11 Januari 2009

Maling dan keteledoran


Kamis pagi. Saya berangkat ke kantor dan bertemu dengan empat hal yang bukan peristiwa keseharian. Pertama saya melihat kecelakaan di jalan tol Jagorawi. Sebuah truk box berisi dua air mineral terguling dan badannya melintang di jalanan menyebabkan kemacetan panjang. Tiga lainnya, saya temui di sepanjang jalan Casablanca-Karet, tiga rombongan iring-iringan pemakaman jenazah.

Sebagai hal yang berdiri sendiri, empat hal itu adalah peristiwa lazim. Tetapi terjadi dalam satu kali keberangkatan ke tempat kerja adalah gabungan yang menjadi baru bagiku.

***
Kamis malam. Saya meninggalkan kantor menjelang pukul 22.00 dan langsung menuju ke Bandung. Sepanjang jalan hujan mengguyur nyaris tiada berhenti. Dari kantor di Karet, jakarta, sampai parkir di Bandung sama sekali tidak bertemu dengan jalan yang kering. Semua basah.

Jalanan gelap sekali, saya jalan pelan-pelan saja. Sampai di Bandung menjelang pukul 01.30. saya pun parkir di pinggir jalan Sukaxxxxx seperti biasanya. Malam sudah sangat larut, jadi jalan itu sangat amat sepi. Saya parkir di sisi kanan jalan, persis depan gang yang mengarah ke kontrakan.

Berkali-kali saya coba telepon ke HP istri, nadanya sibuk terus. Biasanya saya telepon tidak seperti ini. Ketika saya masuk rumah, saya periksa HP aktif seperti biasa. Wah, saya pikir layanan seluler ini makin lama makin parah.

***
Malam itu, sesuai rencana, adalah malam terakhir saya tinggal di rumah kontrakan lama. Pagi-pagi saya mulai angkut-angkut barang ke rumah kontrakan yang baru. Barang yang pertama saya angkat ke mobil adalah meja pendek.

Begitu sampai di mobil, alangkah terkejutnya. Kaca pada pintu bagian kanan belakang sudah pecah berantakan. Sebagian besar onggokannya berada di luar mobil. Pecahan kaca juga berserak di bagian dalam mobil. Radio-tape sudah lenyap dengan kabel yang terburai. Sebagian besar uang receh lenyap. Sisanya berantakan di jok dan lantai. Innalillahi wa inaa ilaihi rajiun.

Saya sudah satu tahun biasa parkir di tempat itu. Dan malam itu adalah malam terakhir saya tinggal di sana. Wah, agaknya ada yang ingin memberi kenang-kenangan.

***
Jumat siang. Saya sudah bolak-balik lima kali membawa barang dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Ketika meninggalkan kontrakan baru untuk kembali membawa barang, saya meletakkan dompet di atas tembok pagar. Sebab, tangan saya masih ribet untuk memasang gembok. Ketika meletakkan itu saya sudah khawatir jangan-jangan saya nanti lupa.

Maka demikianlah. Sekitar setengah jam kemudian, ketika masih dalam perjalanan yang macet, saya baru ingat bahwa dompet hitam tidak ada di saku celana. Stress lah saya ini. Di sana ada KTP, SIM, STNK, beberapa kartu ATM, dan sebagainya. Saya hanya bisa berdoa dan pasrah. Alhamdulillah Allah masih memperkenankan saya bertemu dengan dompet itu dalam keadaan utuh. Saya terhindar dari kepahitan yang lebih berat daripada peristiwa malamnya.

Minggu pagi, ketika menjelang keberangkatan saya ke Jakarta, hal yang hampir sama, dengan lokasi yang berbeda terjadi lagi. Alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk memegang kembali dompet itu.

***
Saya tidak punya banyak pengalaman berurusan dengan maling, copet dan semacamnya. Peristiwa pahit kehilangan dompet saya alami sewaktu kuliah di Bandung. Saya baru tiba naik kereta dari Jawa Tengah. Turun di stasiun Kiara Condong lalu naik angkot putih ke arah Dago. Di sepanjang jalan itu ada orang agak aneh duduk di sebelah kiri saya. Kata-katanya aneh, tidak saya mengerti, dan bergaya seperti mau muntah. Saya tidak menduga bahwa itu tanda-tanda copet. Saya baru sadar ketika saya cek dompet sudah lenyap.

Suatu ketika saya berjalan di dekat perempatan Grogol, Jakarta, dengan tas di punggung. Saya merasa tas seperti bergerak-gerak. Saya tengok, salah satu saku sudah terbuka. Alhamdulillah orang yang santai berjalan di belakang saya itu belum bisa mengambil tape recorder.

Saat yang lain saya berjalan di depan Dharmala, Jl Sudirman, sekitar jam 8 malam. Tas di punggung juga terasa bergerak-gerak. Saya tengok ke belakang, ponsel saya sudah berada di tangan orang yang ada di belakang saya. Tampaknya dia terkejut sehingga HP itu dikembalikan dan dia langsung lari naik ke metromini.

***
Kejadian yang agak lebih mengerikan pernah saya lihat di dekat stasiun Senin. Dari atas bus saya lihat seseroang menjambret kalung seorang wanita di tengah keramaian. Tidak ada orang yang berani menolong.

Pernah juga saya lihat di perempatan Grogol seorang penjahat dikejar oleh orang yang baru turun dari mobil. Penjahat itu sempat melawan, lalui lari lagi ke arah selokan dan tidak dapat dikejar lagi.

***
Waktu kecil di desa saya sering ada maling. Maling di desa itu, menurut mitos, sukanya nggangsir. Artinya masuk ke rumah dengan menggali tanah/pondasi. Seperti diketahui, rumah jalam dulu tidak memiliki pondasi yang kuat sehingga mudah digali.

Di desa, kalau malam menjelang pagi turunlah embun. Suaranya cetok-cetok memukul dedaunan sering membuat saya takut. Saya sering membayangkan suara itu sebagai suara maling yang sedang berjalan kaki. Di desa juga ada burung bence. Ada mitos kalau burung itu berbunyi maka ada maling yang sedang lewat.

***
Ada satu lagu Jawa yang sangat saya sukai, yaitu Rama Ana Maling (Ayah, Ada Maling). Ini lagu yang sangat kocak, tetapi juga mengena dan mendalam. Lagi ini berkisah tentang seorang gadis yang atine digondhol maling (hatinya telah tercuri)

Tidak ada komentar: