saya terobsesi untuk melihat-lihat banyak alternatif dalam soal perkacamataan. Selama lebih dari 15 tahun berkacamata, ini adalah pengalaman paling intens berurusan dengan tukang kacamata.

Saya ingat zaman mahasiswa. Setiap kali berurusan dengan kacamata selalu meluncur ke jl ABC, Bandung. Urusan frame di tangan kaki lima, sedangtkan lensa di toko optik dekat situ.

Nah, kali ini pun saya kembali ke Jl ABC. Saya mengganti lensa, tarifnya di toko optik di situ paling murah Rp80.000 dengan waktu pengerjaan dua jam.

Ketika saya jalan-jalan tanya ke kaki lima, tarifnya hanya Rp50.000 dengan waktu pengerjaan seperempat jam. Bedanya kaki lima tidak punya tempat untuk pengetesan memastikan mata ini minus berapa. Kalau kita sudah punya data akurat tentang mata, enak banget ke kaki lima itu. Dengan uang Rp80.000 sudah bisa dapat frame bekas dengan lensa baru sampai minus empat.

Di kaki lima itu frame-frame baru dalam berbagai macam merek juga tersedia. Ada Oakley, Tag Heuer, dan sebagainya. (Palsu kali ya?). Harganya murah sekali. Salah satu kacamata dengan tulisan Oakley dipasarkan dengan harga Rp125.000 sudah termasuk lensa hingga minus empat. Sementara itu, frame-frame di toko dipasarkan dengan harga umumnya di atas Rp150.000.

Saya juga sudah bandingkan dengan toko optik di Cibinong. Di Jl ABC Bandung jatuhnya lebih murah dengan kualitas pengerjaan yang –-berdasarkan pengalaman acak—-jauh lebih baik.

Jadi, kalau tidak banyak ngurus gengsi, tidak butuh frame ringan, tidak butuh lensa dengan spesifikasi aneh-aneh, bisa mempertimbangkan penjual kacamata di kakilima ini. Mereka ramah-ramah, harganya murah, pelayanan cepat. Tapi sabar saja, menunggunya sambil berkeringat karena udara kadang panas dan tanpa AC, hehehe.

29 Oktober 2009

Rekonstruksi sejarah tanpa vested interest?

Mari kita lakukan dua buah eksperimen imajiner. Pertama, bayangkan sebuah balok es dan pikirkan bagaimana dia meleleh dalam dua jam ke depan. Silakan bayangkan bentuk genangan yang muncul kemudian.

Eksperimen kedua, bayangkan ada sebuah genangan air di lantai. Lalu cobalah merekonstruksi seperti apa bentuk padatan es yang barangkali pernah berada di situ. Pertimbangkan pula bahwa genangan air itu bisa jadi bukan berasal dari genangan es.

Secara intuitif kita bisa menyimpulkan bahwa operasi pada eksperimen yang kedua jauh lebih sulit dibandingkan dengan eksperimen pertama. Sangat mungkin kita membayangkan balok es atau sumber genangan yang sangat berbeda dengan apa yang sejatinya teronggok di sana dua jam sebelumnya.

Menurut Nassim Nicholas Taleb, eksperimen ini memberi gambaran yang gamblang sekali mengenai bagaimana sulitnya memahami dunia, memahami kenyataan yang ada di alam, serta memahami sejarah beserta faktor-faktor pembentuknya.

Malangnya, kehidupan berjalan seperti eksperimen yang kedua. Kita tidak bisa duduk-duduk saja sambil membaca persamaan matematika dan fisika yang mengatur jagad raya.
“Yang bisa kita lakukan adalah mengamati data dan membuat asumsi mengenai proses yang harus ada, lalu melakukan ‘kalibrasi’ dengan menyesuaikan persamaan yang kita buat dengan informasi tambahan,” papar Nassim Thaleb dalam Black Swan.

Para ilmuwan bidang ilmu pasti maupun para ahli sejarah berusaha memecahkan teka-teki mengenai ‘bentuk asal mula balok es’ pada bidangnya masing-masing berdasarkan kondisi genangan yang dapat diamatinya.

Dalam bidang ilmu pasti, kita tentu mafhum bahwa teori mengenai susunan tata surya berkali-kali mengalami revisi sejak pertama kali dicetuskan oleh bangsa Mesir, Yunani, serta Arab, yang diteruskan oleh para ahli di Eropa.
Orang zaman dulu, berdasarkan pengamatan mata telanjang menyimpulkan bahwa bumi merupakan pusat alam semesta.

Seiring perkembangan pengetahuan dan cara pengamatan manusia tahu bahwa bumi mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Kita juga menjadi tahu bahwa matahari hanyalah salah satu bintang dalam Galaksi Bimasakti, dan galaksi tersebut hanya salah satu dari banyak galaksi dalam alam semesta.

Tapi jelas bahwa perlu waktu ribuan tahun dan banyak korban jatuh untuk membuktikan apa yang sekarang kita anggap sebagai pengetahuan umum mengenai tata surya. Pythagoras yang hidup 500 tahun sebelum masehi tercatat sebagai manusia pertama yang mengembangkan gagasan bahwa alam semesta mengikuti hukum-hukum yang bersifat kuantitatif. Copernicus dan Galileo Galilei pada abad pertengahan menjadi korban akibat menyatakan bahwa bumi mengitari matahari.

***Sejarah lebih rumit
Rekonstruksi sejarah sosial tampaknya lebih rumit lagi karena kepentingan politik maupun ekonomi yang besar seringkali terlibat dalam upaya mencari kebenaran. Pertanyaan seperti kapan pertama kali Islam masuk ke Jawa, misalnya, menghasilkan jawaban yang bermacam-macam. De Graaf menyebut Islam tersebar ke Asia Tenggara dan Indonesia pada abad XII atau XIII.

Sementara itu, Hamka dalam Dari Perbendaharaan Lama menyebut pengembara Arab sudah masuk ke Indonesia pada abad VII masehi (abad pertama hijriah) ketika Jawa dipimpin oleh Ratu Sima dari Kalingga. Ulama asal Minangkabau itu mengutip catatan dari para pengembara asal China mengenai keadaan negara Holing (Kalingga) untuk mendukung pendapatnya mengenai awal kehadiran orang Islam di Indonesia.

Makin tinggi nilai politik dan ekonomi pemaknaan sejarah, makin besar pula kemungkinan bias penafsirannya. Nah, awal Oktober mengingatkan bangsa Indonesia mengenai peristiwa bersejarah 30 September 1965 –dan banyak peristiwa sebelum maupun sesudahnya--yang masih banyak diselimuti misteri.

Ketika Orde Baru berkuasa dengan kuat, yang diizinkan beredar hanyalah versi tunggal dari penguasa negeri. Begitu reformasi bergulir, bermunculanlah berbagai versi yang menuntut verifikasi.

Sudah lazim bahwa banyak bermunculan penafsiran dan pemaknaan sejarah yang baru bersamaan dengan pergantian kekuasaan. Saat ketika belum muncul penguasa baru yang dominan, atau ketika hak untuk berbicara sangat dihargai, adalah saat bagi munculnya banyak versi sejarah.

Kembali kepada dua eksperimen pada awal tulisan ini. Bagi Nassim Thaleb, hal semacam itu membuktikan bahwa dunia ini berjalan dengan mekanisme yang lebih banyak tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Sikap terlalu ‘sok tahu’ adalah terlalu naïf.

