24 Agustus 2009

Ketika konsumen diperdaya produsen


Kalau belanja di supermarket yang mewah menghabiskan lebih banyak uang, itu terjadi bukan karena kesalahan dalam memilih lokasi belanja, melainkan karena kurangnya pengendalian diri dan ketelitian si pembeli. Harford menyarankan pembeli untuk lebih jeli dan teliti, alih-alih memilih lokasi belanja yang kurang bagus.

***
Benarkan harga jual selalu sebanding dengan biaya produksi? Apakah operator kereta api menyediakan kelas dua dan kelas tiga untuk mengakomodasi orang miskian atau justru memanjakan orang kaya? Benarkan supermarket menyediakan produk dengan kemasan jelek harga murah agar pembeli berkantong tipis tetap bisa membeli produk?

Buku Detektif Ekonomi karya Tim Harford menjungkirbalikkan semuanya. Dia membayar trik-trik harga dalam industri TI, supermarket, maupun penyedia jasa transportasi.

***Bidang TI
Kita mengenal software versi mahal --kadang disebut versi profesional atau versi bisnis, atau sebutan lain yang keren-- dan ada versi lebih rendah (massal). Software versi profesional memiliki fitur lengkap dengan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan software versi massal yang dipasarkan dengan banderol harga lebih murah.

Benarkah biaya produksi software versi tinggi itu memang lebih besar daripada biaya produksi peranti lunak versi rendah? Ternyata, menurut Tim Harford dalam buku Detektif Ekonomi, pembuat peranti lunak justru software menghabiskan biaya lebih besar untuk versi murah daripada untuk versi mahal.

Menurut Harford, peranti lunak versi profesional dirancang lebih dahulu. Lalu, dibuatlah versi murah dari modifikasi atas versi profesional dengan menghilangkan fitur-fitur tertentu. Jadi, biaya untuk versi murah adalah biaya versi profesional ditambah biaya pemangkasan fitur.

Hal ini tidak hanya berlaku pada industri peranti lunak. Dalam industri peranti keras hal itu juga bisa terjadi. Suatu ketika, produsen prosesor komputer membuat dua chip komputer dengan desain yang mirip namun dipasarkan dengan harga jauh berbeda.
Chip inferior dibuat dari chip superior yang diberi perlakukan khusus sehingga sebagian fasilitasnya tidak bekerja. Produsen menghabiskan biaya produksi yang lebih besar untuk chip inferior.

Sebuah produsen printer terkemuka juga pernah melakukan hal serupa. Mereka merancang dua model printer yang pada dasarnya adalah sama. Printer yang lebih murah sebenarnya adalah printer mahal yang ditambah dengan chip khusus untuk membuatnya bekerja lebih lambat. Mereka sengaja menjual lebih murah barang yang biaya produksinya lebih tinggi.

Sebenarnya bisa saja produsen software, prosesor, atau printer membuat produk yang seragam, berlaku untuk semua orang dan dipasarkan dengan harga yang sama. Tetapi, ini agak bertentangan dengan prinsip mencari untung sebanyak-banyaknya dengan cara yang sesopan mungkin. Produsen ingin melakukan diversifikasi atau price targeting (atau apa pun istilah bagusnya) disesuaikan dengan daya beli.

Intinya, mereka ingin agar orang yang peka harga membeli sesuai kantong tipisnya, sementara orang yang royal dan bersedia membayar lebih diberi kesempatan untuk membayar banyak. Jika konsumen rela membayar Rp1 juta mengapa diberi harga Rp500.000?
Produsen, papar Harford, memandang orang-orang yang royal ini perlu ‘dilindungi’ agar tidak berpindah memilih barang yang dijual dengan harga murah. Maka dibuatlah perbedaan-perbedaan fitur yang tujuan utamanya membiarkan orang kaya nyaman dengan pembayaran lebihnya.

Bagi produsen, ini kesimpulan yang sangat sinis dan subversif. Akan tetapi, kadangkala, konsumen yang cerdas memang terpaksa harus banyak bercuriga, agar dapat membebaskan diri dari berbagai macam jebakan halus.


***Tiket kereta api
Trik-trik penetapan harga lebih menarik lagi dikaji di sektor jasa, transportasi, obat-obatan, serta toko serba ada. Mengapa fasilitas kereta api kelas dua di Inggris begitu buruk dan kelas tiga begitu menyedihkan? Mengapa ruang tunggu bandara dan stasiun kereta api banyak yang dibiarkan tidak nyaman dan membuat penumpang tidak kerasan?

Menurut Harford, itu terjadi karena para penyelenggara kereta api tidak rela penumpang yang banyak uang, gemar kemewahan, dan biasa duduk di kelas satu pindah ke kelas dua atau kelas tiga yang tarifnya lebih murah.

Jika ruang tunggu biasa dibuat nyaman maka orang kaya tidak lagi tertarik menggunakan ruang tunggu eksekutif. Jika kereta kelas dua dilengkapi fasilitas bagus, penumpang eksekutif akan pindah.

Ini adalah bagian dari upaya memperbesar selisih antara layanan biasa dan layanan terbaik. Hal itu diperlukan agar konsep price-targeting (harga terarah) tercapai.
Pada intinya, price targeting adalah penetapan harga yang berbeda dengan berdasarkan pada asumsi kesediaan membayar yang berbeda dari tiap-tiap kelompok konsumen. Orang yang peka harga diberi tawaran harga ekonomis, sedangkan orang yang bersedia membayar lebih diberi kesempatan untuk membayar lebih mahal.

