13 Agustus 2009

Ketika pengetahuan dikalahkan mitos


Candi Prambanan adalah produk nyata yang bisa kita lihat, namun cerita yang lebih berkembang dari mulut ke mulut mengenai proses pembangunannya adalah mitos tentang pria perkasa Bandung Bondowoso yang membangun 999 candi dalam satu malam karena permintaan Roro Jonggrang. Bagaimana mungkin popularitas mitos justru mengalahkan kenyataan?
***
Ini cerita tentang tiga wajah Kedu dikaitkan dengan waktu. Kedu masa kini, Kedu zaman penjajahan Belanda, serta Kedu pada 14 abad yang lalu.

Kedu masa kini adalah nama sebuah desa dan kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Posisinya antara Kota Temanggung dan Parakan. Kecamatan Kedu terdiri atas 13 desa dengan ibukota kecamatan di Desa Kedu.

Di daerah ini ada ayam unik yang disebut ayam cemani. Ayam cemani galur murni memiliki ciri khas serba hitam. Bulunya hitam, kulitnya hitam, jenggernya hitam. Konon, tulangnya pun hitam.

Di desa Kedu inilah pada tanggal 8 bulan 8, Densus 88 membekuk orang yang kemudian diumumkan sebagai Ibrohim, pengurus bunga di hotel Ritz Carlton. Selama satu pekan terakhir nama Kedu selalu muncul dalam pemberitaan di televisi karena kasus kekerasan yang mengatasnamakan perjuangan agama serta dibumbui dengan ledakan.

Adapun Kedu pada masa akhir penjajahan Belanda adalah nama sebuah karesidenan di sisi selatan Jawa Tengah. Bagian timur Karesidenan Kedu berbatasan dengan Yogyakarta, sedangkan sisi barat berbatasan dengan Banyumas.

Wilayah eks-karesidenan Kedu meliputi Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, serta Kabupaten Kebumen.
Wilayah yang ditandai dengan nomor polisi kendaraan dengan awalan AA ini secara ekonomi tidaklah menonjol di Jawa Tengah. Namun secara politik, posisinya cukup penting mengingat Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo serta Wakil Gubernur Rustriningsih berasal dari eks-karesidenan Kedu.

Pada pemilu legislatif lalu, eks-karesidenan Kedu—minus Kebumen—masuk dalam Dapil Jateng VI. Anggota parlemen yang terpilih dari daerah ini antara lain Angelina Sondakh, Catur Sapto Edy, serta Abdul Kadir Karding.

***
Wajah ketiga adalah Kedu di masa lalu. Bagi saya inilah yang paling menarik. Kedu adalah nama yang memiliki sejarah panjang di Tanah Jawa. Mungkin salah satu yang tertua yang tercatat dalam sejarah. Di sanalah, konon, kerajaan Mataram Lama berpusat.

Selama tiga abad, penguasa Mataram Lama memimpin peradaban di Jawa sebelum munculnya generasi baru yang dipelopori Mpu Sindok di Jawa Timur, 1.000 tahun yang lalu.
Prasasti Kedu yang dibuat pada masa Dyah Balitung memuat silsilah raja-raja Mataram Lama dari Sanjaya, Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, hingga Dyah Balitung.

Prasasti Canggal di Magelang menyatakan bahwa kerajaaan Mataram Lama didirikan oleh Sanna. Dua wangsa yang paling populer adalah Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya. Peninggalan paling prestisius dari Mataram Lama adalah Candi Prambanan dan Candi Borobudur.

Pada akhir abad X, kerajaaan Mataram yang berpusat di (eks-karesidenan) Kedu berakhir setelah tiga abad yang mengesankan. Selama lima abad berikutnya, kekuasaan di Jawa berpusat di Jawa Timur melalui Mpu Sindok, Airlangga, Jenggala, Kediri, Singasari, maupun Majapahit. Pusat kekuasaan kembali ke Jawa Tengah melalui kerajaan Demak pada abad XV yang diteruskan oleh Pajang dan Mataram Baru. Tetapi tidak pernah kembali ke Kedu.

***
Para sejarawan berpendapat kerajaan yang berpusat di (eks-karesidenan) Kedu itu runtuh karena dua faktor. Faktor pertama adalah konflik dalam keluarga kerajaan yang melibatkan sentimen keagamaan, yaitu Hindu Syiwa dan Budha. Faktor lainnya adalah letusan Gunung Merapi, salah satu gunung api paling aktif dunia. Begitu dahsyatnya letusan Merapi pada akhir abad X atau awal abad XI itu sehingga menguburkan candi Borobudur.

Kita melihat mencuatnya nama Kedu dalam satu pekan terakhir juga disebabkan dua faktor yang mirip: konflik yang membawa-bawa nama agama, serta letusan (bom).
Mengemukanya nama Kedu menyisakan pertanyaan menarik tentang peradaban masa lalu yang begitu hebat. Kita sulit membayangkan bagaimana insnyur-insinyur di (eks-karesidenan) Kedu ini pada abad VII dan VIII mampu membuat bangunan dari batu yang begitu besar seperti Borobudur dan Prambanan.