Akan tetapi, bagi orang-orang yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi, mungkin bentuk ‘balok es’ sejarah dapat disesuaikan sedemikian rupa. Mereka justru harus ‘sok tahu’ mengenai apa yang sudah terjadi dan bagaimana menafsirkan serta memaknainya.
Adapun bagi rakyat jelata, tahu apa yang sebenarnya terjadi jelas penting. Akan tetapi, kesadaran bahwa sejarah memiliki banyak dimensi dan multitafsir mungkin lebih penting. Ini akan membuat orang lebih kebal terhadap rekonstruksi sejarah yang sarat vested interest.

Dalam soal ini, sikap skeptis dan kritis sangat perlu. Apalagi, kata Winston Churchill: jalan terbaik membuat sejarah adalah menuliskannya.

18 Oktober 2009

Menunggu kabinet harapan

Ada cerita menarik tentang apa yang terjadi pada sebuah biro perjodohan di AS suatu ketika. Dalam sebuah program kencan kilat (atau mungkin lebih tepatnya disebut kenalan kilat), setiap peserta pria diberi kesempatan untuk bertemu dengan peserta wanita dalam waktu enam menit.

Jika dalam enam menit itu seorang wanita atau pria merasa tertarik, dia diminta memberi tanda tertentu kepada penyelenggara. Jika si pria memberi tanda tentang seorang wanita dan si wanita juga memberikan tanda tentang si pria, mereka masing-masing diberi alamat e-mail untuk meneruskan proses mereka.

Dalam suatu eksperimen, seorang peserta wanita diminta menuliskan kriteria teman pria yang didambakannya. Dia menulis bahwa yang diharapkan adalah pria yang cerdas dan tulus.

Akan tetapi, dalam praktiknya, lelaki yang dia pilih ternyata justru yang paling jenaka, sama sekali jauh dari kesan cerdas maupun tulus. Besoknya, ketika ditanya mengapa memilih orang tersebut, sang wanita menjawab bahwa dia menyukai pria yang menarik dan jenaka.

Masalahnya, ketika satu bulan kemudian ditanyakan kembali kriteria pria macam apa yang dia sukai, sang wanita kembali menjawab bahwa dia suka pria yang cerdas dan tulus.

Tampaknya ini menjadi membingungkan. Kasus semacam ini, kasus ketika kriteria logis yang dapat dia jelaskan tidak sesuai dengan kenyataan yang dia pilih, terjadi pada banyak sekali peserta yang diamati.

Jadi, lelaki macam apa yang sebenarnya diinginkan oleh si wanita? Pribadi asli yang manakah yang sebenarnya ada pada si perempuan? Apakah pribadi yang mengajukan syarat awal atau pribadi yang menjatuhkan pilihan?

Ada yang berpendapat bahwa pribadi yang asli adalah yang terungkap dalam aksi, bukan ketika berpikir. Malcolm Gladwell dan bukunya Blink menguraikan dan mencoba menjelaskan hal ini. Menurut dia, apa yang diungkapkan si wanita tentang kriteria lelaki idaman tidak salah, hanya kurang lengkap.

Apa yang diungkapkan sebelum acara dan sebulan kemudian adalah gagasan berdasarkan pikiran sadarnya. Itu adalah apa yang diyakininya sebagai keinginannya ketika dia merenung. Masalahnya, dia tidak menyadari adanya preferensi lain yang membentuk alam bawah sadarnya. Uraian mengenai apa yang ada dalam pilihan bawah sadarnya tidak terungkap.

Blink mungkin buku yang tepat untuk dibaca oleh siapa saja yang sedang mencari jodoh, mencari pasangan, atau menjadi mak comblang. Namun, kalau kita mau perluas, paparan Gladwell ini juga menarik untuk disimak oleh para 'mak comblang' di bidang politik.

***Ungkapan harapan
Cerita tentang proses kencan kilat itu memberi gambaran mengenai betapa berbedanya kebutuhan riil dengan harapan yang diungkapkan secara eksplisit. Bahkan pada orang yang sama, si wanita itu, kebutuhan dan ungkapan yang diharapkan bisa berjarak sangat jauh.

Dan ini terjadi untuk hal yang bagi sebagian besar orang dianggap sangat penting dan menyita banyak perhatian yaitu perjodohan. Kita bisa bayangkan betapa jauhnya jarak yang mungkin terjadi untuk hal-hal yang kurang mendapatkan perhatian serius oleh pribadi-pribadi yang terlibat.

Dalam bernegara ada kebutuhan riil rakyat. Rakyat punya kesempatan mengungkapkan harapannya melalui pemilu. Harapan eksplisit diungkapkan rakyat melalui pilihan dalam pemilu baik Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden.

Setelah pemilu, suara eksplisit mengenai harapan rakyat diwakili oleh partai. Sebagian lagi tetap disuarakan melaui media massa dan organisasi nonpemerintah.

Semua berharap bahwa kalaupun ada distorsi antara kebutuhan riil rakyat dengan hasil pemilu dan kemudian program kerja pemerintah, sebisa mungkin diminimalkan. Namun praktiknya tentu tidak mudah mengingat kebutuhan riil masyarakat berdimensi sangat banyak, sementara pilihan dalam pemilu tidaklah terlalu banyak. Kebutuhan riil satu orang saja bisa bermacam atfsir apalagi kebutuhan dari jutaan orang.

Dalam sistem demokrasi yang cukup kompleks, jarak antara harapan rakyat dengan program pemerintah bisa sangat jauh mengingat proses pengejawantahannya melalui jalur penyampaian aspirasi yang berlapis-lapis. Makin jauh jarak itu, makin besar pula peluang terjadinya bias.

Penyusunan kabinet adalah upaya presiden terpilih dalam mewujudkan harapan rakyat yang sebelumnya diungkapkan melalui Pilpres. Presiden sudah berjanji bahwa orang-orang yang terpilih dalam kabinetnya siap untuk bekerja sejak hari pertama. Artinya, program-program dasar sudah disiapkan untuk segera dijalankan oleh para pejabat baru itu.

Dalam kasus kencan kilat di atas, mak comblang dan biro jodoh yang cerdas diharapkan membantu sang wanita –yang bahkan tidak mampu merumuskan kebutuhan riilnya sendiri--untuk menyelaraskan harapannya dengan kebutuhan riil. Dengan demikian tidak muncul sesuatu yang misterius, ambigu, dan membingungkan.

Dalam pembentukan kabinet baru, kita tentu berharap Presiden--yang memiliki waktu beberapa bulan dalam menyusun kabinet sejak hasil Pilpres diketahui--berhasil merumuskan dan benar-benar mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Termasuk dalam hal ini adalah kebutuhan-kebutuhan riil yang bahkan rakyatnya sendiri tidak mampu merumuskannya dengan baik.

Mengakomodasi kebutuhan riil belum tidak sama dnegan populis. Seperti kata John Kennedy dalam Profiles in Courage, “[Memilih yang terbaik] itu mungkin berarti bahwa kami harus memimpin, memberi informasi, memperbaiki, dan kadang-kadang bahkan mengabaikan opini publik yang memilih kami.”

Gunungputri, 10 hari sebelum pemilihan menteri

09 Oktober 2009

Ketika tulisan-tulisan itu ‘menagih janji’


Bisakah tulisan itu menagih janji? Ternyata bisa. Hal semacam itulah yang saya almi selama Lebaran kemarin. Belum lama ini saya menulis tentang Kedu, lalu saat liburan itu ternyata saya harus kembali lewat di Kedu, Temanggung, seperti beberapa tahun yang lalu.

Belum lama ini saya menulis tentang system informasi mudik untuk mengatasi kemacetan dan penderitaan pemudik yang luar biasa. Dan lebaran kali ini saya mengalami kerepotan perjalanan yang secara absolute mungkin agak lebih berat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun karena sedikit lebih siap dan menghadapinya dnegan lebih rileks, maka penderitaan itu tampaknya berkurang.

Saya juga menulis mudik sebagai mesin waktu. Nah kali ini ada beberapa undangan reuni yang, sayangnya, tidak bisa saya hadiri. Untuk kasus yang terakhir ini saya berhasil ‘melarikan diri’ dari tagihan janji sang tulisan, hehehehe.

Foto: Jalan utama Kedu, tempat banyak orang jual ayam cemani.

08 Oktober 2009

Mudik dan mesin waktu

Bisnis Indonesia edisi 18 September 2009

Mesin waktu diimpikan banyak orang sejak beberapa abad lalu. Dalam berbagai cerita fiksi, mesin waktu biasanya digambarkan sebagai sebuah kendaraan atau sebuah kotak mirip lift yang bisa membawa penumpangnya menembus batas waktu dan ruang. Kadang penumpang dibawa maju ke masa depan, kadang dibawa mundur ke masa silam.

Sudah banyak ahli yang mempelajari relativitas waktu serta teori tentang Lubang Cacing Stephen Hawking yang konon menjadi bibit-bibit bagi penjelajahan lintaswaktu, namun hingga kini mesin waktu belum benar-benar terwujud.

Kalaulah suatu saat benar-benar ada mesin waktu, bentuk dan cara mengendarainya pasti berbeda sama sekali dengan mesin waktu dalam cerita-cerita fiksi. Sama halnya kita membandingkan bentuk sedan saat ini yang sangat berbeda dengan kereta tanpa kuda ketika awalnya diimpikan. Mengendarai pesawat terbang sangat berbeda dengan naik kuda sembrani yang diimpikan beberapa ratus tahun lalu.

Mesin waktu yang bisa membawa fisik manusia lintaswaktu memang belum ada. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada metode atau aplikasi atau perangkat yang bisa membawa jiwa atau pikiran manusia menembus batas waktu.

Aktivitas mudik yang membawa orang-orang ke tanah kelahiran, jejaring sosial Facebook yang mempertemukan orang-orang dari masa silam, serta quick count yang menggesa hasil pemilihan umum, adalah semacam pseudo mesin waktu. Sampai pengertian tertentu, tiga hal tersebut bisa berfungsi seolah-olah mesin waktu. Mesin waktu “gadungan”.

Kita lihat Facebook sangat populer dalam 1 tahun --2 tahun terakhir, quick count menjadi primadona setiap pemilihan umum baik tingkat pusat maupun daerah dalam 10 tahun terakhir. Adapun mudik adalah aktivitas yang sudah sangat tua, setua urbanisasi di Indonesia.

Facebook dan mudik membawa kita ke masa silam, bisa puluhan tahun ke belakang. Sedangkan quick count membawa kita satu bulan atau dua bulan ke depan, menjelang hasil akhir sebuah pemilihan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

***Mesin waktu = mesin uang
Quick count, Facebook, dan mudik memiliki kesamaan: menjadi mesin uang bagi sang host. Facebook dan quick count memiliki host tunggal, sedangkan mudik diselenggarakan secara kolosal oleh seluruh masyarakat.

Quick count yang populer seiring ramainya pemilu berhasil memenuhi hasrat dan kehausan manusia akan pengetahuan mengenai masa depan. Siapa yang tahan menunggu hasil kampanye yang telah menguras begitu banyak tenaga dan kantong itu hingga berpekan-pekan ke depan? Siapa sanggup terus bertanya-tanya tanpa panduan mengenai peta atau konstelasi besar politik nasional?

Quick count menjadi mesin yang memungkinkan penontonnya untuk melompat ke depan. Tidak perlu menunggu leletnya KPU untuk tahu gambaran umum hasil pemilu. Sudah barang tentu ada ratusan miliar rupiah dana yang diperlukan untuk membangun dan menggerakkan mesin waktu bernama quick count itu.
Facebook adalah jejaring sosial (social networking) yang berkembang paling cepat di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Sepanjang 2008, menurut Frost & Sullivan, jumlah penggunanya di Indonesia meningkat 645% sehingga mencapai 810.000 orang pada akhir 2008.

Meningkatkan promosi yang saling menguntungkan antara industri seluler dengan Facebook secara teoritis membuat pertumbuhan jumlah pengguna jejaring sosial itu pada 2009 akan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada 2008. Di tingkat global, jumlah pengguna Facebook hingga Agustus 2009 mencapai 250 juta orang.

Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg yang baru berusia 25 tahun, adalah miliarder termuda dunia saat ini. Mesin waktu bernama Facebook juga mendorong tumbuhnya pengembang di 180 negara yang menyediakan lebih dari 350.000 aplikasi. Facebook terbukti menjadi mesin uang yang luar biasa.
Adapun mudik, yang tahun ini diperkirakan menggerakkan 27 juta jiwa orang untuk kembali ke masa lalu guna menengok asal-usulnya, menimbulkan perputaran uang yang sangat besar. Sebanyak 16,25 juta orang diperkirakan menggunakan angkutan umum yang tarifnya dikenai tuslag dan menghasilkan bisnis triliunan rupiah.

Mudik adalah aktivitas kolosal yang tak tergantikan di tengah urbanisasi yang kian menggila. Mungkin butuh kecanggihan besar untuk menciptakan sesuatu yang mampu menggantikan atau mengalihkan aktivitas mudik.

Mesin waktu Facebook sampai taraf tertentu mampu secara efektif menggantikan sebagian fungsi silaturahim, SMS, e-mail, dan mailing list, namun sama sekali belum bisa menggantikan efektivitas mudik. Mungkin suatu saat ketika telah hadir jejaring kekerabatan--bukan semata-mata jejaring sosial-- maka aktivitas mudik dapat digantikan dengan aplikasi komputer.

Akhirnya, selamat mudik, selamat menelusuri masa silam, menjelajahi lorong waktu, dan membelanjakan banyak uang.

*) Setyardi Widodo

30 September 2009

Mencari buaya & cicak dalam Animal Farm*


Ini cerita tentang para binatang di (bekas) peternakan Pak Jones. Mereka berjuang memerdekakan diri dari tirani Pak Jones yang suka memukul, mengambil telur-telur, menyembelih ternak, serta melakukan perbuatan lain yang bertentangan dan perikebinatangan.

Para binatang di bawah kepemimpinan babi Snowball dan Napoleon berhasil mengambilalih kekuasaan dari Pak Jones. Untuk menegaskan ideologi pembebasan itu, mereka sepakat menetapkan tujuh peraturan.

Dua peraturan utama adalah: semua yang berjalan di atas 2 kaki adalah musuh; semua yang berjalan di atas 4 kaki (sayap dianggap kaki) adalah kawan. Aturan lainnya, semua binatang tidak boleh memakai busana, dilarang tidur di ranjang, dilarang minum alkohol, dilarang membunuh sesama binatang. Terakhir, semua binatang berderajat sama.