Penetapan semacam ini bukan tanpa masalah. Mudah membuat orang yang peka harga menjauh dari produk yang diberi banderol harga tinggi. Namun, tidak mudah mencegah orang berduit untuk tidak memilih produk murah. Kalau orang berduit justru memilih produk yang murah, itu disebut terjadi kebocoran dalam price targeting. Sasaran tidak tercapai.

Untuk mencegah kebocoran semacam itu, menjaga agar orang berduit memilih produk yang lebih mahal, disusunlah bermacam strategi anti kebocoran. Salah satu contohnya, menurut buku itu, adalah memperbesar selisih fasilitas dalam kereta api di Inggris seperti paparan di atas.

“Orang miskin menjadi korban, bukan karena niat menyakiti mereka, melainkan untuk menakut-nakuti orang kaya,” begitu salah satu kesimpulan sangat lugas dan tajam pada salah satu bagian buku ini.


***Trik supermarket
Contoh lebih nyata dipaparkan Harford dalam kasus supermarket. Mereka kadangkala membuat produk dengan kemasan jelek. Bukan karena memreka tidak bisa membayar desainer yang bagus. Namun mereka sengaja menggiring konsumen yang memiliki uang lebih agar membeli produk lain dengan harga yang lebih tinggi –kendati isinya sebenarnya sama saja.

Para pengelola supermarket juga menata dagangan sedemikian rupa agar pembeli sulit sekali membanding harga barang yang mirip-mirip. Kadang sengaja dipisahkan jauh atau dicampuraduk dengan produk lain yang sulit diingat.

Cara dan waktu dalam menentukan harga diskon—seperti yang kita amat menjelang Lebaran—dibuat acak sedemikian rupa agar pembeli susah mengenali polanya.

Ada satu trik sangat menarik yang dipaparkan Harford. Dia mengamati orang yang ingin hemat cenderung memilih toko atau supermarket yang lebih kumuh. Padahal, menurut penelitiannya, untuk produk yang sama, harga yang ditetapkan oleh supermarket yang relatif kumuh sama saja dengan harga di supermarket yang megah dan mewah. Bedanya, supermarket yang megah menyajikan lebih banyak pilihan barang yang lebih mahal.

Jadi, kalau hasilnya adalah belanja di supermarket yang mewah menghabiskan lebih banyak uang, itu terjadi bukan karena kesalahan memilih lokasi belanja, melainkan karena kurangnya pengendalian diri dan ketelitian si pembeli. Dia menyarankan pembeli untuk lebih jeli dan teliti, alih-alih memilih lokasi belanja yang murang bagus.


***Tidak sederhana
Banyak konsumen yang begitu lugu memandang bahwa barang yang lebih mahal pasti lebih bagus. Seperti orang Jawa bilang ana rega ana rupa. Arti harfiahnya adalah ada harga ada rupa.

Maksudnya, dari sisi konsumen berharap bahwa harga yang dibayarkan sebanding dengan nilai yang diberikan oleh apa yang dibelinya. Kalau mau barang bagus belilah yang mahal. Kalau tidak mau mengeluarkan banyak uang silakan nikmati barang bermutu rendah.

Dalam dunia yang semakin canggih dan rumit ini, rumus sederhana itu sering tidak berlaku. Yang diperlukan adalah konsumen cerdas yang dapat memilah dan memilih secara teliti sebelum membeli.

Buku karangan mantan editor Financial Times ini semacam buku wajib untuk konsumen. Buku ini memberikan penjelasan gamblang tentang persoalan ekonomi sederhana yang kita hadapi sehari-hari baik sebagai konsumen maupun sebagai warga negara.
Paparan yang bergaya jurnalistik itu mudah dicerna dan dimengerti. Bahasanya tidak rumit, tidak menggurui, tidak menggunakan teori-teori ekonomi yang ruwet. Namun, apa yang disampaikannya sangat mengena dan mampu menyadarkan pembacanya untuk menjadi konsumen yang ‘lebih cerdas’.

Buku Detektif Ekonomi yang dijual dengan harga Rp60.000 ini terdiri atas sepuluh bab. Ada bab yang membahas persoalan sehari-hari sebagai konsumen, misalnya mengenai penetapan harga kopi di stasiun Waterloo, serta rik-trik penetapan harga di supermarket.

Ada juga yang mengupas masalah globalisasi, serta kesenjangan antarnegara, termasuk bagaimana China menjadi kaya. Hampir semua bagiannya sangat menarik. Uraiannya mengenai teori permainan dan lelang frekuensi sangat mengena.

Penjelasan mengenai kerugian yang diderita orang lain ketika kita naik mobil di kota yang macet, serta bagaimana cara menghitung kompensasinya, sangat penting disimak. Paparannya tentang harga mobil bekas dan asuransi yang mengandalkan “kesaling-tidak-tahuan” amat memikat.

Buku dengan judul asli The Undercover Economist ini merupakan bacaan segar yang penting bagi konsumen yang ingin lebih cerdas dan belajar ilmu ekonomi dengan cara sederhana. Sayangnya buku ini dikemas dengan cover yang pas-pasan, tidak seindah isinya. Saya jadi ingat petuah: don’t judge the book from the cover.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus mas, resensinya.. sama seperti jurnalis profesional... selamat ya, maju terus bakat Anda jadi jurnalis udah tampak... salam anto