17 Agustus 2010

Apakah saya masih menyukai cerpen?

Ada periode ketika saya sangat suka cerpen. Puncaknya mungkin sekitar 10—13 tahun yang lampau. Saya lupa persisnya. Yang jelas pada masa puncak kesukaan itu, saya sampai mengkliping dan menyimpan hard copy cerpen-cerpen yang menurut saya baik.

Kesukaan pada cerpen itu, agaknya, pada awalnya, agak dekat dengan kecintaan pada novel. Tentu saja kesukaan pada cerpen lebih dahulu, karena mbacanya pendek, ringan, cepat selesai (sekali pukul, dalam waktu beberapa menit saja).


Tetapi cerpen dalam pengertian yang dimuat surat kabar, ternyata berbeda dengan cerpen yang dimuat dalam buku-buku kumpulan cerpen (terjemahan). Cerpen dalam surat kabar lokal dibatasi oleh space yang umumnya tidak lebih dari tiga per empat halaman koran. Kira-kira panjangnya kurang dari 15.000 karakter. Kalau dicetak ulang dalam bentuk buku dengan kapasitas 1.500 karakter per halaman, paling-paling menghabiskan 10 halaman per cerita.

Adapun cerpen terjemahan seringkali sangat panjang. Bisa sampai puluhan halaman buku. Setidaknya itu yang saya temui pada kumpulan cerpen (dari beberapa negeri) seperti yang sering diterbitkan Yayasan Obor. Juga kumpulan cerpen dari tokoh sastrawan besar dunia (yang sering diterbitkan pula oleh Obor).

***
Saya coba mengingat-ingat, apakah yang membuat saya (pernah begitu) suka cerpen.

Ada cerpen yang dimuat Kompas tahun 1993 yang membuat saya begitu terkesan. Ada cerpen-cerpen tertentu yang saya rasa sangat mewakili apa yang bergejolak pada jiwa muda saya. Ada cerpen lain lagi yang saya rasa mewakili impian-impian masa depan saya tentang keluarga dan tentang kehidupan.

Cerita-cerita itu umum penuh dengan semangat kesederhanaan, kerendahhatian, kedermawanan, perjuangan tak kenal lelah, serta sifat-sifat mulia lainnya.

Nama-nama seperti Seno Gumira Ajidarma, Jujur Prananto, Ahmad Tohari, Agus Noor, Danarto, Gus tf Sakai pun terasa begitu akrab. Merekalah pesohor dunia cerpen di surat kabar Ibukota.

Lalu, mengapa sekarang saya tidak lagi begitu menyukai cerpen? Saya kira saya tidak bisa mengatakan bahwa saya tidak lagi menyukai cerpen. Saya masih suka cerpen, tetapi tidak seintens beberapa tahun yang lalu. Saya tidak lagi rutin membaca cerpen yang dimuat koran edisi akhir pekan.

Mungkin saya merasa tidak banyak lagi cerpen yang mewakili impian dan gejolak di hati saya (ataukah impian dan gejolak itu masih ada? Sudah padam? Embuhlah adanya). Apakah saya tidak lagi menyukai kesederhanaan, kerendahhatian, serta kebaikan-kebaikan yang diajarkan lewat cerpen-cerpen itu? (lagi-lagi, embuhlah adanya)

Yang jelas saya sering merasa cerpen-cerpen fiktif itu ceritanya mbulet, terasa muter-muter, dan absurd. Begitu fiktif dan abstraknya sampai-sampai sulit dicerna. Saya masih menyukai cerpen yang sederhana, yang lucu, yang dekat dengan kenyataan.

***
Baru-baru ini saya mendapat hadiah buku kumpulan cerpen dari Pak Kusmayanto Kadiman. Ini satu dari beberapa buku yang beliau kirimkan lewat pos. (Terima kasih pak KK). Judulnya Cerpen Kompas Pilihan 2009: Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian. Pak KK menjadi salah satu juri yang memilih 15 cerpen terbaik itu. Ada penjelasan Pak Kus tentang repotnya orang teknik menjadi juri yang harus memilih karya sastra.

Saya mendapat buku ini dua hari sebelum berangkat ke Ambon. Dan karena saya masih punya buku lain yang perlu dibaca, buku ini baru saya baca pekan lalu, di rumah sakit, pada hari pertama Sekar menginap di sana.

Ada beberapa cerpen yang sudah saya baca sewaktu cerpen itu terbit di korannya. Dan saya (kebetulan) memang suka dengan cerpen itu. Namun sebagian besarnya belum saya baca. (Apalagi pada Ahad pagi saya lebih sering membaca Tribun Jabar di Bandung daripada Kompas cetak, hehehehe.)

Salah satu cerita yang sangat memikat dalam buku ini adalah Menanti Kematian. Ini cerita yang memilukan, mengharukan, sekaligus kocak. Suatu cerita yang terasa begitu dekat. Utang, kemiskinan, mencari pekerjaan yang layak, mendapat pekerjaan namun banyak tantangan tak terduga, perusahaan minyak, kematian, campur menjadi satu. Jujur Prananto merangkai dengan indah, dengan pas. Saya sudah membacanya pada edisi koran, dan kemarin membaca ulang. Tetap menikmati.

Begitu pula dengan cerpen Kaki yang Terhormat karya Gus tf Sakai. Ini juga sudah saya baca dan sukai sejak edisi koran. Sayangnya latar belakangnya Minang, ada Mak Etek, Atuak, dan beberapa istilah yang kurang familiar bagi saya. Tetapi saya tetap bisa menikmatinya, bahkan merasa cerita ini lebih menarik daripada Blarak yang berlatar belakang Jawa dan mistis karya Yanusa Nugroho. Blarak baru saya baca pada kumpulan cerpen ini.

Pada intinya, saya merasa masih bisa menyukai dan menikmati cerpen, meskipun tidak seperti dulu. Mudah-mudahan ini berarti saya masih punya hati, tidak hanya robot, hehehe (menyitir judul tulisan Pak Kus di halaman belakang: Cerpen, membuat robot punya hati)