Berjalan di atas 2 kaki, memakai busana, tidur di ranjang, minum alkohol, membunuh binatang, serta memperlakukan secara tidak sama adalah ciri Pak Jones yang bertentangan dengan perikebinatangan.
Seiring berjalannya waktu, suasana berubah. Napoleon yang memimpin perjuangan menyingkirkan Snowball dan menuduhnya sebagai penghasut yang melawan cita-cita revolusi binatang.

Setelah Snowball tersingkir, Napoleon menjadi penguasa tunggal dan memerintah sebagai tiran, bahkan lebih sadis dan tidak berperikebinatangan dibandingkan Pak Jones.

Sedikit demi sedikit, satu per satu peraturan yang ditetapkan oleh para binatang itu dilanggar dan dimodifikasi. Napoleon, misalnya, mulai tidur di bekas ranjang Pak Jones dan mengubah peraturan menjadi: semua binatang dilarang tidur di ranjang dengan seprei. Alasannya, ranjang adalah buatan binatang. “Yang buatan manusia adalah sepreinya.”

Aturan lain juga diubah menjadi: semua binatang tidak boleh minum alkohol secara berlebihan, dilarang membunuh sesama binatang tanpa alasan. Kesetaraan sesama binatang diubah menjadi: semua binatang sederajat namun ada binatang yang lebih tinggi derajatnya.

Pada akhirnya, para binatang sadar bahwa perubahan yang diharapkan dari revolusi membebaskan diri dari Pak Jones gagal total. Penyebabnya adalah elite yang semula memimpin perjuangan justru korup, serakah, serta senang memodifikasi peraturan agar menguntungkan diri sendiri.

Pengorbanan Boxer, si kuda yang setiap menghadapi masalah selalu mengatakan: aku akan bekerja lebih keras lagi, menjadi sia-sia. Bahkan dia mati dijual ke tukang jagal ketika tenaganya sudah dianggap tidak berguna. Begitu pula dengan pengorbanan binatang lain untuk menghasilkan telur, susu, dan produk lain.

***Watak kekuasaan
Cerita mengenai peternakan Pak Jones dengan sangat memikat diuraikan oleh George Orwell, sastrawan besar Inggris, dalam bukunya Animal Farm. Novel yang pertama kali diterbitkan pada 1945 itu semula ditolak oleh para penerbit yang dihubungi. Ada yang bersedia menerbitkan karya Orwell itu namun memasukkannya dalam cerita dongeng.

Lama kelamaan orang mengerti bahwa yang ditulis Orwell bukanlah dongeng binatang biasa. Dia menulis sebuah satire politik yang menggambarkan bagaimana sebuah upaya mewujudkan cita-cita revolusioner yang mengagungkan persamaan dan kebebasan bisa berubah menjadi tiran kejam dan justru bertentang dengan cita-cita ideologisnya sendiri.

Melalui cerita itu, Orwell yang lahir di Bengali, India, pada 1903, sebenarnya berusaha menggambarkan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi di Uni Soviet ketika itu (terutama di bawah Stalin) dengan caranya yang unik.

Siapa pun yang membaca Animal Farm pasti mengakui betapa pintar dan jelinya Orwell mengidentifikasi watak kekuasaan yang cenderung korup dan menjadi tiran. Dia mengingatkan bagaimana penumpukan kekuasaan tanpa penyeimbang dan tanpa kontrol dalam diri Napoleon menjadi pangkal bencana.

Sayangnya, cerita Orwell dalam Animal Farm hanya membahas hewan-hewan ternak seperti babi, sapi, kuda, keledai, ayam, unggas, burung. Tidak ada kisah tentang para reptil. Padahal, di sebuah "peternakan lain" sedang ada cerita yang meluas tentang pertengkaran antara buaya dengan cicak.

Alkisah, suatu pagi buaya yang suka minum kopi marah-marah. Dia kaget mendapati gelas kopinya diacak-acak cicak yang memang suka menyelinap di malam hari. Buaya menuduh cicak bukan hanya ingin meracuni kopinya, tetapi juga menyadap pembicaraan dengan memasang sesuatu pada gelas dan kopinya.

Sebenarnya, cicak dan buaya sama-sama reptil dengan bentuk tubuh yang mirip. Sama-sama memiliki ekor, empat kaki, berjalan merayap. Buaya yang mewarisi kekuatan purba zaman Dinosaurus bisa berbobot setengah ton, sedangkan cicak adalah binatang yang masih muda menurut evolusi Darwin dan beratnya hanya kurang dari 1 ons.

Kendati sama-sama reptil, kita memang sulit menemukan kisah kerja sama antara buaya dengan cicak baik dalam cerita dongeng (fabel) maupun kisah ilmiah flora dan fauna. Sejarah evolusi dan habitat keduanya memang sama sekali berlainan.

Ah, seandainya Orwell masih hidup, mungkin kita bisa bertanya bagaimana kiranya akhir kisah cicak dan buaya itu.

*)Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 26 September 2009

15 September 2009

Blogging cara Sun

Ketika Jonathan Schwartz mengambilalih posisi CEO di Sun Microsystems yang sedang bermasalah, dia memutuskan setiap karyawan bisa memiliki blog. Departemen legal dan humasnya sangat cemas, sebab setiap orang di perusahaan itu seolah-olah dapat mengeluarkan siaran pers.

Tetapi dalam tiga tahun para blogger Sun tidak menimbulkan masalah, kendati pedoman yang ditetapkan sangat sederhana: “Jangan berbuat bodoh.” “Tuliskan sesuatu yang memang Anda fahami.” “Susunlah secara menarik.”

Schwartz telah melakukan blogging bertahun-tahun. Dia tidak blogging untuk kehumasan atau untuk mengesankan customer, atau bahkan untuk mengelus egonya sendiri. Blogging adalah cara berkomunikasi yang efektif, lebih personal, dan lebih transparan dengan karyawan dibandingkan dengan mengirimkan e-mail.

“Saya ingin karyawan memahami mengapa para eksekutif Sun berpikir seperti ini, mengapa kita mengatakan sesuatu,” katanya.

Schwartz berpikir bahwa semua orang di Sun perlu blogging, dan dia aktif mendorong lebih banyak karyawan melakukannya. “Kami akan memotori transparansi. Ini adalah mekanisme yang paling efektif untuk mempercepat perubahan di Sun. Transparansi memungkinkan semuanya bergerak lebih cepat, mendorong keterandalan, dan memacu dialog antara Sun dan komunitas yang kami layani.”

Tidak semua orang merasa nyaman dengan dinamika baru ini. “Blogging menopang laju dan transparansi dalam keputusan kami dan membantu mengatasi batasan antara kondisi di Sun dan kondisi di pasar. Dan pada gilirannya akan membawa lebih banyak orang ke dalam ekosistem Sun.”

*) Dikutip secara bebas dari buku wikinomics karya Don Tapscott & Anthony D. Williams

14 September 2009

Krakatau, wikinomics, dan nasionalisme


Akhir Agustus adalah ulang tahun bagi letusan Krakatau. Tepat 126 tahun yang silam, gunung itu meletus dahsyat. Dengan korban jiwa lebih dari 36.000 orang, letusan itu merupakan letusan gunung dengan jumlah korban terbanyak sepanjang sejarah.

Enam mil kubik partikel berbobot ribuan ton dilontarkan ke udara hingga ketinggian 30 mil. Partikel debu halus itu bahkan sampai ke langit New York empat bulan setelah letusan atau pada Desember 1883. Letusan Krakatau yang menghancurkan dirinya sendiri di Selat Sunda beserta 165 desa di sekitarnya itu menimbulkan tsunami yang menjalar ke seluruh dunia dan menghasilkan gelombang pasang hingga 15 hari setelahnya.

