18 Oktober 2009

Menunggu kabinet harapan

Ada cerita menarik tentang apa yang terjadi pada sebuah biro perjodohan di AS suatu ketika. Dalam sebuah program kencan kilat (atau mungkin lebih tepatnya disebut kenalan kilat), setiap peserta pria diberi kesempatan untuk bertemu dengan peserta wanita dalam waktu enam menit.

Jika dalam enam menit itu seorang wanita atau pria merasa tertarik, dia diminta memberi tanda tertentu kepada penyelenggara. Jika si pria memberi tanda tentang seorang wanita dan si wanita juga memberikan tanda tentang si pria, mereka masing-masing diberi alamat e-mail untuk meneruskan proses mereka.

Dalam suatu eksperimen, seorang peserta wanita diminta menuliskan kriteria teman pria yang didambakannya. Dia menulis bahwa yang diharapkan adalah pria yang cerdas dan tulus.

Akan tetapi, dalam praktiknya, lelaki yang dia pilih ternyata justru yang paling jenaka, sama sekali jauh dari kesan cerdas maupun tulus. Besoknya, ketika ditanya mengapa memilih orang tersebut, sang wanita menjawab bahwa dia menyukai pria yang menarik dan jenaka.

Masalahnya, ketika satu bulan kemudian ditanyakan kembali kriteria pria macam apa yang dia sukai, sang wanita kembali menjawab bahwa dia suka pria yang cerdas dan tulus.

Tampaknya ini menjadi membingungkan. Kasus semacam ini, kasus ketika kriteria logis yang dapat dia jelaskan tidak sesuai dengan kenyataan yang dia pilih, terjadi pada banyak sekali peserta yang diamati.

Jadi, lelaki macam apa yang sebenarnya diinginkan oleh si wanita? Pribadi asli yang manakah yang sebenarnya ada pada si perempuan? Apakah pribadi yang mengajukan syarat awal atau pribadi yang menjatuhkan pilihan?

Ada yang berpendapat bahwa pribadi yang asli adalah yang terungkap dalam aksi, bukan ketika berpikir. Malcolm Gladwell dan bukunya Blink menguraikan dan mencoba menjelaskan hal ini. Menurut dia, apa yang diungkapkan si wanita tentang kriteria lelaki idaman tidak salah, hanya kurang lengkap.

Apa yang diungkapkan sebelum acara dan sebulan kemudian adalah gagasan berdasarkan pikiran sadarnya. Itu adalah apa yang diyakininya sebagai keinginannya ketika dia merenung. Masalahnya, dia tidak menyadari adanya preferensi lain yang membentuk alam bawah sadarnya. Uraian mengenai apa yang ada dalam pilihan bawah sadarnya tidak terungkap.

Blink mungkin buku yang tepat untuk dibaca oleh siapa saja yang sedang mencari jodoh, mencari pasangan, atau menjadi mak comblang. Namun, kalau kita mau perluas, paparan Gladwell ini juga menarik untuk disimak oleh para 'mak comblang' di bidang politik.

***Ungkapan harapan
Cerita tentang proses kencan kilat itu memberi gambaran mengenai betapa berbedanya kebutuhan riil dengan harapan yang diungkapkan secara eksplisit. Bahkan pada orang yang sama, si wanita itu, kebutuhan dan ungkapan yang diharapkan bisa berjarak sangat jauh.

Dan ini terjadi untuk hal yang bagi sebagian besar orang dianggap sangat penting dan menyita banyak perhatian yaitu perjodohan. Kita bisa bayangkan betapa jauhnya jarak yang mungkin terjadi untuk hal-hal yang kurang mendapatkan perhatian serius oleh pribadi-pribadi yang terlibat.

Dalam bernegara ada kebutuhan riil rakyat. Rakyat punya kesempatan mengungkapkan harapannya melalui pemilu. Harapan eksplisit diungkapkan rakyat melalui pilihan dalam pemilu baik Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden.

Setelah pemilu, suara eksplisit mengenai harapan rakyat diwakili oleh partai. Sebagian lagi tetap disuarakan melaui media massa dan organisasi nonpemerintah.

Semua berharap bahwa kalaupun ada distorsi antara kebutuhan riil rakyat dengan hasil pemilu dan kemudian program kerja pemerintah, sebisa mungkin diminimalkan. Namun praktiknya tentu tidak mudah mengingat kebutuhan riil masyarakat berdimensi sangat banyak, sementara pilihan dalam pemilu tidaklah terlalu banyak. Kebutuhan riil satu orang saja bisa bermacam atfsir apalagi kebutuhan dari jutaan orang.

Dalam sistem demokrasi yang cukup kompleks, jarak antara harapan rakyat dengan program pemerintah bisa sangat jauh mengingat proses pengejawantahannya melalui jalur penyampaian aspirasi yang berlapis-lapis. Makin jauh jarak itu, makin besar pula peluang terjadinya bias.

Penyusunan kabinet adalah upaya presiden terpilih dalam mewujudkan harapan rakyat yang sebelumnya diungkapkan melalui Pilpres. Presiden sudah berjanji bahwa orang-orang yang terpilih dalam kabinetnya siap untuk bekerja sejak hari pertama. Artinya, program-program dasar sudah disiapkan untuk segera dijalankan oleh para pejabat baru itu.

Dalam kasus kencan kilat di atas, mak comblang dan biro jodoh yang cerdas diharapkan membantu sang wanita –yang bahkan tidak mampu merumuskan kebutuhan riilnya sendiri--untuk menyelaraskan harapannya dengan kebutuhan riil. Dengan demikian tidak muncul sesuatu yang misterius, ambigu, dan membingungkan.

Dalam pembentukan kabinet baru, kita tentu berharap Presiden--yang memiliki waktu beberapa bulan dalam menyusun kabinet sejak hasil Pilpres diketahui--berhasil merumuskan dan benar-benar mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Termasuk dalam hal ini adalah kebutuhan-kebutuhan riil yang bahkan rakyatnya sendiri tidak mampu merumuskannya dengan baik.

Mengakomodasi kebutuhan riil belum tidak sama dnegan populis. Seperti kata John Kennedy dalam Profiles in Courage, “[Memilih yang terbaik] itu mungkin berarti bahwa kami harus memimpin, memberi informasi, memperbaiki, dan kadang-kadang bahkan mengabaikan opini publik yang memilih kami.”

Gunungputri, 10 hari sebelum pemilihan menteri

Tidak ada komentar: