07 Juni 2011

Sakitnya kematian

Sepekan ini ada heboh tentang penyembelihan sapi impor dari Australia di rumah jagal yang berada di Indonesia. Saya tidak betah nonton sampai akhir video sadis berita dari media Australia itu. Namun demikian, ada beberapa pendapat dan pertanyaan menyangkut soal penyembelihan hewan itu.

*Saya kira secara umum perlakuan terhadap hewan ternak (hewan berkaki) dalam proses mematikan sebelum memasak dagingnya relatif lebih baik dibandingkan perlakuan terhadap hewan tak berkaki. Paling tidak ada standar bahwa mematikan hewan ternak adalah dengan menyembelih, memotong bagian lehernya.

Coba bandingkan dengan perlakuan kita terhadap ikan. Ada yang dipancing, artinya saluran makannya ditancapi sesuatu yang tak bisa dia lepaskan, lalu seluruh tubuhnya ditarik berlandaskan benda yang menancap itu. Ikan-ikan juga sering berada di luar air berjam-jam dalam keadaan tidak mati dan tidak hidup di pasar.

Lalu, cara mematikan ikan atau belut bisa dengan dipukul, atau bahkan langsung disiangi tanpa menunggu mati. Tidakkah ini lebih kejam? Tidak adakah standar perlakuan terhadap ikan dkk-nya?

*Soal rasa sakit menjelang kematian. Membunuh dengan cara yang santun dan cepat kan punya dua aspek. Aspek pertama dirasakan oleh penyembelih dan penonton. Menyembelih atau membunuh tanpa menyiksa saya kira pasti berdampak lebih baik bagi kejiwaan si penyembelih itu sendiri dibandingkan menyembelih dengan kekejaman.

Namun aspek lain yg menyangkut si hewan ternak itu sendiri saya kira tidak kita tahu pasti. Memang ketika hewan sehat dan jauh dari sakaratul maut, kita bisa memastikan bahwa perlakuan yg kejam lebih menyiksa. Akan tetapi, ketika sakaratul maut mulai terjadi, kita tidak tahu persis apakah kematian yg lambat lebih menyiksa dibandingkan kematian yg cepat. Kita belum punya sensor rasa sakit, bukan?

Satu organ tubuh kita tidak berfungsi normal saja kita bisa merasakan sakit. Misalnya ketika kita sesak nafas yang serius. Sakit kan?

Saya membayangkan bahwa kematian adalah tidak berfungsinya organ signifikan tertentu dalam tubuh sedemikian hingga kerja tubuh terhenti, macet. Jadi, bayangan saya, pasti suakiiit banget.

Secepat apa pun proses matinya, tetap saja ada lonjakan kesakitan yg luar biasa saat fungsi tubuh macet. Nah, dalam lonjakan amat tinggi seperti ini, apakah periode kesakitan masih signifikan?

Lah berhubung saya juga belum tahu jawabnya, saya menduga bahwa manfaat utama dari proses penyembelihan yang cepat dan tanpa menyiksa justru dirasakan oleh jiwa si penyembelih dan penonton, belum tentu oleh hewan yang dipotong.

Wallahu alam.

2 komentar:

nezar patria mengatakan...

menarik. izin share di rubrik blog vivanews.com ya. thanks.

seffees mengatakan...

content hop over to these guys look at here now visit this page check out here click reference