30 Juni 2009

Tahu sedikit bisa berarti banyak



Blink mengungkapkan bahwa orang-orang yang pandai mengambil keputusan yang tepat bukanlah orang yang memproses informasi paling banyak atau sengaja menghabiskan waktu paling lama. Mereka adalah orang-orang yang telah terlatih untuk menyempurnakan seni membuat cuplikan tipis, menyaring sesedikit mungkin faktor terpenting dari segunung kemungkinan.

***
John Gottman, seorang psikolog yang pernah belajar matematika di MIT, mampu meramalkan apakah sebuah pasangan akan langgeng atau tidak hanya dengan mengamati video komunikasi antara anggota pasangan itu dalam sekejab.

Konon, jika dia sempat mengamati komunikasi sebuah pasangan dalam waktu satu jam, ketepatan ramalan Gottman adalah 95%. Kalau dia mengamati dalam waktu 15 menit, ketepatan ramalannya adalah 90%.

Gottman, dalam buku Blink: Kemampuan berpikir tanpa berpikir karya Malcolm Gladwell, dijadikan contoh bagaimana orang mengembangkan kemampuan pemahaman cepat (rapid cognition) serta cuplikan tipis (thin-slicing).

Cuplikan tipis merujuk pada kemampuan bawah sadar kita untuk menemukan pola-pola dalam situasi-situasi dan perilaku-perilaku berdasarkan pengalaman yang sangat singkat. Menurut eksperimen Gottman, sebuah perkawinan dapat dipahami melalui pengamatan sekilas. Begitu pula banyak situasi yang lain.

Bagi kebanyakan kita, melihat video percakapan sebuah pasangan tidak bisa menghasilkan informasi yang signifikan mengenai bagaimana masa depan hubungan pasangan itu. Kita umumnya memandang perkawinan sebagai hal yang kompleks sehingga butuh waktu pengamatan berminggu-minggu dalam berbagai situasi—bahagia, lelah, marah, tersinggung, tertekan, dan sebagainya—untuk memahami pasangan itu. Begitupun kesimpulan kita terhadap banyak hal lain.

***
Gottman yang menulis buku Mathematics of Divorce mengembangkan semacam teori matematis untuk menghitung potensi perceraian melalui pengamatan atas cara komunikasi pasangan yang direkam dalam video.

Dia mengembangkan sistem pengkodean yang menggambarkan emosi sesorang terhadap pasanganya. Misalnya, dia memberi nilai untuk rasa jijik dengan 1, merendahkan 2, marah 7, defensive 10, dan seterusnya.

Secara garis besar ada empat hal yang dapat diamati sebagai penentu ketidaklanggengan pasangan. Keempatnya adalah sikap defensive (defensiveness), tidak menjawab atau asal menjawab (stonewalling), sikap mencela (criticism), serta sikap merendahkan (contempt). Sikap keempat, merendahkan, adalah yang paling menentukan. Jika Gottman menangkap ada sikap merendahkan atau jijik dalam komunikasi itu, sudah cukup baginya untuk menyimpulkan adanya masalah.

Perempuan umumnya mudah mencela, sedangkan pria lebih sering asal menjawab. Adapun mengenai merendahkan tidak ada preferensi gendernya. Malcolm Gladwell dalam buku Blink memberikan penjelasan cukup panjang dan menarik mengenai teori yang dikembangkan oleh Gottman dalam mengamati cara komunikasi pasangan. Bagian ini sangat menarik.


***
Pada dasarnya Blink adalah buku mengenai dua detik pertama yang paling menentukan ketika kita mengamati sesuatu. Dua detik yang memberikan pemahaman dalam sekejab karena kemampuan bawah sadar.

Inilah yang disebut oleh Gladwell sebagai “kemampuan berpikir tanpa berpikir”. Keputusan sekejab ini didapat dari informasi yang sedikit namun akurat melalui snap judgment dan thin slicing.

Blink mengungkapkan bahwa orang-orang yang pandai mengambil keputusan yang tepat bukanlah orang yang memproses informasi paling banyak atau sengaja menghabiskan waktu paling lama. Mereka adalah orang-orang yang telah terlatih untuk menyempurnakan seni membuat cuplikan tipis, menyaring sesedikit mungkin faktor terpenting dari segunung kemungkinan.

Blink menyatakan bahwa kemampuan membuat cuplikan tipis bukanlah bakat yang langka. Kita melakukan cuplikan tipis setiap kali berjumpa dengan orang baru, atau harus memahami sesuatu dengan cepat, atau harus berhadapan dengan situasi baru.

