09 Februari 2010
‘Terpelanting di tikungan’
Saya sedang menyetir pelan-pelan di sebuah tikungan yang menyempit ketika sebuah Suzuki Karimun menyalip. Dalam pandangan saya, Karimun itu melakukan manuver yang berbahaya. Berbahaya bagi saya dan bagi dirinya.
Saya lihat dari belakangnya, tampaknya yang mengemudi adalah seorang wanita. Ah, wanita memang begitu. “Suka melakukan hal yang membahayakan dirinya dan orang lain,” begitu pikirku.
Lalu, saya teringat tentang menyalip di tikungan. Istilah yang sering dipakai oleh Nurcholis Madjid untuk menyebut langkah tertentu dalam bidang politik dan kenegaraan.
Menyalip di tikungan, dalam politik, sering dimaknai sebagai mengambil kesempatan ketika orang lain (atau orang banyak, atau kawan-kawannya, atau organisasinya, atau partainya) sedang mengalami kesempitan. Ketika orang-orang lain sedang dipusingkan dengan 'tikungan'. Seingat saya, Cak Nur selalu menolak melakukan hal-hal yang bisa ditafsirkan sebagai 'menyalip di tikungan'.
Lalu, kalau ada urusan salip-menyalip, apakah ada juga yang terjerembab di tikungan? Bukankah selalu ada gaya sentrifugal pada setiap kendaraan yang menikung? (Sentrifugal berarti menjauhi pusat). Adakah pula yang terpelanting ketika kendaraan politik atau organisasinya sedang menikung? Mengapa istilah ‘terpelanting di tikungan’ tidak populer? Embuhlah adanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Dalam balap mobil, biasanya yang menjadi perhatian (setelah kejadian) adalah yang menyusul (menyalip). Begitu juga dengan soal menyalip di tikungan versi Nurcholis Madjid, yang menjadi poi (point of interest) kemudian (setelah proses telikung-menelikung) adalah kendaraan yang menyalip, sedangkan yang disalip, sudah menjadi second point of interest jika tidak mau dikatakan background. Begitu kali, ya?
Posting Komentar