27 November 2008

Mesin waktu itu bernama Facebook

Serbuan virtual dari masa lalu. Begitulah saya menyebut masuknya masa lalu dalam kehidupan masa kini melalui Facebook. Dan serbuan semacam ini bisa bertubi-tubi. Semakin banyak masa lalu kita berurusan dengan orang-orang yang melek Internet, semakin deras pula serbuan itu akan muncul.

Facebook benar-benar menjadi semacam ‘mesin waktu’ bagiku saat ini. Hal-hal yang sudah berbelas tahun lenyap dari agenda, bahkan tidak pernah muncul dalam pikiran, tiba-tiba hadir di hadapan. Hadir dengan format yang sama dengan bentuknya sekian tahun yang lalu.

Serbuan ini belum berakhir. Baru dimulai. Dan tampaknya tak akan berakhir sampai menemukan keseimbangan baru.

Sebenarnya, serbuan semacam itu bukan hanya muncul melalui Facebook melainkan juga melalui mailing list, pesan instant (YM, Gtalk) dan sebagainya. Akan tetapi, kekuatan mesin buatan Mark Zuckerberg dalam menghadirkan masa lalu memang luar biasa, jauh melampaui channel lainnya.

Jadi, bagaimana kita harus mengelola ‘mesin waktu’ itu? Ada saran?

13 November 2008

Sifat pamer dan menyatunya komputer dengan buku


Di Jakarta Convention Center sedang digelar pameran komputer Indocomtech dan pameran buku Book Fair 2008. Ada beberapa hal yang menarik di sana, di antaranya masalah “pamer”, fungsi komputer, serta manfaat buku.

***
Dalam filosofi Jawa pada umumnya, kata pamer (show off) memiliki kesan yang negatif. Orang Jawa dilarang pamer apalagi sampai adigang adigung adiguna.
Akan tetapi pamer-an buku dan komputer justru banyak dicari orang. Hal yang sama agaknya juga terjadi pada pamer-an otomotif, pamer-an property, dan sebagainya.

Sifat pamer dari para produsen dan pedagang dimanfaatkan oleh konsumen untuk mendapatkan harga yang murah. Saling pamer dalam satu arena meningkatkan persaingan dan menekan harga.

Upaya pamer, menonjolkan diri yang membuat orang berbondong-bondong melihat dan mencermati, juga dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh produsen dan pedagang untuk meraih konsumen sebanyak-banyaknya, menjual sebanyak mungkin.

Maka bertemulah sifat-sifat yang sama sekali ‘tidak Jawa’ itu dalam satu pameran yang ternyata mampu menggerakkan perekonomian.

***
Hal menarik lainnya adalah computer dan buku yang semakin menyatu. Komputer merupakan alat untuk menunjang pekerjaan, meningkatkan perikedidupan. Komputer, beserta semua perangkat pendukungnya, dapat digunakan sebagai alat hiburan, alat kerja, alat belajar, dan seterusnya.

Pameran komputer beserta aksesorinya itu menunjukkan bagaimana barang-barang tersebut bisa lebih optimal dalam menunjang perikehidupan penggunanya.

Buku juga merupakan hal yang sangat penting, sebagai sarana belajar, yang juga berujung pada perbaikan diri, meningkatkan kualitas hidup.

Di masa mendatang fungsi buku (fisik) akan banyak digantikan oleh konten (dalam bentuk buku elektronik, email, situs web, blog dan sebagainya). Akan tetapi, di Jakarta ini, buku dan komputer belum benar-benar menyatu. Pamerannya sudah menyatu, tetapi konten dalam buku belum

***
Tidak banyak hal mengesankan dari pameran komputer dan buku kali ini. Setelah muter-muter di sana sekitar satu jam, saya hanya membeli satu buku terbitan lawas yang dijual murah, Oliver Twist karya Charles Dickens.

07 November 2008

Hujan dan Jepang


Jakarta sudah masuk musim hujan. Artinya, hampir setiap hari terjadi hujan. Seringkali sangat deras. Seperti Senin lalu, sewaktu saya turun dari travel dalam perjalanan Bandung-Jakarta, hujan mengguyur sangat deras.

Dalam keadaan seperti itu hampir dipastikan banyak air meluap di pinggir jalan. Bagi pejalan kaki, kendati membawa payung atau jas hujan, harus siap kebasahan di bagian sepatu dan sekitarnya.

Senin itu saya agak beruntung karena membawa payung. Meskipun sepatu, kaki, dan bagian luar tas basah kuyup, alhamdulillah baju dan badan bagian atas tetap kering.

Sewaktu saya memasuki sebuah gedung dalam keadaan sepatu basah dan membawa payung yang juga basah, seorang petugas mencegat dan memberikan tas plastik panjang sebagai wadah payung. Ini dia lakukan untuk mencegah menyebarnya air dari payung itu ke lantai-lantai gedung yang saya lewati.

Bagi saya, ada orang memberikan plastik untuk wadah payung dan mencegah basah adalah peritiwa istimewa di Jakarta.

