24 Mei 2009

Sukses adalah akumulasi keberuntungan


Orang-orang tidak berawal dari nol. Semua berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Itulah yang saya tangkap sebagai premis utama dari buku Outliers karya Malcolm Gladwell. Biasanya, kisah tentang orang yang amat sukses menonjolkan faktor kecerdasan dan ambisi. Gladwell yang keturunan Jamaika dan pernah bekerja sebagai reporter bidang bisnis dan sains di The Washington Post itu ingin menyatakan bahwa faktor penentu kesuksesan jauh lebih rumit, kompleks, dan lebih menarik daripada apa yang seringkali diungkap orang.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek tertinggi di hutan menjadi yang tertinggi bukan semata-mata karena dia paling gigih. Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

***
Outlier adalah istilah yang dipakai untuk menyebut orang yang berada di luar distribusi normal, orang yang pencapaian suksesnya di luar jangkauan normal.

Gladwell dalam buku setebal 340 halaman terbitan Gramedia Pustaka Utama berusaha menjelaskan mengapa orang-orang yang paling terkemuka di bidang peranti lunak seperti Bill Gates, Steve Balmer dan Paul Allen (pendiri Microsoft), Steve Jobs (pendiri Apple), Eric Schmidt (boss Novell dan CEO Google), Scott McNealy, Bill Joy, Vonid Khosla, Andy Bechtolsheim (pendiri Sun Microsystems) lahir sekitar tahun 1953-1955.

Salah satu argumentasi Gladwell, adalah bahwa orang-orang yang lahir sebelum tahun 1950 sudah terlalu tua dan mapan untuk menangkap revolusi komputasi yang terjadi pada 1975, sementara orang yang lahir setelah 1956 pada saat yang sama masih terlalu muda.

Dengan cara yang sama, Gladwell berusaha menjelaskan mengapa para pemain hoki top di Kanada sebagian besar lahir pada triwulan pertama (Januari-Maret). Menurut dia, sekolah hoki di Kanada menetapkan batasan usia masuk pada tanggal 1 Januari. Sehingga, anak yang lahir pada 2 Januari memiliki kesempatan untuk berada satu kelas dengan anak yang lahir pada 31 Desember di tahun yang sama. Dengan demikian, anak yang lahir pada Januari memiliki keungulan usia 11 bulan dibandingkan yang lahir pada Desember.

Mereka direkrut dalam usia 9 atau sepuluh tahun. Selisih 11 bulan bisa berarti perbedaan fisik yang signifikan. Wajar jika prestasinya dalam bidang hoki juga berbeda. Anak yang unggul pada tahap awal penyaringan berhak untuk mendapatkan latihan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang kurang unggul, sehingga muncullah akumulasi keunggulan. Makin ke atas, fasilitas yang diperoleh anak unggulan dalam berlatih hoki semakin besar, sedemikian hingga jarak dengan mereka yang sejak awal sudah tersisih dalam persaingan menjadi semakin jauh.

Inilah yang menjelaskan mengapa sebagian besar pemain hoki top di Kanada lahir pada awal tahun. Goldwell mengandaikan, bila proses seleksi dilakukan secara lebih sering, misalnya dari semula satu tahun sekali menjadi tiga bulan sekali, maka penyebaran peluang untuk menjadi pemain hoki top pun akan meningkat.

Dia juga mengusulkan hal yang sama dalam proses penerimaan sekolah. Perbedaan awal dalam kedewasaan tidak menghilang seiring berjalannya waktu. Hal itu bertahan terus. Dan untuk ribuan siswa, keadaan yang merugikan itu akan menentukan perbedaan antara masuk kuliah (dan memiliki kesempatan menjadi warga kelas menengah) atau tidak.

***
Kaidah 10.000 jam. Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa orang yang memiliki keunggulan yang diakui di seluruh dunia, Malcolm Gladwell memaparkan bahwa mereka umumnya telah berhasil melalui latihan selama 10.000 jam.

Bill Joy (pendiri Sun Microsystems) serta Bill Gates (pendiri Microsoft) ternyata telah melalui latihan pemrograman selama kira-kira 10.000 jam kerja sewaktu remaja sebelum mereka menghasilkan produk yang mengguncang dunia. Penulis buku ini memaparkan perjalanan Gates dan Joy dan bagaimana mereka bisa mendapatkan latihan selama 10.000 jam selama masa remaja.

Gladwell menulis bagaimana The Beatles berhasil meraih latihan selama 10.000 jam. Sebuah proses penggodokan yang luar biasa selama beberapa tahun, delapan jam sehari, tujuh hari sepekan, yang berhasil mengangkat kualitas grup band itu menjadi luar biasa.

Dan 10.000 jam adalah waktu yang sangat banyak. Tidak mungkin meraih kesempatan latihan sebanyak itu di masa remaja tanpa dukungan lingkungan. Mereka harus punya orang tua yang mendorong dan mendukung. Mereka juga tidak boleh menjadi orang miskin karena, kalau harus nyambi bekerja, tidak akan tersisa waktu yang memadai untuk latihan yang cukup. Kebanyakan orang meraih jumlah tersebut karena masuk program istimewa atau mendapat kesempatan luar biasa.

