07 Mei 2013

Kembalinya Peran Ki Lurah

Beberapa pekan belakangan ini kita mendengar banyak cerita tentang lurah. Yang paling menonjol adalah cerita dari Jakarta, yakni lelang jabatan lurah dan camat yang diwarnai protes salah satu lurah existing.

Lurah saat ini lazim digunakan untuk sebutan jabatan setingkat dengan kepala desa. Kepala desa memimpin sebuah desa, sedangkan lurah memimpin kelurahan. Di perdesaan, satuan wilayahnya adalah desa, adapun di perkotaan satuan wilayahnya adalah kelurahan. Di sebagian perdesaan di Jawa, seorang kepala desa kadang masih disebut sebagai “Pak Lurah”.

Sebenarnya, sebutan lurah sudah dikenal di Jawa sejak lama. Dalam era Majapahit pada abad ke-14, contohnya, sebutan lurah untuk kepala wilayah tertentu sudah dikenal.

Selain sebagai sebutan untuk jabatan teritorial, lurah pada masa kerajaan yang silam juga digunakan untuk jabatan keprajuritan tertentu. Mas Karebet alias Joko Tingkir yang menjadi Raja Pajang, pernah menjadi lurah prajurit wiratamtama di Kerajaan Demak pada masa Sultan Trenggana pada abad ke-16. Di dalam era kerajaan itu, lurah adalah jabatan yang tidak terlalu rendah, namun juga bukan pejabat tinggi.



Adapun di dalam dunia wayang (Jawa) yang didominasi tokoh berupa para raja, adipati, serta pangeran, lurah adalah jabatan paling rendah. Tokoh wayang yang menyandang jabatan lurah adalah para punakawan.

Sebagai contoh, Ki Lurah Semar (Bodronoyo) adalah lurah di Karang Tumaritis. Kadangkala tempatnya tinggal disebut pula Karang Kadempel, Klampis Ireng, atau Karang Kabulutan. Memang di dalam dunia wayang, nama alias untuk orang dan tempat adalah lazim. Aliasnya bisa banyak sekali. Lurah lainnya dalam cerita wayang adalah anak-anak Semar, yakni Lurah Gareng, Lurah Petruk, serta Lurah Bagong.

Tidak jelas apakah lurah dalam wayang itu menunjukkan jabatan penguasa wilayah tertentu atau sekadar pangkat kehormatan.

Kendati dekat dengan para pejabat yang disebut sebagai majikan dari punokawan itu, lurah dalam dunia wayang seperti Lurah Semar dan anak-anaknya lebih sering dianggap sebagai simbol rakyat daripada sebagai alat kekuasaan.

***
Di Jakarta ada cara baru untuk mengisi jabatan lurah, yakni lelang jabatan. Pada intinya, yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah memberi kesempatan kepada orang-orang yang berminat dan berpotensi untuk mendapatkan jabatan lurah. Bersamaan dengan itu, para lurah existing juga harus mengikuti proses yang sama untuk ”mempertahankan” posisinya. Semacam uji kompetensi untuk memperebutkan jabatan yang terbatas.

Ini merupakan langkah baru yang belum pernah diterapkan di tempat lain. Meskipun sempat menimbulkan kontroversi dan diwarnai penolakan, sejauh ini pelaksananaan lelang jabatan lurah ini berlangsung lancar. Semua pihak tentu berharap cara baru ini menghasilkan pejabat yang lebih baik dibandingkan cara sebelumnya.

Jika dibandingkan dengan jabatan yang (hampir) setara di perdesaan di Jawa, proses pemilihan lurah memang berbeda. Pemilihan kepala desa, misalnya, dilakukan secara langsung dengan calon yang harus lebih dari satu orang.

Bahkan, ketika proses pemilihan presiden, gubernur, hingga bupati dan camat dilakukan dengan penunjukan atau demokrasi perwakilan pada Era Orde Baru, proses pemilihan kepala desa di perdesaan tetap menggunakan sistem pemilihan langsung.

Sampai sekarang, proses pemilihan kepala desa secara langsung masih terjadi. Bila jumlah calon hanya satu, panitia akan menyediakan pilihan alternatif yang disebut sebagai bumbung kosong. Dan seorang calon kepala desa kadangkala bisa kalah melawan bumbung kosong ini.

Hal itu menunjukkan bahwa jabatan setara lurah itu memang penting. Dia menjadi simpul penghubung tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah. Bagi pemerintah, harapannya lurah bisa dekat sebagaimana punokawan dekat dengan para pangeran alias tokoh yang diikuti. Bagi masyarakat, para lurah juga diharapkan bisa menjadi wakil yang menyalurkan aspirasi ketika berhadapan dengan penguasa. Kita berharap peran para Ki Lurah ini bisa semakin baik. (Bersambung, bila memungkinkan hehehe)

Gambar semar diambil nusanthara dot wordpress dot com

31 Maret 2013

Informasi di Bawah Plang Nama Jalan

Kita kesal kalau melewati jalan rusak. Bahkan, kalaupun tidak taat dalam membayar pajak, kita toh tetap merasa punya hak untuk diberi jalan yang mulus, bukan dibangunkan jalan jelek nan rusak.

Kalau (sedang) berpikir buruk, sebagai pengguna jalan inginnya mengumpati mereka yang harusnya bertanggungjawab mengelola jalan. Eh, tetapi ternyata jalan itu punya tingkatan-tingkatan. Pengelolanya pun beda-beda.

Ada jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat, ada yang ditangani pemerintah provinsi, dan ada pula yang pemeliharaannya di bawah tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten. Nah, dalam soal ”menyumpahi” atau ”mengumpat” atau ”mengutuk” ini kan kita juga maunya tepat. Jangan sampai kita menyumpahi pemerintah daerah karena jalan A rusak, eh, ternyata pemeliharaan jalan itu di bawah pemerintah pusat.

Dalam soal memuji pun demikian. Walau pun masyarakat secara umum jarang yang memuji jalan bagus, tetap saja ada toh yang suka memuji. Nah, kita kan juga tidak ingin memuji dengan sasaran yang keliru. Misalkan, kita mengira jalan mulus di jalur selatan Jawa Barat itu karya pemerintah pusat, eh ternyata itu karyanya pemerintah provinsi. Begitu pula dengan jalan yang lainnya.

Oleh sebab itu, saya usul agar di plang nama jalan itu ditambah informasi mengenai siapa yang bertanggungjawab atas jalan itu. Kalau bisa dengan nomor telepon pengaduan kalau-kalau jalan itu rusak. Boleh juga ditambahkan nomor telepon untuk mengirimkan pujian apabila jalan itu mulus terus, atau perbaikan sering dilakukan.

Usul itu saya sampaikan di facebook. Ada teman yang menambahkan sebaiknya biar gampang, warna plang informasi itu dibedakan. Jadi orang bisa langsung lihat, misalnya kalau merah itu tanggung jawab pemerintah pusat, biru pemerintah provinsi, hitam pemerintah kota/kabupaten.

06 Februari 2013

Sanjaya, Si Wartawan dalam Dunia Wayang

Dalam cerita Mahabharata yang di Jawa dikenal sebagai cerita wayang, ada lho yang bertindak sebagai wartawan. Adalah seorang tokoh tak terkenal namun perannya penting bernama Sanjaya. Dia bertugas sebagai pengemudi kereta (sopir lah kalau zaman sekarang) sekaligus penasehat Drestarata.

Drestarata adalah raja Hastina, ayah dari para Korawa sekaligus pakdhe dari para Pandawa. Pak Drestarata ini buta, tidak bisa melihat, jadi perlu orang yang memberikan laporan pandangan mata terhadap segala kejadian di sekitarnya.

Nah, dalam perang di antara keturunan Bharata--yakni antara Pandawa dan Korawa-- yang kemudian disebut Bharatayudha, laporan pandangan mata ini dilakukan oleh Sanjaya. Dia melaporkan apa yang dilihatnya di lapangan kepada Drestarata.

Konon, Sanjaya ini diberi kelebihan berupa kemampuan melihat dan mendengar jauh dengan detail dan jelas. Mungkin dia menguasai teknologi tertentu seperti teropong, alat perekam, alat tulis dsb—yang ketika itu dianggap sebagai kesaktian yang diperoleh melalui tapa brata.

Begitu besar peran Sanjaya, bahkan, dialog Kresna dan Arjuna yang begitu terkenal, adalah hasil rekaman tokoh ini. Jadi, Sanjaya lah yang berjasa mengabadikan dialog nan fenomenal itu.

Begitu sekilas mengenai Sanjaya, Sang Wartawan Mahabharata. Sayangnya dalam versi wayang Jawa, peran Sanjaya ini tidak banyak disebut. Perannya sering tertukar-tukar dengan ayahnya, Widura, yang juga dikenal sebagai adik Drestarata atau penasehat Sang Raja.

31 Januari 2013

Kisah Presiden Pandu yang Tersandung Sapi

Pandu adalah ayah dari Pandawa. Dia menjadi raja atau presiden di Hastina karena kakaknya, Destarastra, buta dan tidak bisa menjalankan tugas sebagai raja.

Nah, atau Presiden Pandu ini tidak berusia panjang. Dalam Mahabharata versi India, dikisahkan bahwa pandu membunuh kijang yang sedang bercumbu. Kijang yang merupakan penjelmaan seorang brahmana itu mengutuk Pandu akan mati ketika bercumbu dengan istrinya. Oleh sebab kutukan itu, pandu mati muda ketika bercumbu dengan istri mudanya, Madri (atau Madrim).

Dalam cerita wayang Jawa, cerita soal kematian Pandu ini lebih dramatis. Alkisah, Presiden Pandu (lengkapnya Pandu Dewanata) adalah tokoh hebat. Dewa pun berhutang budi padanya karena menyelamatkan kahyangan alias istana dewa dari serbuan raksasa jahat.

Nah, istri kedua Pandu, Dewi Madrim, suatu saat mengajukan permintaan aneh ketika hamil. Dia minta agar bis naik lembu (sapi) Andini. Padahal ini bukan sembarang sapi. Ini sapi adalah kendaraan khusus milik Batara Guru si raja di istana para dewa. Sebuah permintaan yang bisa dibilang kurangajar.

Begitu mendesaknya permintaan Madrim yang sedang nyidam itu, akhirnya dengan berat hati Pandu meminta kepada Batara Guru agar diizinkan meminjam sapi itu. Toh para dewa juga berhutang budi padanya.

Batara Guru mengizinkan permintaan ”kurangajar” ini namun dengan syarat Pandu harus rela berusia singkat (alias cepat mati), dan setelah mati akan dijebloskan ke kawah candradimuka alias neraka. Presiden Pandu yang sudah kepepet itu menyetujui syarat tersebut.

Maka demikianlah, akhirnya Pandu mati muda (tentu saja dengan meningalkan jabatannya sebagai presiden Hastina), lalu dijebloskan ke kawah candradimuka, nerakanya dunia pewayangan. Sepeninggalnya, bangsa kuru (yang diwakili oleh anaknya, Pandawa, serta keponakannya, Kurawa) berselisih dna terlibat perang besar Baratayuda.

***
Saya jadi teringat cerita Presiden Pandu ini ketika menyimak kabar mengejutkan mengenai kasus daging sapi yang menyeret seorang ”presiden”. Duhai, sungguh kabar yang menyedihkan dan mengejutkan.

*) Foto wayang pandu diambil dari wikipedia Indonesia.

28 Januari 2013

Menyimak Mahabarata dan Ramayana “Versi Asli”

Saya baru saja selesai membaca buku Mahabharata dan Ramayana versi India. Dua buku ini karangan C. Rajagopalchari dan di halaman muka ditulisi “Edisi Asli”.


