31 Maret 2008

Mencari tas untuk notebook

Sejak kuliah saya menyukai tas. Ke mana-mana hampir selalu membawa tas. Kalau tidak membawa tas, rasanya kok seperti pendekar pedang yang ketinggalan pedang. Ada kehampaan dan perasaan tidak siap, tidak berdaya.

Sewaktu kuliah, tas yang saya suka adalah yang ukuran besar (bisa memuat kertas folio atau A4 tanpa terlipat), dan punya banyak saku. Hingga lulus kuliah saya tidak pernah menyukai tas punggung atau ransel. Saya berusaha selalu memilih tas yang dicantolkan ke salah satu bahu saya. (Mungkin ini menyebabkan beban bahu saya tidak seimbang, karena bagian kanan terlalu sering menyangga tas, hehehe)

Sejak menjadi wartawan saya mulai menyukai tas punggung. Tas yang saya suka itu tidak terlalu besar karena fisik saya juga tidak terlalu besar, dan kurus pula. Selain itu, tas harus bisa dicantolkan di dada (bukan punggung) untuk mengantisipasi risiko kecopetan dalam angkutan umum maupun di pusat keramaian.

Tas yang saya suka adalah yang punya banyak saku. Saya harus membawa tape recorder, notes dan pulpen, PDA, ponsel, dompet, serta sedikit kartu memori. Kadangkala harus membawa jaket atau sweater. Selain itu, tas perlu saku khusus guna menampung uang receh untuk pembayaran angkot, bus serta transaksi ringan seperti beli koran, majalah, atau minuman.

***
Sejak memiliki Eee PC dan ingin membawa-bawa notebook, saya jadi kepikiran lagi mengenai tas. Secara umum, tas yang saya inginkan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut

Aspek fisik:
Berbentuk tas punggung (lebih baik kalau bisa juga menjadi tas samping); Ukuran jangan terlalu besar (sesuai dengan ukuran fisik saya, harus tetap pantas untuk disandang di dada); Bahan harus mampu menahan guncangan ringan serta hujan kecil; Dalam keadaan kosong harus ringan; Terbagi dalam minimal dua kompartemen

Bagian luar:
Ada saku untuk receh; Ada tempat untuk wadah payung dan atau botol minuman; Ada tempat untuk notes dan pulpen; Ada tempat untuk kotak kartu nama.

Bagian dalam:
Ada tempat khusus untuk notebook, charger serta mouse; Ada tempat untuk dompet; Ada saku-saku untuk PDA, pemutar MP4, kabel data, dan kabel lainnya.

Tentu saja saya berharap bahwa harga jualnya masih di bawah Rp200.000. Kalau tas yang yang mahal-mahal sih sudah banyak yang sesuai harapan. Yang harga murah ini yang belum banyak.

30 Maret 2008

Akses Internet Rp600 sampai puaasss?

Sekitar lima atau enam tahun lalu, saat ada diskusi hangat mengenai kenaikan tarif telepon (Telkom), muncul beragam alternatif 'aneh' cara perhitungan tarif telepon yang diajukan masyarakat melalui berbagai mailing list.

Saat itu jumlah sambungan telepon saluran tetap (yang tidak banyak beranjak dari 8 juta itu) masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah pengguna seluler. Skema tarif yang umum diterapkan masih berbasis pulsa. Tarif seluler yang berbasis detik, apalagi dengan cara perhitungan berdasarkan menit ke sekian dan semacamnya, belum dikenal.

Salah satu usulan yang saya ingat ketika itu adalah biaya akses Internet yang tidak didasarkan pada durasi waktu maupun volume data. Ada yang usul, dalam sebuah milis, agar tarif Internet itu sekali akses sekian rupiah, tidak peduli berapa lama mengakses dan berapa data yang diakses. Saya yakin kala itu tidak ada yang menganggap serius ide semacam itu.

Belakangan sistem tarif operator seluler sangat beragam. Hal tersebut tidak lepas dari kecanggihan billing system yang mereka pakai yang memungkinkan operator membuat beraneka ragam sistem perhitungan tanpa mengganggu pendapatan secara keseluruhan.

Salah satu skema yang sangat menarik adalah tarif yang ditetapkan XL untuk panggilan kartu Bebas ke sesama XL yaitu sebesar Rp600 sampai puas.

“Sampai baterainya habis hanya Rp600,” kata salah satu pejabat XL dalam sebuah diskusi pagi hari di televisi.

Nah, ini dia. Menelepon sampai puas dengan Rp600. Apakah ini mungkin diadopsi untuk tarif Internet? Mungkinkah kita mengakses Internet dengan biaya Rp600 sampai puass?

Secara teoritis mestinya bisa. Misalnya kita pakai sambungan dial up dengan server yang juga menggunakan kartu XL.

Memang mesti disadari bahwa akses dial up GSM itu kan kecepatan teoritisnya sangat rendah, sekitar 14kbps (lebih rendah dari GPRS yang lambat itu). Toh kecepatan segitu sudah memadai kalau sekadar chatting.

Masyarakat bisa menghemat sangat banyak kalau ada layanan semacam ini. Tentu dengan catatan koneksi tidak drop alias disconnected. Untuk menghindari terputusnya sambungan, pengakses sebisa mungkin berada di satu tempat, tidak bergerak atau berpindah dengan kecepatan tinggi.

