03 Agustus 2009

Mencari nalar China dan nalar India


China memiliki kemampuan meniru yang luar biasa. Kadangkala hanya diperlukan waktu seminggu untuk memalsu produk-produk dengan tingkat kerumitan tinggi. Produk palsu pun seringkali sulit dibedakan dengan produk asli, seperti kata Alexander Theil, Direktur Investigasi General Motors Asia Pasifik. "Kami harus membongkarnya atau melakukan analisis kimia untuk mengetahui bahwa produk itu bukan produk asli."

Pemalsuan bukan hanya terjadi pada produk sederhana. Bahkan juga untuk antarmuka router buatan Cisco Systems. "Jika Anda bisa membuatnya, mereka bisa memalsukannya," kata David Fernyhough, Diretur Perlindungan Merek Hill & Associates Ltd Hong Kong.

Di sisi lain, India memiliki kemampuan memasok ahli-ahli di bidang teknologi informasi dan jasa. Bangalore, Pune, Hyderabad menjadi pusat-pusat penting bagi perusahaan seperti General Electric, Microsoft, SAP, Intel, Texas Instruments, dan lainnya.

Ketika IBM memecat 14.000 karyawan di Eropa Barat, AS dan Jepang, perusahaan itu tetap menambah tenaga kerjanya di India. Di negara itu, Accenture memiliki 14.000 karyawan dan Hewlett Packard memiliki 10.000 karyawan.
Saat sebagian besar orang Amerika tertidur, para profesional keuangan, pemasaran, dan teknologi India menyelesaikan banyak pekerjaan yang menuntut keahlian bagi perusahaan AS.

***
Uraian lengkap mengenai hal-hal di atas dapat kita temui dalam buku Chindia: Strategi China dan India Menguasai Bisnis Global karya Pete Engardio. Saya beli buku itu di Gramedia Bandung pada Sabtu lalu. Buku ini berisi cerita panjang tentang China dan India. Dua negara yang kalau jumlah penduduknya digabungkan akan mewakili sepertiga dari warga Bumi.

Paparan dalam buku seharga Rp125.000 ini bergaya jurnalistik. Populer namun sarat dengan data. Pilihan judul, pemenggalan bab dan subbab, semuanya khas laporan sebuah majalah. Memang pada dasarnya ini adalah versi panjang dari laporan komprehensif majalah Business Week.

Setiap premis utama selalu ditunjang dengan banyak bukti. Bahkan, saya kira, terlalu banyak bukti yang membuat seolah-olah terjadi banyak pengulangan pembahasan dalam buku setelah 446 halaman ini.

Sayangnya, dengan gaya uraian seperti itu, saya merasa akar kekuatan China dan India kurang tergali. Memang ada sangat banyak paparan mengenai keunggulan dan kehebatan dua negara itu beserta ciri khasnya masing-masing. Namun saya gagal menemukan akar penyebabnya di luar satu bab tentang Tantangan Pendidikan.

Saya merasa sulit menemukan model penguatan diri yang dapat ditiru oleh negara lain dengan penduduk yang sangat banyak di tengah belitan kemiskinan seperti Indonesia. Gambar besar proses menuju kondisi saat ini tidak terpapar dengan baik. Sebagian besar buku ini bercerita tentang apa yang sedang terjadi, bukan apa di balik yang terjadi atau bagaimana hal itu menjadi mungkin terjadi.

Buku ini terdiri atas 11 bab. Bagi saya, bagian yang paling menarik adalah Bab III Paradigma Global Baru, Bab IV Model Korporasi Baru, lalu Bab VI Lompatan ke Depan, BabVIII Tantangan Pendidikan, serta BabXI Tantangan Kompetitif Baru.

****
China dan India memiliki keunggulan yang serupa yaitu tenaga kerja yang murah. Begitu murahnya sehingga jika gaji tenaga kerja di China dan India dinaikkan 10% tiap tahun, dalam 20 tahun ke depan nilainya belum akan menyamai gaji tenaga kerja dengan kemampuan serupa di AS.

China menikmati ledakan investasi yang sangat tinggi sehingga mampu membangun menara-menara perkantoran, hotel mewah, jalan tol, terminal, pusat perbelanjaan dengan mencengangkan. Negara itu juga membangun pabrik-pabrik modern di bidang petrokomia, silikon, mobil, baja, kapal, dan barang padat modal lain.

Adapun pasar India tidak sebesar China. Pendapatan per kapita India hanya sepertiga China. Konsumen India lebih suka barang berkualitas dengan harga murah. "Siapa pun yang mampu menjual jasa global dengan harga India, dia bisa bersaing di mana saja."

India tidak sanggup membangun menara-menara kemewahan seperti dilakukan China. China sangat kuat dalam manufaktur termasuk baja, mobil, kimia, serta semikonduktor dan elektronika, sementara India sangat kuat dalam industri peranti lunak, jasa dan desain. Banyak perangkat dengan tulisan depan "made in China" di dalamnya mengandung peranti lunak dan teknologi multimedia buatan India.

China dan India memiliki tantangan kependudukan yang berbeda. China dalam 20 tahun ke depan akan memiliki 300 juta penduduk berusia di atas 60 tahun dan lima per enamnya tanpa jaminan pensiun. Komposisi yang tidak seimbang ini terjadi karena pelaksanaan kebijakan satu anak. India dalam 40 tahun ke depan akan memiliki 1,7 miliar penduduk namun tidak menghadapi masalah serumit China. Pendidikan menjadi masalah serius di India. Negara itu juga menghadapi kesenjangan sosial yang makin lebar.