***
Juni tahun lalu saya berkesempatan berkunjung ke Jepang selama dua pekan. Itu adalah saat musim hujan. Karena kami sehari-hari berkunjung ke banyak tempat, sebagian besar mengunakan angkutan umum yaitu kereta, maka setiap hari kami harus membawa payung.

Ada beberapa hal menarik dalam soal perpayungan di Jepang ini. Pertama, banyak payung terbuat dari plastik tembus pandang. Payung-payung semacam ini dijual dengan harga 400 yen-500 yen (sekitar Rp35.000). Sampai sekarang saya masih menyimpan payung dari plastik hasil kunjungan ke Jepang itu. Di Indonesia, saya menemukan payung semacam ini hanya satu kali, yaitu ketika XL berkempanye mengenai Bening. Selanjutnya tidak menjadi tren.

Hal lainnya yang juga menarik di Jepang adalah payung lipat. Mereka membuat desain payung yang dapat dilipat hingga sangat kecil. Harga payung semacam ini agak lebih mahal dibandingan dengan payung plastik yang umumnya panjang-panjang itu. Enaknya, payung kecil bisa masuk dengan sangat mudah ke dalam tas.

Hal ketiga yang paling menarik di Jepang adalah dukungan dari para pengelola gedung terhadap para pemakai payung. Di hampir semua gedung perkantoran tersedia tempat khusus untuk meletakkan payung. Jadi, orang yang kehujanan dan membawa payung basah tinggal meletakkan payung itu di tempat khusus parkir payung alias penitipan payung. Bentuknya beragam dari sekadar bulatan seperti tempat sampah, sampai yang teratur seperti dalam gambar.

***
Nah, Jakarta sekarang sudah masuk musim hujan. Banyak orang bawa payung. Banyak gedung yang perlu melindungi dirinya dari kebasahan payung-payung itu. Kapan kita meniru kreasi Jepang yang bagus dan praktis itu?

Ket: Foto dari firesomeonetoday.com

03 November 2008

RIM perlu buat Blackberry low end

Indonesia mengalami booming Blackberry sebagaimana pernah mengalami booming Nokia Communicator. Pertama-tama, Blackberry saat ini dianggap sebagai perangkat bergengsi tinggi, melebihi Communicator. Ada rumors para pejabat dan mitra pejabat belakangan lebih suka Blackberry karena lebih aman dari sadapan.

Kedua, Blackberry mampu menghadirkan mobile Internet yang sesungguhnya, yang dulu diimpikan orang untuk terwujud melalui 3G. Ternyata layanan itu bisa hadir kendati tanpa 3G. Hadirnya ya melalui Blackberry ini.

Seiring dengan perkembangan itu, ada dua pertanyaan besar saya sekarang. Pertama, bagaimana daya dukung RIM terhadap potensi booming perangkat ini? Kedua, bagaimana strategi RIM dalam menggarap segmen pasar yang lebih bawah sebagaimana para produsen ponsel telah melakukannya.

Soal daya dukung ini saya lihat memang Indonesia masih kecil dibandingkan dengan keseluruhan pasar dunia. Akan tetapi, melihat perkembangannya, Indonesia akan menjadi salah satu pasar terbesar. Mungkin saat ini pasarnya sudah lebih besar daripada Singapura. Ditambah lagi, pertumbuhan di segmen ritel (BIS) juga tampak pesat banget. Saya belum melihat RIM memiliki kemampuan produksi dan distribusi sebagaimana Nokia di masa lalu dalam mengantisuipasi lonajakn permintaan. Yang jelas, saya mempertanyakan kemampuan RIM dalam mendukung hal ini.

Berikutnya, soal harga. Gengsi memang untuk barang yang harganya tinggi. Akan tetapi, harga jual di Indonesia ini mahal sekali. Di AS saja, Bold dipasarkan dengan harga di bawah US$300 per unit melalui sistem bundle, dan ditujukan untuk segmen korporasi. Di Indonesia, Bold dijual dengan harga di atas US$800 per unit, dan ditujukan untuk segmen ritel, kadang dengan ikatan berlangganan satu tahun.

Mahal sekali. Di AS saja mereka ‘takut’ menjual Bold dengan harga terlalu jauh di atas iPhone 3G. Produk lain seperti Curve dan Huron juga dijual rata-rata dengan harga di atasa US$500 per unit. Sangat mahal bagi kebanyakan orang Indonesia.

Mengapa RIM tidak membuat produk low end saja? Mengapa tidak seperi produsen ponsel lain yang mengurangi fitur untuk bisa menyasar segmen yang lebih bawah? Kenapa tidak dibuat Blackberry versi murah dengan fitur terbatas? Apakah mereka ingin seperi Apple yang membuat produk sangat terbatas untuk segmen yang memang terbatas?