Bangsa pernah memililiki teknologi tinggi pada zamannya, pengetahuan tinggi yang bahkan sulit untuk ditiru hingga saat ini. Bagaimana menyusun dan merekatkan batu-batu besar hingga mampu bertahan selama ratusan tahun? Apa alat trasportasi yang digunakan untuk membawa gelondongan batu-batu besar itu?

Pertanyaan utama adalah ke manakah teknologi dan peradaban begitu tinggi yang ditinggalkan oleh para insinyur itu.

Ah, sayang sekali bahwa para empu dan insinyur di masa lalu itu tidak bisa mendokumentasikan kesaktiannya sehingga dapat dengan mudah diwarisi oleh generasi yang lebih muda. Sayang mereka belum menerapkan apa yang belakangan ini populer sebagai knowledge management, dokumentasi pengetahuan, serta transfer pengetahuan dengan cara-cara yang mudah.

Kalau kita cermati, Prambanan adalah produk nyata yang bisa kita lihat, namun cerita yang lebih berkembang dari mulut ke mulut mengenai proses pembangunannya adalah mitos tentang pria perkasa Bandung Bondowoso yang membangun 999 candi dalam satu malam karena permintaan Roro Jonggrang. Ini mitos tentang pria yang dikecewakan wanita, mirip cerita Sangkuriang di Jawa Barat. Bagaimana mungkin popularitas mitos justru mengalahkan kenyataan.

Bagi saya pribadi, daripada membahas peristiwa dar-der-dor yang penuh duga-duga di Kedu, lebih menarik merangkai sejarah mengenai teknologi masa lalu di daerah ini yang ikut lenyap bersama runtuhnya peradaban Mataram Lama. Mari merdekakan diri dari mitos.

*) Versi ringkas tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 15 Agustus halaman 12

1 komentar:

Setyardi Widodo mengatakan...

Copy paste dari Facebook

TBAP
betul mas kelik, sy sependapat....mitos yang muncul menurut saya, krn ada gap pengetahuan dan teknologi antara masyarakat sebelum dan sesudahnya...seperti ada missing link....dalam hal ruang dan waktu.....ditambah ketiadaan dokumen...yang menjadi pertanyaan adalah....bagaimana sekelompok masyarakat tsbt punah....sehingga tidak bertautan dengan generasi sesudahnya? mungkinkah krn bencana alam, atau sebab lain?......
August 13 at 4:45pm · Delete

OM
Di masyarakat kita (Jawa maksudnya), kalau mau mendokumentasikan mitos2 pasti buanyakk banget mas, apalagi yang menyangkut mahakarya seperti candi (tapi aku kok belum pernah denger mengenai mitos candi Borobudur ya ??). Karena seleksi alam (?) masyarakat pada jaman pembangunan candi tersebut "hilang", mungkin sebenarnya ada dokumentasinya (yg aku rasa pasti berbentuk tulisan dibatu) tapi sudah lenyap pula, jadi hilang deh satu mata rantai sejarah yang maha penting, mengingat tingginya teknologi yang dipergunakan (sama mungkin dengan piramid kali ya he he he...). Nah masyarakat sesudahnya yang "menemukan" candi agung tersebut jadi takjub dan terkesima (mungkin pada saat itu ada kemunduran pengetahuan he he he...), sehingga yang berkembang ya cerita2 yang "amazing" yang lebih "asyik dan romantis" untuk diceritakan. Ya sampai sekarang yang lebih bergaung ya mitosnya he he he.....Tapi masyarakat sekarang udah bisa kan membedakan mana mitos dan sejarah ??...Hanya mungkin perlu kerja lebih
keras lagi dari sejarawan, arkeologi untuk mengumpulkan "hal-hal yang hilang" dari sejarah Kedu di masa lampau. Kita tunggu aja, atau barangkali Mas Kelik ada berniat mengulik ?? (disini agak payah sih penghargaan untuk hal2 yang berkaitan dengan sejarah dan arkeologi, karena katanya kurang bernilai "ekonomis"...hiks....ikut prihatin).
August 13 at 5:44pm · Delete


Setyardi 'Kelik' Widodo
Mas TBAP, setuju. mangkanya muncul Internet salah satu latar belakangnya, konon, supaya kalau sebagian wilayah bumi kena bencana, arsip ilmu pengetahuan tidak serta merta ikut lenyap.

Setyardi 'Kelik' Widodo
Mbak OM, orang jawa ini memang terlalu banyak mitos. suka dengan kiasan. tidak lugas. mungkin karena sungkan dengan raja, pejabat, dan sebagainya. lha, cerita yang nyata-nyata disamarkan untuk menutup aib dan sebagainya, jadinya malah kabur, sulit dilacak bagaimana cerita aslinya. itu bagian dari kultur lama. entah sampai kapan kita akan "menderita" dampak semua itu, hehehe.