27 Agustus 2010

Dupa & bambu gila di Natsepa*

Tujuh pria bertelanjang dada memeluk sebatang bambu dengan panjang sekitar 3 meter. Semuanya mengenakan celana merah. Di depan mereka, seorang pria berbaju hitam membaca mantera sambil terus meniupkan dupa.


Di bagian luar arena, ada lima orang yang menabuh alat musik perkusi. Empat orang memukul semacam kendang atau beduk kecil dengan tongkat pendek. Satu orang lainnya memukul semacam bende atau bonang.

Di tengah kegaduhan musik itu bambu pun mulai bergerak dengan sendirinya. Tak ada tenaga penggerak yang tampak oleh mata telanjang.

Makin lama gerakan makin cepat dan liar. Gerakannya seolah tanpa pola. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang, berputar-putar. Kadang seperti mau menabrak ke arah penonton, saat lain ke arah tiang yang ada di sisi tempat pertunjukan.

Tujuh pria perkasa itu tampak kuwalahan, sedang pria baju hitam terus sibuk membaca mantera dan meniupkan dupa ke sekujur badan bambu. Seorang pria lain yang berbaju merah ikut menjaga agar gerakan bambu tidak membahayakan, tidak menabrak ke arah penonton.

Bambu terus bergerak ke sana-ke mari. Setelah setengah jam, pertunjukan usai. Bambu bergerak ke pinggir lapangan. Lalu tujuh pria itu tengkurap berjajar sambil tetap memeluk bambu. Bambu diangkat. Satu per satu pria itu dibangunkan, seperti dipijat. Kemudian mereka pun istirahat.


Begitulah sekilas pertunjukan bambu gila atau crazy bamboo. Pertunjukan khas Maluku itu ditampilkan di hotel Aston Natsepa, Maluku, dalam gala dinner Simposium Indonesia-Australia dalam rangka Sail Banda. Bagi orang Jawa, pertunjukan magis ini mungkin mengingatkan mekanisme yang mirip dengan kuda lumping maupun boneka jailangkung. Benda-benda mampu bergerak dengan sendirinya.

Bambu gila hanyalah salah satu pertunjukan menarik yang bisa dinikmati para pelancong di Maluku. Dalam kesempatan simposium itu sempat ditampilkan pula tarian sahureka reka.

Bila bambu gila dimainkan seluruhnya oleh pria, maka tarian ini dimainkan seluruhnya oleh perempuan. Empat perempuan muda berbaris masing-masing membawa bambu sepanjang 3 meter. Empat perempuan lainnya berada pada sisi yang lain. Lalu mereka mulai berbaur dan menari.

Ada gerakan-gerakan berbahaya yang membutuhkan kecekatan, keteraturan, serta disiplin keempat pemain. Empat penari yang membawa bambu berjongkok dan membuat semacam salib dengan masing-masing dua batang bambu. Keempat bambu digerakkan saling berbenturan. Empat perempuan lain menari-nari di sela-sela bambu itu.


Jika lengah dan tidak sesuai irama, kaki mereka pasti akan terjepit di antara bambu-bambu yang dibenturkan dan menimbulkan suara keras itu. Gerakan semakin berbahaya ketika bambu diangkat. Gerakan seperti tadi diulang, hanya saja kini posisinya setinggi leher. Jadi, jika penari lengah, maka yang berpeluang untuk terjepit bambu-bambu berwarna coklat itu bukan lagi kaki, melainkan leher.

Di luar bambu gila dan sahureka-reka, di sela-sela acara Sail Banda yang puncak acaranya digelar awal Agustus lalu, saya berkesempatan menyaksikan tarian lain menggambarkan cara nelayan menangkap ikan. Ada empat penabuh bedug kecil serta lima penari bercaping. Semuanya pria. Gerakan mereka begitu gagah, dinamis, serta energik....

*) Artikel selengkapnya dimuat di Bisnis Indonesia Minggu yang beredar hari ini. Tulisan lain soal Ambon ada juga "Makan patita dan ribuan resep kerukunan" yang beredar beberapa pekan lalu.