Keduanya sama-sama menghadapi persoalan ekologis. Pabrik-pabrik di China menghabiskan bahana bakar lima kali lipat dari pabrik serupa di Barat. Sebanyak 20% kredit bank di China macet.
India yang membangun dengan kekurangan, lebih efisien. Akan tetapi India mengalami kekurangan investasi dari luar negeri sehingga tidak mampu membangun infrastruktur megah seperti halnya China. Tingkat polusi di berbagai kota India juga sangat tinggi.

China dan India sama-sama memiliki problem birokrasi. Di China, intervensi pemerintah dan partai terlalu kuat, sementara di India aturan yang sangat keras dan ketat membatasi gerak investor.

***
Judul buku ini saya rasa kurang lengkap. Mestinya judul yang dipakai adalah Chindias: China, India, serta AS. Sebab, hampir semua pembahasan mengenai China dan India dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap AS.

China dan India sama-sama mendapat limpahan pekerjaan dari AS. Manufaktur yang menjadi keunggulan China, mewakili 14% keluaran dan 11% serapan tenaga kerja AS. Adapun jasa yang menjadi keunggulan India, mewakili 60% ekonomi AS dan dua per tiga serapan tenaga kerja.
Keduanya sama-sama memiliki tenga ahli dengan IQ tinggi dan rela dibayar murah. Tenaga kerja India memiliki keunggulan dalam Bahasa Inggris dibandingkan tenaga kerja China.

Ada paparan sangat menarik dalam buku yang mengungkapkan bagaimana sudut pandang India dan AS bisa bertabrakan dalam merespons perkembangan industri teknologi informasi. Pete Engardio menggambarkan bagaimana perjalanan seorang anak muda India mendapatkan order dan pekerjaan di bidang TI dari AS. Sementara di sisi lain, digambarkan bagaimana anak muda di AS, yang juga kuliah di bidang teknologi informasi, pada saat yang bersamaan justru kehilangan peluang gara-gara 'serbuan' tenaga kerja India baik dalam bentuk fisik maupun outsourcing secara online.

Apakah itu berarti China dan India akan menjadi adidaya baru dan AS harus bersiap-siap menjadi calon "negara dunia ketiga" baru?
Engardio menghibur publik AS dengan menyatakan bahwa prediksi di atas kertas seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Prediksi serupa pernah juga dilekatkan ke Jepang pada dekade 1980-an. Prediksi negatif juga pernah dilekatkan ke Inggris pada dekade 1970-an. Tetapi yang terjadi pada Jepang tidak sehebat yang diperkirakan dan yang terjadi pada Inggris tidak seburuk yang dikhawatirkan.

Halaman di bagian akhir buku ini ditutup dengan rekomendasi bagi AS bagaimana mempertahankan diri terhadap serbuan China dan India.

Hal yang harus dilakukan oleh AS, menurut Pete Engardio, antara lain orang AS perlu menabung lebih banyak agar tidak bergantung pada pnjaman luar negeri; mencoba taktik baru menjinakkan yuan; menerapkan aturan perdagangan dengan lebih agresif misalnya untuk ; melindungi industri kecil; memperketat perlingdungan hak atas kekayaan intelektual; serta membuka kembali kesepatakan WTO.

(mudah-mudahan bisa bersambung, terutama dengan ulasan mengenai Tantangan Pendidikan)

1 komentar:

Setyardi Widodo mengatakan...

WCopy paste dari Facebook

AF
Wah...sudah lama lihat buku ini tp blm beli. Ternyata sudah ada yang beli, di bahas pula. Matur nuwun Pak Kelik. Usul saya, Mas Kelik buat juga buku pembahasan spt itu tapi ttg Indonesia. Apa saja keunggulan Indonesia sbg bangsa dan apa saja yang menghambatnya utk maju. OK Mas?
August 3 at 3:46pm

ES
..buku saya ini siapa yang pinjam ya? atau dimana disimpan ya? jadi ingat belum selesai bacanya!
August 3 at 4:00pm ·

Setyardi 'Kelik' Widodo
@mas AF, ya insya Allah. ini belajar dulu. saya tidak yakin kita punya data2 selengkap buku ini tentang indonesia. bahkan saya juga tidak yakin bahwa instansi pemerintah punya data juga soal ini.
August 3 at 4:24pm

Setyardi 'Kelik' Widodo
pak ES, saya beli buku ini di gramedia bandung lho, bukan pinjem, hehehe
August 3 at 4:24pm

KE
Mas AF: menurut pendapat pribadi saya, berkenaan dengan Indonesia, sebenarnya gak ada bedanya dengan China dan India karena negara ini mempunyai kemampuan yang sama baik dalam hal melakukan imitasi maupun kualitas SDM di bidang TI. Keunggulan melakukan imitasi telah dimiliki bangsa ini, namun kurang satu saja yang tidak dimiliki oleh bangsa ini yaitu kebanggaan akan hasil produknya sendiri. Klo dilihat dan diperhatikan, contoh ppaling gampang adalah berkenaan dengan barang-barang bermerk seperti pakaian, tas, sepatu. Sangat mudah dijumpai produk bermerk terkenal di daerah Asemka (Jakarta) yang notabene adalah buatan asli bangsa ini dan hanya ditempeli merk terkenal. Mengapa mereka nekat melakukan hal ini yang notabene adalah kejahatan intelektual? Penyebabnya satu. Bangsa ini belum PD dengan memakai buatannya sendiri, padahal kualitas barang produksi DN tidak kalah dibandingkan dengan produk aslinya.