Letusan –sebagian ahli lebih suka menyebut ledakan--yang dimulai pada Minggu, 26 Agustus 1883 dan mencapai puncaknya pada Senin pagi, 27 Agustus 1883 itu, menurut Simon Winchester dalam bukunya Krakatau, hanyalah letusan terdahsyat kelima dunia.

Letusan terdahsyat nomor satu yang tercatat sejarah terjadi di Gunung Toba pada 74.000 tahun lalu yang menghasilkan Danau Toba dan Pulau Samosir. Letusan terdahsyat nomor dua ditempati Gunung Tambora pada 1815, namun tidak banyak dokumen sejarah yang merekamnya. Nomor tiga ditempati Gunung Taupo di Selandia Baru, dan posisi keempat diduduki Gunung Novarupa, Alaska. Posisi kelima barulah ditempati Krakatau. Krakatau juga cuma satu dari 87 gunung api aktif yang terdapat di Indonesia dan Filipina ---21 di antara gunung itu berada di Jawa. Meski begitu, bencana Krakatau tercatat sebagai letusan gunung api dengan korban terbanyak sepanjang sejarah.

Letusan Krakatau memiliki dampak sangat luas. Winchester dengan sangat baik menjelaskan bagaimana penelitian mengenai letusan ini menjadi cikal bakal dari perdebatan ilmiah sangat panjang yang terus terjadi hingga sekarang seperti mengenai pemanasan global, efek gas rumah kaca, hujan asam, dan interdependensi ekologis. Di balik ledakannya, Krakatau --yang kemudian dilanjutkan oleh Anak Krakatau--menyumbangkan banyak hal penting bagi ilmu pengetahuan.

Dua puluh sembilan tahun sebelum letusan Krakatau, seorang ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace memulai sebuah ekspedisi yang mengesankan ke Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.

Ketika kembali ke London tiga tahun kemudian, Wallace membawa tidak kurang 125.660 spesimen tanaman dan hewan yang diatur seksama. Spesimen itu terdiri atas 310 mamalia, 100 reptil, 83.000 kumbang, 13.000 serangga lain, 8.000 burung, 13.000 kupu-kupu, serta 7.500 kerang.

Hasil kerja Wallace ini menjadi salah satu ilham penting bagi Charles Darwin dalam melahirkan teori evolusi. Bahkan sebagian ilmuwan percaya bahwa tempat lahirnya sains evolusi sebenarnya bukanlah Galapagos, melainkan Pulau Ternate yang menjadi basis penelitian Wallace.

***Adopsi wikinomics
Letusan Krakatau dan hasil kerja Wallace adalah sedikit dari banyak bukti betapa Indonesia memiliki sumber daya alamiah yang sangat kaya. Negeri ini memiliki sangat banyak objek ilmiah yang pengaruhnya signifikan dirasakan oleh dunia, khususnya dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.

Indonesia memiliki banyak 'simpanan misteri dan pengetahuan' yang tidak dimiliki belahan dunia yang lain. Lalu, bagaimanakah mengoptimalkan sumber daya alam yang sangat berlimpah itu untuk kesejahteraan bersama manusia di dunia? Ini pertanyaan yang terkesan klise. Akan tetapi kita dapat memilih pendekatan yang tidak klise untuk menjawabnya.

Saya teringat dengan prinsip dan cerita yang dipaparkan oleh Don Tapscott dan Anthony D. Wlliams dalam buku wikinomics (ditulis dengan huruf w kecil). Prinsip utama dalam perekonomian model baru itu terdiri dari empat hal: keterbukaan, peering, berbagi, dan bertindak global.

Prinsip wikinomics umumnya berlaku untuk industri teknologi informasi, lebih khusus lagi peranti lunak, seperti dalam pengembangan open source Linux. Namun tidak terbatas dalam hal-hal semacam itu. Bagi saya, wikinomics adalah semacam knowledge management yang diperluas --dengan penekanan pada knowledge circulation--dan ditambah dengan rumus ekonomi pendukung.

Salah satu contoh implementasi prinsip itu dalam sektor riil adalah apa yang terjadi pada Goldcorp, sebuah perusahaan pertambangan emas yang berpusat di Toronto, Kanada. Perusahaan itu memiliki tambang emas berusia 50 tahun di Red Lake, Ontario.

Pada 1999, para geolog perusahaan itu menemukan bahwa mereka memiliki cadangan emas 30 kali lipat dari yang ditambang saat itu, namun tidak tahu bagaimana menemukan emas di area pertambangan yang begitu luas.

CEO Goldcorp, Rob McEwen, mendapat ilham dari perkembangan Linux. Jika geolog internal perusahaan tidak bisa menemukan lokasi emas secara presisi mengapa tidak meminta bantuan kepada seluruh dunia?

Maka McEwen membuka dokumen geologi perusahaan sejak tahun 1948 dan membiarkan komunitas geologi global untuk mempelajari serta menawarkan cara pemecahan masalah dengan imbalan US$575.000 bagi peserta yang memberikan estimasi terbaik. Hasilnya sungguh mengejutkan. Goldcorp mendapatkan input bukan hanya dari para geolog dunia, melainkan juga mahasiswa, konsultan, matematikawan, hingga ahli militer.

Para peserta berhasil mengidentifikasi 110 target tambang di Red Lake, 50% di antaranya belum pernah teridentifikasin oleh Goldcorp. McEwen memperkirakan proses kolaborasi global ini memangkas waktu eksplorasi sekitar 2 tahun--3 tahun.

Pertanyaannya, dapatkan Indonesia Inc memanfaatkan sumber daya global di mana pun berada untuk membantu optimalisasi sumber daya alam dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi seperti Goldcorp memanfaatkan otak-otak encer di luar perusahaan?
Bukankah Krakatau (dan Anak Krakatau) serta keanekaragaman hayati seperti yang ditemukan Wallace dapat diperlakukan seperti tambang milik Goldcorp yang jelas-jelas mengandung potensi luar biasa namun menunggu penggarapan secara tepat?

Jawabannya, secara teoritis, tentu bisa. Indonesia bisa mengundang sumber daya luar negeri baik berupa otak maupun dana untuk bersama-sama mengoptimalkan objek penelitian ilmiah sehingga lebih bermakna bagi perkembangan perikehidupan umat manusia. Bukankah ini semacam pembalikan dari kisah brain drain alias larinya otak-otak cerdas ke luar negeri?

***Litbang dunia
Ada satu bab sangat menarik dalam wikinomics yang mengulas Ideagora. Ini semacam pasar ide yang memungkinkan gagasan,penemuan, dan keahlian ilmiah diakses, dipertukarkan, dan dimanfaatkan secara bersama.

Dalam dunia yang penuh persaingan dan teknologi yang melaju pesat, perusahaan-perusahaan besar (dan juga negara sebagai analoginya) seringkali tidak dapat semata-mata mengandalkan divisi penelitian dan pngembangan internal. Mereka perlu mempertimbangkan orang-orang berbakat terbaik yang ada di luar perusahaan. Apalagi perusahaan juga seringkali tidak bisa mempertahankan orang-orang terbaik untuk tidak pergi.

