
Prihatin menjadi kata yang menarik belakangan ini. Pidato-pidato pejabat besar menyangkut hal-hal yang tidak menyenangkan biasanya menyebut kata prihatin ini.
Kebetulan di sebuah toko buku saya menemukan satu judul menarik. Laku Prihatin, investasi menuju sukses ala manusia jawa karya Iman Budhi Santosa.
Kendati definisi manusia Jawa dalam buku ini bagi saya agak absurd di tengah globalisasi, tetapi setidaknya saya adalah bagian dari orang Jawa. Dan dari dulu memang setahu saya orang Jawa diajari untuk prihatin, menjalani laku prihatin.
Konon prihatin mungkin berasal dari perih dan ati/ aten. Artinya hati/perasaan yang menderita nyeri. Akan tetapi ada juga makna prihatin sebagai bertalak atau berpantang.
Saya lebih cenderung pada pengertian kedua, bahwa prihatin dalam bahasa Jawa merupakan lawan dari sikap hedonis, bersuka-suka (suka parisuka), berfoya-foya, dan sebangsanya.
Adapun prihatin dalam bahasa Indonesia memang merujuk pada pengertian pertama, sebagai lawan dari kata senang dan gembira. Inilah makna kata prihatin yang sering digunakan pejabat besar ketika menyinggung hal-hal tak menyenangkan.
Nasihat-nasihat para pujangga Jawa di masa lalu tentang perlunya prihatin saya kira sejalan dengan nasihat sufistik. Secara umum biasanya yang dimaksud prihatin adalah membatasi makan, membatasi tidur, tidak boros, tidak bermewah-mewahan, berlaku sederhana. Kadang juga dengan berjalan jauh, berkelana, dan suka menolong tanpa pandang bulu.
Nah, teknisnya agak beragam. Saya kira soal teknis itu berkembang sesuai pengaruh budaya lain yang masuk seperti agama Hindu, Buda, serta Islam. . Oleh sebab itu, bagi yang mau serius prihatin dengan cara tertentu, hendaknya memeriksa kembali aturan-aturan teknis dalam agama supaya tidak menimbulkan pelanggaran (yang tentu saja bisa amat serius).
***
Prihatin ini saya kira ajaran yang amat populer dan lestari pada msayarakat Jawa. Barangkali hal itu pulalah yang menjadi semangat terpendam yang membuat orang Jawa biasanya tahan menderita, tahan menjalani kehidupan yang berat dan tidak menyenangkan, tahan menempuh bahaya dan kesusahan demi sesuatu yang dianggap luhur/mulia/bahagia di masa depan. Bukankah kebanyakan orang (asli) Jawa (sejati) dikenal demikian?
Elan prihatin ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tokoh ksatria kanan dalam dunia wayang semua bertubuh kurus kecil (kecuali Bima dan keturunannya), sementara tokoh lawannya besar-besar dan gendut-gendut.