22 Februari 2010

Pandai membuat, pandailah pula menjual


Dunia dipenuhi kisah tentang produk hebat yang tidak laku dijual. Banyak pula kisah tentang inventor luar biasa yang sebagian kreasinya gagal melaju di pasar.

Dean Kamen adalah perancang skuter Segway. Skuter Segway adalah kendaraan roda dua yang dapat berdiri tegak meskipun tanpa penyangga, dan bisa menyesusikan diri dengan posisi pengendara.

Skuter ini memakau para pemilik modal, pengamat, manajemen perusahaan, serta mendapat ulasan dan publikasi luar biasa sebagai produk yang akan mengubah cara orang berkendara. Namun, banyak faktor yang membuatnya tidak sukses di pasaran.

Contoh lain adalah Steve Jobs, CEO Apple Computer Inc. Dia sukses merancang banyak produk, namun gagal dalam membangun komputer NeXT. Edwind Land yang hebat dalam memimpin Polaroid ternyata tidak berhasil menyukseskan film instan.

Phil Baker mencoba menjelaskan hal-hal semacam itu melalui buku Mengubah Ide Menjadi Uang. Baker adalah pakar dalam soal pengembangan produk. Dia punya pengalaman belasan tahun di Polaroid, ikut pengembangan produk Newton MesssagePad dan Power Book dari Apple, serta mendirikan beberapa perusahaan bidang TI. Jadi, ulasan Baker layak disimak.

Salah satu produk rancangan Baker adalah keyboard lipat Stowaway. Keyboard ini merupakan aksesori PDA (personal digital assistant) terlaris di dunia sepanjang popularitas perangkat komputasi genggam itu pada 2000-2005.

***Hanya berperan 5%
Salah satu nasihat utama Baker dalam buku ini adalah penilaian tentang betapa sedikitnya peran ide terhadap kesuksesan akhir suatu produk. Menurut dia, ide brilian hanya berperan sekitar 5% dari keseluruhan proses. Sisanya ditentukan oleh perencanaan, perekayasaaan, hingga distribusi dan pemasaran yang tepat.

Momentum juga memegang peranan yang penting. Terlambat masuk ke pasar sama fatalnya dengan terlalu cepat menggarap pasar yang belum matang.

Bagi Baker, kampanye pemasaran yang pas juga sangat penting. Kasus kegagalan PDA Newton tidak lepas dari kesalahan dalam perkenalan awal. Pembuat Newton menonjolkan perangkat itu sebagai alat yang mampu mengenali tulisan tangan.

“Kalau produk itu dikampanyekan sebagai komputer saku, tanpa menonjolkan kemampuan penganalan tulisan tangan, akan lebih sukses karena orang tidak menjadi kelebihan harapan,” paparnya.

Baker juga menyertakan banyak rekomendasi praktis dalam pengembangan produk, terutama bagi perusahaan manufaktur TI. Contohnya, bagaimana cara berhubungan dengan mitra-mitra di China yang kini menjadi sasaran alih daya perusahaan-perusahaan AS. Dia bahkan melengkapi bukunya dengan daftar nama beberapa perusahaan China yang layak dipercaya menangani alih daya.

***Faktor luar
Ada pula kegagalan produk yang terjadi karena faktor yang sama sekali di luar kendali sang inventor. Contohnya, Baker yang telah sukses mengembangkan keybord lipat berencana menggabungkan perangkat itu ke PDA. Maka mereka mengembangkan PDA Polo, sebuah PDA yang dilengkapi dengan keyboard lipat terintegrasi. Sesuatu yang pasti sangat disukai oleh para penggemar PDA.

Sayangnya, ketika produk itu baru pada tahap prototype dan belum ke luar ke pasar, Hewlett Packard mengakuisisi Compaq. Karena dua perusahaan tiu adalah pemain terdepan di pasar PDA, akuisisi itu mengubah arah industri PDA.

Banyak pekerja HP yang semula mendukung pengembangan Polo pindah ke perusahaan lain. Gelombang perpindahan pekerja, sebagai dampak akuisisi itu, juga melanda perusahaan Baker. Maka lenyaplah sudah impian untuk memasarkan PDA Polo.

*) versi singkat tulisan ini dimuat pada Bisnis Indonesia edisi Minggu, 21 Februari 2010 halaman resensi

17 Februari 2010

Mengapa kutukan lebih makbul?


Secara kebetulan, ketika lihat-lihat rak buku, saya menemukan kembali buku lama berjudul Narsisus. Ini buku karya Sunindyo, terbitan Pustaka Jaya, 1975. Saya sudah lupa kapan dan di tukang loak yang mana membeli buku ini. Mungkin di loak buku sekitar Cikapundung, atau Alun-alun, atau sekitar Kebon Kalapa, Bandung.