Jadi, sebagian perusahaan cerdas memanfaatkan Dunia sebagai divisi litbangnya dengan memberdayakan pasar ide yang disebut Ideagora itu.

"Sesuatu di luar institusi Anda tahu bagaimana menjawab pertanyaan spesifik Anda, memecahkan problem spesifik Anda, atau memanfaatkan peluang lebih baik dari Anda. Anda perlu menemukan mereka, dan mencari jalan untuk berkolaborasi secara produktif bersama mereka," ujar A. G. Lafley, CEO P&G yang menggambarkan pokok pikiran pasar ide Ideagora.

Saya seolah-olah membaca pernyataan ini sebagai: Sesuatu di luar negara Anda tahu bagaimana menjawab pertanyaan spesifik rakyat Anda, memecahkan problem spesifik negara Anda, atau memanfaatkan peluang lebih baik dari birokrat Anda. Anda perlu menemukan mereka, dan mencari jalan untuk berkolaborasi dengan produktif bersama mereka.

Di tengah gegap gempita perayaan hari ulang tahun kemerdekaan, pemikiran ini tampak sangat tidak nasionalis. Akan tetapi, sebagaimana orang harus realistis melihat brain drain sebagai brain circulation yang tidak bisa dilawan melainkan dimanfaatkan, saya memandang ini adalah jalan realistis yang perlu ditempuh di tengah berbagai keterbatasan dalam negeri.

Meski begitu, Tapscoot dan William mengingatkan bahwa dalam pendekatan sharing semacam ini, entitas yang menginginkan sumbangan pemikiran dari luar harus bersedia berbagi secara terbuka sembari tetap melindungi properti intelektual intinya. "Jangan pernah melepaskan kendali sepenuhnya terhadap nasib perusahaan."

Juga, jangan sampai meniru kisah YouTube--sang icon wikonomics--yang begitu populer, digunakan sangat banyak orang, berjasa besar bagi perkembangan pengetahuan, namun hingga saat terakhir diakuisisi oleh Google masih dalam keadaan merugi. Wallahu alam.

Mendambakan sistem informasi mudik terintegrasi

Antrean lalu lintas mirip dengan antrean pembeli di depan loket swalayan. Tim Harford dalam Undercover Economist memberi penjelasan menarik tentang antrean semacam itu. Dia memulai dengan mengajukan pertanyaan: Antrean mana yang paling cepat di antara semua antrean di toko swalayan besar yang sibuk?

Menurut Harford, seandainya ada loket tertentu yang mudah dikenali sebagai loket yang paling cepat, para pengunjung akan berebut ke sana, dan loket itu tidak lagi menjadi loket yang paling cepat. Jadi, dalam kasus semacam ini, tidak ada gunanya memilih. Berdiri dalam antrean yang mana pun hasilnya akan sama.

Akan tetapi, jika semua orang menganggap berdiri di mana pun sama, akan muncul pola-pola tertentu yang dapat dieksploitasi oleh ahli belanja. Misalnya, antrean di dekat pintu masuk lebih pendek daripada antrean yang jauh dari pintu masuk.

Lalu, jika banyak pengunjung juga kemudian mengenali pola ini, mereka tidak akan pasrah dan tak berdiri acak lagi. Mereka akan memilih antrean yang paling pendek itu, dan sesaat kemudian antrean itu akan berubah menjadi antrean yang panjang.

Harford memberi saran dalam kasus semacam ini: berdiri saja di antrean mana pun lalu jangan cemaskan apapun yang terjadi. Orang-orang yang gesit dan berpengalaman akan sedikit lebih cepat dalam menentukan antrean paling lancar. Tetapi, selisih waktunya tidak akan terlalu banyak.

Pilihan rute jalan mirip dengan pilihan antrean di toko swalayan. Jika orang bisa mengenali rute lalu lintas mana yang paling lancar maka dia akan memilih rute itu. Akan tetapi jika sangat banyak orang tahu informasi yang sama dan memilih rute itu, maka rute tersebut tidak lagi menjadi jalur yang lancar. Apalagi jika jumlah orang yang memilih rute itu melebihi kapasitas jalan yang ditempuh.

Dalam kasus antrean di pasar swalayan, yang dipertaruhkan hanya beberapa menit. Dalam pilihan rute ke tempat kerja oleh kebanyakan warga Jakarta dan sekitarnya, waktu yang dipertaruhkan mungkin 1 jam atau 2 jam.

Akan tetapi, bagi para pemudik yang meninggalkan Jakarta dengan tujuan ratusan kilometer ke arah timur atau barat, rute dan waktu yang keliru bisa berarti terjebak macet belasan jam.

Pada puncak arus mudik tahun lalu, misalnya, jarak Bandung-Ciamis yang normalnya dapat ditempah dalam waktu 3 jam-4 jam harus ditempuh hingga 12 jam atau bahkan 16 jam. Belasan jam dihabiskan dalam antrean yang menyedihkan.

***Kesabaran pemudik
Mudik adalah aktivitas kolosal yang melibatkan jutaan orang. Departemen Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik tahun ini 27 juta orang.

Manusia sebanyak itu ingin berpindah bersama-sama dalam jangka waktu satu pekan, berjejal dalam ribuan kendaraan. Bahkan, puncak arus mudik terjadi dalam 2--3 hari tertentu. Selama masa itu mungkin 30% dari seluruh jumlah pemudik meninggalkan kota besar secara bersamaan.

Cara sederhana untuk mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan sehingga lebih besar dari volume kendaraan saat puncak arus mudik maupun arus balik. Tetapi perlu biaya puluhan triliun atau ratusan triliun rupiah untuk meningkatkan kapasitas jalan yang hanya terpakai sesaat.

Opsi lain adalah membuat kebijakan komprehensif yang mendorong agar proses mudik tidak memuncak pada dua atau tiga hari tertentu, melainkan tersebar dalam jangka lama.

Jika hal ini tak dapat dilakukan optimal, semua terpaksa kembali kepada kearifan para pemudik yang pasti sudah menyiapkan kesabaran segudang.

***Tawakal saja
Dalam segala keterbatasan, yang paling diperlukan pemudik adalah sistem informasi yang akurat dan realtime. Bayangkan jika kita memiliki sistem informasi lalu lintas yang terintegrasi, berupa model matematis yang memperhitungkan kapasitas tiap-tiap ruas jalan, digabungkan dengan data dan prediksi mengenai volume kendaraan yang akan melintas.

Bentuk idealnya adalah simulasi dalam bentuk peta yang memberikan informasi real time kondisi semua ruas jalan utama dan dapat diakses publik. Simulasi diharapkan juga dapat menyediakan informasi mengenai kondisi yang belum terjadi, misalnya prediksi kondisi pada hari tertentu atau prediksi kondisi 10 jam mendatang, serta memberikan informasi real time mengenai berapa panjangnya kemacetan.

Lebih baik lagi bila model ini bersifat dinamis, menerima umpan balik data-data terbaru secara terus menerus, misalnya data kecelakaan yang menyebabkan pengurangan kapasitas jalan dalam kurun waktu tertentu.

Akan tetapi, membangun model matematis, apalagi yang mampu memprediksi potensi kemacetan, sama sulitnya dengan membuat model matematis untuk melihat tren harga saham. Di sana ada kehendak, sentimen, kepentingan, dan hasrat manusia dalam jumlah banyak yang menjadi variabel yang sulit diperhitungkan.

