22 Agustus 2011

Belajar kembali menjadi commuter

Sejak awal Ramadhan saya menjalani rutinitas baru. Meninggalkan posisi sebagai anak kos dekat kantor yang cukup berjalan kaki pulang pergi, lalu menempati posisi lama yang beberapa bulan saya tinggalkan: menjadi commuter sejati.

Saya ingin membandingkan beberapa moda angkutan baru yang saya tempuh. Sebagai pengguna baru, saya kira inilah momentum tepat untuk membandingkan dengan lebih tepat beberapa moda transportasi umum yang kebetulan bisa sama-sama diakses dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ini masa bulan madu saya dengan berbagai jenis angkutan baru.

Akan berbada halnya jika review ini saya buat, misalnya, satu tahun setelah saya menjalaninya. Pasti ada faktor kelembaman, kombinasi dengan pengelanan lokasi yang lebih mapan, serta faktor-faktor non-angkutan lainnya.

Ada bebarapa rute dan moda angkutan umum yang bisa saya tempuh dari rumah di Depok ke kantor di Karet, Jakarta.

Pertama:
Bus ¾ Depok-Rambutan, disambung bus patas AC 70A sampai Jalan Sudirman, lalu angkot Karet-Roxi. Total biayanya Rp3.000 + Rp6.000 + Rp2.000=Rp11.000
Waktu tempuh mendekati 2 jam dan sebagian besar atau seluruhnya dalam posisi duduk. Dalam bus AC70A posisi duduk penumpang menghadap ke depan. Dengan pola yang mirip dengan kebiasaan saya sebelumnya, mudah sekali untuk tidur di bus AC ukuran besar yang melaju lewat tol dari Rambutan hingga Komdak ini.

Kedua:
Bus ¾ Depok-Rambutan, disambung Transjakarta Pasar Rebo-Kampung Melayu, lalu angkot Kampung Melayu-Karet. Total biayanya Rp3.000+ Rp3.500 +Rp3.000 =Rp9.500
Waktu tempuh kadang 2 jam lebih. Faktor penghambatnya adalah jalur busway lewat Kramat Jati yang tidak steril sehingga bus ikut kena macet. Selain itu kemacetan di Casablanca yang menjadi jalur angkot. Naik Transjakarta, bahkan dari Pasar Rebo, sering tidak kebagian tempat duduk. Duduk di bus ini tidak senyaman di bus patas AC, apalagi berdiri.
Jalur ini lebih nyaman untuk arah pulang karena ada jaminan duduk ketika naik busway dari Kampung Melayu serta naik bus ¾ dari pasar Rebo ke arah Depok.

Ketiga:
Naik angkot Simpangan-Stasiun Depokbaru, disambung kereta Commuter Line Depok-Tanah Abang. Total biayanya Rp3.000 +Rp6.000=Rp9.000. Total waktu tempuh sekitar 70menit-90 menit. Jalur kembalinya juga sama.
Naik angkot ada jaminan duduk. Naik kereta kecil peluangnya untuk duduk di kursi, namun bisa duduk beralas koran, beralas sepatu, atau membawa kursi lipat. Guncangan di kereta jauh lebih kecil dibandingkan guncangan di busway. Jadi, naik kereta jauh lebih nyaman dan tidak se-melelahkan naik bus patas ataupun Transajakarta
Kelemahan bagi pemula seperti saya, repot saat pulang. Tidak semua kereta dilengkapi dengan petunjuk suara mengenai lokasi. Jadi sering bingung ini sudah sampai mana. Melihat ke luar kaca kalau sudah maghrib tak tampak jelas. Mencoba tanya ke GPS tidak dapat signal satelit. Acuannya ya cuma waktu tempuh kira-kira, serta lampu-lampu kaki lima yang berderet banyak jika sudah sampai di stasiun Depok baru.
Sejauh ini saya belum bisa tidur di kereta. Selain ingin melihat-lihat dan mengenali lokasi, posisi duduknya juga tidak senyaman bus untuk tidur.

Keempat:
Alternatif keempat merupakan rute alternatif. Untuk keberangkatan misalnya bisa memilih lewat Komdak. Opsinya biasanya dari Pasar Rebo. (salah satu yang saya suka dari Depok Timur dekat Jalan raya Bogor adalah akses ke Pasar Rebo yang hidup 24 jam dengan banyak pilihan angkot).

*Dari Pasar Rebo bisa naik bus patas hijau, Rp3.000 sampai Komdak. Jalur kembalinya juga sama. Kalau sudah malam, misalnya piket sampai jam 12 malam, bus ini juga masih banyak dari arah Grogol ke Rambutan/Pasar Rebo.

*Dari Pasar Rebo bisa juga naik bus Transjakarta ke arah Grogol dengan berganti bus di halte UKI atau sekitarnya. Tapi berganti-ganti kendaraan semacam ini jelas mengurangi peluang untuk bisa duduk dan apalagi tidur di bus.

*Dari Komdak bisa naik 602 langsung ke depan kantor, namun menunggu lama. Bisa juga naik 640 lalu sambung angkot dengan biaya 2x lipat namun tanpa perlu menunggu.