Buku ini tipis, hanya 88 halaman. Narsisus yang dijadikan judul buku hanyalah satu dari 12 cerita Yunani yang dimuat. Buku jadul ini menggunakan struktur model lama. Tidak ada pengantar. Daftar isi diletakkan di halaman paling belakang. Tidak disebutkan latar belakang pengarangnya dan dari mana cerita-cerita Yunani itu dihimpun.

***
Ada beberapa hal menarik yang saya dapatkan dari buku tipis ini. Ketika membaca cerita berjudul Seres dan Proserpine, rasanya ada déjà vu dengan membaca cerita lain.

Alkisah, Pluto sedang berjalan-jalan. Lalu Venus si dewi cinta memerintahkan anaknya, Kupido, untuk melepaskan panah cinta ke jantung Venus.

“Kalau engkau ingin menambah kekuasaanku dan kekuasaanmu, buatlah agar Pluto jatuh cinta kepada Proserpine, anak Seres,” kata Venus pada Kupido.

Maka demikianlah. Panah cinta tepat mengenai jantung Pluto. Dalam perjalanan ke Sisilia, ketika melihat Proserpine, Pluto pun jatuh cinta. Segera dibawanya Proserpine lari. Ikat pinggang Proserpine tertinggal di danau.

Begitu menyadari anak perempuannya hilang dan hanya menemukan ikat pinggang, Seres menjadi sangat marah. Dia mengutuk negeri Sisilia karena dianggap tidak mau menolong anaknya. Maka berubahkan Sisilia dari negara makmur dengan buah dan tumbuhan menjadi negeri tandus dengan tumbuhan ilalang.

Adapun Proserpine yang diculik kini ditempatkan di istana Pluto. Meskipun sedih, dia dilimpahi kekuasaan. Proserpine menjadi isteri dari dewa yang paling berkuasa. Karena sudah menikmati buah-buahan dari istana Pluto, Proserpine tidak bisa lagi dikembalikan ke bumi.

Nah, saya jadi ingat tentang cerita penculikan Ken Dedes oleh raja kecil Tumapel bernama Tunggul Ametung. Kebetulan saya belum lama membaca cerita itu melalui Pelangi di Langit Singasari karya SH Mintardja (http://pelangisingosari.wordpress.com).

Dalam cerita Pelangi di Langit Singasari itu, Tunggul Ametung terbujuk mendukung upaya Kuda Sempana menculik Ken Dedes dari desa Panawijen. Akan tetapi, sesampai di istana Tumapel, Tunggul Ametung justru merebut Ken Dedes. Istilah diplomatis yang digunakan adalah “membebaskan dari tangan Kuda Sempana”.

Lalu diangkatlah Ken Dedes sebagai permaisuri dan bahkan diberi kekuasaan untuk memerintah. Semua dilakukan demi “menghibur” Ken Dedes yang berduka cita sangat mendalam karena diculik. (Di kemudian hari, Ken Arok yang saling terpikat dengan Ken Dedes “membebaskan” si jelita itu dari tangan Tunggul Ametung sekaligus merebut kekuasaannya.)

Mpu Purwo, ayah Ken Dedes, ketika tahu anaknya hilang, marah besar. Dia merasa orang-orang Panawijen tidak mau menolong anaknya. Mereka tidak tahu berterima kasih. Maka dirusaklah bendungan yang puluhan tahun lalu dia bangun untuk rakyat Panawijen. Dengan demikian, desa itu berubah, kembali menjadi desa gersang.

Nah, alangkah miripnya dua cerita di atas. Senjata-senjata yang digunakan oleh Tunggul Ametung dan pengawalnya dalam cerita itu adalah panah, mirip dengan senjata Kupido.

***
Hal lain yang saya amati dari cerita-cerita Yunani itu adalah tentang doa dan kutukan. Cerita Yunani kuno itu dihiasi dengan banyak sekali kutukan. Dan tampaknya begitu mudah terkabul.

Di sisi lain, permohonan kebaikan, tidak mudah terkabul. Ada semacam “trade off” alias pertukaran atau imbalan untuk keberhasilan permohonan yang baik.

Contohnya ya Seres yang mudah mengutuk Sisilia menjadi tanah tandus itu. Kutukan lain terjadi pada Narsisus. Narsisus yang sangat tampan jatuh cinta pada dirinya sendiri karena dikutuk oleh Ekho (gema) yang begitu mencintai Nersisus namun selalu ditolaknya.

Contoh permintaan baik yang sulit adalah Orpheus. Dia kehilangan istrinya, Eridise, yang mati dipatuk ular. Karena kasihan, para dewa mengizinkan Orpheus menjemput istrinya di negeri orang mati.

