05 Agustus 2009

Pembebasan absurd ala Mbah Surip


Mestinya ini bukan lagu tentang “menggendhong”, melainkan tentang “nggondheli” alias memegangi yang membuat orang tidak bisa bergerak.

***
Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Black Swan membagi jenis pekerjaan dalam dua kelompok yaitu scalable dan nonscalable.

Gaji seorang karyawan pabrik mudah dihitung berdasarkan jumlah jam kerjanya. Gampang sekali mengetahui batas atas nilai pendapatan dari jenis pekerjaan semacam ini. Omzet pengelola restoran mudah untuk dihitung berdasarkan jumlah tempat duduk yang tersedia. Yang macam ini, masih masuk dalam nonscalable. Harus ada upaya dua kali lipat untuk mendapatkan gaji dua kali lipat (tempat duduk dilipatduakan, atau jam kerja dinaikkan dua kali lipat).

Di sisi lain ada pekerjaan yang scalable. Penambahan usaha yang sedikit (atau bahkan tanpa penambahan sama sekali) meningkatkan pendapatan secara luar biasa. Hal ini, misalnya, terjadi pada pengarang buku serta artis dan penyanyi. Kita sulit membedakan seberapa besar selisih usaha antara pengarang buku yang best seller dan tidak best seller dalam menghasilkan karya. Begitu pula dengan penyanyi yang top dan tidak top.

“Profesi yang scalable hanya baik kalau Anda sukses. Situasinya sangat kompetitif, menghasilkan ketidaksamaan yang luar biasa antara yang sukses dan yang gagal. Disparitas sangat besar antara usaha dan imbalan. Sebagian kecil pemain dapat mengambil kue sangat besar sehingga sebagian besar pemain yang lain hanya kebagian kue sangat sedikit,” papar Taleb dalam buku itu.

***
Mbah Surip yang populer lewat lagu-lagu absurd semacam “Tak Gendhong” itu masuk dalam ranah scalable.

Saya kira sulit membedakan seberapa keras usahanya dalam membuat lagu dan menyanyi antara tahun 1997-an ketika dia belum dikenal luas, dengan upayanya di tahun 2009 ketika ketenaran mulai datang. Apakah lagunya lebih bagus? Apakah kualitas suaranya meningkat?

Jawabnya, hemat saya, pasti tidak. Lagu-lagunya sama-sama absurd. Lagu dan sosoknya tidak beda-beda amat dengan sepuluh tahun yang lalu. Memang belakangan kesibukannya meningkat. Tapi itu terjadi setelah ketenaran sudah datang dan terus meningkat secara akumulatif sehingga dia, konon, kelelahan.

Mbah Surip, tanpa memperbaiki lagunya puluhan kali lipat, tanpa menghasilkan karya yang mutunya meningkat ratusan kali, bisa mendapatkan imbalan yang berpuluh atau beribu kali lipat dibandingkan imbalannya sepuluh tahun yang lalu. Menurut kabar, Mbah Surip mendapat imbalan Rp4,5 miliar per bulan dari ringback tone saja. Ringback tone 'Tak Gendong' digunakan 500.000 pelanggan Telkomsel, 100.000 pelanggan Indosat, dan 70.000 pelanggan Excelcomindo Pratama (XL).

Akan tetapi, inilah karakter dari jenis pekerjaan yang scalable. Dan inilah pula, menurut buku Black Swan, bagian dari dunia extremistan.

***
Saya pertama kali ‘ngeh’ tentang Mbah Surip sekitar dua bulan lalu. Ketika itu saya lihat status seorang teman chatting Gtalk di kantor yang mengutip lagu “Tak Gendhong” disertai foto seorang pria gondrong. Saya tanya tentang pria tua gondrong yang sekilas mirip pemain bola Rudd Gullit itu. Maka mengalirlah penjelasan tentang sang seniman.

Beberapa hari kemudian pagi-pagi saya lihat teve dan muncullah lagu “Tak Gendhong”. Syairnya bagi saya absurd, tidak jelas maksudnya. Klip video yang melengkapi lagu itu berisi sosok gondrong yang seolah-olah tidak terlihat, seperti makhluk halus, sedang memegangi bagian tubuh seseorang. Itu khas gambar seekor hantu yang memegang anggota tubuh seseorang sehingga orang yang bersangkutan tidak bisa bergerak seperti yang dia inginkan.

Melihat gambar itu, saya pikir mestinya ini bukan lagu tentang “menggendhong”, melainkan tentang “nggondheli” alias memegangi yang membuat orang tidak bisa bergerak.

