15 November 2009

Pahlawan formal prosedural


Sutomo yang dikenal dengan nama Bung Tomo adalah ironi kepahlawanan di Indonesia. Cerita Sutomo juga cermin kalahnya kenyataan yang cetho welo-welo oleh prosedur formal yang berbelit.

Bung Tomo merupakan orator ulung dikenal sebagai penggerak arek-arek Surabaya dalam perjuangan melawan pasukan Sekutu yang didomplengi tentara Belanda pada November 1945. Dalam peristiwa itu, Brigjen Mallaby tewas dan pasukan Sekutu berhasil diusir dari Surabaya.

Peristiwa perlawanan rakyat Surabaya itulah yang menjadi dasar penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Akan tetapi, Bung Tomo baru diberi gelar resmi sebagai pahlawan nasional pada 2008, atau 63 tahun setelah peristiwa heroik di Surabaya dan 27 tahun setelah dia meninggal dunia.

Mengapa penetapan Bung Tomo sebagai pahlawan perlu waktu yang begitu lama? Konon karena banyak prosedur formal yang harus ditempuh sebelum seseorang ditetapkan sebagai pahlawan.

Untuk menjadi pahlawan nasional, seseorang harus diusulkan oleh sekelompok masyarakat, kemudian dibahas dulu dalam suatu seminar, lalu diteliti dan diusulkan berbagai instansi pemerintah seperti Badan Penelitian Pahlawan Nasional. Persyaratan prosedural formal itu baru terpenuhi pada 2008.

Sejarah, cerita rakyat, serta dunia pewayangan bertaburan dengan kisah kepahlawan menurut versi masing-masing. Dalam dunia pewayangan Jawa, terdapat beberapa tokoh yang dikenal sebagai pahlawan kontroversial seperti Karna dan Kumbakarna.

Karna adalah anak Kunthi, jadi merupakan saudara seibu dengan tiga ksatria Pandawa. Akan tetapi, sejak muda dia bergaul dengan para Kurawa. Dalam perang Baratayudha, Karna berpihak pada Kurawa, melawan adik-adiknya, Pandawa. Dalam perang Baratayuda, Karna yang berhasil membunuh Gatotkaca akhirnya tewas oleh senjata Arjuna, adiknya sendiri.

Adapun Kumbakarna adalah adik Rahwana dari negeri Alengka. Kumbakarna sebenarnya menentang langkah Rahwana menculik Dewi Shinta, istri Rama, yang menimbulkan sengketa besar. Akan tetapi, dalam perang antara Rahwana dengan Rama, Kumbakarna membela negerinya, Alengka, dari serbuan pasukan kera yang memihak Rama.

Karna dan Kumbakarna, sering digambarkan sebagai penganut nasionalisme fanatik sempit. Mereka berdua mengikuti prosedur formal sebagai rakyat yang harus membela negaranya. Padahal, membela negara dalam konteks kerajaan semacam itu seringkali identik dengan membela pemimpinnya, bukan membela rakyatnya.

“Benar atau salah yang penting prosedur [sebagai warga negeri pewayangan] terpenuhi,” begitulah barangkali dasar berpikirnya, seperti ditafsirkan seorang rekan yang sangat cerdas di milis Lulusan TF-ITB.

Penyederhaan birokrasi
Dalam organisasi, prosedur diperlukan untuk memastikan bahwa semua upaya berlangsung objektif, terbebas dari kepentingan dan kelemahan pribadi-pribadi yang terlibat. Akan tetapi, prosedur yang terlalu banyak sering membuat lumpuh organisasi.

Penerapan tertib prosedural kadang membuat proses organisasi berjalan lambat. Harapannya, proses akan berlangsung lebih cermat, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan. Sialnya, harapan ini sering hampa.

Negara adalah sebuah organisasi sangat besar. Dan akumulasi prosedur yang ada dalam birokrasi sebuah negara bisa besar sekali. Schumatcher dalam Kecil itu Indah memberi gambaran bagus sekali mengenai tidak nyamannya tumpukan prosedur dalam sebuah birokrasi.

“Tidak ada orang yang menyukai organisasi besar. Tidak ada orang yang suka menerima perintah dari orang yang menerima perintah dari seorang kepala yang juga menerima perintah dari kepalanya yang menerima perintah pula. Kalaupun peraturan-peraturan yang dibuat oleh birokrat itu sangat berperikemanusiaan, tak ada orang yang suka diatur oleh peraturan—artinya oleh orang yang kalau ada keluhan selalu menjawab: Saya tidak membuat peraturan. Saya hanya melaksanakan peraturan,” paparnya.

Dalam konteks ini Schumatcher memandang birokrasi yang ruwet sebagai hambatan bagi terobosan, kemajuan, dan inovasi. Banyak pemborosan yang terjadi karena prosedur birokrasi yang rumit. Banyak energi terbuang, uang terhambur, sumber daya tersia-sia.
Krisis hukum yang mencuat belakangan ini, serta ancaman kelangkaan pupuk seperti yang diberitakan Bisnis edisi 11 November, tak lepas dari kerumitan prosedur formal. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, slogan ‘benar atau salah ikut prosedur formal’ tampak sudah tidak relevan lagi.

Kita butuh pahlawan model baru, mereka yang dapat mengurangi kerumitan hidup rakyat, mampu menyederhanakan beragam prosedur tak perlu yang harus dihadapi rakyat ketika berhadapan dengan birokrasi negara.

Mampukan partai politik dan lembaga-lembaga formal di Indonesia melepaskan diri dari belitan prosedur dan birokrasi sebagaimana lembaga swadaya masyarakat, elemen-elemen masyarakat madani, serta media massa belakangan ini?

Debirokratisasi mungkin terkesan usang, tapi tetap relevan. Pasti menggembirakan kalau ada pahlawan baru yang sanggup menerapkan slogan lama KISS alias keep it simple, Smart!

*) Foto di Tokyo, tempat perdana menteri Jepang biasa memberikan pidato penting
**) Tulisan ini semacam manivesto dari seorang yang baru saja diingatkan oleh seorang mantan menteri mengenai visi lamanya waktu mahasiswa: “akhirnya jadi Presiden”.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Boleh juga tuh foto di-mimbar yang biasa dipakai PM Jepang berpidato.

Kapan akan mejeng dimimbar Pidato di Istana negara?

Jabat erat,
KK

Setyardi Widodo mengatakan...

terima kasih Pak KK berkenan mampir. soal mimbar sedang dihitung-hitung Pak, hehehe.