Sebenarnya sudah agak lama saya ingin membeli dua buku itu. Namun desain covernya yang “India banget” membuat saya tidak nyaman. Nah, pekan lalu ada diskon sampai 40% dan saya kebetulan lagi cuti agak panjang, jadi saya beli. Masing-masing buku seharga Rp30.000.

Pertama-tama saya membeli buku Mahabharata dan saya baca sampai selesai. Setelah itu, karena merasa cara bercecitanya menarik, saya membeli yang Ramayana. Sampai selesai membaca dua buku itu, saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan klaim “edisi asli” dalam covernya.

Ini sebenarnya bukan terjemahan karya kuno Walmiki dan Wiyasa, atau pujangga lain pada masa yang lalu. Ini adalah karya pada dekade 1950-an yang ditulis Rajagopalchari untuk generasi muda India. Mungkin yang dimaksud asli adalah asli India, bukan asli terjemahan dari edisi kuno.

Tentu saja semua basisnya adalah karya Walmiki (Ramayana) dan Wiyasa (Mahabharata). Baik Walmiki maupun Wiyasa pada dasarnya bukan sepenuhnya pengarang cerita itu, melainkan orang yang mengumpulkan cerita itu sehingga dapat dirampaikan kepada generasi di bawahnya secara lebih sistematis.

Ada banyak versi Mahabharata dan Ramayana yang berkembang di India. Enaknya, dalam buku ini Rajagopalchari memberikan penjelasan mengenai adanya perbedaan versi. Sebagai contoh, dia menyebut versi Walmiki menjelaskan cerita bagian ini begini, sedangkan versi lain (misalnya versi Kamban) menyebut begitu.

Bahkan kadangkala Rajagopalchari menyebutkan contoh-contoh cerita kekinian (misalnya serangan Jepang ke pearl Harbour) yang dianggapnya relevan untuk menjelaskan mengapa tokoh-tokoh dalam ceritanya mengambil keputusan beini atau begitu.


***
Saya adalah penggemar wayang Jawa yang kisahnya sebagian besar diambil dengan latar belakang Mahabarata serta Ramayana. Namun membaca dua buku ini tidak seperti membaca cerita wayang.

Ini lebih mirip membaca mitologi Yunani atau terjemahan Kalilah wa Dimnah. Untungnya, waktu kecil saya pernah membaca cerita Mahabharata yang ditulis oleh Padmosukoco dan dimuat bersambung selama beberapa tahun oleh Majalah Bahasa Jawa Jayabaya. Cerita Padmosukoco itu mirip dengan versi India.

Ada beberapa perbedaan antara cerita Mahabarata versi India ini dengan Mahabharata versi wayang Jawa. Tokoh punakawan seperti Semar Gareng Petruk Bagong jelas tidak ada dalam versi India. Begitu pula dengan Togok, Batara Guru serta Sanghyang Wenang. Namun tokoh Batara Indra, Wisnu, Brahma, Bayu dan sebagainya, ada dalam versi India.
Dalam wayang Jawa, gandarwa, yaksa, serta raksasa dianggap sama. Dalam cerita India, itu adalah kelompok makhluk yang berbeda.

Dalam cerita Jawa, Pandu adalah anak Abiyasa dan cucu Palasara. Dalam versi India, Pandu adalah cucu Santanu dan keponakan Bhisma. Dalam wayang Jawa, saya merasa tidak pernah jelas bagaimana bubungan antara Bhisma dengan Abiyasa, serta hubungan Palasara dengan Santanu.

Adapun uraian untuk perang Barata Yudha yang berlangsung selama 18 hari versi India terasa amat bertele-tele. Lebih menarik cerita versi wayang Jawa yang menjelaskan siapa yang mati pada hari pertama, hari kedua, dst secara lebih efisien.

***
Saya kira Ramayana versi Rajagopalchari ini sudah diringkas dari versi panjang. Soalnya, tidak ada cerita mengenai Arjuna Sasrabahu, Sumantri, Sukrasana. Juga soal Wisrawa dan Danaraja. Cerita mengenai Parasurama juga hanya dalam konteks pertemuannya dengan Rama.

