29 Oktober 2009

Rekonstruksi sejarah tanpa vested interest?

Mari kita lakukan dua buah eksperimen imajiner. Pertama, bayangkan sebuah balok es dan pikirkan bagaimana dia meleleh dalam dua jam ke depan. Silakan bayangkan bentuk genangan yang muncul kemudian.

Eksperimen kedua, bayangkan ada sebuah genangan air di lantai. Lalu cobalah merekonstruksi seperti apa bentuk padatan es yang barangkali pernah berada di situ. Pertimbangkan pula bahwa genangan air itu bisa jadi bukan berasal dari genangan es.

Secara intuitif kita bisa menyimpulkan bahwa operasi pada eksperimen yang kedua jauh lebih sulit dibandingkan dengan eksperimen pertama. Sangat mungkin kita membayangkan balok es atau sumber genangan yang sangat berbeda dengan apa yang sejatinya teronggok di sana dua jam sebelumnya.

Menurut Nassim Nicholas Taleb, eksperimen ini memberi gambaran yang gamblang sekali mengenai bagaimana sulitnya memahami dunia, memahami kenyataan yang ada di alam, serta memahami sejarah beserta faktor-faktor pembentuknya.

Malangnya, kehidupan berjalan seperti eksperimen yang kedua. Kita tidak bisa duduk-duduk saja sambil membaca persamaan matematika dan fisika yang mengatur jagad raya.
“Yang bisa kita lakukan adalah mengamati data dan membuat asumsi mengenai proses yang harus ada, lalu melakukan ‘kalibrasi’ dengan menyesuaikan persamaan yang kita buat dengan informasi tambahan,” papar Nassim Thaleb dalam Black Swan.

Para ilmuwan bidang ilmu pasti maupun para ahli sejarah berusaha memecahkan teka-teki mengenai ‘bentuk asal mula balok es’ pada bidangnya masing-masing berdasarkan kondisi genangan yang dapat diamatinya.

Dalam bidang ilmu pasti, kita tentu mafhum bahwa teori mengenai susunan tata surya berkali-kali mengalami revisi sejak pertama kali dicetuskan oleh bangsa Mesir, Yunani, serta Arab, yang diteruskan oleh para ahli di Eropa.
Orang zaman dulu, berdasarkan pengamatan mata telanjang menyimpulkan bahwa bumi merupakan pusat alam semesta.

Seiring perkembangan pengetahuan dan cara pengamatan manusia tahu bahwa bumi mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Kita juga menjadi tahu bahwa matahari hanyalah salah satu bintang dalam Galaksi Bimasakti, dan galaksi tersebut hanya salah satu dari banyak galaksi dalam alam semesta.

Tapi jelas bahwa perlu waktu ribuan tahun dan banyak korban jatuh untuk membuktikan apa yang sekarang kita anggap sebagai pengetahuan umum mengenai tata surya. Pythagoras yang hidup 500 tahun sebelum masehi tercatat sebagai manusia pertama yang mengembangkan gagasan bahwa alam semesta mengikuti hukum-hukum yang bersifat kuantitatif. Copernicus dan Galileo Galilei pada abad pertengahan menjadi korban akibat menyatakan bahwa bumi mengitari matahari.

***Sejarah lebih rumit
Rekonstruksi sejarah sosial tampaknya lebih rumit lagi karena kepentingan politik maupun ekonomi yang besar seringkali terlibat dalam upaya mencari kebenaran. Pertanyaan seperti kapan pertama kali Islam masuk ke Jawa, misalnya, menghasilkan jawaban yang bermacam-macam. De Graaf menyebut Islam tersebar ke Asia Tenggara dan Indonesia pada abad XII atau XIII.

Sementara itu, Hamka dalam Dari Perbendaharaan Lama menyebut pengembara Arab sudah masuk ke Indonesia pada abad VII masehi (abad pertama hijriah) ketika Jawa dipimpin oleh Ratu Sima dari Kalingga. Ulama asal Minangkabau itu mengutip catatan dari para pengembara asal China mengenai keadaan negara Holing (Kalingga) untuk mendukung pendapatnya mengenai awal kehadiran orang Islam di Indonesia.

Makin tinggi nilai politik dan ekonomi pemaknaan sejarah, makin besar pula kemungkinan bias penafsirannya. Nah, awal Oktober mengingatkan bangsa Indonesia mengenai peristiwa bersejarah 30 September 1965 –dan banyak peristiwa sebelum maupun sesudahnya--yang masih banyak diselimuti misteri.

Ketika Orde Baru berkuasa dengan kuat, yang diizinkan beredar hanyalah versi tunggal dari penguasa negeri. Begitu reformasi bergulir, bermunculanlah berbagai versi yang menuntut verifikasi.

Sudah lazim bahwa banyak bermunculan penafsiran dan pemaknaan sejarah yang baru bersamaan dengan pergantian kekuasaan. Saat ketika belum muncul penguasa baru yang dominan, atau ketika hak untuk berbicara sangat dihargai, adalah saat bagi munculnya banyak versi sejarah.

Kembali kepada dua eksperimen pada awal tulisan ini. Bagi Nassim Thaleb, hal semacam itu membuktikan bahwa dunia ini berjalan dengan mekanisme yang lebih banyak tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Sikap terlalu ‘sok tahu’ adalah terlalu naïf.

Akan tetapi, bagi orang-orang yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi, mungkin bentuk ‘balok es’ sejarah dapat disesuaikan sedemikian rupa. Mereka justru harus ‘sok tahu’ mengenai apa yang sudah terjadi dan bagaimana menafsirkan serta memaknainya.
Adapun bagi rakyat jelata, tahu apa yang sebenarnya terjadi jelas penting. Akan tetapi, kesadaran bahwa sejarah memiliki banyak dimensi dan multitafsir mungkin lebih penting. Ini akan membuat orang lebih kebal terhadap rekonstruksi sejarah yang sarat vested interest.

Dalam soal ini, sikap skeptis dan kritis sangat perlu. Apalagi, kata Winston Churchill: jalan terbaik membuat sejarah adalah menuliskannya.

Tidak ada komentar: