04 Oktober 2010

Sekar bisa naik sepeda roda 2, alhamdulillah

Pekan pertama bulan Oktober saya kira menjadi salah satu hari penting dalam perkembangan motorik Sekar. Sekar sudah bisa naik sepeda.

Hari Sabtu dia bisa naik 19 gowesan tanpa menyentuhkan kaki di tanah. Dan hari Minggu, saya berani menyebutnya sebagai ‘bisa naik sepeda’. Tandanya, antara lain: sudah bisa menentukan sendiri kapan berhenti (bukan terpaksa berhenti karena mau nabrak), bisa menentukan kapan harus menginjakkan kaki ke tanah (bukan karena sepeda miring sehingga kaki harus menyangga), dan bisa melakukan gerakan manuver memutar di jalan datar selebar 3 meter.

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Ini sekaligus menjadi hadiah bagi dirinya sendiri menjelang ulang tahun ke-6.


***
Sekar sudah biasa membonceng sepeda. Sejak TK dua tahun yang lalu, dia diantar jemput dengan sepeda onthel. Lalu sejak 10 bulan yang lalu, dia diantar jemput ke sekolah dengan sepeda listrik. Jadi, sebagai penumpang sepeda, dia sudah biasa.

Namun minatnya untuk mengendarai sendiri sepeda tidak segera muncul. Sudah lebih dari setahun dia dapat lungsuran sepeda dari kakak sepupunya. Sepeda yang bisa disetel apakah dengan 2 roda atau 4 roda (2 roda kecil sebagai penyangga). Hanya sesekali dia mencoba naik sepeda roda 4 itu. Malah sepeda jadi lebih banyak dipakai teman-teman sepermainan yang lebih besar.

Lalu entah mengapa minatnya naik sepeda muncul pada September, ketika 2 roda penyangga dilepas. Lalu puncak semangat itu tampak membara pada akhir September.

Pagi, siang, sore, ngajak belajar naik sepeda. Bahkan pada akhir pekan terakhir bulan September, subuh-subuh dia sudah minta ditemani belajar naik sepeda.
Awalnya tentu saja tertatih-tatih.

***
Menurut pengamatan saya, ada dua hal yang harus dipunyai pengendara sepeda yaitu daya dorong dan keseimbangan.

Ternyata menggowes sepeda butuh tenaga yang lumayan juga. Setidaknya pada awal masa belajar. Misalnya, Sekar bisa mendorong dengan kaki menginjak tanah, namun ketika mennggowes pedal kurang kuat.

Lalu soal lain adalah keseimbangan. Saya kira melatih keseimbangan dengan meluncur di jalan menurun lebih baik daripada orang dewasa memegangi sepeda dari belakang. Memang ada risiko jatuh. Tetapi, meluncur di turunan, asal tidak terlalu curam, langsung mengajarkan cara menjaga keseimbangan sepeda agar tidak roboh.

Tampak betul bagaimana anak yang belajar naik sepeda mencoba mencari formula yang pas antara daya dorong dan keseimbangan. Sebagai conoth, ketika dia mengerahkan tenaga menggowes, keseimbangan tak terjaga. Ketika harus konsentrasi menjaga kesimbangan, tenaga gowes tidak terurus.

***
Mengamati dia belajar, sebagai orang tua, saya ingin Sekar segera bisa. Kalau sudah bisa, berarti tidak perlu jatuh-jatuh lagi. Tidak mendebarkan lagi.

Bisa naik sepeda berarti di masa mendatang dia lumayan terbebas dari ketergantungan terhadap ojek, angkot, dan pengantar. Dia bisa membawa kendaraan sendiri yang sehat, ramah lingkungan, murah, bisa masuk ke gang, dan sebagainya. Kemungkinan besar dia juga akan bisa naik sepeda motor, insya Allah.

Mengamati semangat anak belajar naik sepeda itu perasaan juga campur aduk. Saya sempat bertanya-tanya darimana semangat belajar yang tak kenal lelah itu berasal? (Beberapa kali jatuh, tetapi alhamdulillah tidak fatal. Cuma nangis sebentar. Sejam kemudian sudah belajar lagi)

Saya sempat mikir apakah ada masalah dengan sepeda yang dia gunakan untuk berlatih? Apakah dia perlu sepeda baru yang lebih ringan, lebih baik, lebih nyaman daripada yang digunakannya untuk latihan? Dan sebagainya.

Belajar naik sepeda saya kira salah satu cara terbaik melatih motoriknya. Sekar ini mungkin mewarisi sifat penakut ayahnya: terlalu banyak pertimbangan sebelum melakukan gerakan yang agak ekstrem. Tetapi selama belajar naik sepeda, ketakutan semacam itu tidak tampak. Juga, nafsu makannya meningkat pesat.

Saya kira ini juga menjadi salah satu prototipe tentang bagaimana mempelajari keterampilan tertentu.

Menemani anak belajar naik sepeda ini juga mengingatkan saya bahwa saya belum pernah mencoba mencari formula bagaimana belajar naik sepeda yang efisien. Sudah agak lupa bagaimana dulu saya belajar naik sepeda (sepeda jengki besar, saat kelas 4 sd, usia 9 tahun atau 10 tahun).

Mungkin anak akan lebih cepat dalam belajar kalau pelatihnya benar-benar mengenali mana yang harus dipelajari terlebih dahulu, bagaimana triknya, variable penentunya, serta hal-hal lainnya.

Bagaimanapun, alhamdulillah, Sekar sudah bisa naik sepeda. Kehidupannya tentu tidak sama lagi dengan masa lalu ketika dia hanya bisa menjadi penumpang sepeda.

"Segala puji bagi Allah. Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya." (ini dikutip dari salah satu doa naik kendaraan)--Setyardi Widodo

Foto: Sekar sedang belajar naik sepeda pada akhir September. Ketika itu belum bisa. Dia masih mendorong sepeda dengan kaki ke tanah, belum gowes. Tempat latihan sempit dan tidak rata, bergelombang.