Katakanlah tarif Rp600 sekali akses itu terlalu murah. Apalagi akan banyak yang berusaha 'mantheng' sambungan terus menerus selama berjam-jam, bahkan puluhan jam. Maka, bisa saja dibuat kebijakan tarif yang lebih masuk akal, misalnya Rp10.000 sampai puas, atau Rp5.000 selama dua jam (hampir sama dengan tarif warnet).

Kalau akses dia up dipandang kurang manusiawi (masak zaman 3G kok masih pakai dial up GSM, hehe), mungkin operator seluler bisa membuka jalur GPRS-nya. Pengguna tinggal REG, dipotong Rp5.000, dapat username dan password yang berlaku selama 2 jam, misalnya.

Atau bahkan tidak perlu username dan password, pokoknya pengguna bisa login ke Internet dalam periode dua jam sejak pertama kali memasukkan registrasinya. (Dalam hal ini tetap harus ada cara perlindungan bagi konsumen untuk mengatasi kemungkinan pembayaran ganda gara-gara disconnected sebelum batas dua jam terlampaui yang disebabkan kualitas jaringan yang buruk).

Masuk akalkah hal semacam itu diterapkan? Kita tunggu saja. Wallahu 'alam

27 Maret 2008

Software Eee PC kurang andal

Saya mengalami dua peristiwa menyebalkan dengan Eee PC dalam satu hari kemarin.

Pertama, terjadi di kantor, saya gagal mengakses Wi-Fi. Biasanya mengakses Wi-Fi bisa berjalan dengan lancar dan mudah. Tetapi kali itu saya coba berulang-ulang kok gagal terus. Yang muncul adalah koneksinya PENDING terus. Padahal orang-orang lain dengan komputer lain tidak mengalami kendala mengakses Wi-Fi.

Ternyata, usut punya usut, Eee PC ini butuh restart. Saya matikan, lalu copop baterai sebentar, nyalakan lagi. Eh, bisa deh nyambung lagi ke Wi-Fi kantor. Alhamdulillah.

Peristiwa begini, yaitu peranti membutuhkan restart, sebenarnya biasa saya alami pada PDA Ipaq yang memakai software Windows Mobile. Tetapi ini terasa menyebalkan terjadi pada Eee PC.

Masalah kedua terjadi malam harinya di rumah. Awalnya saya menggunakan Eee PC untuk mengetik. Sampai selesai satu tulisan (tentang notebook layar tegak) tidak ada masalah.

Lalu saya berusaha memindah file-file foto dari sebuah kartu SD kamera digital. Ketika proses copy, rename, pindah ke folder, tidak ada masalah serius, hanya terasa rada lambat. Tetapi ketika harus membuka file foto (farewell party seorang teman), lalu berusaha mencari menu resize, Eee PC mulai ngambek. Lalu diam.

Saya bisa membuka menu lain seperti home dkk, tetapi akses file gambar tetap bengong. Lama-lama macet semua. Saya mengambil kesimpulan perlu melakukan restart seperti kejadian dengan Wi-Fi siang harinya.

Saya pencet Ctrl+Alt+Del. Maka matilah ini Eee PC. Lalu saya copot baterai. Sialnya, ketika saya nyalakan lagi, Eee PC tetap bengong. Proses booting lama, bahkan berhenti. Macet.

Saya tekan tombol power. Eee PC mati lagi, saya copot baterai. Ketika saya nyalakan, muncul masalah yang sama. Booting macet. Lagi-lagi saya matikan, copot baterai, nyalakan lagi. Kembali lagi macet. Frustasiii deh.

Berhubung waktu itu sudah lewat jam 12 malam, saya tekan power, copot baterai, lalu pasang lagi, tetapi tidak saya nyalakan. Saya tinggal tidur. Saya biarkan USB flash disk, kartu memori, tas, charger dkk berantakan di sekitar Eee PC.

Paginya, ketika saya coba hidupkan, alhamdulillah bisa beroperasi normal. Eee PC bisa digunakan untuk mengetik kembali. Tetapi saya belum berani buka-buka dan coba mengedit foto lagi, hehehe.

Aduh, kenapa ya, Eee PC ini kok kurang andal. Apakah saya memaksanya bekerja terlalu keras? Setahuku PDA Ipaq 4350-ku masih bisa menangani editing file foto dengan lebih cepat dan lebih gampang. Mungkin spec (keterbatasan hardware yang lalu diikuti keterbatasan software) Eee PC ini memang terlalu minimalis. Jangan berharap terlalu banyak dulu deh, hehehe.

Ingin notebook layar tegak

Saya punya dua notebook yaitu Toshiba Satellite dan Eee PC. Dua-duanya menggunakan layar yang mendatar (landscape) dan masuk dalam kategori layar lebar. Layar lebar artinya lebar layar lebih dari 4/3 tingginya.

Ketika menggunakan Toshiba Stellite yang diameternya 14 inchi, saya tidak merasa mengalami masalah dengan posisi layar. Mungkin karena secara keseluruhan layar itu sudah sangat lebar bagi saya. Intinya, ketinggian layar sudah memadai juga.

Tetapi ketika saya sering menggunakan Eee PC dengan diameter 7 inchi, soal posisi layar ini mulai menjadi persoalan.

Posisi yang mendatar, sementara bagian atas dari layar masih dijejali dengan deretan menu, toobar dan kawan-kawannya, membuat layar yang ukurannya kecil ini tampak semakin melebar ke samping. Ini terasa kurang nyaman untuk mengetik, copy/paste lintasfile, maupun ketika menampilkan gambar (foto).

Saya pikir akan lebih menyenangkan kalau layar pada perangkat kecil macam Eee PC ini ditempatkan tegak (portrait) saja.

Bisa jadi masalah ini hanya terjadi pada saya karena soal kebiasaan. Saya belum terbiasa dengan layar melebar. Lha gimana, layar desktop saya yang 17 inchi di kantor itu masih menganut perbandingkan tinggi dan lebar 3:4.

Mungkin juga karena saya kebanyakan nonton TV yang layarnya belum lebar. Atau karena sudah empat tahun saya menggunakan PDA dengan layar portrait. Beberapa smart phone yang pernah kupunyai juga menggunakan layar tegak. (Mungkin kejadiannya agak berbeda kalau saya penggemar Nokia Communicator yang terbiasa dengan perangkat berlayar sangat melebar ke samping)

Hemat saya, layar yang tegak akan lebih nyaman untuk mengetik dan hal lain yang berurusan dengan teks. Itu karena bentuk hard copy teks yang kita kenal kebanyakan tegak.

Perhatikan saja koran yang posisinya tegak dengan kolom-kolom sempit yang membujur begitu. Hal yang sama juga kita temukan pada desain majalah. Begitu pun buku, yang hanya memiliki satu kolom, umumnya juga berdesain tegak, bukan mendatar.

***
Setahu saya, notebook dengan desain layar tegak belum tersedia di pasaran. Yang sudah tersedia adalah smartphone dengan layar yang bisa diubah dari portrait ke landscape dan sebaliknya. Mungkin hal yang sama juga terjadi pada tablet PC.

Hal itu tidak bisa dilepaskan dari desain keyboard. Desain papan ketik QWERTY memang dari 'sononya' sudah melintang mendatar begini. Jadi kalau notebook dibuat dengan layar portrat, harus mengorbankan posisi keyboard. Untuk notebook dengan ukuran layar 7 inchi tegak, keyboardnya harus lebih kecil dibandingkan dengan notebook 7 inchi landscape seperti yang populer saat ini.

Agaknya masih sulit mengharapkan pembuat notebook mengakomodasi notebook dengan layar portrait. Paling-paling yang akan dilakukan adalah inovasi posisi layar agar bisa diputar antara portrait dan landscape. Layar putar sudah banyak tersedia, tetapi tidak untuk mengadopsi penyatuan dengan papan ketik.

Posisi layar tegak juga kemungkinan besar tidak cocok untuk nonton film yang memang didesain untuk layar lebar. Layar tegak lebih cocok untuk penanganan teks, seperti kerjaku sehari-hari.

Jadi, yang lebih realistis barangkali adalah saya harus menyesuaikan diri dengan layar lebar. Sudahlah, jangan terlalu banyak berharap dengan notebook layar tegak, hehehe.

24 Maret 2008

Susahnya mencari panduan beli notebook

Mencari panduan untuk membeli ponsel saat ini sangat mudah. Ada belasan tabloid dan majalah yang menyajikan informasi sangat memadai mengenai ponsel.

Informasi mengenai spesifikasi ponsel, kapan dikenalkan ke pasar, berapa harga baru, harga bekas, harga pekan ini dibandingkan dengan pekan/periode sebelumnya, dan sebagainya.

Dan semua informasi itu sifatnya up-to-date, bisa langsung dibuktikan ke pusat perdagangan ponsel, dan terbukti cukup akurat. Artinya, ada link yang kuat antara apa yang disampaikan dalam media mengenai ponsel itu dengan apa yang ada di pasar. Bahkan sebagian di antaranya bisa mempengaruhi pasar itu sendiri.

Sistematika pengelompokan data ponsel dalam tabloid atau majalah itu juga umumnya sangat mudah dimengerti. Intinya, apa yang tersedia sudah sangat membantu lah.

***
Hal yang berbeda terjadi untuk produk notebook. Saya sendiri bingung kalau ditanya orang mengenai notebook apa yang perlu dia beli dengan anggaran sekian dan spesifikasi begini serta begitu.

Tidak banyak notebook yang seterkenal Asus Eee PC atau Zyrex Ubud. Kebanyakan yang lain hanya diidentifikasi dengan kelompoknya, misalnya Sony Vaio, Toshiba Satellite, Toshiba Portege. Dalam kelompok itu masing-masing, ada berbagai jenis dengan spesifikasi dan rentang harga yang lumayan jauh. Lebih repot lagi sulit untuk memastikan apakah tipe ini dan itu masih ada di pasaran atau tidak.
Contohnya, saya mengalami kesulitan untuk memastikan Toshiba Satellite tipe apa saja yang saat ini dijual di pasar dan berapa harganya.

***
Ada sejumlah majalah yang memuat informasi mengenai produk TI. Tetapi kebanyakan tidak spesifik mengenai notebook. Info Komputer kadang menyajikan ulasan utama mengenai notebook. Tetapi sifatnya tidak kontinu dan tidak bisa dipastikan kapan laporan utama mengenai produk itu akan ditampilkan. Begitu pun dengan majalah lain yang tidak spesifik mengulas notebook.

Tadi pagi saya menemukan majalah baru, namanya Laptop. Ini baru edisi kedua dan dibuat oleh kelompok usaha Gramedia. Majalah ini sudah mendekati harapan. (Mirip dengan majalah PDA Made Easy yang sudah punah, tidak ada kejelasan periode penerbitannya).

Majalah Laptop menyajikan informasi terbaru dan bermanfaat terkait dengan notebook. Di dalamnya ada informasi-informasi dasar bagi pengguna baru notebook.

Tetapi ada sedikit masalah terkait dengan koneksinya ke pasar. Maksudku, informasi mengenai notebook jenis apa yang tersedia di pusat penjualan notebook di Jakarta serta berapa harganya tidak tersedia.

Contoh konkretnya. Ada informasi mengenai notebook 7 inchi buatan Packard Bell yang dijual seharga Rp7 juta. Padahal di sini, produk dengan spesifikasi yang sama dijual oleh Zyrex dengan nama Ubud, seharga Rp5 juta. Kalau mau beli versi Packard Bell di mana tempatnya juga tidak jelas.

Padahal informasi mengenai notebook 7 inci kan saat ini lagi hangat-hangatnya. Lagi banyak yang butuh, apalgi menengok keberhasilan Asus Eee PC. Lha kepriye jal.

***
Jadi, kesimpulan sementara saya, mungkin masih ada celah (walaupun kecil) untuk menyajikan informasi mengenai panduan membeli notebook (entah apa bentuknya, majalah, tabloid, suplemen koran, atau halaman khusus periodik) bagi para pembaca.

Namun demikian, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan untuk membuat media mengenai panduan pembelian notebook.

Pertama, harus punya dukungan lab (untuk test) dan sumber daya manusia dengan kemampuan pengetahuan teknis yang kuat. Kedua, harus punya akses vendor yang baik untuk memperoleh akses mengetes produk-produk terbaru.

Ketiga, punya akses pasar yang kuat. harus bisa menyediakan informasi real time mengenai kondisi pasar notebook barudan notebook bekas. Ini yang belum tersedia pada media yang sudah beredar di pasar. Info tentang notebook bekas ini masih sangat minim, padahal menantang.

Selain itu, pasar untuk panduan notebook tidak sebesar ponsel. Tetapi pasarnya adalah kalangan menengah atas yang memang butuh panduan tertulis. Seiring booming low cost ultraportabel notebook, mungkin pasar akan meluas dan membesar. Penjualan mungkin bisa dilakukan melalui kerja sama dnegan para penjual notebook di pusat penjualan notebook

Kelima, periode penerbitannya tidak bisa sekerap panduan ponsel. Dalam hal konten, klasifikasi dan sistematika pemampangan produk dan infornya harus jelas. Ini akan membantu memberi kemudahan bagi pembaca.

Tetapi sangat jelas bahwa membuat panduang mengenai laptop jauh lebih sulit daripada panduan mengenai ponsel. Di sisi lain, pasarnya lebh kecil. jadi, tantangannya lebih berat. Sudah banyak yang membuktikan bahwa membuat media informasi TERSENDIRI mengenai komputer, seperti PC Magazine dkk, tidak sukses.

Wallahu a’lam

Saatnya PDA mati

Pasar PDA booming di Indonesia sekitar 2002-2004. Saat itu, Ipaq dari Hewlett Packard mendominasi pasar PDA di Indonesia melalui berbagai tipe yang sangat populer, khususnya 2210.

Ketika itu, PDA menjadi alat komputasi bergerak yang paling terjangkau, memenuhi berbagai kebutuhan dasar sebagai alat untuk akses Internet, pengelola PIM dan sinkronisas ke PC, serta dapat di-install berbagai aplikasi terpenting.

Bobotnya sangat nyaman untuk dibawa (di bawah 500 gram termasuk case dan charger), memiliki layar sentuh, dapat dihubungkan ke ponsel baik untuk mengirim/menerima SMS ataupun mengakses Internet. Dapat juga dihubungkan dengan akses point Wi-Fi, perangkat GPS, atau bahkan dengan CF yang membuatnya berguna sebagai ponsel.

Kelemahan PDA ada pada keterbatasan dalam input data. Perangkat ini membutuhkan papan ketik eksternal untuk data digunakan sebagai alat ketik yang nyaman. Keterbatasan lain adalah sarana koneksinya yang umumnya mengandalkan hubungan nirkabel. Tidak bisa mengakses LAN kabel, tidak bisa dihubungkan degan flash disk yang murah, sulit disambungkan ke printer, menjadi keterbatasan yang kadangkala mengganggu optimalisasi PDA.

Belakangan PDA mendapat serbuan dari dua sisi. Sisi pertama adalah ponsel yang semakin cerdas. Sisi kedua adalah notebook ultraportabel yang semakin murah.

Kemampuan pengelolaan PIM, akses Internet secara nirkabel, kemampuan komunikasi teleponi, sepenuhnya digantikan oleh ponsel atau PDA-phone. Sayangnya, harga untuk PDA-phone umumnya masih Rp1-Rp3 juta di atas harga PDA sekelas (tanpa kemampuan teleponi).

Harga PDA ketika itu berkisar antara Rp2 juta dan Rp5 juta. (Bahkan Sony Clie yang termahal dijual degan harga Rp6 juta pada 2004, Ipaq 2210 yan dilengkapi CF dan antena seluler dihargai hampir Rp7 juta). Adapun harga PDA-phone saat ini sekitar Rp3 juta (tanpa layar sentuh) sampai Rp8 juta.

Serangan lain berasal dari notebook ultraportabel yang juga ultramurah. Contohnya adalah Eee PC, Intel Classmate, serta Zyrex Ubud. Harga perangkat ini tidak jauh dari kisaran harga PDA dua tahun lalu, yaitu antara Rp3 juta dan Rp5 juta.