Ataukah ini terkait dengan daya dukung produksi RIM yang tidak terlalu besar? Mereka tidak sanggup membuat produk yang terlalu banyak, terlalu murah? Atau mereka membiarkan saja harga tinggi untuk produk baru dan memaksa orang yang berkantong cekak menggunakan Blackberry model lama yang harganya sudah turun? (Sudah turun pun masih mahal lho)

Atau mereka menunggu datangnya pesaing signifikan yang mampu memaksa perusahaan Kanada itu menurunkan harga handsetnya? Entahlah, yang jelas saya sangat mengharapkan RIM menyediakan handset murah dengan fitur seadanya saja (pakai kamera seadanya atau tidak ada kamera sekalian, tidak ada GPS, layar tidak harus berwarna, dan pengurangan lain untuk menekan harga dengan fungsi utama tetap berjalan).

Calon pembunuh warnet itu bernama Blackberry?


Telepon seluler yang kian murah dan merakyat terbukti telah ‘membunuh’ warung telekomunikasi atau wartel. Apakah Blackberry dan layanan mobile Internet lainnya akan membunuh warnet?

Warnet sebagai layanan yang lokasinya tetap, memang memiliki kemiripan dengan wartel. Wartel booming ketika ada keterbatasan telepon saluran tetap, sementara telepon seluler masih sangat mahal.

Warnet juga booming ketika kebanyakan orang sulit mendapatkan akses Internet yang murah baik karena keterbatasan perangkat maupun ketersambungan.

Ancaman dari keduanya hampir sama, yaitu dari layanan telekomunikasi bergerak. Saat ini harga telepon seluler sangat terjangkau, banyak yang di bawah Rp500.000 dengan tariff yang juga sangat terjangkau. Hal itu terjadi setelah sekitar lebih satu dekade sejak pertama kali seluler diperkenalkan di Indonesia.

Belakangan, layanan Internet melalui perangkat bergerak meningkat pesat. Salah satu pemicunya adalah sistem layanan Blackberry yang volume aksesnya tidak dibatasi (unlimited) sehingga orang bisa memanfaatkan hampir semua kegunaan Internet yang biasa dilakukan melalui PC.

Pengguna bisa mengakses dan mengirim e-mail, chatting, akses jejaring sosial, browsing, dan sebagainya melalui perangkat komunikasi bergeraknya. Dengan demikian, untuk saat ini, layanan Blackberry lah yang bisa dianggap paling representatif mewakili fungsi Internet bergerak.

Perkembangan Blackberry yang sangat pesat (ditandai dengan lakunya Bold XL hingga 1.500 unit dalam waktu satu bulan), dengan tarif sangat murah.(harian bisa Rp5.000 unlimited, sama dengan ke warnet satu atau dua jam) bisa menjadi indikator sendiri.
Tarif berlangganan Blackberry yang tersedia di pasaran saat ini bervariasi mulai dari Rp180 (Telkomsel, masa aktif 30 hari), Rp175.000 dan Rp160.000 (Indosat, masa aktif 30 hari), Rp50.000 (Indosat, masa aktif 7 hari), hingga Rp5.000 (XL, masa aktif 1 hari).

Adapun jumlah pengguna Blackberry saat ini berkisar 60.000 nomor, beberapa puluh kali lipat dibandingkan jumlah warnet.
Di masa mendatang sangat mungkin bermunculan vendor lain yang dapat menyediakan perangkat dan layanan serupa.

***
Akan tetapi, untuk menjadi ‘pembunuh’ warnet, Blackberry dan layanan Internet bergerak lain harus memenuhi sejumlah syarat.

Menurut Irwin Day, Ketua Umum Asosiasi Warnet Indonesia, harga Blackberry masih jauh untuk menjadi warnet killer. “Tidak semua pekerjaan bisa di Blackberry. yang sudah terjadi adalah ponsel murah dan pulsa murah menjadi wartel killer.

Irwin mengakui dunia sedang menuju ke penggunaan ponsel pintar dan serbaguna. “Tapi saya kok masih nggak yakin kalau Blackberry akan mendorong perubahan besar atau menjadi warnet killer application dalam waktu dekat. Karena mereka yang menggunakan Blackberry pada dasarnya memang bukan pengguna warnet,” tambahnya.

Ahli Internet Onno W. Purbo yang dikenal sebagai Bapak Warnet dan pelopor RT/RW Net, juga mengemukakan pandangan senada. “Ya enggak lah, hari ini berapa orang sih yang bisa beli Blackberry yang harganya Rp4 juta-Rp7 juta itu,” ujarnya retoris.

Menurut Onno, kalau harga Blackberry Rp200.000-Rp300.000 seperti ponsel saat ini maka layanan itu dapat mematikan warnet. “Sama lah kira-kira kaya ponsel mematikan wartel hari ini. Cuma, kan butuh waktu belasan tahun sebelum harga ponsel bisa turun sampai serendah itu,” tambahnya.

Irwin dan Onno masih optimistis terdap masa depan warnet. Akan tetapi, si calon pembunuh sudah lahir. Barangkali hanya soal waktu untuk memungkinkan layanan Blackberry serta Internet bergerak lainnya booming dan menghasilkan harga yang murah.

Warnet kembali mendapat tantangan dan harus menyediakan layanan beragam yang sulit diakses dari perangkat komunikasi bergerak.

Wallahu a’lam
Keterangan: Gambar diambil dari geardiary.com