Akan tetapi ada syaratnya. Selama perjalanan membawa kembali Eridise, dia dilarang menoleh ke belakang. Padahal Eridise berjalan di belakangnya. Karena begitu sayangnya Orpheus akan Eridise, suatu ketika menolehnya dia ke belakang. Lalu lenyaplah kembali belahan jiwanya itu. Alangkah kejamnya para dewa, ngasih kok pakai syarat-syarat aneh, hehehe.

Begitu pula dengan cerita Hipomenes dan Atalanta. Hipomenes berdoa meminta kepada dewi cinta Venus membantunya memenangi sayembara yang digelar Atalanta agar bisa memperistrinya. Venus memberikan bantuan. Tetapi begitu harapan Hipomenes tercapai, dia lupa berterima kasih kepada Venus. Lalu marahlah Venus dan mengutuk pasangan itu menjadi sepasang singa. Lha, dewa kok mudah dendam dan menuntut terima kasih.

Begitulah, permintaan baik diberi syarat, sedangkan kutukan terkabul begitu saja. Hampir semua cerita dalam buku diwarnai kutukan yang terkabul dengan mudah (baik kutukan besar maupun kecil), permintaan baik yang dibebani syarat, serta penyesalan atas tragedi yang memilukan.

***
Sewaktu kecil hingga remaja, saya sangat benci cerita-cerita Yunani (dan cerita-cerita Eropa kuno). Entah mengapa perut saya terasa mual dan kepala agak pening kalau melihat gambar yang bergaya Romawi dan Yunani itu. Juga kalau membacai nama-nama dengan akhiran us, ius, es dan nama-nama lain khas Eropa kuno. Lha saya dari dulu sukanya wayang dan cerita sejarah Jawa.

Tetapi belakangan saya kok jadi suka membaca tragedi Yunan kuno ini. Rasanya cerita-cerita itu menjadi lebih hidup. Terasa benar bahwa kehidupan itu absurd, seperti yang dipaparkan Albert Camus. Dan cerita-cerita Yunani itu menjadi gambaran yang paling menarik mengenai absurditas, kendati nama-namanya makin sulit diingat oleh otak saya yang sudah dijejali dengan nama tokoh wayang dan kethoprak Jawa ini.

12 Februari 2010

Salah paham soal mesin pintar*


Komputer memiliki kecepatan transfer sinyal lebih cepat daripada jaringan dalam otak manusia. Komputer juga memiliki kapasitas perhitungan yang lebih besar daripada otak manusia. Lalu, mengapa komputer tidak bisa benar-benar pintar seperti manusia?

Sebagai buktinya, manusia bisa dengan mudah mengenali wajah orang lain dengan seketika, dari mana pun dia memandang. Adapun komputer yang paling canggih sekali pun, butuh ribuan atau jutaan pola untuk mengenali wajah seseorang.

Manusia bisa langsung mengenali ada kerusakan di pintu rumahnya hanya dengan merasakan gesekan atau bunyi derait yang tidak biasa. Kalau hal itu dilakukan oleh komputer, benda itu akan melakukan proses yang sangat lama, mempertimbangkan ratusan atau ribuan variabel, dan hasil diagnosisnya tentang kerusakan pada pintu pun masih meragukan.

Jeff Hawkins berusaha menjelaskan masalah itu. Menurut dia, ada banyak paradigma yang salah tentang bagaimana membangun mesin pintar. Kesalahan paradigma itu termasuk pula dalam pengembangan artificial intelligence (AI), suatu bidang yang sangat populer selama beberapa dekade lalu.

Jeff Hawkins merupakan perancang PalmPilot dan telepon PDA Treo. PalmPilot merupakan komputer genggam yang pertama kali populer di pasar pada dekade 1990-an. Adapun Treo adalah merek bagi ponsel cerdas dengan sistem operasi Palm yang merajai pasar sebelum dikalahkan oleh Windows Mobile dan BlackBerry. Hawkins menulis buku On Intelligence dengan bantuan Sandra Blakeslee, seorang penulis ilmiah.

Menurut Hawkins, untuk bisa membangun mesin pintar, orang harus sungguh-sunguh belajar tentang otak dan cara kerjanya. Dia mengaku sudah tergila-gila dengan otak sejak remaja. Dia pernah bekerja di Intel Corp dan mengajukan usulan khusus kepada pendiri perusahaan pembuat chip itu, Gordon Moore, agar membentuk kelompok riset khusus tentang otak.

Namun usulan itu ditolak dan Hawkins patah hati. Dia pun mendaftarkan diri ke Massachusetts Institute of Technology untuk mewujudkan minatnya dalam mengembangkan penelitian mengenai otak. Namun dia kecewa karena tujuannya untuk memperlajari otak justru tidak mendapat tempat.

