14 September 2009

Krakatau, wikinomics, dan nasionalisme


Akhir Agustus adalah ulang tahun bagi letusan Krakatau. Tepat 126 tahun yang silam, gunung itu meletus dahsyat. Dengan korban jiwa lebih dari 36.000 orang, letusan itu merupakan letusan gunung dengan jumlah korban terbanyak sepanjang sejarah.

Enam mil kubik partikel berbobot ribuan ton dilontarkan ke udara hingga ketinggian 30 mil. Partikel debu halus itu bahkan sampai ke langit New York empat bulan setelah letusan atau pada Desember 1883. Letusan Krakatau yang menghancurkan dirinya sendiri di Selat Sunda beserta 165 desa di sekitarnya itu menimbulkan tsunami yang menjalar ke seluruh dunia dan menghasilkan gelombang pasang hingga 15 hari setelahnya.

Letusan –sebagian ahli lebih suka menyebut ledakan--yang dimulai pada Minggu, 26 Agustus 1883 dan mencapai puncaknya pada Senin pagi, 27 Agustus 1883 itu, menurut Simon Winchester dalam bukunya Krakatau, hanyalah letusan terdahsyat kelima dunia.

Letusan terdahsyat nomor satu yang tercatat sejarah terjadi di Gunung Toba pada 74.000 tahun lalu yang menghasilkan Danau Toba dan Pulau Samosir. Letusan terdahsyat nomor dua ditempati Gunung Tambora pada 1815, namun tidak banyak dokumen sejarah yang merekamnya. Nomor tiga ditempati Gunung Taupo di Selandia Baru, dan posisi keempat diduduki Gunung Novarupa, Alaska. Posisi kelima barulah ditempati Krakatau. Krakatau juga cuma satu dari 87 gunung api aktif yang terdapat di Indonesia dan Filipina ---21 di antara gunung itu berada di Jawa. Meski begitu, bencana Krakatau tercatat sebagai letusan gunung api dengan korban terbanyak sepanjang sejarah.

Letusan Krakatau memiliki dampak sangat luas. Winchester dengan sangat baik menjelaskan bagaimana penelitian mengenai letusan ini menjadi cikal bakal dari perdebatan ilmiah sangat panjang yang terus terjadi hingga sekarang seperti mengenai pemanasan global, efek gas rumah kaca, hujan asam, dan interdependensi ekologis. Di balik ledakannya, Krakatau --yang kemudian dilanjutkan oleh Anak Krakatau--menyumbangkan banyak hal penting bagi ilmu pengetahuan.

Dua puluh sembilan tahun sebelum letusan Krakatau, seorang ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace memulai sebuah ekspedisi yang mengesankan ke Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.

Ketika kembali ke London tiga tahun kemudian, Wallace membawa tidak kurang 125.660 spesimen tanaman dan hewan yang diatur seksama. Spesimen itu terdiri atas 310 mamalia, 100 reptil, 83.000 kumbang, 13.000 serangga lain, 8.000 burung, 13.000 kupu-kupu, serta 7.500 kerang.

Hasil kerja Wallace ini menjadi salah satu ilham penting bagi Charles Darwin dalam melahirkan teori evolusi. Bahkan sebagian ilmuwan percaya bahwa tempat lahirnya sains evolusi sebenarnya bukanlah Galapagos, melainkan Pulau Ternate yang menjadi basis penelitian Wallace.

***Adopsi wikinomics
Letusan Krakatau dan hasil kerja Wallace adalah sedikit dari banyak bukti betapa Indonesia memiliki sumber daya alamiah yang sangat kaya. Negeri ini memiliki sangat banyak objek ilmiah yang pengaruhnya signifikan dirasakan oleh dunia, khususnya dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.

Indonesia memiliki banyak 'simpanan misteri dan pengetahuan' yang tidak dimiliki belahan dunia yang lain. Lalu, bagaimanakah mengoptimalkan sumber daya alam yang sangat berlimpah itu untuk kesejahteraan bersama manusia di dunia? Ini pertanyaan yang terkesan klise. Akan tetapi kita dapat memilih pendekatan yang tidak klise untuk menjawabnya.

Saya teringat dengan prinsip dan cerita yang dipaparkan oleh Don Tapscott dan Anthony D. Wlliams dalam buku wikinomics (ditulis dengan huruf w kecil). Prinsip utama dalam perekonomian model baru itu terdiri dari empat hal: keterbukaan, peering, berbagi, dan bertindak global.

Prinsip wikinomics umumnya berlaku untuk industri teknologi informasi, lebih khusus lagi peranti lunak, seperti dalam pengembangan open source Linux. Namun tidak terbatas dalam hal-hal semacam itu. Bagi saya, wikinomics adalah semacam knowledge management yang diperluas --dengan penekanan pada knowledge circulation--dan ditambah dengan rumus ekonomi pendukung.

Salah satu contoh implementasi prinsip itu dalam sektor riil adalah apa yang terjadi pada Goldcorp, sebuah perusahaan pertambangan emas yang berpusat di Toronto, Kanada. Perusahaan itu memiliki tambang emas berusia 50 tahun di Red Lake, Ontario.