Mungkin untuk saat ini kita bisa cukup puas dengan informasi dari para penyiar radio, sesama pemudik, video streaming titik-titik tertentu, serta informasi kasar mengenai prediksi pola mudik.

Dalam kondisi serba terbatas ini, saran awal Tim Harford barangkali sangat berguna: pilih rute yang mana saja dan jangan cemaskan apa pun. Tawakal saja. Wallahu alam.

*) Versi lebih ringkas dimuat Bisnis Indonesia edisi 8 September 2009

06 September 2009

Pentingnya menengok, menunduk, & berlari


Sakit punggung & terapi Avasin

Rabu pagi sebelum gempa Tasikmalaya, ada sesuatu yang terjadi pada salah satu sisi punggung ini. Saya tidak tahu persis kejadiannya, tetapi dugaan terkuat ada sesuatu yang salah ketika saya mengambil kain (handuk atau baju) dari gantungan yang agak tinggi. Ini ternyata berdampak cukup serius selama tiga hari berikutnya. Untuk memudahkan komunikasi, saya selalu menyebutnya sebagai kecethit/keseleo punggung—sesuatu yang ternyata memiliki konotasi berbeda dan bisa membuat miskomunikasi.

Rabu malamnya saya susah sekali tidur karena punggung terasa sakit. Sepanjang hari Kamis rasa sakit kian menyengat sehingga saya bahkan susah berdiri tegak. Kalau berdiri dan berjalan, biar agak nyaman, bahu harus diangkat dan punggung agak membungkuk (orang Jawa menyebutnya nyekungkung). Leher mulai sulit ketika menengok kiri, kanan, maupun menunduk.

Repotnya, sepanjang Kamis itu aktivitas saya banyak. Harus datang ke berbagai lokasi naik kendaraan umum. Ketika pagi naik angkot yang ngebut dan zig zag itu punggung dan dada sakit bukan main. Lalu rasa sakit sudah makin melebar, ketika bangun dari sujud dada juga sakit. Malamnya saya harus naik travel ke Bandung. Kamis malam makin tidak bisa tidur.

Jumat pagi hingga jam 14 harus ke Buahbatu karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan atau dijadwal ulang. Sepanjang jalan ya itu tadi, nyekungkung dan meringis. Repot banget kalau menyeberang jalan. Mana saya juga tidak bisa lari karena dada terasa sakit untuk berlari.


***
Pulang dari Buahbatu, istri saya mengajak mampir ke Avasin Medical Center di Cijerah. Saya datang ke sana lalu dipijat. Mungkin istilah yang paling dekat adalah semacam ditotok, ditekan dengan alat. Tekanan/pijatan/totokan diberikan pada banyak titik di punggung, bahu kanan-kiri, sisi leher kanan kiri, serta sisi kepala kanan dan kiri. Alhamdulillah langsung bisa menoleh kembali kendati belum sempurna. Lalu pusat sakit yang berada di punggung sebelah kiri, semacam otot bahu dekat tulang centhong, ditekan-tekan dan terakhir disuntik.

Alhamdulillah setelah itu kondisinya jauh lebih baik. Saya pulang tanpa harus jalan nyekungkung. Malamnya bisa tidur nyenyak. Paginya lebih nyeyak lagi. Tadinya posisi terlentang itu menimbulkan siksaan dan perasaan tak berdaya karena sulit bangun dan sulit menggerakkan leher, sekarang terlentang jadi posisi paling nyaman. Alhamdulillah.

Hikmah:
* Ternyata banyak kerusakan fatal yang terjadi karena ketidaksengajaan yang sepele. Contohnya kecethit atau kebakaran. Sebaliknya, jarang sekali ada perbaikan signifikan –terutama menyangkut fisik—yang bisa terjadi karena ketidaksengajaan yang sepele.

* Terasa bentuk betapa pentingnya bisa menengok kiri kanan, apalagi menunduk dan berlari. Kalau orang bikin robot humanoid kok belum bisa menengok dan menunduk, berarti karya itu masih jauh dari memuaskan. Apalagi kalau belum bisa berlari, masih jauh banget.

*** Avasin
Berikut ini informasi mengenai Avasin saya kutip dari brosurnya.
Yayasan Ibnu Ruman, Avasin Medical Center. Jl H Anwar No32, Cijerah, Bandung 40212. Telepon 022-70796041. Praktik Senin-Sabtu jam 07.00-22.00

Pada awalnya terapi Avasin disebut sebagai Awaasin Alkai yang berasal dari Bahasa Arab: awaasin dan alkai. Awaasin berarti seperangkat instrumen (asal kata ausun: instrumen, bentuk jamaknya: awaasin). Adapun alkai sudah dikenal berabad-abad lamanya sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia. Metode ini dikenal sebagai alkai lama.

Pada abad XVI, para ilmuwan muslim termasuk Ahmad Ibnu Ruman menyempurnakan metode pengobatan alkai lama, yakni menggantikan api untuk pemanas instrumen dengan bat-obatan. Inilah yang kemudian dikenal dengan nama Awaasin Alkai. Jejak alkai lama yang asih dipakai kedokteran modern hingga kini adalah metode kauterisasi.

Di Indonesia, metode Awaasin Alkai pertama dikembangkan oleh Ma’had Ath-Thib al Islami di bawah Yayasan Asy-Syifaa (1959-1966). Pada 1987, Ma’had Ath-Thib dihidupkan kembali di bawah Yayasan Ibnu Ruman.

Pada tahun 2000, dokter-dokter yang tergabung dalam IDAVI (Ikatan Dokter Avasinolog Indonesia) memperkaya dan memodifikasi metode pengobatan Awaasin Alkai dan menamakan metode pengobatan itu menjadi Terapi Avasin. Ahlinya disebut Avasinolog.

Terapi Avasin merupakan metode pengobatan Awaasin Alkai yang dimodifikasi dalam mengisi ruang kosong metode pengobatan biomedik modern. Terapi Avasin bukan merupakan metode pengobatan alternatif.

Banyak teori dasar biomedik yang menguatkan efektifitas metode Terapi Avasin sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengobatan tanpa harus melakukan langkah invasi (non-invasive medical care) dengan efek samping sangat minimal.

Terapi Avasin hanya diterapkan oleh dokter yang telah memiliki lisensi sebagai Avasinolog sehingga ketepatan diagnosis dan terapi dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks kedokteran biomedik.

Keadaan apa yang dapat diobati terapi Avasin? Terapi Avasin dapat digunakan sebagai penunjang dari disiplin kedokteran lain ataupun secara mandiri melakukan pengobatan.

Inilah penyakit yang dapat diatasi dengan terapi Avasin:
-gangguan nyeri seperti: nyeri kepala, nyeri sendir, nyeri otot, nyeri tendon, dll
-ganggun fungsional sistem organ (degenerative desease) seperti darah tinggi, kencing manis, kegemukan, asma, stroke, lemah syahwat, dsb.
-gangguan infeksi seperti commond cold, myosis, tendenitis, TBC, kejang demam, sinusitis, dsb
-gangguan neoplasma: tumor

selain therapeutik dan rehabilitatif, terapi avasin juga dapat digunakan sebagai metode preventif dan promotif seperti
-meningkatkan kebugaran
-menahan atau memperlambat proses penuaan
-meningkatkan kesuburan
-meningkatkan kecerdasan anak
-pencegahan stroke dan serangan jantung

Adakah efek samping?
Tidak ada efek samping yang berbahaya. Efek samping yang mungkin terjadi adalah apabila terjadi kesalahan tindakan namun dapat diatasi dan diantisipasi kembali. Di samping itu, seorang Avasinolog sebelum memberikan terapi harus mahir dan melewati masa ujian pendidikan.