Kita melakukan cuplikan tipis karena seharusnya demikian. Dan kita akan mengandalkan kemampuan tersebut karena banyak sekali informasi tersirat di dalamnya. Perhatian yang cermat dan rinci terhadap cuplikan setipis apa pun, bahkan yang tidak lebih dari satua atau dua detik, dapat berbicara banyak sekali.

***
Belum lama ini sekelomok psikolog meneliti lagi uji prediksi perceraian Gottman. Mereka meminjam sejumlah rekaman video Gottman dan menunjukkan rekaman itu ke kalangan yang bukan pakar.

Tapi, kali ini, mereka memberikan sedikit bantuan. Mereka memberikan semacam daftar emosi yang harus dicari. Mereka memecah-mecah rekaman menjadi semacam potongan sepanjang tiga puluh detik dan memperbolehkan setiap pemeriksa menonton dua kali, pertama untuk memusatkan perhatian pada pria dan kedua untuk memberikan perhatian pada wanita.

Lalu apa yang terjadi? Kali ini para pemeriksa mampu menebak mana pasangan yang sukses dalam perkawinan dengan ketepatan di atas 80%. Itu belum sehebat kemampuan Gottman. Namun, menurut Gladwell, hasil itu sangat mengesankan dan bukan suatu kebetulan. Dia menyimpulkan bahwa kita sebenarnya tidak asing dengan seni cuplikan tipis itu.

Gladwell dalam Blink menyimpulkan bahwa demikianlah cara kerja bawah sadar kita. Ketika kita tiba-tiba mengambil keputusan atau mendapatkan firasat tertentu, bawah sadar kita bekerja seperti yang dimaksudkan oleh Gottman.

Sistem itu menyaring situasi yang kita hadapi, mengabaikan banyak hal yang tidak penting, kemudian memustakan pada inti masalah. Dan sesungguhnya bawah sadar kita piawai sekali melakukan perkara ini. Sampai-sampai, metode cuplikan tipis sering bisa menghadirkan jawaban lebih baik ketimbang melalui proses berpikir yang lama dan melelahkan.

Wallahu alam. (semoga bisa bersambung)

28 Juni 2009

Perumahan di sisi barat kota Bandung


Saya tulis sedikit pengalaman ini, barangkali berguna untuk mereka yang sedang mencari rumah di kawasan barat Kota Bandung. Selama beberapa bulan terakhir ini saya memang mencermati rumah-rumah yang sedekat mungkin dengan pintu tol Pasteur akan tetapi dengan harga yang tetap terjangkau.

Saya membagi kawasan pengamatan secara umum menjadi dua. Pertama adalah daerah ‘gunung’ yang berhawa sejuk dengan kontur naik turun dan dekat tempat wisata. Wilayah ‘gunung’ ini meliputi Cihanjuang, Cipageran, Cimahi bagian utara, Sariwangi, dan sekitarnya.

Wilayah kedua adalah ‘kota’ yang relatif ramai, padat penduduk, banyak orang berjualan bermacam produk, dekat gerbang tol, dekat ITB. Wilayah yang saya maksud berada di sekitar Jalan Dakota, Jalan Mentor, Cimindi, Kebon Kopi, sisi belakang IPTN, dan sekitarnya.

***
Setelah ditinjau lagi, Cipageran tampaknya terlalu jauh. Jarak perumahan di sana bisa lebih dari 15 kilometer dari gerbang tol Pasteur, padahal sudah menerobos lewat Gunungbatu-Cimindi. Angkutan umum-nya juga tidak sebagus daerah lainnya. Jadi Cipageran dikeluarkan dari daftar.

Kawasan yang paling menarik adalah Cihanjuang. Cihanjuang sedang tumbuh pesat. Ujung depan jalan Cihanjuang berjarak 5 km dari pintu tol Pasteur kalau ditempuh lewat Gunungbatu-Cimindi.

Angkot menyusuri jalan Cihanjuang ada sampai sekitar jam 21.00. Minggu lalu saya mencoba pulang dari arah Cihanjuang jam 20.00 dan tidak mengalami kesulitan mendapatkan angkot.

Daerah ini konon lebih mudah diakses dengan angkutan umum dibandingkan Sariwangi-Ciwaruga yang sudah lebih dahulu tumbuh dan harga jual rumahnya sekarang gila-gilaan. Di Jalan Cihanjuang ada Kebun Strawberry yang jaraknya 8 km dari gerbang tol Pasteur.

***
Di Cihanjuang ada perumahan Artabaha (di jalan Artabahana). Unit yang tersisa tinggal beberapa kapling. Yang paling menarik dari perumahan ini adalah pembeli bisa memilih desain sendiri. Bahkan ukurannya pun bisa diubah. Misalnya, ukuran standar untuk tanah 120 meter adalah rumah tipe 60. Kita bisa nego menjadi tipe 50 dengan harga yang lebih murah. Untuk tipe 50/120 harganya sekitar Rp200 juta.

Perumahan di sini setahu saya termasuk paling murah dibandingkan dengan perumahan lain di sekitar Cihanjuang. Komplek berisi kurang dari 40 rumah ini bersebelahan dengan Perumahan Bumi Sariwangi yang terkenal itu, bahkan ada jalan tembus yang bisa diterobos dengan jalan kaki.

Konsep di perumahan ini adalah kuldesak, satu kluster dengan satu pintu dan ujungnya tembok jalan buntu. Salah satu masalah di sini adalah jauh dari masjid, dekat kuburan Cibaligo.

Perumahan lain yang juga tumbuh adalah Taman Cihanjuang, sekitar 1 km di sebelah utara Artabahana. Jalan masuk perumahan ini besar dan bagus.

Desain rumah-rumah di bagian depan tampak eksotik kendati kecil-kecil. Tapi harganya lumayan juga. Harga untuk tipe 29/93 adalah Rp171 juta, tipe 80/126 rp356 juta. Kapling yang tersisa adalah bagian belakang, berbatasan dengan Jalan Cisasawi. Posisi perumahan ini ada di sebelah barat Jalan Cihanjuang.

Sedikit lebih atas dari taman Cihanjuang ada Selaras Cihanjuang. Posisinya di sebalah timur Jalan Cihanjuang. Ini ready stock. Konsepnya minimalis dan keren. Ada gerbang di depan. Harganya untuk tipe 45/95 rp227 juta, untuk 60/117 rp292 juta, tipe 37/80 sebesar rp189 juta.

Dekat dengan Taman Cihanjuang ada juga Darul Fikri, dekat dengan SDIT Darul Fikri. Ini salah satu sekolah favorit di daerah itu. Pengembangnya sama dengan Artabahana, jadi harganya tidak terpaut terlalu jauh. Lebih murah daripada Taman Cihanjuang maupun Selaras Cihanjuang.

Masalahnya, jarak dari jalan raya Cihanjuang cukup jauh, capek juga kalau jalan kaki. Kontur tanahnya naik turun jadi kadangkala car port ada di bawah, lantainya ada di atas. Indah dan unik. Tapi butuh keahlian tersendiri untuk mengendalikan kendaraan ketika parkir atau maneuver atau bersimpang jalan.

***
Di Sariwangi ada banyak sekali perumahan yang sedang berkembang. Bumi Sariwangi konon akan membangun tipe-tipe kecil yang dipasarkan dengan kisaran Rp300 juta. Tapi, tanah di sana dihargai Rp2 juta per meter persegi dengan harga bangunan Rp2,75 juta per meter persegi.

Ujung barat Jalan Sariwangi yang bertemu dengan Jalan Cihanjuang berjarak sekitar 8,5 km dari pintu tol Pasteur. Saya belum sempat survey lebih banyak tentang daerah Sariwangi. Tetapi berhubung angkotnya tampaknya tidak semudah Cihanjuang, minat saya terhadap perumahan di sini turun.

***
Pengamata berikutnya di daerah kota. Di sana jarang ada perumahan dengan ukuran besar. Kalaupun ada yang besar, harganya tinggi sekali.

Di sekitar Jalan Dakota--Mentor ada pengembang bernama Kurjati membangun rumah ukuran mungil di daerah-daerah yang semula adalah kebon. Sebagian yang lain merupakan revitalisasi dari bangunan lama.

Pengembang semacam ini menarik sekali. Rumah yang saya kontrak sekarang ini adalah hasil karya Kurjati ini. Sekitar sembilan bulan lalu, ketika kami survey, rumah yang kami tempati ini masih berupa kebon. Sekarang sudah berjajar beberapa rumah.

Spanduk yang terpampang beberapa bulan lalu, spanduk terakhir, mencantumkan harga sekitar Rp117 juta untuk tipe 36/50. Tipe yang agak besar ada pada kisaran Rp150 juta. Bangunan dari Kurjati ini tersebar di berbagai penjuru sepanjang Dakota Mentor. Konon, harga perumahan Kurjati ini naik tiap bulan. Jadi entahlah berapa harga sekarang sebab tidak ada lagi spanduk yang terpampang.

Sayangnya, rumah-rumah itu dibangun di lokasi yang tidak bisa dijangkau mobil. Selain itu, skema pembayaran umumnya cash dan sulit mengakomodasi KPR.

Ada juga pengembang besar yang membangun perumahan eksklusif di daerah ini seperti Armala Pasteur serta beberapa bangunan baru di Mega Asri. Tapi harganya, untuk tipe kecil saja bisa di atas Rp300 juta.

***
Nah, di sela-sela hiruk pikuk itu ada juga perumahan kecil yang nyelip. Namanya Puri Matahari. Lokasinya di Google Earth atau Wikimapia masih berupa sawah. Posisinya persis di sebelah bekas pabrik Kerupuk Galunggung. Bisa masuk mobil baik lewat Dakota, Mentor, Babakan Cianjur, Babakan Radio.

Rumah ready stock di sana aslinya tipe 42 dengan ukuran tanah bervariasi antara 76 meter persegi dan 85 meter persegi. Harganya mulai Rp210 juta hingga Rp230-an juta. Konsepnya juga kuldesak alias jalan buntu. Dan kebetulan posisi perumahan ini juga di ujung Jalan Campaka yang buntu.

Jaraknya dengan garis lurus sekitar 700 meter dari gerbang tol Pasteur. Kalau mengikuti jalan yang bisa dilalui mobil jaraknya bervariasi antara 1,5 km dan 2,5km.
Menurut taksiran saya rumah di Puri Matahari relative murah dibandingkan perumahan lain di deerah itu. Tapi entah mengapa sudah setengah tahun, dari sembilan unit yang dibangun kok sampai dua pekan lalu masih tersisa 4 unit. Mungkin mereka tidak agresif berjualan sebab posisi harganya juga tidak banyak berbeda dibandingkan setengah tahun yang lalu.

Kalau mengamati masih banyak sawah di daerah ini, saya yakin dalam waktu dekat akan banyak bermunculan cluster-cluster kecil dengan sekitar 10 rumah di daerah ini. Wallahu alam.

Gambar: Rumah di Puri Matarahi, Babakan Cianjur, sebelah Bandara Hussein Sastranegara.

11 Juni 2009

Sepeda motor favorit




Sejak pertama kali melihat motor roda tiga di Jepang pada 2007, saya terus berharap motor semacam itu hadir di Indonesia. Di sini memang sudah banyak hadir motor roda tiga, terutama digunakan oleh tukang sayur dan keperluan semacam itu. Akan tetapi, bagi saya, motor roda tiga seperti yang berkembang di sini memiliki banyak kelemahan untuk digunakan keperluan sehari-hari bagi orang yang tidak berdagang. Ukurannya yang terlalu besar dan panjang (sebesar mobil pick up), desainnya yang tidak mungkin dikendarai perempuan, serta merek-nya yang tidak jelas, adalah beberapa di antara kelemahannya.

Saya ingin motor yang kecil, matic, mirip dengan Yamaha Mio atau Honda Vario, namun roda belakangnya ada tiga. Ringan dan kecil, sehingga bisa dipakai pria dan wanita, serta masih layak dibawa ke tempat kerja.

Adanya kaca depan, wiper, serta atap mengurangi risiko terkena angin, panas, serta hujan. Mesin motor membuatnya hemat. Roda tiga membuatnya lebih stabil tanpa harus menurunkan kaki ketika berhenti.

Saya berharap motor roda tiga semacam ini segera masuk ke Indonesia. Bukan motor roda tiga buatan Piaggio yang semahal mobil itu.

Akan tetapi, saya melihat masih ada potensi kendala. Misalnya di Jalan Diponegoro, Jakarta, ada tulisan roda tiga belok dilarang belok kiri. Tampaknya regulasi masih memandang bahwa yang dimaksud roda tiga adalah bemo atau bajaj. Mungkin ini pula yang membuat importir mengalami kendala?

08 Juni 2009

Peran Aturan 150 dalam epidemi sosial

(Bagian ketiga dari review buku Tipping Point)

“Angka 150 tampaknya menyatakan jumlah maksimum individu yang memungkinkan seseorang mempunyai hubungan sosial murni, yakni jenis hubungan yang memungkinkan seseorang saling mengenal dengan baik. Dengan kata lain, ini jumlah orang yang tidak akan membuat Anda merasa kikuk ketika datang ke sebuah pesta tanpa undangan resmi.”