Notebook menjanjikan kenyamanan dalam input data baik melalui papan ketik maupun layarnya yang lebar. Selain itu, kemudahan koneksi melalui USB, kabel LAN, Wi-Fi, menjanjikan fleksibilitas pemanfaatan yang sangat luas.

Selama ini, menghadapi serbuan ponsel cerdas yang semakin powerful saja PDA (stand alone) sudah keteteran. Pasarnya terus turun. Bagaimana lagi menghadapi low cost ultra portable notebook?

Tampaknya sekarang ini benar-benar menjadi saat matinya PDA (stand alone). Wallahu a’lam

16 Maret 2008

Workshop TI untuk wartawan?

Ide mengenai perlunya workshop TI untuk wartawan ini dilontarkan oleh Pak Suryatin (mantan direktur Telkom) ketika kami ngobrol mengenai kesulitan-kesulitan teknis yang dihadapi wartawan ketika berhadapan dengan perangkat TI.

Wartawan, media apa pun, adalah orang yang dituntut untuk bisa mengirimkan dan menerima konten informasi/berita secepat mungkin. Jadi, wartawan mestinya adalah orang yang sangat akrab dengan teknologi pengiriman dan penerimaan pesan terbaru. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Problem yang sering saya temui di kalangan wartawan antara lain: kesulitan setting email dalam ponsel, tidak tahu masalah dan cara pemecahan ketika ada trouble dalam pengiriman berita, tidak bisa setting/akses wi-fi, tidak bisa memindahkan data dari ponsel ke komputer, tidak tahu bagaimana menggunakan ponselnya sebagai alat penerima berita dari reporternya.

Hal-hal lain yang sebenarnya bisa digunakan sebagai cara optimalisasi teknologi untuk meningkatkan kualitas keluaran kerja tetapi belum dimanfaatkan, misalnya kamus online, pesan instan, fasilitas penyimpanan online, pencarian data, dan sebagainya.

Saya pikir ada sejumlah tema yang perlu dibahas khusus dalam suatu workshop TI untuk wartawan. Ketika sebuah institusi media menetapkan rencana mobile office maka wartawan pada institusi yang bersangkutan harus sudah dibekali beberapa kemampuan dasar. Mereka perlu kemampuan untuk memberikan ‘pertolongan pertama’ kepada diri sendiri ketika berada di luar kantor.

Jadi, secara umum, mereka perlu tahu:

1. Cara terhubung ke Internet
a. Setting GPRS pada ponsel
b. Ponsel sebagai modem notebook atau PDA
c. Setting dan akses Wi-Fi

2. Pengiriman dan penerimaan berita
a.Membuat account email POP3 dan web based
b.Setting dan akses email pada ponsel
c.Setting dan akses email melalui notebook
d.Setting dan akses pesan instan (YM, Gtalk, dan aplikasi pihak ketiga)

3.Menerima dan memindah pesan
a.Mengubah SMS menjadi file tersendiri tanpa mengetik ulang
b.Memindahkan file/data/SMS dari ponsel ke PC/notebook
c.Konversi data dari file non-Word (pdf, txt, ppt...) menjadi Word
d.Memindahkan file foto dari kamera/ponsel ke komputer

4.Mengoptimalkan fitur yang tersedia di Internet
a.Fasilitas penyimpanan di Google dan Yahoo
b.Kamus online, translater dan KBBI
c.Newsletter dan milis terkait profesi, interes, atau bidang liputan
d.Situs2 berita, kantor berita, dan sumber-sumber informasi tepercaya

Pengguna Blackberry butuh push newspaper

Pengguna Blackberry bisa mengakses email dengan sangat mudah, sama dengan mengakses SMS. Mereka tida perlu melakukan apa pun agar informasi-informasi melalui email sampai ke dalam genggaman. Jika mereka berlanganan mailing list (berapa pun banyaknya sesuai kebutuhan, interes, atau keinginan), semua informasnya dapat langsung masuk dan dibaca setiap waktu.

Tetapi ada sedikit hal yang mereka (para pengguan Blackberry itu) belum bisa dapatkan, yaitu informasi (seperti berita) yang sifatnya didorong ke alamat email mereka. Semacam newsletter tetapi yang kandungannya sama dengan atau mirip dengan koran.

Mengapa mereka membutuhkan itu? Saat ini, kebanyakan mereka menggantungkan perolehan informasi pada perangkat genggamnya. Nah, ketika mereka berpindah-pindah, melakukan perjalanan ke berbagai lokasi, seringkali males atau tidak sempat membawa koran edisi cetak.
Mereka bisa saja mengakses melalui situs web. Tetapi itu agak ‘berlawanan dengan ideology Blackberry’ yang serba push. Mengakses situs web itu butuh usaha tersendiri. Dan karena konten web biasanya kaya (akan iklan dan flash), proses akses sering menjengkelkan (kecuali mengakses RSS. RSS pun masih butuh usaha, meskipun lebih nyaman daripada browsing biasa).

Saya sering ke Bandung di akhir pekan. Biasanya berangkat Kamis malam atau Jumat pagi. Begitu meninggalkan rumah dan kantor, langsung kehilangan kontak dengan koran langganan yang biasa dikirimkan ke rumah.
Kalaupun saya membeli koran di bandung, pengennya ya koran lokal. Padahal di sisi lain saya tetap butuh koran Jakarta untuk update berbagai informasi terbaru sebelum saya tiba kembali ke Jakarta pada Minggu siang.

Saya berasumsi bahwa banyak pengguna Blackberry yang membutuhkan hal serupa. Mereka ingin resume dari isi koran langganannya itu bisa di-push ke perangkat genggamnya seperti halnya newsletter yang dilanggani. Jadi, pagi-pagi tidak perlu cari koran, informasi sudah tersaji dalam salah satu mailboxnya.

Alangkah nyamannya kalau Bisnis, Kompas, dan PR bisa menyediakan layanan push newspaper bagi pengguna Blackberry…

Catatan:
Satu koran kontennya banyak, bisa dipilah-pilah, satu email berisi satu rubrik. Berlangganan bisa seluruhnya, bisa per rubrik. Bayar sama dengan DetikWAP (terutama untuk pelanggan koran edisi cetak, sebagai nilai tambah saja)

13 Maret 2008

Televisi dalam genggaman

Saya baru benar-benar merasakan televisi dalam genggaman ketika mencoba My-G 660.

My-G merupakan satu dari banyak merek lokal Indonesia yang ditempelkan pada produk buatan China. Jadi, secara umum kita bisa berasumsi bahwa ini merupakan salah satu dari berbagai model ponsel televisi yang sedang marak belakangan ini.

Susunan menu pada perangkat ini agak aneh. Urutan dan pengelompokannya tidak seperti ponsel-ponsel buatan Eropa atau vendor terkemuka lain. Susunan menu ketika perangkat ini dipasangi kartu SIM juga berbeda dengan susunan menu ketika tidak ada kartu SIM. Secara umum menu masih mudah dipahami.

Tetapi setelah beberapa hari saya masih kebingungan bagaimana mengubah wallpaper serta tampilan dan suara ketika start dan shut down.

Susunan papan kunci (keypad) juga terasa aneh. Ada bulatan navigasi di tengah yang membuat susunan keypad jadi terkesan berantakan. Pada baris pertama ada angka 1 2 3 4, baris kedua hanya 5 6, baris ketiga 7 8, baris terakhir ada 9 * # 0. Untuk orang yang gemar dan terbiasa berkirim SMS dengan HP buatan Eropa, pasti akan kebingungan dengan susunan tombol seperti My-G 660 ini.

Kejutan menyenangkan yang saya temukan pada wadah adalah kelengkapannya. Terdapat dua baterai, satu charger yang pakai model colokan USB, serta satu charger eksternal yang dapat digunakan untuk mengisi baterai cadangan. Ada juga charger mobil. Sangat mewah dibandingkan kelengkapan ponsel buatan vendor Eropa.

Konektor yang tersedia pada perangkat ini merupakan konektor serbaguna. Bisa digunakan untuk charging, sambungan ke komputer, maupun sarana untujk menyambung ke earphone yang telah disertakan.

Tetapi buku panduan yang disediakan sangat tidak membantu. Ada satu konektor yang saya tidak tahu harus dihubungkan ke mana, apakah sebagai output ke televisi, input dari pemutar DVD, atau sambungan ke antena. Saya coba-coba tidak ada yang klop. Saya cari di buku panduan tidak ketemu.

Fitur yang paling ditonjolkan dalam produk ini adalah akses televisi analog. Menonton TV tanpa kehilangan pulsa, slogan mereka.
Daya tangkap siaran televisi ini bagus juga. Lumayan untuk sebuah perangkat bergerak yang tanpa antena luar. Proses pendeteksian sinyal otomatis pada awal setting perangkat juga berlangsung cepat.
Suara yang muncul sangat nyaring. Gambar relatif bagus.

Kalau semula kita terpaku pada posisi televisi di sudut tertentu dalam rumah, maka dengan televisi semungil ini, tidak ada lagi ikatan posisi. Kita bisa 'mendengarkan' televisi di mana saja. Di kamar tidur, kamar mandi, sambil masak, sambil menunggu angkutan umum dll. Pokoknya menjanjikan pengalaman baru bertelevisi deh.(Tapi masih ada sedikit ganjalan: apakah nonton/mendengarkan TV banyak gunanya)

Sebenarnya dalam perangkat ini tertanam juga fitur radio FM, pemutar MP3, MP4, kamera, perekam suara dan sebagainya. tetapi saya malas mau mencoba-coba.

Kayaknya para produsen asal China ini berusaha memasukkan semua fitur elektronika dan multimedia ke dalamponsel sebagai nilai tambah agar mampu bersaing dengan vendor Eropa di samping menonjolkan keunggulan dalam hal harga. Selamat deh untuk inovasi manufaktur China.

Gadget paling berpengaruh

Terdapat setidaknya empat gadget yang paling berpengaruh dalam membangun 'ideologi mobile' pada diriku. Empat perangkat itu meliputi Sony Ericsson P800 (2002), Hewlett Packard Ipaq 4350 (2004), Research In Motion Blackberry (2007), serta (mudah-mudahan) Asus Eee PC (2008).

Sony Ericsson P800 memberikan pelajaran bagaimana integrasi antara komputasi dengan seluler terjadi. Memberikan gambaran yang nyata mengenai masa depan teknologi seluler (ketika itu). Memberikan gambaran konkrit mengenai hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh/dengan sebuah perangkat komunikasi bergerak yang digabungkan dengan komputasi bergerak.

Ipaq 4350 merupakan perangkat yang paling lama menemani kehidupan mobile-ku. Sama sekali tak tergantikan selama lebih dari empat tahun. Memberikan perpektif mengenaiperangkat komputasi mungil yang powerful.