Cerita Ramayana dalam buku ini langsung dimulai saat kelahiran Rama bersaudara dan kisruh berpangkal dari pewarisan tahta yang gagal dari Dasarata ke Rama.

Menariknya, pengarang cerita ini mencoba memberikan penjelasan mengenai hal-hal kontroversial menyangkut kepahlawanan Rama. Banyak buku—terutama yang kemudian menyebut Rahwana sebagai pahlawan—mempertanyakan kejanggalan sikap Rama.

Hal yang paling menonjol adalah bagaimana Rama dan Lesmana, memperlakukan Sarpanaka, adik perempuan Rahwana, yang jatuh hati kepada Lesmana namun justru diejek dan diperlakukan dengan menyedihkan.

Hal lainnya adalah keputusan Rama untuk membunuh Subali dengan cara membidikkan panah dari belakang ketika Subali sedang berperang-tanding melawan adiknya, Sugriwa. Ini dianggap sikap yang tidak ksatria.

Kontroversi lainnya soal sikap Rama terhadap Sinta setelah menang perang melawan pasukan Rahwana. Dengan kejam Rama mempertanyakan kesucian Sinta yang direspons Sinta membakar diri (dalam versi lain disebut diasingkan ke hutan). Nah, Rajagopalchari mencoba menjelaskan berbagai hal tadi dari sudut pandang Rama. Dia memberikan alasan-alasan yang bisa mematahkan argumen ang menyalahkan Rama.

08 Januari 2013

Kehidupan dalam Gorong-gorong

Jakarta akan membangun gorong-gorong alias terowongan raksasa? Begitulah yang kita baca dari berita-berita tentang Ibu Kota dalam dua pekan terakhir. Hal ini dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, ketika meninjau gorong-gorong di sekitar Bundaran Hotel Indonesia kira-kira sepekan sebelum tahun 2012 berakhir.


Rencana membangun gorong-gorong di kota metropolitan ini sontak mengingatkan saya akan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Klandestin. Itu sebuah cerita pendek tentang hidup dan perjuangan “manusia gorong-gorong”.

Cerpen itu dimuat Kompas pada Agustus 1993. Si tokoh yang disebut sebagai “Aku” hidup dalam gorong-gorong di bawah kota yang ternyata berisi banyak manusia.
Para manusia yang hidup seperti di dalam rangkaian gorong-gorong seperti sebuah labirin itu seolah membangun kotanya sendiri. Jadi mereka membangun sebuah kota di bawah kota.

Awalnya, si tokoh ”Aku” merasa tidak nyaman dengan kehidupan perkotaan yang dirasakannya penuh tirani di sekitarnya. Maka dengan senang hati dia bergabung ketika diajak masuk ke dalam kehidupan di bawah tanah itu. ”Aku datang untuk berpikir bebas,” begitulah pernyataannya ketika pertama kali masuk ke dalam gorong-gorong.

Akan tetapi, kemudian muncul banyak hal yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran merdekanya. Ketaatan mutlak, teror, dan perlawanan adalah ”ideologi” dalam dunia gorong-gorong itu.

Si tokoh ingin keluar dan kembali hidup dalam dunia normal di atas tanah, namun dia menemui kesulitan. Tidak mudah untuk bisa menemukan jalan ke luar dari bawah tanah.
Dia terus menggali dan berupaya. Wajahnya sudah penuh dengan tanah. si ”Aku” tetap tidak kunjung pula sampai ke atas tanah. Namun dia tetap berjuang tak kenal lelah.

****
Kita tinggalkan gorong-gorong Klandestin Seno Gumiro. Kita ikuti cerita lain yang juga bertutur mengenai gorong-gorong atau terowongan. Kali ini cerita pewayangan. Dalam lakon wayang Lahirnya Parikesit, ada kisah menarik mengenai upaya membuat terowongan.

Lakon ini berlatar belakang situasi tepat seusai Baratayuda, yakni perang besar antarketurunan Barata yang diwakili oleh Pandawa dari Amarta di satu sisi dan Kurawa yang mempertahankan Hastina di sisi yang lain.

Dalam perebutan Hastina itu, Kurawa kalah. Nyaris semua tokoh pendukung Kurawa tewas. Istana Hastina dikuasai Pendawa. Tinggal tersisa dua orang petinggi Hastina yakni Aswatama dan Kartamarma.

Aswatama adalah anak dari Resi Durna yang amat sakti. Dia mewarisi senjata sakti ayahnya, yakni Cundamanik, dan didukung oleh ibunya, seorang dewi bernama Wilotama.
Nah, Aswatama ingin membalas dendam kepada keluarga Pandawa. Dia berusaha menyusup ke dalam istana. Caranya, dengan membuat terowongan yang langsung tembus ke dalam istana. Sebagaimana khas cerita wayang, Aswatama membuat terowongan ke istana bermodalkan keampuhan senjata Cundamanik dan dukungan Wilotama.

Setelah masuk ke istana, Aswatama membuat onar. Dalam kekacauan itulah tewas beberapa tokoh penting dari pihak Amarta seperti Drestajumena, Pancawala, Sumbadra, Banowati, serta Setyaki.

Terowongan alias gorong-gorong ini memang dibuat dengan fungsi tunggal yakni menyusup ke sarang musuh. Aswatama bersama Kartamarma berhasil memanfaatkan torowongan yang dibuatnya itu dengan efektif.

****
Bila gorong-gorong labirin Klandestin dan terowongan Aswatama adalah cerita fiksi, lain pula dengan rencana Gubernur DKI Jakarta dalam membangun gorong-gorong atau terowongan ini.

Di Jakarta saat ini fungsi utama gorong-gorong adalah sebagai sarana drainase untuk mengalirkan air buangan. Ada fungsi lain juga seperti untuk saluran kabel dan pipa. Secara umum ukuran gorong-gorong ini kecil. Nah, Pak Jokowi ingin mengembangkan gorong-gorong dengan konsep yang agak berbeda.

Gorong-gorong alias terowongan ini, dalam kondisi kering, akan menggabungkan antara saluran air dan jalan dua tingkat. Terowongan juga berfungsi sebagai jalur untuk pipa air bersih, aliran lustrik PLN, gas, kabel telepon, dan sarana utilitas lainnya. Ukuran tunnel ini tentu saja besar. Diameter sekitar 16 meter dan panjangnya 19 kilometer.

Diperlukan biaya sekitar Rp16 triliun untuk membangunnya. Karena posisi Jakarta yang begitu dekat dengan laut dengan permukaan tanah yang relatif landai, maka terowongan air sedalam 40 meter—60 meter itu memerlukan pompa berukuran sangat besar agar air benar-benar bisa mengalir dan dibuang ke laut.

Ada banyak kendala teknis dan biaya yang mengadang pembangunan gorong-gorong alias terowongan besar ini. Akan ada lebih banyak lagi problem sosial yang mengikutinya. Sebagai contoh, masalah yang terkait dengan kebiasaan warga dalam membuang sampah, memperlakukan saluran air, serta penggunaan ruang publik yang mudah diakupansi warga jika tidak dijaga.

****
Gorong-gorong yang dimaksud dalam cerpen Klandestin tentu bukan gorong-gorong harfiah. Ini adalah pengandaian dari kehidupan bawah tanah alias kehidupan klandestin, seperti judul cerpen itu, yang ditulis dengan gaya khas Seno Gumira Ajidarma.

Gorong-gorong Klandestin adalah terowongan jalan hidup, adapun terowongan Aswatama adalah gorong-gorong perang, sedangkan tunnel Jokowi adalah sarana utilitas.
Lalu apa persamaannya? Semuanya dibangun dengan semangat tinggi, keberanian, pengorbanan besar, serta ”kesaktian” baik senjata maupun modal.

*Gambar wayang Aswatama diambil dari wayang dot wordpress dot com