Kata gendhong, bagi saya, punya konotasi tersendiri yang terkait dengan hantu dan makhluk halus. Didesa-desa di Jawa, kalau ada orang menebang pohon besar atau mengusik tempat keramat, sering diiringi munculnya mitos tentang hantu.

Konon, hantu sering marah dan orang harus meminta hantu itu untuk pindah ke tempat lain yang jauh dari manusia. Banyak hantu yang menjengkelkan dan mengajukan macam-macam syarat. Syarat yang umum adalah dia minta digendhong ke tempat baru. Sang dukun biasanya harus mengerahkan segenap tenaga untuk menggendhong si hantu dari tempat asal ke tempat baru, sama beratnya seperti menggendhong orang.

Inilah kesan saya terhadap kata gendhong yang dipakai Mbah Surip dengan klip video yang menyangkut makhluk halus.

***
Kembali ke soal fenomena meroketnya ketenaran orang yang memiliki nama asli Urip Ariyanto itu. Saya kira penjelasan mengenai hal itu dapat samar-samar disimak pada buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell.

Ketenaran Mbah Surip beredar secara gethok tular versi modern yang bukan saja mengandalkan mulut melainkan mengandalkan teve, Internet, serta media massa. Dalam epidemi gagasan semacam penyebaran tren, menurut Gladwell, selalu ada komponen berupa para bijak bestari (the mavens), para penghubung (connectors), serta para penjaja (salesperson).

Saya kira, penyokong popularitas Mbah Sirup berhasil mengenali mana-mana elemen dari masyarakat yang mampu bertindak sebagai mavens, connectors, dan salesperson, sehingga berhasil mendongkrak popularitas secara cepat dan luar biasa.

Mereka berhasil menggali keunikan dan mengangkat hal-hal khas (seperti kesederhanaan, penderitaan, gaya apa adanya, orisinalitas, dan sebagainya) yang mampu menarik simpati publik. Bukankah seperti kata Distoyevsky, orang cenderung menghargai penderitaan.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada keluarga dan para pendukung atau pengagum Mbah Surip, saya menilai kepergian beliau juga merupakan pembebasan masyarakat dari lagu-lagu absurd yang bagi saya sulit dimengerti makna dan mutunya.

Semoga Mbah Surip diampuni dosa-dosanya dan bisa ber-hahahaha di dunia lain. Wallahu alam. Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan.

Versi lain tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 8 Agustus, halaman 12

4 komentar:

Namidub Unus mengatakan...

Mas, sebenarnya pekerjaan seniman yang Mas gambarkan sebagai scalable bisa juga disebut scalable. Mungkin, scalable yang tidak beraturan. :D

Leonardo Da Vinci harus menjual karyanya hanya untuk sesuap nasi (benar-benar sesuap nasi) pada masa-masa perjuangan dirinya terjun di dunia seni. Banyak pula lukisannya yang hanya masuk ke tong sampah, setelah usahanya yang keras, mungkin sangat keras untuk menciptakan sebuah karya.

Saya pikir itu juga berlaku pada seniman2 yang laku, macam Mbah Surip. Ada upaya seperti yang Mas gambarkan: Perlu usaha dua kali lipat untuk mendapatkan gaji dua kali lipat. Mbah Surip juga menjual karyanya yang dianggap "sampah" (tidak laku) pada waktu itu.

Semua itu dibayarkan di muka, pay in advance. Saat ini yang terlihat adalah "kenyamanan" hidupnya. Genjrang-genjreng dapat honor, jadi bintang tamu, bintang produk iklan, dsb. Tetapi sebenarnya, Mbah Surip dan seniman2 lain, juga mengeluarkan usaha yang juga besar untuk jadi seperti sekarang.

Butuh usaha yang bahkan melampaui usaha yang dilakukan orang kebanyakan. Bahkan seorang teman seniman tidak tidur sampai 2 hari (benar-benar tidak tidur) untuk menyelesaikan karyanya.

Mungkin ada poin yang terlewatkan dari pemikiran dalam buku tersebut. Satu hal adalah Mbah Surip yang bekerja keras tapi tidak mendapatkan kepopuleran seperti saat ini (tapi menyelesaikan album yang tak laku). Yang kedua adalah Mbah Surip yang bekerja keras dan mendapatkan kepopuleran (dari album yang tak laku, kemudian dimunculkan lagi, tanpa memberi tambahan sedikit pun).

Menurut saya, memang seseorang yang bekerja dua kali lipat kerasnya, namun hasil dua kali lipat yang didapatnya akan sangat tidak menyeragam, tergantung persepsi, tinggal dilihat dari mana tolok ukur keberhasilannya tersebut.