Konon itulah yang mendasari mengapa unit-unit satuan tempur fungsional militer umumnya berisi tidak lebih dari 200 orang. Organisasi sosial yang tumbuh pesat perlu mewaspadai setiap mencapai titik kritis jumlah anggota sekitar 150 orang.

***
Dalam salah satu bagian buku Tipping Point, Malcolm Gladwell menjelaskan mengenai transactive memory. Sebagian besar hapalan sebenarnya berada di luar otak. Kita hanya menyimpan sedikit nomor telepon di otak, sedangkan ratusan nomor lain kita serahkan pengingatannya pada buku catatan atau phonebook atau addressbook. Dalam banyak hal kita saling berbagi tugas pengelolaan informasi dengan orang terdekat.

Sebuah pasangan yang sudah akrab, atau satu keluarga, umumnya cenderung melakukan “pembagian tugas” dalam mengingat sesuatu. Ada hal-hal yang seolah-olah secara otomatis langsung menjadi tugas sang pria untuk mengingat, ada hal lain yang otomatis menjadi tugas wanita untuk mengingat, serta ada hal-hal tertentu yang otomatis menjadi tugas anak remajanya.

Dalam banyak kasus kita bahkan hanya mengingat sedikit sekali rincian. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, kita tahu ke mana harus datang atau bertanya atau minta pertolongan ketika kita membutuhkannya.

Misalnya, seorang ibu mengandalkan anak lelakinya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan problem komputer dan Internet. Si anak juga secara otomatis, seolah-olah mendapatkan tugas untuk menangani setiap infortmasi baru yang terkait dengan computer dan semacamnya. Dia secara otomatis telah ditunjuk untuk menangani hal semacam itu.

Kaum wanita cenderung menjadi pakar dalam hal pengasuhan anak, bahkan dalam masayarakat modern di mana suami maupun istri sama-sama bekerja. Wanita umumnya diandalkan untuk menyimpan informasi seputar anak. “Masing-masing domain ditangani oleh sesedikit mungkin orang dengan kemampuan terbaik di bidangnya.”

Nah, kembali ke angka 150. Konon, pola pembagian mengikuti transactive memory hanya efektif untuk jumlah di bawah 150 orang. Lebih dari itu perlu melibatkan pembagian tugas yang njelimet.

Dalam kaitan dengan epidemi sosial, kata Gladwell, kita dapat meningkatkan secara dramatis penerimaan atas gagasan-gagasan baru dengan cara memanipulasi jumlah individu pada tiap-tiap kelompok sosial. Wallahu alam.

04 Juni 2009

Dorongan kecil memicu epidemi sosial


(Bagian kedua dari review buku Tipping Point)

"Coba perhatikan dunia sekitar Anda. Kelihatannya sulit untuk diubah, mustahil digoyah. Sesungguhnya tidak demikian. Dengan dorongan seringan-ringannya, asal di tempat yang tepat, apa pun dapat diungkit."

***
Orang ekonomi sering berbicara mengenai hukum 80/20, yaitu gagasan bahwa pada umumnya, 80% "pekerjaan" dilakukan hanya oleh 20% orang yang terlibat. Dalam masyarakat pada umumnya, 80% kejahatan dilakukan oleh 20% penjahat; 80% kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh 20% pengendara, 80% kekayaan dikuasai oleh 20% warga, dan seterusnya.

Akan tetapi, ketika berbicara mengenai epidemi, ketidakseimbangan itu semakin ekstrem. Seluruh pekerjaan hanya dilakukan oleh segelintir orang. Itulah yang disebut sebagai hukum tentang yang sedikit (the law of the few). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa epidemi gonore di Colorado yang berpenduduk 100.000 orang dipicu secara dramatis hanya oleh ulah 168 orang di empat kawasan permukiman yang senang berkunjung ke enam bar yang sama.

Epidemi sosial bekerja dengan cara yang sama, yaitu digerakkan oleh upaya dan ulah segelintir orang saja. Gladwell dan Tipping Point mengungkapkan setidaknya ada tiga kelompok penting yang menentukan menjalarnya sebuah epidemi sosial. Mereka adalah para penghubung (the connector), para bijak bestari (the mavens), serta para penjaja (salesmen).

****
Ada sebuah teori yang menyatakan manusia terkait satu dengan yang lain dalam enam tingkat (six degrees of separation). Intinya, kira-kira, kalau saya dan Anda tidak saling kenal dan berada dalam kota yang berbeda maka sangat mungkin bahwa kawan dari kawan dari kawan dari kawan dari kawan saya mengenal Anda. Jumlah penghubung ini bisa lebih pendek dari enam. Hampir semua orang di dunia terhubung dengan cara seperti ini.

Namun dalam enam derajat keterpisahan (atau keterhubungan) ini, ada orang-orang tertentu yang memiliki koneksi jauh lebih banyak dibandingkan yang lain. Mereka lah yang disebut sebagai penghubung, orang-orang dengan bakat khusus yang memungkinkan dunia saling terhubung. Di setiap kalangan selalu ada orang yang dikaruniai bakat luar biasa untuk bergaul dan berkenalan. Mereka lah yang dalam the law of the few bertindak sebagai para penghubung.

Ketika mengungkapkan mengenai keterhubungan ini Malcolm Gladwell menyinggung mengenai kekuatan koneksi lemah (weak ties). Dia menyatakan bahwa dalam mendapatkan informasi baru atau gagasan baru, koneksi lemah selalu lebih penting daripada koneksi kuat.

Koneksi kuat adalah orang yang menghabiskan banyak hidupnya bersama kita seperti teman kantor atau keluarga dekat. Sebagian besar informasi yang mereka ketahui juga sudah kita ketahui. Adapun koneksi lemah, seperti kenalan yang jarang bertemu, sangat mungkin tahu lebih banyak mengenai hal-hal yang tidak kita ketahui. Dalam hal mencari pekerjaan baru dan peluang baru, konon koneksi lemah sering lebih bermanfaat.

***
Selain para penghubung, elemen pemicu epidemi sosial, kata Gladwell, adalah para bijak bestari (the mavens) dan para penjaja (salesmen).

Dalam konteks pemasaran produk, mavens adalah orang-orang yang mempunyai informasi mengenai banyak produk, harga, atau tempat yang berbeda-beda. Mereka tahu banyak sekali mengenai spesifikasi suatu produk, kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan produk lain, di mana bisa membeli dan mendapatkan produk itu, dan seterusnya. Orang ini senang berbagi informasi dengan konsumen dan menjawab pertanyaan orang-orang lain.

Mavens bukanlah pembujuk, mereka menyebarkan informasi dan menolong tanpa pamrih penjualan. Dalam pandangan saya, di era sekarang ini, banyak blogger atau aktivis mailing list yang bertindak sebagai mavens, mereka memberikan informasi yang sangat detil dan berguna tanpa bermaksud membujuk atau menjual.

Adapun elemen ketiga adalah para penjaja (salesmen). Mereka memang memiliki keahlian khusus dalam menjual, memasarkan ide, gagasan, atau produk.

***
Gladwell menyatakan jika kita ingin memicu sebuah epidemi sosial secara gethok tular (word of mouth), segala sumber daya harus dipusatkan pada tiga kelompok ini (connector, mavens, serta salesmen). Yang lain tidak terlalu penting.

Kemudian, seperti yang saya tulis pada review bagian pertama (kekuatan konteks dalam peidemi gagasan), perlu sekali menempatkan konteks yang benar. Dalam kasus banyak orang tahu terjadinya kejahatan, masing-masing orang tahu bahwa orang lain peduli, tetapi mengira bahwa orang lain pula yang turun tangan.

Tipping Point menegaskan bahwa dengan memanipulasin ukuran kelompok, penerimaan gagasan bisa meningkat drastis. Dengan penyajian informasi yang tepat, kelekatannya dapat meningkat pesat. Dengan memanfaatkan orang yang pergaulannya luas, sebuah epidemi sosial dapat dikembangkan.

Kutipan yang sangat menarik di bagian akhir adalah: "Coba perhatikan dunia sekitar Anda. Kelihatannya sulit untuk diubah, mustahil digoyah. Sesungguhnya tidak demikian. Dengan dorongan seringan-ringannya, asal di tempat yang tepat, apa pun dapat diungkit."

***
Bagi saya, ide dasar dalam buku ini sangat menarik. Dari dulu saya selalu tertarik untuk belajar mengenai bagaimana penyebaran suatu gagasan terjadi. Sayang sekali, buku yang terbit pada 2007 sebelum Malcolm Gladwell populer di sini dengan buku Outliers dan Blink itu tidak banyak membahas peran alat-alat baru seperti Internet, email, maupun jejaring sosial (semacam Facebook, Friedster) dalam penyebaran gagasan.

Pasti menarik untuk membahas bagaimana Facebook menjadi epidemi (digunakan begitu banyak orang) dan bagaimana perannya sebagai alat merekayasa epidemi yang lain. Facebook berkembang lewat gethok tular dan sekaligus menjadi alat gethok tular.

Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini dicetak dengan kertas tebal yang berat serta ada banyak sekali salah ketik (bahkan di halaman cover belakang ada salah ketik).

Berpuluh-puluh halaman buku ini dihabiskan untuk menjelaskan siaran televisi di AS yang (meskipun sebagian dikenal pula di sini seperti Sesame Street dan Blue's Clues) bagi saya tetap sulit ditangkap konteksnya.

Bagaimana pun, buku ini tetap menarik.

03 Juni 2009

Dhuh Gusti…

Pada dasarnya saya suka lagu-lagu Jawa. Senang sekali ketika sekian tahun lalu saya menemukan semacam nasyid yang full Jawa. Sebenarnya bukan nasyid karena ada musik tradisionalnya. Betul bahwa sejak lama ada nasyid yang mengandung lagu Jawa, tapi tidak full, hanya beberapa lagu. Lagu kutipan seperti Tamba Ati, itu sudah biasa saya dengar sejak kecil lewat masjid di dekat rumah di kampung saya. Jadi tidak lagi menarik.

Nah, lagu-lagu dalam kaset ini benar-benar baru saya kenal. Dan enak sekali. Sayangnya cover kaset lagu Jawa ini sudah hilang. Saya senang karena pengucapannya benar-benar Jawa, tidak dibuat-buat seperti orang Jakarta yang kadang sok Jawa di tivi-tivi itu. Sayangnya lagi, beberapa lagu di sana agak berbau Syiah, terlihat dari penekanan pada Ahlul bait (Katanya, dua hal yang harus dipegang bukan Al-Quran dan As-Sunnah melainkan Al-Quran dan Ahlul bait)

Inilah kutipan lagu yang paling saya sukai

Dhuh Gusti, inkang damel gesang
Dosa kula sapirang-pirang
Taat kula namung arang-arang
Amal ibadah kadang-kadang, mboten karuan

Manah kula taksih pepet
Awak kula taksih ribet
Akal kula taksih cupet
Paringana dalan kang padhang
Ampun tambah dhedhet

Dhuh Gusti, nyuwun pitulungan
Gaman kula namung tangisan
Donga kula namung ketaatan
Pusaka kula mung panyuwunan lan pangarepan

Dadosaken kawula abdi
Ingkang sae nasibipun
Tambah jembar rejekinipun
Tansaya pareg anggene ngabekti dhateng sinuwun

Dhuh Gusti, kula nyuwun ngapura
Saking sedaya dosa
Ingkang ndadosaken mala

Dhuh Gusti, dosa kula sawiyaring segara
Namung ngapura Paduka punika luwih amba

Dhumateng sinten malih
Kajawi dhateng Sinuwun
Gusti Kang Maha Agung
Pangapuranipun

02 Juni 2009

Kekuatan konteks dalam epidemi gagasan


Suatu ketika di New York, seorang peserta kontes kecantikan bernama Ketty Genovese dikejar-kejar oleh para pembunuh bayaran. Dia dianiaya sampai tiga kali di jalanan selama setengah jam, sementara 38 tetangganya menyaksikan kejadian itu dari jendela masing-masing. Tidak seorang pun dari 38 saksi itu mengangkat telepon untuk menghubungi polisi.

Penjelasan paling umum mengenai kejadian semacam ini adalah ketidakpedulian orang kota terhadap tetangganya. Ini cermin dari gaya hidup individualis khas kota besar.

Akan tetapi, ada penjelasan lain yang dapat kita baca dalam buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Mengutip sebuah penelitian, hal semacam ini terkait erat dengan kekuatan konteks: sejauh mana para saksi mengerti konteks kejadian dan memperkirakan tindakan saksi-saksi lain.

Dalam sebuah penelitian, Bibb Latane dan John Darley mengatur agar seorang mahasiswa di sebuah apartemen berpura-pura mengalami epilepsi.

Hasilnya:
1. Apabila tetangga mahasiswa itu hanya satu orang dan orang itu tidak tahu bahwa ada orang lain di tempat kejadian, peluang orang itu untuk memberikan bantuan adalah 85%.
2. Akan tetapi, jika orang itu tahu ada 4 tetangganya lain yang menurut perkiraannya mendengar gejala serangan epilepsy, peluang untuk menolong turun menjadi 31%

Dalam eksperimen lain, orang yang melihat asap mengepul dari sebuah pintu mempunyai peluang 75% untuk melaporkan kejadian itu ketika dia sendirian. Peluangnya tinggal 38% ketika saksi mata tahu bahwa di sekitarnya ada banyak saksi mata yang lain.

