27 September 2012

Menyambangi (bekas) Konstantinopel

Dulu waktu berada di sekolah menengah (SMP/SMA), dari pelajaran sejarah saya mendengar tentang kekaisaran Romawi Timur alias Bizantium. Ibukotanya adalah Kontantinopel.

Meskipun saya penggemar sejarah Indonesia, saya blas tidak paham tentang sejarah Eropa. Waktu itu saya juga tidak tahu bahwa Konstantinopel itu ternyata kemudian berubah nama menjadi Istanbul setelah dikuasai Dinasti Utsmaniah/kesultanan Utsmani (Ottomans).

Waktu kecil saya sering mendengar nama Istanbul (atau Istambul atau Stambul) ya justru dari cerita kethoprak atau cerita berlatar belakang Timur Tengah lainnya.

Eh, lhadalah, alhamdulillah, kok beberapa waktu lalu mendapat kesempatan menengok bekas pusatnya Bizantium yang bernama Kontantinopel alias Istanbul itu. Walaupun cuma mampir beberapa jam karena transit, alhamdulillah bisa mengunjungi Obelisk yang berusia 35 abad, Hagia Sophia yang berumur lebih dari 15 abad, serta Mesjid Biru Sultanahmet yang dibangun pada dekade 1610-an (bareng dengan masa kerajaan Demak di Jawa).

Dan pada saat benar-benar berkunjung itulah saya baru menyadari bahwa kota itu adalah kota yang begitu tua, bersejarah, pernah menjadi pusat peradaban dunia pada beberapa abad yang lampau, dan bekas-bekasnya masih benar-benar bisa dilihat dan ditemui. Alhamdulillahirabbil alamiin.

Kebanggaan Ukraina Setelah Piala Eropa

Surat kabar Kyiv Post edisi 31 Agustus 2012 memuat sebuah karikatur menarik di halaman Opini. Karikatur besar itu menggambarkan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych dengan bangga naik balon udara bertuliskan The World Cup in Ukraine.
Lalu para penonton yang berada di bawah dengan sinis menyatakan betapa Sang Presiden telah melambung tinggi jauh dari kenyataan.


Di sisi kanan bawah karikatur itu dijelaskan konteksnya. Pada 29 Agustus 2012, Presiden Yanukovych menyatakan Ukraina siap menjadi tuan rumah acara sepak bola Piala Dunia FIFA setelah sukses menjadi tuan rumah Piala Eropa pada awal musim panas tahun ini. Pernyataan itu disampaikan di Donetsk, salah satu kota yang dijadikan arena pertandingan Piala Eropa yang baru lalu.

Yang menggelikan bagi orang-orang Ukraina dari pernyataan Sang Presiden adalah kenyataan bahwa tuan rumah Piala Dunia FIFA sudah ditetapkan hingga 2022, yakni Brasil pada 2014, Rusia pada 2018, dan Qatar pada 2022. Jadi, pernyataan itu dianggap sebagai impian yang melambung terlalu jauh dari kenyataan, seperti terbang menggunakan balon yang tidak menginjak bumi.

Bagi saya, secara tersirat, karikatur dalam surat kabar berbahasa Inggris terbitan Kiev, ibukota Ukraina, itu menggambarkan betapa keberhasilan bekas bagian Uni Soviet itu bersama dengan Polandia menjadi tuan rumah Piala Eropa membawa pengaruh dan kebanggaan yang tidak sedikit.

Beberapa ulasan dalam surat kabar dan publikasi yang terbit awal September juga masih menyorot dampak pergelaran Piala Eropa bagi citra dan perekonomian negara yang berpenduduk sekitar 45 juta jiwa itu.


*) Tulisan selengkapnya dimuat di Bisnis Indonesia Weekend yang beredar 21 September 2012

21 September 2012

Kota Seribu Taman

Akhir pekan adalah saat yang menyenangkan untuk bersantai menikmati kota Kiev, ibukota Ukraina, bekas bagian dari Uni Soviet. Di pusat kota ada monumen kemerdekaan.

Di dekat monumen kemerdekaan ini, yakni sepanjang jalan Khreschatyk yang mirip Jalan Thamrin Jakarta, diberlakukan car free day selama Sabtu-Minggu. Orang bebas berjalan-jalan di jalan lebar itu. Asyiknya, pada akhir pekan ada berbagai pertunjukan yang digelar serius.

Akhir pekan yang lalu, misalnya, ada perlombaan loncat tinggi galah. Seperti kita tahu, loncat galah adalah salah satu olahraga kebanggaan Ukraina. Salah satu atlet legendaris adalah Serhiy Bubka, pemegang berkali-kali rekor lompat galah, yang ternyata adalah warga Ukraina. Monumen Bubka telah dibangun dan diresmikan walaupun atlet itu masih hidup.

Perlombaan loncat tinggi dengan galah di arena car free day itu ramai sekali dan padat penonton termasuk anak-anak kecil.

Tidak kalah menarik digelar pula perlombaan sepeda dengan peserta para wanita. Sayang sekali, bahasa dan tulisan dengan huruf cirilik itu tidak bisa kami mengerti. Jadi kami tidak tahu itu pertunjukan dan perlombaan tingkat apa dan siapa pesertanya.

Di ujung jalan Khreschatyk terdapat patung Lenin. Di belakangnya membentang tempat jalan kaki yang diapit jejeran tanaman rimbun. Itu adalah Bulevard Shevchenko. Jika kita susuri sekitar 10 menit akan sampai ke taman Shevchenco yang sangat indah dan bersih. Jika kita lanjutnya menyusuri bulevard itu sekitar 10 menit, kita akan tiba di Botanical Garden. Sepintas mirip rerimbunan pohon Jalan Cilaki Bandung, namun dalam ukuran yang jauh lebih besar.

Ya, di kota Kiev memang banyak sekali taman. Semuanya gratis. Taman Shevchenco dan Botanical Garden hanyalah satu dari belasan atau puluhan taman lain yang tersebar di berbagai sudut kota, baik berukuran besar maupun berukuran kecil.

Pengelola Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia barangkali perlu belajar dari Kiev bagaimana membangun dan mengelola taman-taman di tengah kota agar asri, rimbun dan nyaman.

Namun ada satu hal yang perlu diingat ketika berjalan-jalan sendirian atau dalam rombongan kecil di Kiev, yaitu keamanan. Sebagian lokasi taman sangat sepi, sementara berbagai buku petunjuk wisata mengingatkan soal perlunya menjaga keamanan. Jadi, hati-hati bila berjalan-jalan sendirian.

Meskipun secara umum orang Ukraina ramah, namun jangan kaget bila anda minta tolong untuk difoto di lokasi yang menurut Anda menarik, namun ternyata ditolak oleh orang yang Anda mintai tolong.

* Tulisan ini telah dimuat di Harian Jogja dan bisnis.com dua pekan lalu

Kiev atau Kyiv atau KNIB?

Dalam berbagai plang yang ada di jalan maupun di peta dan petunjuk perjalanan, ibukota Ukraina itu kadang ditulis Kiev dan kadangkala ditulis Kyiv. Kalau ditulis dengan huruf setempat bahkan seolah-olah penulisannya menjadi seperti KNIB.

Surat kabar setempat yang berbahasa Inggris terbitan Public Media LCC memilih nama Kyiv Post bukan Kiev Post.


Ditelisik lebih jauh, ternyata dua kata itu berasal dari bahasa yang berbeda. Penulisan Kyiv mengacu pada bahasa Ukraina sedangkan Kiev mengacu pada Bahasa Rusia. Sayangnya, yang lebih populer secara internasional dan diadopsi Eropa Barat justru Kiev yang mengacu pada logat Rusia, bukan Ukraina.

Sebelum tiba di Ukraina, yang saya bayangkan tentang negeri itu adalah tanah kelahiran “bapak helikopter” Igor Sikorsky, serta tempat berkarya bapak “tabel periodik kimia” Dmitry Mendeleyev. Namun saya tidak menemukan jejak mereka berdua selama hampir sepekan mengunjungi Ukraina.


Posisi Ukraina cukup dekat dengan Ibu Kota Rusia, Moskwa. Dalam hal kesukuan, sekitar 17,3% warganya beretnis Rusia. Jadi, hubungan kedua negara relatif dekat. Ukraina memerdekakan diri pada 1991 setelah Uni Soviet bubar.

Sebenarnya, banyak tokoh Uni Soviet berasal dari Ukraina. Leon Trotsky, misalnya, salah satu tokoh Revolusi Bolshevick selain Vladimir Lenin, adalah orang Ukraina.
Leonid Brezhnev yang pernah menjadi pemimpin tertinggi Uni Soviet, juga orang Ukraina. Nikita Khrushchev pada saat remaja pernah berpindah dari Rusia ke Donetsk dan mendapatkan posisi penting dalam Partai Komunis di Kiev. Sekarang pun surat kabar yang berpusat di Rusia masih beredar luas di Ukraina.

* Tulisan ini dimuat dalam Bisnis Indonesia Weekend yang terbit 21 September

20 September 2012

“Mudik” ke Desa Tua Ukraina


Serbuan nyamuk yang ganas. Itulah yang kami rasakan ketika kemarin petang mengunjungi Pirogovo, sebuah perdesaan tua dekat kota Kiev, Ukraina, yang dipertahankan sebagai semacam museum.

Kami datang ke sana sebagai bagian dari acara makan malam hari pertama kegiatan Kongres Surat Kabar Dunia ke-64 sekaligus World Editors Forum ke-19 yang digelar WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News Publishers). 

Kami tiba sekitar pukul 19.45.  Seharusnya kami datang lebih cepat, sebelum udara menjad terlalu gelap. Sekadar informasi, waktu maghrib saat di ini sekitar Kiev kira-kira pukul 20.00 malam. Jadi kami tiba persis menjelang maghrib. Dan saat itulah agaknya waktu favorit bagi para nyamuk untuk menyerbu. Maka ratusan orang peserta kongres yang datang dari segala penjuru dunia dan baru turun bus itu pun menjadi mangsa yang menyenangkan.

Pirogovo yang disebut sebagai museum arsitektur tradisional ini berada kira-kira setengah jam perjalanan (bila tidak macet) dari pusat kota Kiev. Jalan di sekitar lokasi hanya pas untuk bus bersimpangan. Menjelang lokasi perdesaan itu hanya ada padang rumput yang luas.

Di Pirogovo terdapat belasan rumah yang dipertahankan asli, mirip dengan perdesaan Indonesia puluhan tahun yang lalu. Rumah-rumah dari kayu dan batu, dengan perabot di ruang tamu, ruang makan, serta ruang tidur ada di dalamnya. Peralatan dapur tradisional juga ditempatkan seperti seharusnya. Sayang sekali ketika kami mulai masuk ke rumah-rumah itu, hari sudah gelap. Dan tidak ada lampu listrik yang dinyalakan. Jadinya hanya mengandalkan penerangan dari “senter” berupa lampu ponsel.

Kegiatan makan malam dipusatkan di sebuah lapangan tak jauh dari rumah-rumah tradisional itu. Disediakan dua buah tenda besar untuk tempat makan. Di antara tenda itu terdapat beberapa meja yang dipakai penduduk setempat untuk menjual sovenir. Ada bermacam gerabah khas Ukraina. Juga pakaian tradisional dari katun dan kulit. Secara umum harga pakaian di Ukraina jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Namun souvenir semacam gerabah tidaklah mahal. Di Lokasi itu banyak pengunjung yang membeli sovenir dari gerabah namun tak banyak yang membeli pakaian tradisonal yang bentuknya mirip sekali baju koko di Indonesia.

Tarian tradisonal yang dinamis dengan puluhan penari berbagai usia agaknya merupakan tampilan khas. Siang hari pada pembukaan kongres para peserta disuguhi tarian itu. Malam hari kembali disuguhi tarian serupa. Ada puluhan orang, dari usia tua hingga anak-anak terlibat menyanyi.

Dengan warna kostum khas paduan antara merah dan putih, para penarik bergerak sangat dinamis. Ini mirip dengan pertunjukan senam. Tarian kolosal yang orang-orangnya bisa melompat-lompat secara sangat atraktif. Barangkali tarian dengan pola semacam ini adalah khas di Eropa Timur dan daerah sekitar Laut Hitam.

Malam semakin larut dan pertunjukan tari dipindah dari panggung ke lapangan terbuka. Kali ini pertunjukan tari dengan api. Kalau di Indonesia mirip dengan pertunjukan obor atau oncor, hanya saja dengan gerakan yang lebih atarktif serta berbahaya.

Nyamuk-nyamuk tetap saja menggigit ketika semua pertunjukan usai dan rombongan harus menunggu bus penjemput yang ternyata sangat lama.  “Nyamuknya lebih besar daripada nyamuk di Jakarta, tetapi tidak terlalu gatal,” celetuk seorang peserta dari Jakarta.  