Perangkat yang bisa dikawinkan dengan beragam aksesoris dan perangkat lain seperti keyboard, modem, ponsel, penerima GPS, dan sebagainya. Bisa melakukan banyak sekali hal menarik dan berguna dalam bentuk yang dalam kurun empat tahun lalu termasuk ideal.


Adapun RIM Blackberry beserta BIS benar-benar mewujudkan sebagian besar dari impian mengenai mobile communication yang telah kupelajari dari Sony Ericsson P800 dan Ipaq4350.
Fitur push e-mail, always connected, instant messaging, browsing etc merupakan hal impian yang hanya sekali-kali bisa dinikmati melalui P800 dan Ipaq 4350. Dengan Blackberry, hal ini bisa dinikmati kapan saja di mana saja. Praktis tanpa batas waktu dan tanpa kecemasan mengenai tagihan dan semacamnya.

Asus Eee PC menambal banyak keterbatasan koneksi fixed dari Ipaq 4350,menambal kekurangnyamanan dalam input text pada Ipaq (yang sebenarnya sudah jauh lebih nyaman dibandingkan perangkat seangkatan lainnya), serta mengajarkan padaku mengenai pentingnya sebuah notebook. FYI, saya sudah punya notebook berat dan serius sejak setengah tahun yang lalu, tetapi Toshiba Satellite itu kurang impresif.

Perangkat sepeti Eee PC ini merupakan impianku sejak lima tahun lalu. Digabungkan dengan Blackberry, kedua perangkat ini akan menjadi senjata mobilitas yang sangat tangguh. Sangat sulit mencari alasan untuk 'tidak bisa terhubung' ketika menggunakan dua perangkat ini secara bersama-sama.

Uniknya lagi, semua yang melihat Eee PC ini langsung terpesona. Dan begitu saya kasih tahu harganya, semua jadi pengen beli.

03 Maret 2008

Eee PC bermasalah

Hal yang tidak menyenangkan terjadi pada hari ke-10 penggunaan Eee PC ini. Perangkat buatan Asus ini tiba-tiba tidak bisa membuka file dari segala jenis memori eksternal.

Saya mencoba menggunakan kartu MMC, SD, berbagai jenis USB flash disc. Semuanya bisa dideteksi tetapi perangkat ini tidak bisa membuka file di dalamnya. Ini sungguh menyebalkan dan agak membingungkan.

Saya mencoba reset ke setting awal seperti yang tertera pada buku petunjuk, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Problem tetap terjadi. Mau format memori dan install ulang semua tidak bisa karena tidak punya pembaca cakram optik eksternal.

Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membawanya ke service center masterdata, distributor Asus di Indonesia. Kesimpulannya, masalah ada pada peranti lunak, bukan peranti keras.

Sayangnya, peranti lunak tidak termasuk dalam garansi. Jadi harus ada biaya yang dikeluarkan. Alamaak, naik Rp100.000 deh harga perangkat ini.

Saya tidak habis pikir bagaimana sistem operasi pada perangkat ini begitu rapuhnya sehingga bisa corrupted pada fungsi yang begitu pentingnya.

02 Maret 2008

Bandwidth itu (tidak) gratis

Wacana mengenai mobile office ataupun mobile reporting menuntut pengkajian kembali mengenai harga dan biaya bandwidth.

Dalam konteks fixed office pengguna bisa browsing dan akses email (baik mengirim maupun menerima) melalui jaringan fixed milik kantor (baik wi-fi maupun kabel LAN) sehingga biaya tidak diketahui dan dianggap gratis.

Fixed office yang mengesankan bahwa bandwidth gratis memicu orang untuk dengan entengnya mengirim data-data besar yang tidak penting ke mailing list (yang anggotanya ratusan orang). Toh dia mengirim dengan gratis dan para penerima pun menerima dengan gratis pula.

Ketika mobile office sudah berlaku, dan masing-masing pengguna katakanlah harus membayar Rp1 per kb, maka saat seseorang mengirim data (berupa foto, file PDF, atau rilis2 yang tidak penting) sebesar 1MB kepada milis dengan anggota 100 orang, biayanya menjadi Rp1x 1.000 kb X 100 orang = Rp100.000. (luar biasa mahalnya!!!).

Kalau 1MB itu maksudnya adalah 8Mb, maka biayanya dikalikan delapan (setara dengan gaji siapa ya?). Dalam banyak kasus, biaya bandwidth bagi pengguna juga tidak Rp1 per kb, tetapi bisa sepuluh kali lipat atau 20 kali lipat (List biaya bisa dilihat di situs masing-masing operator seluler).

Itu dengan asumsi ada 100 orang yang mobile dengan biaya akses sama. Kalau, katakanlah hanya 10% yang mengakses secara mobile, maka biayanya juga masih lumayan, yaitu sepersepuluh dari hitungan di atas.

(Tetapi perhitungan di atas tidak berlaku untuk akses unlimited quota serta kompresi data seperti pada Blackberry. Untuk akses time based perlu konversi mengingat waktu sama dengan volume data dibagi dengan kecepatan. Apalagi kecepatan akses tidak konstan)

Kalau ada banyak orang yang suka mengirim e-mail berisi data besar ke dalam milis maka risiko biaya tak terduga dan tidak penting bisa membengkak sangat besar.

Oleh sebab itu, saya sarankan sebagai berikut:
1. Kaji kembali apa yang bisa dan baik untuk dikirim melalui milis. Kalau tidak penting2 amat, dan bukan untuk keperluan umum jangan dikirimkan ke milis. Kalau ada press release yang kita tahu siapa yang akan menggunakan (misalnya desk TI), kirim ke orang di desk TI, jangan dikirim ke milis awak redaksi. Kalau kita sekadar mau bicara dengan si-X, kirim ke si X lewat jalur pribadi, jangan lewat jalur umum.