"Mereka tidak percaya Anda harus mempelejari otak betulan untuk memahami inteligensia dan membangun mesin pintar. Pada tahun 1981, universitas itu menolak saya," paparnya di halaman 5.

Akhirnya dia mempelajari sendiri segala macam jurnal ilmiah tentang otak. Dia juga menghadiri seminar, pembahasan, kajian tentang otak serta menemui para ahli.
Menurut dia, komputer dan otak dibuat dengan prinsip yang sangat berbeda. Yang satu deprogram, sedangkan satu lagi belajar sendiri. Yang satu bekerja dengan benar-benar sempurna dan tidak toleran atas kesalahan, sementara yang satu fleksibel dan toleran terhadap kegagalan. Yang satu memiliki prosesor sentral, sementara yang satu lagi tidak memiliki pengendali terpusat.

Komputer besar Deep Blue mampu mengalahkan juara dunia catur Gary Kasparov bukan karena lebih pintar. Deep Blue tidak memiliki indra tentang sejarah permainan itu, dan tidak apa pun tentang lawannya. Benda itu memainkan catur tapi tidak mengerti tentang catur, sama seperti kalkulator menghitung aritmatika tetapi tidak mengerti tentang matematika.

Menurut Hawkins, orang salah memahami masa depan mesin pintar karena menerima gambaran-gambaran keliru yang sering muncul dalam cerita fiksi. Orang takut mesin pintar akan menolak ‘diperbudak’ oleh manusia karena manusia tidak suka diperbudak. Mereka takut mesin pintar akan menguasai dunia karena orang pintar sepanjang sejarah mencoba menguasai dunia.

Namun ketakutan ini didasarkan pada analogi yang keliru. Mesin tidak akan memiliki ambisi pribadi. Dia tidak akan memiliki selera makan, kecanduan, atau ganguan emosional. Untuk meyakinkan pendapatnya, Hawkins membahas tentang apa itu intelegensia, apa makna kreativitas, peran memori, cara kerja otak, dan sebagainya.


Hawkins berpendapat mesin pintar layak dibuat karena alasan kecepatan, kapasitas, serta replikabilitas. Mesin pintar akan bisa berpikir jutaan kali lebih cepat daripada manusia. Pikiran seperti itu akan mampu membaca seluruh isi perpustakaan dan hal-hal lain yang bisa dilakukan manusia bertahun-tahun, menjadi beberapa menit saja.
Ini bukan suatu yang ajaib. Otak biologis mengalami dua hambatan yang terkait dengan waktu, sementara mesin pintar tidak mengalami masalah. Dua hambatan itu adalah kecepatan dalam berpikir, serta kecepatan dunia berubah.

Hawkins percaya bahwa umat manusia akan mendapatkan kegunaan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya dari mesin pintar. Dia berpendapat sekarang adalah sata yang tepat untuk mengembangkan konsep baru mengenai mesin pintar.

*) Versi lebih ringkas dimuat di Bisnis Indonesia Minggu yang beredar pada 12 Februari, halaman Resensi, dgn judul: Mesin pintar yang disalahpahami

09 Februari 2010

‘Terpelanting di tikungan’


Saya sedang menyetir pelan-pelan di sebuah tikungan yang menyempit ketika sebuah Suzuki Karimun menyalip. Dalam pandangan saya, Karimun itu melakukan manuver yang berbahaya. Berbahaya bagi saya dan bagi dirinya.

Saya lihat dari belakangnya, tampaknya yang mengemudi adalah seorang wanita. Ah, wanita memang begitu. “Suka melakukan hal yang membahayakan dirinya dan orang lain,” begitu pikirku.

Lalu, saya teringat tentang menyalip di tikungan. Istilah yang sering dipakai oleh Nurcholis Madjid untuk menyebut langkah tertentu dalam bidang politik dan kenegaraan.

Menyalip di tikungan, dalam politik, sering dimaknai sebagai mengambil kesempatan ketika orang lain (atau orang banyak, atau kawan-kawannya, atau organisasinya, atau partainya) sedang mengalami kesempitan. Ketika orang-orang lain sedang dipusingkan dengan 'tikungan'. Seingat saya, Cak Nur selalu menolak melakukan hal-hal yang bisa ditafsirkan sebagai 'menyalip di tikungan'.

Lalu, kalau ada urusan salip-menyalip, apakah ada juga yang terjerembab di tikungan? Bukankah selalu ada gaya sentrifugal pada setiap kendaraan yang menikung? (Sentrifugal berarti menjauhi pusat). Adakah pula yang terpelanting ketika kendaraan politik atau organisasinya sedang menikung? Mengapa istilah ‘terpelanting di tikungan’ tidak populer? Embuhlah adanya.

