10 April 2011

Logika di balik hal tidak logis*

Mengapa para boss digaji amat tinggi, meski tidak pintar? Menurut Harford itu untuk memicu para calon boss, bukan semata-mata untuk si boss itu sendiri.

Lalu mengapa orang tetap tinggal di perkotaan yang padat dan sesak? Karena di situlah pertukaran pengetahuan berjalan intensif dan murah. Juga peluang-peluang baru.

***
Mengapa orang masih setia tinggal di kota besar seperti Jakarta? Biaya hidup jauh lebih besar dibandingkan daerah lain, kepadatan penduduk lebih tinggi, kemacetan jauh lebih parah, waktu yang dihabiskan di jalan raya juga jauh lebih banyak.

Banyak ragam jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Jakarta hanyalah satu dari puluhan atau ratusan kota besar dunia yang terus menyedot warga sekitar untuk datang.
Salah satu jawaban akan daya tarik kota besar bisa kita baca dalam buku Logika Hidup, Logika ekonomi di balik seks, kejahatan, rasisme, dan politik kantor karya Tim Harford.

Dalam bab Dunia Tajam, Harford menyoroti mengapa kebanyakan orang memilih tinggal di New York daripada di Rock Island. Padahal, untuk tinggal di New York orang harus mengeluarkan biaya tambahan 14% dari penghasilannya untuk menyewa atau membeli rumah yang sama dengan rumah siap huni di tempat lain di AS.

Pajak yang lebih tinggi di New York mencapai hampir 6% dari penghasilan. Harga untuk biaya listrik, air, bahan makanan, dan kebutuhan pokok lainnya memerlukan biaya tambahan 4% lagi. Lalu ada biaya tambahan pula untuk gaya hidup yang lebih sulit diukur dan diperbandingkan.

Dengan berbagai perhitungan, maka US$1 di New York kira-kira hanya bernilai setara dengan 61,2 sen di tempat lain. Betul bahwa gaji pegawai di New York lebih tinggi dari gaji rata-rata nasional AS, namun selisihnya hanya 15%.

Disimpulkan bahwa daya beli sesunguhnya dari orang yang tinggal di New York hanya kira-kira tiga per empat dari apa yang seharusnya dia nikmati jika tinggal di tempat lain di AS.

Menurut Harford, kuncinya ada pada inovasi. Inovasilah yang membuat orang memilih tinggal di kota besar, kendati banyak hal yang harus dikorbankan, atau banyak hal yang bisa didapatkan di tempat lain.

Salah satu bagian dari inovasi dan hal-hal yang mendorong inovasi di kota besar adalah kesempatan untuk bertemu dengan orang yang lebih pandai dan lebih ahli secara mudah. Dengan demikian, perputaran pengetahuan dan kesempatan saling belajar menjadi lebih mudah.

Harford menggambarkan bagaimana seorang tokoh media yang baru, Jeff Jarvis, bisa secara kebetulan bertemu dengan Rupert Murdoch di sebuah jalan di Manhattan. Bagaimana si penulis, Harford, bisa bertemu dengan mitranya yang banyak membantunya dalam menyusun buku, Stephen McGroarty. “Jika saya tinggal dan bekerja di kota kecil, keberuntungan {semacam itu} tak akan datang.”

Di kota-kota besar, katanya, eksternalitas positif lebih banyak tersedia. Kesempatan untuk mendatangi forum-forum penyebaran pengetahuan dengan biaya murah atau bahkan gratis tersedia secara melimpah.

Para pekerja di kota besar juga dinilai lebih produktif karena ada faktor kedekatan dengan para mitra dan kolega. Pertemuan-pertemuan juga menjadi lebih mudah dilakukan.

Harford berupaya menjelaskan bahwa perkembangan teknologi informasi, yang dipahami sebagai alat untuk membuat jarak menjadi kurang bermakna dalam komunikasi, ternyata tidak mengurangi hasrat orang untuk saling bertemu. Bahkan, informasi lokasi yang saling dibagi cenderung membuat orang menjadi lebih mudah untuk bertemu.

Tidak semua penjelasan Harford mengenai motivasi orang untuk memilih tinggal di kota besar yang padat daripada di kota kecil yang memiliki biaya hidup murah itu memuaskan, namun setidaknya dia berhasil mengungkap sisi-sisi yang selama ini banyak diabaikan.

Bos dibayar tinggi
Harford membuat satu bab khusus yang sangat provokatif mengenai hal yang sering menjadi pertanyaan banyak orang: mengapa seorang bos dibayar lebih mahal daripada bawahannya, padahal dia tidak lebih pintar?

Dia memulai dengan menjelaskan perkembangan sistem penggajian CEO di AS. Para CEO memang dibayar amat mahal. Sebagai contoh, CEO Walt Disney Corp, Michael Eisner, dibayar 400 juta pound sterling selama 13 tahun.

Sebagai ekonom, Harford berupaya menelusuri hal itu dari apa yang bisa memotivasi para pekerja. Dia memaparkan tentang apa yang disebut sebagai teori turnamen, ketika seorang pekerja seolah-olah harus bersaing satu dengan yang lain untuk mendapat promosi atau penilaian yang memuaskan.

Pada intinya, menurut dia, gaji CEO yang sangat besar bukanlah semata-mata ditujukan bagi si CEO. Gaji itu justru dijadikan pemicu bagi orang-orang di bawah CEO, para manajer tingkat menengah, agar berlomba guna meraih posisi yang lebih tinggi. Dengan demikian, uang 400 juta pound sterling akan memicu kekayaan yang jauh lebih besar.

Logika Hidup dibagai dalam sembilan bab. Semuanya dengan judul dan bahasan yang amat provokatif. Misalnya, Apakah perceraian selalu diremehkan pada Bab III.
Harford juga mempertanyakan mengapa manusia masih mau merokok dan berjudi, atau mengkonsumsi narkoba atau jatuh cinta. Dia berupaya menjelaskan bahwa semua itu rasional menurut logika ekonomi.

Buku yang ditulis Harford ini seolah kelanjutan dari buku sebelumnya, Undercover Economist. Meski tetap menarik, buku kedua ini tidak semenarik buku pertamanya. Banyak pula penjelasan yang terasa berbelit dan terlalu bertele-tele.

*) dimuat pada Bisnis Indonesia edisi Minggu, 10 April 2011, halaman resensi. gambar cover di atas dari gramedia online