Terapi Avasin tidak menimbulkan ketagihan, namun beberapa pasien merasakan adanya rasa` enak pada tubuh setelah tindakan alkai sehingga timbul keinginan untuk di-kai kembali. Apabila terapi Avasin dihentikan tidak terjadi reaksi yang merugikan pada tubuh.

Lamanya terapi tergantung npada jenis gangguan yang diderita.

Jaringan
Jakarta dan sekitarnya:
Klinik Mampang Medika Jl Tegalparang Utara no18, telp: 021-70632867.
Jl Gabus Raya No 203, Perumnas 2 Kalimalang, Bekasi Barat, telp 021-70574555
Bogor: Jl Wuwung 2 nO.18 Perumnas Bantar Jati, Bogor, telp 0251-331416

Bandung:
Jl H Anwar No32, Cijerah, Bandung, 022-7079041
Apotek Asy-Syifaa II Metro Margahayu Raya, telp 0811-220-843
Apotek Proafiat Jl Terusan Jakarta no.108, telp 022-7200533
Jl Melong Asih I No2, 022-6019548
Apotek Zasa Jl Cijagra Raya No 1, telp 022-7316018

01 September 2009

Menghentikan siklus Langan & Lintang

Orang baik yang siap menolong dengan upaya sporadis seperti para relawan dan sponsor BIUS itu selalu ada. Akan tetapi, pasti lebih utama jika ada kebijakan yang cerdas dari negara yang baik agar cerita pilu Langan dan Lintang tidak terulang-ulang dengan tokoh yang berganti-ganti.

***
Chris Langan adalah seorang pria dengan IQ 195, lebih tinggi daripada IQ Einstein yang sebesar 150. Akan tetapi, cerita tentang Langan adalah cerita ketidakberuntungan. Orang dengan IQ setinggi itu, tidak tercatat sebagai manusia berprestasi di dunia, bahkan akhirnya berprofesi sebagai tukang pukul dan penjaga sebuah peternakan kuda.

Langan bukan tidak mencoba untuk sukses. Dia gagal mendapatkan kesempatan dan tidak berhasil meraih dukungan yang diperlukan.

Dia berasal dari keluarga broken home yang miskin. Ketika kuliah tingkat kedua, beasiswanya dihentikan karena soal sepele: ibunya lupa mengisi formulir yang diperlukan. Langan mencoba bernegosiasi dengan pihak kampus tapi ditolak, dia drop out.

Tahun berikutnya dia mencoba kuliah di kampus lain sambil bekerja. Langan mencoba memindahkan jam kuliahnya agar bisa mendapat angkutan ke kampus dengan mudah karena dia punya kendala kendaraan. Langan kembali gagal. Begitulah, yang dia peroleh adalah akumulasi “kegagalan” atau “kesialan”.

Cerita mengenai Chris Langan dapat kita simak pada buku Outliers karya Malcolm Gladwell. Menurut Gladwell, Langan tidak cukup memililiki kecerdasan praktis. Dia tidak berhasil mengatasi masalah-masalah praktis yang lazimnya dapat dipecahkan bahkan oleh orang-orang yang kecerdasan analitisnya di bawah dia.

Sebenarnya dia butuh dukungan sebagaimana yang diperlukan orang-orang lain untuk sukses. Dia tak sanggup menghadapi keruwetan hidupnya itu sendirian. Gladwell mengaitkan kasus Langan ini dengan dukungan yang diberikan orang tua terhadap anak-anaknya.

Gladwell mengidentifikasi bahwa ada orang miskin umumnya bukan hanya lemah dalam memberikan dukungan dana, namun juga dukungan moral untuk melakukan negosiasi dengan lingkungan serta orang-orang yang berwenang. Contoh orang yang memiliki wewenang adalah guru di sekolah.

***Barrier to entry
Indonesia punya banyak sekali anak cerdas yang berpotensi untuk mengalami nasib menyedihkan seperti Langan. Dalam cerita Laskar Pelangi karya Andrea Hirata kita bisa menyaksikan betapa pilunya nasib Lintang, anak cerdas yang memiliki semangat belajar luar biasa tinggi, harus tersisih karena keterbatasan biaya.

Cerita Laskar Pelangi sudah difilmkan dan sangat populer. Bahkan pemainnya dijadikan ikon dalam iklan Depdiknas tentang perlunya sekolah. Ini mestinya mampu menggugah semua pihak untuk bertindak lebih sistematis dalam mengatasi biaya pendidikan.

Dalam kasus Langan, negara memberikan kesempatan yang sangat luas agar orang miskin dapat kesempatan sekolah setinggi mungkin. Sayangnya, keluarga dan orang terdekat tidak mampu mendukung. Dalam kasus Lintang, anak pintar gagal mendapatkan dukungan negara maupun dukungan lingkungan terdekat.

Agustus dan September, masa daftar ulang di kampus-kampus unggulan seperti saat ini, menjadi ujian adakah Langan dan Lintang lain yang harus terjatuh karena kemiskinan dan kurangnya dukungan lingkungan.

Kita tahu bahwa biaya kuliah di Indonesia saat ini, termasuk di kampus-kampus milik negara, sudah melambung tinggi. Ada jalur-jalur khusus yang disediakan hanya bagi mereka yang berkantong tebal.
Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mewajibkan kampus negara menyisihkan sedikitnya 20% kursi bagi mahasiswa kurang mampu. Selalu ada klaim dari para penyelenggara kampus untuk menyediakan sekian persen kursinya bagi siswa yang tidak mampu.

Akan tetapi, sebelum mencapai tahap untuk memperoleh beasiswa, toh para siswa itu harus berpikir puluhan kali bagaimana datang ke pusat-pusat pengetahuan dengan bekal dana sangat minim. Tidak mudah bagi orang perdesaan memberanikan diri ke kampus sekadar mengandalkan beasiswa yang masih harus diusahakan.

Adalah menjadi tugas negara dan para pemilik sumber daya untuk benar-benar menghilangkan kecemasan dari anak-anak pintar yang kurang mampu. Perlu upaya serius agar barrier to entry pusat-pusat pengetahuan itu sepenuhnya hilang.

Apa yang dilakukan oleh sejumlah alumni ITB dengan menggalang Beasiswa ITB untuk Semua (BIUS) layak ditiru. Bukan hanya menggalang dana, tim ini mengerahkan para relawan untuk menemukan anak-anak berprestasi, memastikan mereka ikut tes, membiayai perjalanan mereka.

Tim juga memberi bimbingan ‘kecerdasan praktis’ ketika mereka diterima agar tidak mengalami gegar budaya ketika menghadapi dunia yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Jadi, anak-anak potensial itu benar-benar diharapkan worry free.

Tetapi, bukankah lebih afdol jika negara benar-benar mampu menghapuskan barrier to entry yang didasarkan pemilahan kaya dan miskin di pusat-pusat pengetahuan itu?

Orang baik yang siap menolong dengan upaya sporadis seperti para relawan dan sponsor BIUS itu selalu ada. Akan tetapi, pasti lebih utama jika ada kebijakan yang cerdas dari negara yang baik agar cerita pilu Langan dan Lintang tidak terulang-ulang dengan tokoh yang berganti-ganti.

Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 1 September 2009, hal m6