07 Februari 2010

WiMax & dilema pengembangan kapabilitas lokal

WiMax adalah teknologi telekomunikasi nirkabel pita lebar yang dianggap memiliki potensi besar di masa mendatang. Sebagian pihak memandangnya sebanding dengan seluler generasi keempat (4G) dan bisa menjadi solusi untuk penggelaran Internet murah hingga ke perdesaan.

WiMax atau worldwide interoperability for microwave access memungkinkan transfer data dengan kapasitas lebih besar dan jangkauan lebih jauh daripada Wi-Fi (wireless fidelity).

Teknologi ini berpotensi untuk menciptakan ketersambungan maksimal. Akan tetapi, di Indonesia, WiMax juga dimaknai sebagai kontoversi maksimal.

Pasar untuk WiMax di dunia belum matang (mature). Nilai bisnisnya masih sangat kecil dibandingkan dengan 3G dan GSM yang sudah menjangkau segala penjuru bumi. Bahkan dibandingkan dengan pasar untuk Wi-Fi pun WiMax masih kecil. Diperlukan waktu paling tidak lima tahun ke depan untuk memungkinkan WiMax tumbuh menjadi raksasa sebagaimana Wi-Fi dan seluler.

Teknologi WiMax tidak dikuasai oleh segelintir pemain seperti halnya teknologi seluler. Dalam industri peranti jaringan seluler dikenal beberapa pemain dominan dunia dan sulit dimasuki pemain kecil.

Sifatnya yang lebih terbuka, potensinya yang besar, serta belum ada pemain dominan membuka peluang bagi praktisi teknologi di Indonesia untuk mengambil peran lebih besar. Pemerintah dan para idealis tidak ingin pengalaman dalam bisnis seluler, di mana belanja modal lebih dari Rp40 triliun per tahun hampir seluruhnya digunakan untuk produk teknologi impor, terulang pada WiMax.

Akan tetapi, keinginan untuk menjadi pemain di halaman sendiri itulah yang kemudian berbuntut kontroversi panjang.

***Mencari kisah sukses
Pemerintah ingin meningkatkan kandungan lokal, menghemat devisa dengan meminimalkan produk impor, meningkatkan penyerapan sumber daya manusia domestik, serta menegakkan kemandirian teknologi.

Untuk itu, pemerintah menetapkan jenis teknologi dan standar yang berbeda dari standar yang paling banyak dianut pemain global. Dengan penetapan frekuensi yang khas Indonesia, vendor global menjadi sulit masuk. Hal ini sebenarnya mirip dengan langkah China yang mengembangkan sendiri standar seluler 3G yang khas, yaitu TD-SCDMA (time division synchronous code division multiple access).

Keinginan pemerintah ini mendapat dukungan sejumlah ahli dan manufaktur domestik yang menyatakan siap menyediakan perangkat WiMax lokal. Di sisi lain, penetapan standar yang unik ini memicu protes terutama karena pemain global sulit masuk, padahal produk global sudah siap menyerbu.

Protes bertambah ketika digelar tender penyelenggaraan layanan. Pemenangnya memiliki hak untuk menyediakan layanan berbasis teknologi WiMax bagi masyarakat.

Untuk bisa menang tender, calon penyelenggara harus membayar biaya frekuensi yang tidak murah kepada negara. Guna mengembalikan biaya modal, mereka butuh waktu penggelaran yang cepat (aspek time to market), perangkat yang murah, serta ada jaminan untuk bisnis yang berkelanjutan.

Kontroversi berlanjut karena pemain lokal sulit memenuhi harapan calon penyelenggara layanan. Dengan ukuran pasar Indonesia yang relatif kecil dibandingkan seluruh pasar global, harga yang ditawarkan vendor lokal sulit untuk bersaing dengan pemain yang menyasar pasar besar. Ada masalah skala perekonomian (economic of scale) di sini. Kecepatan produksi untuk memasok permintaan calon penyelenggara ini pun menjadi isu sendiri.

Di sisi lain, vendor global memandang Indonesia sebagai pasar potensial. Sayang sekali bila tidak bisa digarap. Sekarang memang masih kecil, akan tetapi di masa mendatang bisa sangat besar. Apalagi, apa yang disediakan vendor global tampaknya klop dengan kebutuhan para calon penyelenggara. Jadilah tarik-ulur menjadi semakin keras.

Sebenarnya, tarik menarik antara kepentingan pemerintah, vendor lokal, calon penyelenggara layanan, serta vendor global merupakan hal lumrah dalam proses pembangunan industri berteknologi tinggi di dalam negeri.

Sayangnya, Indonesia tidak punya banyak cerita sukses pembanguann kapasitas di bidang teknologi tinggi. Pembangunan industri kapal terbang kandas. Industri strategis lain juga belum benar-benar membuat mandiri di bidangnya masing-masing.

Akan tetapi, bukan berarti tidak ada kesempatan atau alasan untuk mencoba kembali setelah terjadi beragam kegagalan. Bukankah banyak negara lain terbukti berhasil dalam proses pembangunan kapasitas di bidang teknologi tinggi.

China, misalnya, dikenal sangat ketat menjaga pasar domestik dari masuknya pemain asing, serta memiliki bargaining position tinggi terhadap pemain global yang ingin masuk ke pasar dengan lebih 1 miliar konsumen itu.

Membangun kemampuan lokal, apalagi dalam industri tinggi seperti WiMax, memang membutuhkan proses panjang yang konsisten, sabar, dan seringkali menelan banyak pengorbanan.

Jika sukses, ada banyak sekali keuntungan yang bisa dinikmati masyarakat. Kalaupun akhirnya gagal, ada banyak pelajaran yang diambil oleh para pelakunya sebagai modal sosial untuk membangun kesuksesan di bidang lain. Saya percaya tidak ada yang sia-sia dalam upaya mewujudkan idealisme mengenai pembangunan kapasitas domestik.


Fokus perhatian pihak-pihak dan bisnis WiMax:
Penyedia jasa -->harga perangkat, time to market, sustainability
Vendor lokal -->peningkatan kapabilitas, economic of scale, insentif & kepastian regulasi
Pemerintah -->kandungan lokal, devisa, penyerapan SDM & kemandirian teknologi
Vendor global/importer -->market size, keterbukaan, standar internasional

Politik kerbau dan kerbau politik*


Karier politik Karebet dari anak desa hingga menjadi Sultan Pajang tidak bisa dilepaskan dari cerita tentang kerbau. Beberapa kerabat dekatnya juga menggunakan nama kebo yang artinya adalah kerbau.

Karebet adalah anak dari Kebo Kenanga dan keponakan dari Kebo Kanigara. Kebo Kenanga yang dikenal pula dengan sebutan Handayaningrat terbunuh dalam konflik melawan kelompok Sunan Kudus di Demak. Adapun Kebo Kanigara tetap mempertahankan agama leluhurnya dan menyepi di pegunungan.

Sepeninggal ayahnya, Karebet di asuh oleh kerabatnya, seorang wanita kaya dari Desa Tingkir, sehingga anak Kebo Kenanga itu ketika remaja dikenal pula dengan sebutan Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir mulai masuk lingkaran istana setelah Sultan Treng gana dari Demak terkesan oleh kehebatan anak muda itu.

Namun, karier Karebet yang hebat itu tidak berjalan mulus. Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Karebet dipersalahkan karena membunuh Dadung awuk ketika pria itu men jalani tes sebagai calon prajurit.

Dadungawuk dibunuh dengan tusuk kondhe, sebuah peralatan rias yang secara nalar tidak mungkin digunakan untuk membunuh. Para ahli sejarah menafsirkan tusuk kondhe sebagai kiasan bahwa Karebet diusir dari istana Demak karena bermain api dengan putri Sultan. Nah, setelah diusir dari istana itulah muncul cerita tentang kerbau.

H. J. De Graaf dalam bukunya Awal Kebangkitan Mataram menyebutkan Karebet pergi menemui Ki Buyut Banyubiru. Di sana dia mendapat siasat agar diterima kembali ke dalam lingkungan istana Demak.

Cerita bertutur menyatakan Karebet membawa segumpal tanah yang telah diberi mantera dari Banyubiru. Sampai di Demak, dia memasukkan tanah itu ke mulut seekor kerbau yang segera mengamuk di sekitar istana.

Para prajurit kewalahan menangani kerbau perkasa yang terus mengamuk hingga 3 hari itu. Lalu muncullah Karebet mendekati si kerbau yang disebut sebagai kebo danu. Dia menjinakkannya kemudian memukul kepala kerbau itu hingga hancur.

Karebet berhasil menarik simpati Sultan Trenggana sehingga diterima kembali ke istana, bahkan kemudian diangkat menjadi menantu Sultan. Di kemudian hari, Karebet menjadi pewaris kekuasaan Demak namun memimpin dari Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Sebagaimana cerita tentang membunuh calon prajurit dengan tusuk kondhe, cerita tentang membunuh kerbau yang mengamuk ini pun kadang dianggap sebagai kiasan belaka.

Cerita silat yang sangat terkenal di Jawa, Nagasasra & Sabukinten, dalam hemat saya adalah upaya pengarangnya, Singgih Hadi Mintardja, untuk menafsirkan cerita tentang kerbau itu.