Gladwell menegaskan bahwa yang membedakan orang-orang sukses itu bukan bakat yang luar biasa melainkan berbagai kesempatan istimewa yang telah diperolehnya. Orang hebat itu tentu gigih dan berbakat. Tetapi itu saja tidak cukup. Harus ada kesempatan untuk menjadi hebat. Di sinilah saya menangkap bahwa untuk sukses ternyata ada syarat perlu dan syarat cukup. Kegigihan, bakat, kecerdasan adalah syarat perlu. Tapi, untuk terwujud menjadi sukses, harus ada “momentum sejarah”, ada “kebetulan sejarah” yang memberikan kesempatan agar syarat perlu itu berguna secara optimal.

Di bagian akhir buku itu, Gladwell bercerita bagaimana akumulasi keberuntungan menyertai nenek moyangnya yang berada di Jamaika sehingga dirinya bisa dilahirkan di Inggris dan tumbuh dewasa di Kanada.

Latihan bukanlah hal yang dilakukan setelah mereka menjadi hebat. Latihan adalah hal yang membuat mereka hebat. Kata Gladwell: Sebelum dia menjadi ahli, harus ada orang yang memberikan kesempatan padanya untuk belajar bagaimana menjadi seorang ahli.

Saya menangkap pesan bahwa bagi siapa saja yang memiliki kekuasaan (entah sedikit atau banyak) bisa membuka lebih banyak kesempatan agar orang lain yang berada di bawah kekuasaanya memiliki kesempatan untuk tumbuh dan tidak terganjal oleh momentun sejarah yang entah sengaja atau terencana. Itu berlaku untuk orang tua terhadap anaknya, guru terhadap murid, penguasa negara atas`rakyat, petinggi di perusahaan terhadap anak buah, dan seterusnya.


***
Dukungan lingkungan. Dukungan lingkungan adalah hal yang sangat ditekankan oleh Gladwell. Dia memberikan banyak contoh mengenai orang genius yang gagal. Salah satunya adalah kisah tentang Chris Langan, seorang pria dengan IQ 195 (lebih tinggi daripada IQ Einstein yang sebesar 150). Orang dengan IQ setinggi namun tidak tercatat sebagai manusia berprestasi di dunia, bahkan akhirnya berprofesi sebagai tukang pukul serta penjaga sebuah peternakan kuda.

Langan bukan tidak mencoba untuk sukses. Tetapi dia gagal mendapatkan kesempatan dan gagal mendapatkan dukungan yang diperlukan. Dia berasal dari keluarga broken home yang miskin. Suatu ketika, Langan yang jago kalkulus itu mencoba menyampaikan kritik kepada dosen kalkulusnya yang dia anggap tidak bisa mengajar dengan benar. Alih-alih mendapatkan teman diskusi, yang diperolehnya justru kesalahpahaman.

Ketika kuliah tingkat kedua, beasiswanya dihentikan karena ibunya lupa mengisi formulir yang diperlukan untuk memperpanjang beasiswa. Langan mencoba bernegosiasi dengan pihak kampus tapi ditolak.

Tahun berikutnya dia mencoba kuliah di kampus lain sambil bekerja. Dia mencoba memindahkan jam kuliahnya ke waktu lain agar bisa mendapatkan angkutan ke kampus dengan mudah karena dia memiliki kendala dengan kendaraan. Langan kembali gagal. Begitulah, yang dia peroleh adalah akumulasi “kegagalan” atau “kesialan”.

Menurut Gladwell, Langan tidak cukup memililiki kecerdasan praktis. Dia tidak berhasil mengatasi masalah-masalah praktis yang lazimnya dapat dipecahkan bahkan oleh orang-orang yang kecerdasan analitisnya di bawah dia. Sebenarnya dia membutuhkan dukungan sebagaimana yang diperlukan orang-orang cerdas lain untuk sukses. Dia tidak sanggup menghadapi keruwetan hidupnya itu sendirian.

Lebih jauh Gladwell mengaitkan kasus Langan ini dengan dukungan yang diberikan orangtua terhadap anak-anaknya. Dia melihat orangtua yang kaya umumnya sering berdiskusi dengan anaknya, mengajak anaknya berunding, sementara orangtua yang miskin hanya memberikan perintah.

Orangtua kaya mengharapkan anaknya untuk bernegosiasi, mengungkapkan pikiran, mempertanyakan orang dewasa yang memiliki kewenangan. Sebaliknya, orangtua dari kelompok miskin merasa terintimidasi oleh orang yang memiliki wewenang. (contoh orang yang memiliki wewenang adalah guru di sekolah).

Memang benar bahwa banyak anak dari keluarga miskin umumnya memiliki perilaku yang lebih baik, penurut, tidak merengek, lebih kreatif dalam menggunakan waktu, serta lebih mandiri. Namun anak orang kaya lebih banyak belajar bagaimana berinteraksi secara nyaman dengan orang dewasa dan mengungkapkan pikiran saat dibutuhkan.