Dengan kata lain, ketika para saksi mata tidak sendirian, tanggung jawab untuk mengambil tindakan menyebar. Masing-masing mengandalkan orang lain untuk mengambil tindakan pertolongan.

Kembali ke kasus Ketty Genovese, psikolog berpendapat kalau saja dia diserang di jalanan sepi dan seseorang menyaksikan atau mendengar kejadian itu, sang gadis mungkin justru mendapat pertolongan.

Dengan kata lain, agar peduli dengan musibah tetangganya, barangkali orang perlu informasi sesedikit mungkin tentang situasi yang sesungguhnya. Informasi yang terlalu banyak, kadangkala justru membuat orang menempatkan diri pada konteks yang tidak tepat.

***
Bagitulah salah satu paparan menarik dari buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Dalam buku ini, Gladwell berupaya menjelaskan bagaimana sebuah gagasan, produk, dan pesan berkembang menjadi epidemi. Epidemi itu bisa berwujud tren fesyen, transformasi buku menjadi sangat laris, meredanya gelombang kejahatan, penyebaran kebiasaan merokok, dan sebagainya.

Penulis buku Outliers itu mencermati ada tiga karakteristis epidemi. Pertama, sifat menular. Kedua, perubahan kecil dapat bermakna besar. Ketiga, perubahan berlangsung dramatis, tidak bertahap.

Semua epidemi memiliki tipping point. Tipping point adalah istilah yang digunakan untuk menyebut massa kritis, saat tercapainya ambang batas atau titik pergolakan dari suatu gagasan, produk, maupun pesan. Fokus dari pembahasan dalam buku ini dalah penyebaran melalui gethok tular atau word of mouth.

Ada tiga kaidah dasar bagi menjalarnya epidemi yaitu hukum tentang yang sedikit, faktor kelekatan, serta kekuatan konteks. Bagian paling awal dalam tulisan ini, cerita mengenai kematian tragis Ketty Genovese, merupakan salah satu uraian dalam menjelaskan peran kekuatan konteks terhadap penerimaan orang atas suatu gagasan. (Mudah-mudahan bisa bersambung)

Mana yang lebih baik

Slogan yang diusung oleh pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) ‘lebih cepat lebih baik’ memang sangat menarik. Dan slogan ini mudah sekali untuk dimodifikasi serta disesuaikan dengan berbagai bidang yang lain. Kalau JK-Win menang, saya yakin slogan semacam ini akan dipakai beramai-ramai oleh bermacam produsen untuk mendongkrak penjualannya. Kalaupun tidak menang, slogan semacam ini masih dapat digunakan juga.

Saya mencoba membuat bermacam-macam varian atas slogan lebih cepat lebih baik itu.

kapitalis: lebih kaya lebih baik;
komunis: lebih kenyang lebih baik;
sosialis: lebih merata lebih baik;
individualis: lebih egois lebih baik;
populis: lebih disukai lebih baik;
darwinis: lebih fit lebih baik;
pluralis: lebih toleran lebih baik;
neoliberalis: lebih bebas lebih baik;
ekonomi kerakyatan-is: lebih banyak kuda lebih baik;
fasis: lebih taat lebih baik;
eksistansialis: lebih absurd lebih baik;
platonis: lebih teoritis lebih baik;
pragmatis: lebih menguntungkan lebih baik;
eksibisionis: lebih megah lebih baik;
kompromis: lebih banyak persamaan lebih baik;
santri-is: lebih taqwa lebih baik;

progressif-is: lebih muda lebih baik;
konservatif-is: lebih kuno lebih baik;
generalis: lebih luas lebih baik;
spesialis: lebih fokus lebih baik;
narsis: lebih bergaya lebih baik;
necis: lebih rapih lebih baik;
Javanese: lebih sopan lebih baik;
turis: lebih indah lebih baik;
selebritis: lebih cakep lebih baik;

sinetron: lebih cantik lebih baik;
dokter: lebih sehat lebih baik;
insinyur: lebih canggih lebih baik;
akuntan: lebih banyak kuitansi lebih baik;
auditor: lebih teliti lebih baik;
binaragawan: lebih kekar lbh baik;
kolumnis: lebih sering dimuat lebih baik;

teh celup: lebih kental lebih baik;
balsem: lebih panas lebih baik;
rumah: lebih besar lbh baik;
company: lebih flexibel lebih baik;
sambal: lebih pedas lebih baik;