Dalam versi Nagasasra & Sabukinten, kerbau yang mengamuk dimaknai sebagai upaya Banyubiru memberontak terhadap Demak. Makanya dalam salah satu adegan cerita itu, pemimpin Banyubiru berteriak, "Akulah kebo danu dari Banyubiru!"

Jadi, Karebet sengaja meman cing kesalahpahaman antara Demak dan Banyubiru sehingga pemimpin Banyubiru menyerang Sultan Trenggana. Lalu datanglah Karebet yang memberi jalan tengah sehingga dia diterima kembali masuk istana.

Cerita bertutur dan cerita rakyat Jawa umumnya percaya bahwa kerbau Banyubiru yang disebut dalam Babad Tanah Jawi adalah kerbau betulan, bukan kerbau kiasan.

***Kambing hitam

Cerita lain tentang raja Jawa yang juga memanfaatkan 'kebo' untuk mendaki puncak kekuasaan bisa kita simak dari Ken Arok. Ken Arok adalah pendiri dinasti Singasari, kerajaan terbesar di Jawa pada abad XIII.

Ken Arok awalnya adalah seorang penjahat yang diterima masuk sebagai pengawal Raja Tumapel, Tunggul Ametung. Di dalam istana ada orang sombong dan suka pamer yang bernama Kebo Ijo.

Ken Arok meminjamkan sebuah keris sakti bernama Kiai Gandring kepada Kebo Ijo. Dasar tukang pamer, keris hebat itu dibawa-bawa dan ditunjukkan oleh Kebo Ijo kepada teman-temannya seolah-olah keris itu miliknya.

Tak lama kemudian Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan meninggalkan keris sakti itu di tempat kejadian. Karena semua orang tahu keris itu milik Kebo Ijo maka dialah yang menjadi kambing hitam, dituduh dan dihukum atas pembunuhan itu.

Adapun Ken Arok justru naik tahta menggantikan Tunggul Ametung, lalu mendirikan kerajaan Singasari pada tahun 1222. Maka, barangkali, terjemahan tepat untuk 'kambing hitam' dalam Bahasa Jawa adalah kebo ijo yang arti harfiahnya adalah kerbau berwarna hijau.

Cerita ekspansi Majapahit di bawah kepemimpinan Gajah Mada juga diwarnai cerita tentang kerbau. Pasukan Majapahit yang ingin mewujudkan Sumpah Palapa menyatukan Nusantara ternyata gagal dalam adu kerbau di Sumatra. Lagi-lagi, kerbau menjadi alat politik.

Nah, sepekan belakangan ini soal kerbau hangat dibicarakan dalam konteks politik. Pemicunya adalah demonstran yang membawa-bawa hewan ternak itu dalam demonstrasi. Ada bermacam penafsiran baik terhadap makna kerbau itu sendiri maupun terhadap tata tertib demonstrasi sebagai elemen demokrasi.

Cerita berlatar belakang abad XIII, XIV dan XVI, baik melalui Kebo Ijo, adu kerbau, maupun kerbau Banyubiru menunjukkan bahwa kebo memang bisa menjadi kendaraan politik di Jawa. Tinggal pilih mana, meraih simpati seperti Karebet atau gagal total seperti pasukan Majapahit.

*) Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi tanggal 8 Februari 2010 Hal 8 dengan judul: Melacak jejak politik kerbau
http://web.bisnis.com/artikel/2id2777.html

02 Februari 2010

Managing Your Boss


Ungkapan ‘mengelola atasan’ dalam pengertian tradisional biasa dianggap bernada negatif. Di dalamnya kadang ada konotasi menjilat atau main politik tertentu. Namun John J. Gabbaro dan John P. Kotter memaparkan cara mengelola atasan dalam pengertian yang sama sekali tanpa konotasi negatif.

Berikut ini kutipan bebas dari artikel Managing Your Boss tulisan dua orang itu yang dimuat Harvard Business Review. Edisi Indonesia saya baca melalui terbitan Amara Books suntingan A. Usmara. Dalam buku yang sama ada beberapa artikel yang diambil dari Harvard Business Review.

“Istilah managing your boss digunakan untuk merujuk pada proses bekerja secara sadar dengan atasan untuk mendapatkan hasil yang paling memungkinkan bagi Anda, atasan, serta perusahaan. Aspek ini justru sering diabaikan oleh manajer yang berbakat dan bersemangat. Sebagian manajer secara aktif dan efektif mengawasi bawahan, produk, pasar, dan teknologi, namun bersikap reaktif dan pasif terhadap atasan.

Mengelola atasan menuntut Anda untuk memiliki pemahaman tentang atasan dan konteksnya, seperti halnya situasi Anda sendiri. Seorang manajer melakukan ini pada taraf tertentu, tetapi sebagian tidak cukup menyeluruh.