Setyardi Widodo mengatakan...

copy paste dari FB

HT
Absurditas dalam seni mungkin identik dengan non-scalable class dalam jenis pekerjaan, sifatnya non-parametrik dan subyektif. Hanya the mavens, connectors, dan sales-person yang mampu membangunnya menjadi economical product.

mbah Surip dan karyanya adalah apologi sebuah ke-putus asa-an, ketika nilai kewajaran menjadi (terlihat) unik; ketika idealisme menjadi utopia tapi masyarakat enggan beranjak dari kemapanan yang sdh dimiliki.
August 5 at 3:48pm ·

FN
Pak Swi, tentang klip lagu tak gendhong, sebenarnya ada 2 versi. versi 1 bisa diunduh di you tube, gambarnya ada mbah2/nenek gendhong anak.
Entah mengapa (mungkin alasan komersil), klip dibuat lagi dg menampilkan model yg sudah populer (Desta-band club80's) yg digondheli mbah Surip yg entah apa maksudnya dan cuplikannya ditayangkan setiap hari di TV dg iklan RBT, ketik reg spasi....
August 6 at 10:40am ·

FH
Luar biasa, konektitas berupa adanya keabsurditas mbah surip itu merupakan hasil dr kontemplasi, seorang thinker, maz kelik. Aku tunggu lagi seri-seri lainnya yang cukup memberi inspirasi, eh...salah inspirana bagi aku, nuwun maz
August 6 at 7:30pm ·

Setyardi 'Kelik' Widodo
mas HT, saya kira kita bisa membuat snap judgement mengenai kondisi masyarakat dari fenomena mbah surip ini. kasusnya saya kira agak mirip dgn empat mata-nya thukul. absurd tapi kok sangat populer. (sekarang sudah berkurang sih popularitasnya)
Sun at 3:35pm ·

Setyardi 'Kelik' Widodo
mas FN, saya malah belum pernah lihat klip itu. terima kasih sudah memberi tahu.
mas FH, seri-seri lain sudah muncul di inspirana.blogspot.com
kalau berkenan dan banyak waktu, silakan mampir-mampir. termasuk cerita ini inspirana.blogspot.com/2009/08/jumpa-ketiga.html
matur nuwun
Sun at 3:36pm ·

DI
walah mas.... kalo gw bilang mbah surip duplikat ky Gombloh th 80's begitu Madu & Racun meledak kemudian dia meninggal. Bedanya sm Mbah Surip laku di RBT, Gombloh laku kasetnya :) HA HA HA I luv yu ful ! btw tulisna soal kritik video klip ...top juga dilihat dr berbagai sisi.... pdhl yg bikin nga "ngebatin" segitunya :) ...

btw seniman nga harus kerja 2 kali lebih keras u/ dpt duit. krn terkadang namanya "seni" itu nga harus dijual. atau ada istilah art not for sale. seni itu juga luas bro. nga harus seni itu harus jualan. kdg2x ketika kita berkesenian, ada satu hal seni itu tidak harus dijual. walaupun pd kenyataan seni itu hrs dijual. lagu tak gendong sdh di cipt dr th 90an...trus kenapa kejual th 2009.

kalo liat dr infotaiment, hehehe...mba surip awalnya tidak terlalu peduli soal kejual atau nga tuh lagu. tapi ada temennya melihat itu lagu lebih komersil dan bisa laku. akhirnya diubah jadi gaya reage. dan ternyata laku keras...

kalo gw liat sih ini ky Van Gogh...
van gogh selama hidupnya nga pernah laku .cuma laku 1 kali itupun hanya buat tutup ayam . begitu dia meninggal lukisannya berharga $39,921,750.... walah.

jadi intinya seni for sale or not. its depend on the artist.. udeh lama nga diskusi soal seni.. ternyata seru juga.
11 hours ago ·

SB
ya, seni emang unik. seni memang nggak bisa memuaskan semua orang. nggak seperti matematika. 1+1=2. banyak faktor dan sangat luas. njlimet, tapi nggak juga... juga sangat tergantung persepsi, mungkin.
10 hours ago ·

Setyardi 'Kelik' Widodo
wah wah, ini diskusi yang menarik. saya yang orang kampung belum begitu mudheng ketika gombloh meninggal dunia. tapi masukan-masukan di sini benar-benar menrak. thank you

Basuki Rahmad mengatakan...

Saya bingung mbaca tulisannya. Biasanya scalable itu untuk yang bisa diproyeksikan, jadi ini bisa diestimasi. Yang nonscalable itu sebaliknya. Opo nggak kebalik pak?

Biasanya di dunia IT Capacity Management cara pandangnya spt itu.

Setyardi Widodo mengatakan...

tidak terbalik Mas Basuki. Sampeyan coba baca deh buku Black Swannya Nicholas Nassim Taleb itu. matur nuwun.