*) Tulisan ini dimuat di Harian Jogja

Mushola Sederhana di Kiev

Di salah satu sudut bangunan yang digunakan untuk Kongres Suratkabar se-Dunia ke-64 sekaligus World Editors Forum ke-19 di Kiev, Ukraina,terdapat satu ruangan yang diset sebagai mushola alias moslem prayer room.

Ruangan yang disiapkan sebagai tempat sholat bagi peserta kongres di Ukrainian House di Kota Kiev itu sangat sederhana. Sekitar sepuluh buah sajadah diatur sedemikian rupa sehingga rapih menghadap ke arah kiblat. Sekedar informasi, posisi Ukraina berada di sisi barat laut Arab Saudi. Dengan demikian kiblat menghadap ke arah tenggara, bukan ke arah barat sebagaimana di Indonesia.

Nah, yang paling menarik adalah tempat untuk wudlu. Karena WC dan toilet di Kiev ini tidak dirancang untuk memudahkan orang mengambil wudlu, maka diaturlah beberapa perangkat sederhana untuk berwudhu.

Pertama ada dua galon air yang dilengkapi dengan pompa tangan. Lalu ada sebuah gayung yang ujungnya seperti teko. Kemudian ada ember kecil dan ember besar. Dan terakhir adalah lapisan plastik yang dibentangkan di atas karpet sebagai alas wudlu agar air yang muncrat dari sekitar ember tidak membasahi karpet. Perangkat yang praktis yang unik dan sederhana.

Tentu saja kita harus berhati-hati dalam berwudlu di sini. Jangan sampai air tumpah dan muncrat ke mana-mana. Jumlah air juga perlu dihemat agar orang lain bisa ikut menggunakan.

Di depan mushol ada sebuah meja yang dipenuhi dengan buku-buku dan majalah Islam. Sayang sekali tidak satupun yang berbahasa Inggris. Semuanya berbahasa Ukraina atau Rusia dengan huruf yang tidak sama dengan aksara Latin.

***

Usut punya usut, ternyata mushola di arena kongres WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News Publishers) itu disiapkan oleh Religions Administration of Ukrainian Muslims alias RAMU. Kami sempat bertemu dengan Sheikh Rustam Gafuri, Deputi Mufti Ukraina yang juga ketua departemen informasi pada organisasi tersebut.

Pak Rustam ini masih muda dan ternyata pernah berkunjung ke Jakarta pada 5 tahun yang lalu untuk mengikuti salah satu kegiatan yang digelar oleh Nahdlatul Ulama (NU). Dia pun masih ingat tentang Istiqlal serta tokoh NU Hasyim Muzadi.

Menurut Rustam yang juga Presiden pada The All-Ukrainian Cultural Centre of Turk-Speaking and East Peoples itu, terdapat 2 juta warga muslim di negara bekas wilayah Uni Soviet ini. Itu artinya terdapat sekitar 4 persen-5 persen warga Ukraina yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Informasi dari RAMU menyatakan bahwa agama Islam mulai masuk ke wilayah Ukraina telah melalui sejarah yang panjang. Peninggalan arkeologis yang ditemukan menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke wilayah ini sejak abad ke-8.

Sayangnya, selama di bawah kekuasaan Uni Soviet yang ateistik, kehidupan beragama kurang berkembang. Sejumlah mesjid ditutup atau dirusak dan para pemimpin agama dilarang untuk menjalankan ritual agama.

Seiring dengan perkembangan politik yakni bubarnya Uni Soviet dan berdirinya Ukraina sebagai negara tersendiri pada 1991, kehidupan beragama kembali memperoleh tempat.

Rupanya, kegiatan organisasi muslim Ukraina cukup banyak. Rustam bercerita bahwa di Kiev ada sebuah mesjid. Lokasinya agak jauh dari tempat konferensi, yakni sekitar 40 menit berjalan kaki. “Tetapi masjid itu tidak sebesar Istiqlal. Kalau ada waktu, mampirlah ke masjid kami,” ujar Rustam yang fasih mengucapkan kata ‘terima kasih’ ini. Sayang sekali kami tidak memiliki kesempatan untuk menengok mesjid di salah satu bekas wilayah Uni Soviet ini.

*Tulisan ini telah dimuat di Bisnis.com dan Harian Jogja dua pekan lalu