Pada tingkat minimum, Anda perlu menghargai tujuan dan tekanan antasan Anda, kelebihan serta kekurangannya. Apa tujuan pribadi dan tujuan organisasi atasan Anda, dan apa tekanannya, khususnya tekanan dari atasannya dan orang lain pada tingkat yang sama. Apa kelebihan dan kekurangan atasan Anda? Gaya kerja apa yang disenangi? Apakah atasan Anda senang mendapatkan informasi melalui memo, rapat resmi, atau telepon? Apakah dia suka mengembangkan konflik atau berusaha meminimalkannya?

Tanpa informasi ini, seorang manajer kesulitan ketika berhubungan dengan atasan, sehingga konflik yang tidak perlu, kesalahpahaman, dan masalah menjadi tidak terelakkan.

Manajer yang efektif mencari informasi mengenai berbagai tujuan dan masalah serta tekanan atasan. Mereka siap mengambil kesempatan untuk bertanya kepada atasan dan kepada orang lain di sekitarnya untuk menguji asumsi mereka. Mereka menaruh perhatian pada tanda-tanda dalam perilaku atasan.

Meskipun penting sekali bahwa mereka melakukan hal ini khususnya ketika mereka mulai kerja dengan atasan baru, para manajer yang efektif juga melakukan hal ini terus-menerus. Mereka juga mengakui berbagai prioritas dan pertimbangan berubah.

Peka terhadap gaya kerja atasan menjadi sangat penting, khususnya ketika atasan tersebut baru. Misalnya, seorang presiden baru yang mengorganisir dan formal dalam pendekatannya ditunjuk menggantikan seorang yang bersifat informal dan intuitif. Ini bukan soal kemampuan adaptasi, melainkan kepekaan dalam memahami gaya kerja atasan.

Namun demikian, atasan hanyalah setengah dari hubungan. Setengah lainnya adalah Anda sendiri. Mengembangkan hubungan kerja yang efektif selanjutnya menuntut Anda untuk mengetahui kebutuhan, kelebihan, dan kelemahan, serta gaya pribadi Anda sendiri.”

01 Februari 2010

Kediktatoran


Kata diktator berasal dari bahasa Latin, dictare, yang bermakna bersabda atau berkata. Sebagai jabatan politik, kata diktator dipakai pertama kali pada tahun 501 sebelum Masehi. Saat itu, dua konsul dari suatu daerah di Republik Roma terpaksa tidak dapat hadir suatu pertemuan karena harus memimpin tentara di medan perang. Mereka berdua mengangkat seorang wakil dengan kekuasaan penuh atas namanya. Kepada wakil inilah, untuk pertama kalinya, sebutan dictator digunakan.

Istilah diktator kemudian berkembang. Masa-masa ketika Roma harus berperang, mereka juga mengangkat seorang diktator yang harus menguasai tentara sekaligus memutuskan segala persoalan penduduk biasa.

Ketika dua orang konsul membagi kekuasaan sama besar, penduduk punya pilihan untuk mempertimbangan keputusan satu konsul dengan konsul lain. Tetapi adanya seorang diktator tidak memungkinkan hal itu.

“Tidak ada tempat lain yang bisa kita mintai tolong. Pilihannya hanya harus patuh padanya,” papar sejarawan Roma, Livy, seperti tertuang dalam buku berjudul Diktator karya Jules Archer.

Dalam saat genting, kediktatoran ini menguntungkan karena tidak buang-buang waktu dalam mengambil keputusan. Keputusan tunggal dalam keadaan semacam itu memang lebih menguntungkan.

Dari semula memegang kekuasaan kecil tunggal, peran seorang diktator meluas menjadi pejabat tinggi, hakim agung, serta panglima. Untungnya, rakyat Roma sadar benar akan pengaruh merugikan dari kekuasaan seperti itu. Mereka menolak mengizinkan setiap diktator berkuasa lebih lama dari enam bulan. Peraturan ini tetap dipertahankan hingga tahun-tahun terakhir keruntuhan Republik Roma.

Diktator pertama yang memegang kekuasaan secara tidak sah di Eropa adalah Sulla. Dia membunuh musuh-musuhnya dan bertahan di puncak kekuasaan pada tahun 82 sebelum Masehi hingga 79 sebelum Masehi.

Adapun diktator betulan—menurut pengertian modern-- dalam sejarah Eropa, pertama kali dikenal melalui Julius Caesar yang mengangkat diri sebagai diktator seumur hidup.

Biasanya, janji-janji untuk memperbaiki perekonomian menjadi senjata calon diktator untuk mempertahankan kekuasaan.