Pada 1999, para geolog perusahaan itu menemukan bahwa mereka memiliki cadangan emas 30 kali lipat dari yang ditambang saat itu, namun tidak tahu bagaimana menemukan emas di area pertambangan yang begitu luas.

CEO Goldcorp, Rob McEwen, mendapat ilham dari perkembangan Linux. Jika geolog internal perusahaan tidak bisa menemukan lokasi emas secara presisi mengapa tidak meminta bantuan kepada seluruh dunia?

Maka McEwen membuka dokumen geologi perusahaan sejak tahun 1948 dan membiarkan komunitas geologi global untuk mempelajari serta menawarkan cara pemecahan masalah dengan imbalan US$575.000 bagi peserta yang memberikan estimasi terbaik. Hasilnya sungguh mengejutkan. Goldcorp mendapatkan input bukan hanya dari para geolog dunia, melainkan juga mahasiswa, konsultan, matematikawan, hingga ahli militer.

Para peserta berhasil mengidentifikasi 110 target tambang di Red Lake, 50% di antaranya belum pernah teridentifikasin oleh Goldcorp. McEwen memperkirakan proses kolaborasi global ini memangkas waktu eksplorasi sekitar 2 tahun--3 tahun.

Pertanyaannya, dapatkan Indonesia Inc memanfaatkan sumber daya global di mana pun berada untuk membantu optimalisasi sumber daya alam dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi seperti Goldcorp memanfaatkan otak-otak encer di luar perusahaan?
Bukankah Krakatau (dan Anak Krakatau) serta keanekaragaman hayati seperti yang ditemukan Wallace dapat diperlakukan seperti tambang milik Goldcorp yang jelas-jelas mengandung potensi luar biasa namun menunggu penggarapan secara tepat?

Jawabannya, secara teoritis, tentu bisa. Indonesia bisa mengundang sumber daya luar negeri baik berupa otak maupun dana untuk bersama-sama mengoptimalkan objek penelitian ilmiah sehingga lebih bermakna bagi perkembangan perikehidupan umat manusia. Bukankah ini semacam pembalikan dari kisah brain drain alias larinya otak-otak cerdas ke luar negeri?

***Litbang dunia
Ada satu bab sangat menarik dalam wikinomics yang mengulas Ideagora. Ini semacam pasar ide yang memungkinkan gagasan,penemuan, dan keahlian ilmiah diakses, dipertukarkan, dan dimanfaatkan secara bersama.

Dalam dunia yang penuh persaingan dan teknologi yang melaju pesat, perusahaan-perusahaan besar (dan juga negara sebagai analoginya) seringkali tidak dapat semata-mata mengandalkan divisi penelitian dan pngembangan internal. Mereka perlu mempertimbangkan orang-orang berbakat terbaik yang ada di luar perusahaan. Apalagi perusahaan juga seringkali tidak bisa mempertahankan orang-orang terbaik untuk tidak pergi.

Jadi, sebagian perusahaan cerdas memanfaatkan Dunia sebagai divisi litbangnya dengan memberdayakan pasar ide yang disebut Ideagora itu.

"Sesuatu di luar institusi Anda tahu bagaimana menjawab pertanyaan spesifik Anda, memecahkan problem spesifik Anda, atau memanfaatkan peluang lebih baik dari Anda. Anda perlu menemukan mereka, dan mencari jalan untuk berkolaborasi secara produktif bersama mereka," ujar A. G. Lafley, CEO P&G yang menggambarkan pokok pikiran pasar ide Ideagora.

Saya seolah-olah membaca pernyataan ini sebagai: Sesuatu di luar negara Anda tahu bagaimana menjawab pertanyaan spesifik rakyat Anda, memecahkan problem spesifik negara Anda, atau memanfaatkan peluang lebih baik dari birokrat Anda. Anda perlu menemukan mereka, dan mencari jalan untuk berkolaborasi dengan produktif bersama mereka.

Di tengah gegap gempita perayaan hari ulang tahun kemerdekaan, pemikiran ini tampak sangat tidak nasionalis. Akan tetapi, sebagaimana orang harus realistis melihat brain drain sebagai brain circulation yang tidak bisa dilawan melainkan dimanfaatkan, saya memandang ini adalah jalan realistis yang perlu ditempuh di tengah berbagai keterbatasan dalam negeri.

Meski begitu, Tapscoot dan William mengingatkan bahwa dalam pendekatan sharing semacam ini, entitas yang menginginkan sumbangan pemikiran dari luar harus bersedia berbagi secara terbuka sembari tetap melindungi properti intelektual intinya. "Jangan pernah melepaskan kendali sepenuhnya terhadap nasib perusahaan."

Juga, jangan sampai meniru kisah YouTube--sang icon wikonomics--yang begitu populer, digunakan sangat banyak orang, berjasa besar bagi perkembangan pengetahuan, namun hingga saat terakhir diakuisisi oleh Google masih dalam keadaan merugi. Wallahu alam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!