2. Biasakan memotong bagian bawah email asli ketik menjawab email lewat milis. Utamakan berpendapat menggunakan teks daripada menggunakan gambar.

3. Utamakan mengakses menggunakan aplikasi POP3 pada perangkat mobile daripada menggunakan web mail. Aplikasi mail client POP3 pada perangkat mobile umumnya juga menyediakan fasilitas untuk memotong email-email besar. Manfaatkan fasilitas seperti itu untuk menghemat bandwidth.

Jadi, mulai sekarang, bandwidth harus dihemat sebagai barang yang masih langka dan mahal di Indonesia. Ini hal yang perlu dimulai dari langkah kecil seperti halnya sampah plastik, energi listrik, energi dari fosil, dan sumber daya terbatas lainnya.

Hemat bandwidth, please.

Mobile reporting bisa dimulai sekarang juga

Secara umum proses dalam mobile office bisa dipisahkan antara mobile reporting (yaitu proses dari reporter sampai ke editor) dan mobile editing (proses dari editor sampai ke percetakan untuk kasus media cetak).

Mobile reporting relatif lebih gampang ditangani, tidak butuh bandwidth besar dan dapat mendayagunakan banyak peralatan murah yang tersedia di pasaran. Adapun mobile editing umumnya butuh bandwidth besar, aplikasi serta perangkat degan spesifikasi khusus dan ketat yang umumnya sangat mahal. Mobile editing hanya mendesak ketika persoalan jarak dan transportasi sudah sedimikian parah, sewa kantor di pusat kota terlalu mahal, serta banyak kantor cabang di daerah yang menangani tugas editing.

Jadi, tulisan ini akan lebih banyak difokuskan pada mobile reporting, bagian paling baru dan paling mendesak dari mobile office.

Postulat 1: Kalau semua orang suka dengan gadget maka mobile reporting sudah dapat dilakukan saat ini juga, tanpa tamabahn aplikasi apa pun.

Premis 1: Reporter harus bisa kirim berita dengan segala cara.
Kalau tidak bisa mengetik pakai PC pakailah notebook. Masih gak bisa, pakai PDA, pakai handphone. Kalau tidak bisa kirim berita dalam bentuk Word Document, kirim dalam bentuk TXT. Kalau tidak bisa kirim pakai email, kirim saja pakai SMS.


Premis2: Editor harus bisa menerima kiriman berita dalam semua bentuk. Jangan mau 'jadi' doank. Kalau email kantor sering trouble, harus punya email lain yang handal, misalnya Yahoo atau Gmail.

Harus bisa terima berita dalam bentuk TXT. Harus bisa terima berita dalam bentuk SMS (lalu dipindah sendiri ke PC dalam bentuk Word. Jangan hanya reporter yang dituntut membuat berita dalam bentuk jadi, Word Document). Editor harus juga siap melengkapi berita yang secara logis/teknis susah diperoleh reporter yang sedang mobile.

Masalahnya, tidak semua orang suka gadget. Banyak penerima berita yang tidak mau susah lagi, maunya siap pakai. Jadi, perlu jembatan agar semua cara tadi bisa diseragamkan.

Tetapi perlu digaris bawahi bahwa dengan cara apa pun, akan ada perubahan kultur. Misalnya, ya itu tadi, harus siap mendayagunakan semua channel pengiriman/penerimaan informasi. Baik untuk mengirim maupun untuk menerima berita. Jangan memandang email kantor sebagai satu-satunya cara. Jangan lihat lagi Word sebagai satu-satunya format berita awal. Kalau sudah siap seperti itu, pola yang dipilih akan jauh lebih mudah. Satu-satunya format yang harus standar adalah keluaran dari Editor/Pengelola Halaman ke Macintosh. Sebelum itu, semua bebas.

MO: Hubungkan sensor berita dengan stasiun pengolah akhir

Mobile Office adalah istilah keren yang menjadi impian banyak orang. Mengapa perlu ada mobile office?

Dalam konteks media massa, selalu ada jarak antara sumber berita dengan tempat pengolahan produk akhir. Sumber berita itu bisa berupa peristiwa, data-data, atau apa saja yang tersebar di kantor instansi pemerintah, kantor perusahaan-perusahaan besar, tempat umum, maupun berada di kepala dan mulut rakyat jelata. Adapun tempat pengolahan akhir berita bisa berupa percetakan (untuk media cetak), studio untuk media elektronik, ataupun layar komputer pada dotcom.

Jarak, apalagi di Jakarta yang sarana transportasi umumnya masih sangat memprihatinkan, merupakan hal yang sulit diabaikan. Mobile Office digunakan untuk menjadi jembatan antara sensor berita terdepan (yaitu reporter) yang sifatnya dinamis/mobile dengan tempat pengolahan akhir berita (di tangan editor) yang sifat pergerakannya relatif statis/fixed. Dengan demikian, problem yang terkait dengan jarak bisa diminimalkan.

Pengurangan faktor jarak akan menghasilkan waktu kerja produktif yang bertambah. Otomatis kinerja diharapkan meningkat, atau kualitas kehidupan/kesehatan pekerja menjadi lebih baik.

Adapun penghematan ruang, listrik, konsumsi makanan di kantor, hanyalah efek samping jika mobile office bisa benar-benar beroperasi sempurna.