Orang seperti Langan tidak belajar bagaimana berdebat dan bernegosiasi dengan mereka yang memiliki wewenang. Langan dan anak-anak semacam itu tidak mempelajari perasaan memiliki hak. Ketika dihadapkan pada berbagai rintangan, hal yang tampak sepele ini bisa menjadi faktor yang penting.

Di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, kita juga mungkin dengan sangat mudah menemukan kasus semacam Langan. Banyak anak muda cerdas dari kota kecil atau desa gagal menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus di kota besar. Mereka mengalami gegar budaya. Menghadapi hal-hal yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, tidak cukup memiliki kemampuan negosiasi, dan tidak memiliki orang tua atau kerabat yang bisa membantunya seketika.

***
Ada banyak hal menarik terkait dengan budaya yang diungkapkan Malcolm Gladwell dalam Outliers, termasuk kisah yang berawal dari investigasi atas kecelakaan Korean Air.

Salah satunya adalah kesimpulan bahwa sebuah kecelakaan umumnya melibatkan tujuh kesalahan secara beruntun. Salah seorang kapten pilot melakukan satu kesalahan bukanlah masalah. Akan tetapi, salah satu dari copilot melakukan kesalahan setelahnya, yang bila dikombinasikan dengan kesalahan pertama tidak akan mengakibatkan bencana. Sayangnya, mereka kemudian melakukan kesalahan ketiga, dan berikutnya, dan berikutnya lagi. Kombinasi berbagai kesalahan inilah yang menyebabkan bencana.

Dia menyimpulkan bahwa setiap bangsa atau kelompok suku tertentu memiliki sifat dan gaya komunikasi yang khas. Dan hal ini terbukti menjadi salah satu penyebab kecelakaan yang berulangkali terjadi pada Korean Air pada dekade 1990-an.

Pesawat komersial besar setidaknya dikemudikan oleh seorang kapten pilot, seorang first officer (co-pilot), serta flight engineer. Pada bangsa-bangsa tertentu yang memiliki PDI (power distance index) yang besar seperti Korea, seorang first engineer tidak akan berani bicara lugas kepada kapten pilot. Bahkan dalam kondisi yang sudah sangat berbahaya. Itulah salah satu penyebab kecelakaan. Seandainya first officer dan flight engineer mampu bersikap asertif terhadap kapten pilot, ada banyak kecelakaan yang dapat dihindari.

Inilah contoh yan tersirat dan tersurat dalam percakapan dua orang Korea.
Kwacang: cuacanya dingin dan saya agak lapar (maksudnya: coba tolong belikan minum atau makanan).
Kim: bagaimana kalau segelas anggur (artinya: saya akan membelikan anggur untuk Anda).
Kwacang: Tidak usah repot-repot (artinya: saya akan menerimanya kalau kamu mengulangi tawaranmu).
Kim: Anda pasti lapar. Bagaimana kalau kita makan ke luar (artinya: saya memaksa untuk mentraktir Anda).
Kwacang: Apakah aku harus menerinya? (artinya: aku menerimanya).

Ini kasusnya mirip sekali dengan komunikasi model orang Jawa. Orang Korea dan kebanyakan orang Asia, konon, dalam berkomunikasi beroreintasi pada penerima. Artinya, pendengar bertanggungjawab penuh untuk mengartikan apa yang dikatakan. Ini berbeda dengan gaya komunikasi Barat yang berorientasi pemancar sehingga pembicara seringkali mengulang-ulang isi pesannya secara lugas sampai diterima dengan tepat.

Dan kalau model komunikasi dengan PDI tinggi itu diterapkan dalam kokpit maka menjadi sangat berbahaya. Ketika seorang first officer mengatakan: Apakah menurut Anda akan hujan lagi di daerah ini? Maka yang dimaksud adalah: Kapten, Anda telah memutuskan untuk mengambil pendekatan visual, tanpa adanya rencana cadangan, dan cuaca di luar benar-benar buruk. Anda pikir kita akan ke luar dari awan tepat pada waktunya dan bisa melihat landasan. Tetapi bagaimana kalau kita tidak melihatnya? Di luar sana benar-benar gelap gulita dan hujan turun dengan lebat, lalu glide scope sedang rusak.

Ketika flight engineer mengatakan: Kapten radar cuaca benar-benar menolong kita. Maka yang dimaksudkan adalah: Ini bukan malam di mana kita bisa mengandalkan mata kita ntuk mendaratkan pesawat. Lihat apa yang diinformasikan radar cuaca kita: ada cuaca buruk di depan.

Malcolm Gladwell dengan panjang lebar memaparkan bagaimana pola watak suatu kelompok manusia (seperti bangsa atau suku) bisa berpengaruh terhadap jenis pekerjaan atau bidang apa yang cocok digeluti.

Dia dengan bagus sekali menjelaskan mengapa bangsa-bangsa Asia (Timur) hebat dalam matematika, mengapa sebagian besar pengacara di New York memiliki silsilah hidup yang sama, dan mengapa banyak orang genius tidak sukses.

Wallahu alam.

Tidak ada komentar: