29 Desember 2009

Pergantian tahun & teka-teki waktu*


Dzulhijjah berlalu, disambung dengan Muharram. Desember pun segera pergi, disusul dengan datangnya Januari. Pergantian tahun dari 1430 ke 1431 serta dari 2009 ke 2010 mengingatkan kita akan perhitungan waktu.

Perhitungan kalender yang menjadi penanda waktu, baik versi hijriah maupun versi masehi, didasarkan pada pergerakan dalam tata surya terutama Bumi, Matahari, serta Bulan.

Bagi manusia zaman sekarang, pernyataan bahwa planet Bumi bergerak mengelilingi pusat tata surya berupa Matahari dengan periode satu tahun, serta satelit yang bernama Bulan mengelilingi Bumi setiap satu bulan sekali, bukan lagi tanda tanya.

Akan tetapi, proses menuju kepada pengetahuan itu ternyata lama, dan memakan banyak korban. Kita tentu ingat tragedi yang menimpa Galileo Galilei ketika menyatakan bahwa pusat tata surya bukanlah Bumi melainkan Matahari.

Manusia terus mencari cara perhitungan waktu yang lebih presisi. Misalnya, 1 detik semula didefinisikan sebagai 1 per 86.400 hari, lalu diubah menjadi 9.192.631.770 kali periode radiasi atom tertentu pada keadaan tertentu.

Ukuran fisis seperti gerakan atom dan tata surya di atas hanyalah salah satu cara untuk mencari pegangan dalam mengarungi waktu. Manusia juga berupaya mencari makna yang lebih dalam mengenai bagaimana memperlakukan waktu yang dimilikinya.

Terkait dengan pamaknaan itu, filosof Prancis Voltaire dalam novelet Suratan Takdir menyajikan kisah menarik. Suatu kali, Pendeta Agung Babilonia menggelar sayembara dengan mengajukan cangkriman alias teka-teki.

“Apakah di antara yang di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus paling pendek. Paling cepat namun juga paling lambat. Paling terbagi-bagi namun juga paling luas. Paling disepelekan tetapi juga paling disesalkan. Tanpa hal itu tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan. Dia melahap segala yang kecil, namun mengabadikan yang besar.”

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan dalam sayembara itu hingga muncul seorang tokoh bernama Zadiq. Dia berpendapat jawab atas pertanyaan Pendeta Agung adalah waktu.

“Tidak ada yang dirasakan lebih panjang karena waktu adalah ukuran keabadian. Tidak ada yang lebih pendek karena selalu dirasa kurang untuk mewujudkan rencana-rencana kita. Tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu. Tak ada yang lebih cepat berlalu untuk mereka yang menikmati hidup.”

Zadiq menambahkan, waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi dalam ukuran sekecil-kecilnya. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan semua yang pantas diingat menjadi abadi.

***Relativitas waktu
Pergantian tahun biasanya menjadi momentum untuk merenungi waktu yang sudah lewat dan membuat rencana mengisi waktu yang tersisa. Ini mirip dengan ulang tahun. Bedanya, ulang tahun direnungi sendiri-sendiri, pergantian tahun dirayakan bersama-sama.

Banyak cara untuk mencari kejelasan mengenai waktu. Salah satu tokoh yang paling didengar dalam kajian mengenai waktu adalah fisikawan Albert Einstein yang dikenal melalui teori relativitas. Teori ini menyinggung relativitas waktu yang akan terasa sangat menonjol pada objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya.

Kisah terkenal dalam menjelaskan relativitas waktu adalah Paradoks Si Kembar, cerita tentang dua orang kembar yang mengalami beda usia signifikan karena yang satu tetap di bumi sementara yang lain menjelajahi angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.

Bagi saya, apa yang diungkapkan Zadiq dalam cerita Voltaire di awal tulisan ini merupakan bentuk lain mengenai relativitas waktu. Ini semacam formulasi psikologis dari relativitas waktu.

Orang yang sedang menunggu akan merasa bahwa pergerakan waktu lambat, sedangkan orang sibuk dengan banyak pekerjaan merasa kekurangan waktu. Orang menderita merasakan waktunya panjang, orang bahagia merasa waktu berjalan terlalu cepat.

Waktu, sebagaimana hidup, memang seringkali diterima orang tanpa ucapan terima kasih dan dinikmati tanpa tahu persis bagaimana caranya. Maka benar sekali saran agar berkaca kepada pelari sprinter untuk mengerti arti rentang waktu seperseratus detik. Juga, bertanya kepada orang yang tertinggal kereta api atau pesawat terbang untuk tahu arti pentingnya satu menit.

Berarti atau tidaknya waktu dalam hidup ini juga sangat ditentukan oleh seberapa bisa manusia memaknai peristiwa-peristiwa yang mengisi waktu. Barangkali menarik untuk menyimak pernyataan pendiri Pakistan, Sir Muhammad Iqbal, di bawah ini.

“Aku menilai hari-hari, bulan dan tahun dari pengalaman yang mereka [hari, bulan, tahun] berikan untukku. Kadang aku terkejut mendapati bahwa satu saat peristiwa tertentu lebih berharga dibandingkan dengan waktu setahun penuh,” paparnya dalam Stray Reflections.

*) Dimuat di Bisnis Indonesia (www.bisnis.com) edisi 29 Desember 2009

23 Desember 2009

Di bawah bayang-bayang Sun Yat Sen


Patung Sun Yat Sen berdiri megah di salah satu sudut pelabuhan Qinzhou. Sekilas, patung setinggi 13,88 meter itu mirip dengan Patung Lenin yang ramai dirobohkan di beberapa sudut Rusia ketika Uni Soviet runtuh pada 1989.

Bila ditambah dengan penyangganya, keseluruhan patung Sun Yat Sen tersebut tingginya mencapai 29,68 meter. Untuk mencapai patung, pengunjung harus mendaki ratusan tangga. Kalau saya tidak salah hitung, terdapat 208 undakan yang harus dilewati untuk sampai ke patung itu.

Setelah melewati 96 undakan pertama, pengunjung akan sampai ke teras. Lalu 76 undakan kedua membawa pengunjung ke golden ding altar, kemudian 37 undakan terakhir mengantar ke patung. Dari posisi patung di ketinggian itu pengunjung bisa melihat gelaran Pelabuhan Qinzhou.

Sun Yat Sen yang lahir pada 1866 adalah bapak pendiri Republik Rakyat China atau China modern. Dia mendirikan partai Kuomintang dan menjadi pejabat presiden para tahun 1912 serta tahun 1923-1925.

Lalu mengapa ditempatkan patung Sun Yat Sen di sudut pelabuhan itu? Pengelola pelabuhan menyatakan bapak pendiri RRC itu pernah menulis dalam satu artikelnya pada 1915 bahwa Qinzhou suatu saat akan menjadi pelabuhan terbesar di China bagian selatan.

Kini, pemerintah China berupaya mewujudkan harapan Sun Yat Sen tentang Qinzhou, bagian penting bagi China selatan dalam hubungannya dengan Asia Tenggara.

Kota Qinzhou memiliki sejarah panjang, lebih dari 1.600 tahun. Pada tahun 420, kota ini dikenal dengan nama Songshojun, kemudian diubah menjadi Anzhou pada tahun 502. Sebelum tahun 1950, Qinzhou merupakan bagian dari Provinsi Guangdong. Akan tetapi, setelah masa transisi, pada 1965 Qinzhou resmi dimasukkan sebagai bagian dari Provinsi Quan Xi bersama dengan Nanning...

Selengkapnya ada di Bisnis.com

22 Desember 2009

Sulitnya mencari motor di China


China punya banyak kota besar dan memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Akan tetapi, sulit mencari sepeda motor di kota-kota besar di China. Yang mudah sekali kita temui adalah sepeda listrik, seperti betrix di Indonesia.

Ternyata ada banyak sekali pembatasan untuk motor yang membuat warga di sana tidak leluasa menggunakan kendaraan roda dua bermesin bensin itu. Kalau ketahuan melanggar aturan, didenda.

Saya menduga barangkali itu salah satu sebab mengapa motor China tidak bisa bersaing dengan motor Jepang. Lha di negaranya sendiri saja tidak bisa tumbuh, tidak banyak pengguna, jadi pasti tidak banyak feed back yang bisa ditangkap para pembuatnya.

Di sisi lain, ada pemanfaatan motor roda tiga yang bagi saya terkesan sangat cerdas. Di beberapa sudut kota Qinzhou di dekat laut China selatan, kita bisa mudah menemukan motor roda tiga yang dimodifikasi menjadi angkutan umum. Jadi fungsinya mirip bemo di Indonesia.

Ada atap yang lancip ke depan hingga melindungi si sopir. Di kotak bagian belakang ada kursi berhadap-hadapan. Ya persis bemo di Jakarta lah. Saya kira ini layak dicontoh di Jakarta. Mesinnya kecil, fleksibel, dan harganya murah. Serta lebih sehat daripada bemo dan bajaj.

Saya kira karena banyak penggunaan motor roda tiga di China maka motor roda tiga juga berkembang baik di Indonesia, lebih baik daripada motor China yang gagal bveberapa tahun lalu. Wallahu alam.

Foto: Motor roda tiga sebagai angkot

Bekal ke China: gula & tissue


Kalau berkunjung di China, jangan lupa bawa banyak tissue dan gula. Jika perlu bawa pula teh bagi yang gemar teh (serta rokok bagi perokok berat).

Demikianlah kesimpulan saya setelah sepekan menjelajahi beberapa kota di China selatan. Sebenarnya pada 2003 saya sudah pernah ke China selama beberapa hari. Tapi kesan kunjungan ke Shanghai ketika itu tidak seperti kunjungan enam hari pada pecan lalu.

Gula adalah hal penting bagi saya sehingga saya sudah menyiapkan gula dalam kemasan sachet dari Indonesia. Demikian pula dengan teh. Tidak demikian halnya dengan tissue.
Biasanya, hotel-hotel yang bagus menyediakan gula di kamar serta, minimal, di tempat sarapan. Namun pengalaman mengunjungi hotel Days Inn di Shenzhen, White Dolphin di Qinzhou, serta Metro Park di Makau, saya tidak menemukan gula di tempat sarapan.

Satu hotel lainnya, yaitu Mingyuan Xindu (Majestic) di Nanning menyediakan gula di tempat sarapan, namun saya menduga itu dilakukan karena hotel tersebut menjadi tempat menginap utama delegasi dari Asean sehingga mereka menyediakan gula serta makanan-makanan khas Asean di lokasi itu. Dalam keadaan normal saya menduga soal gula akan menjadi masalah yang sama di hotel Majestic itu.

***
Kesulitan yang sama juga terjadi dalam mendapatkan tissue. Bahkan di sejumlah restoran yang cukup besar pun kita akan kesulitan mendapatkan tissue. Setidaknya itu yang saya lihat di Guangzhou, Nanning, Shenzhen, serta Qinzhou. Ini hal yang sangat kontras dengan Indonesia. Kalau sudah begitu, ya kita pakai cara bar-bar saja, menjadikan taplak meja sebagai tissue.

Soal hemat tissue ini tampaknya bisa benar-benar menjadi masalah serius, terutama di toilet. Di hotel-hotel besar tissue toilet mungkin tidak menjadi persoalan. Akan tetapi kalau kita harus menempuh banyak perjalanan darat selama berjam-jam, mampir ke toilet-toilet umum, maka itu bisa menjadi masalah serius.

Agaknya orang-orang di sana benar-benar jorok. Air di toilet pun sangat amat minimnya. Benar-benar kacau.

Adapun soal rokok, saya justru setuju dengan gaya China. Rokok di kaki lima di berbagai lokasi di China itu sangat mahal. Ada yang dijual sampai 60 yuan (hampir Rp100.000). sedikit saja yang dijual di bawah 30 yuan (Rp45.000).

Mungkin itu sebabnya jumlah perokok di China tidak sebanyak di Indonesia. Lha gaji mereka tidak lebih baik daripada gaji orang Jakarta sementara harga rokoknya mahal banget. Mana mungkin mereka menghambur-hamburkan uang untuk merokok.

Ancaman (China) di balik kepalsuan*


Ajiek Tarmidzi sudah tidak sabar untuk segera berkunjung ke Lou Hu. Kunjungan ke salah satu sudut kota Shenzhen untuk mengamati batu giok, kain sutra, serta obat-obatan tradisional selama dua jam terasa begitu menyiksa baginya.

Ada apa di Lou Hu? Lou Hu adalah sebuah pusat perbelanjaan lima lantai di salah satu sisi kota Shenzhen. Di dalam pusat berbelanjaan itu kita bisa menemukan banyak sekali barang dagangan baik berupa barang elektronika, pakaian, sepatu, sepeda, hingga tas dan makanan.

Akan tetapi, barang yang paling menarik bagi Ajiek, yang membuatnya ingin segera sampai ke tempat belanja itu adalah 'iPhone' China. Dia sudah tidak sabar untuk membeli telepon seluler unik itu dengan harga sangat murah.

Ajiek hanyalah salah satu dari beberapa anggota rombongan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi)--yang sedang berkunjung ke China dalam rangka pertemuan Asean-China Young Entrepreneur Association Forum 2009--yang kebelet untuk memborong 'iPhone'.

Sebab, malam sebelumnya, beberapa anggota rombongan itu berhasil membeli iPhone, di Dong Men, sebuah pusat perbelanjaan lain di kota Shenzhen, dengan harga antara 260 yuan dan 300 yuan per buah atau Rp390.000--Rp450.000 per unit.

Fitur yang disediakan juga sangat menarik. Tampilan persis seperti iPhone buatan Apple, dan mampu menyediakan menu serta navigasi geser dan goyang yang mirip dengan iPhone kebanggaan Steve Jobs.

Ponsel 'iPhone' itu bahkan sudah dilengkapi pula dengan fitur Bahasa Indonesia dan bahasa lain di negara-negara Asia Tenggara.

Maka tak heran jika Ajiek dan beberapa anggota rombongan lain membeli beberapa unit 'iPhone' model China itu. Ternyata hasil tawar menawar Senin siang, 14 Desember, itu lebih 'sadis' dari pada tawar menawar hari sebelumnya. Pedagang di Lou Hu bersedia menjual dengan harga 250 yuan, lebih murah 10 yuan dibandingkan pedagang yang ditemui di Dong Men.

"Sebagai oleh-oleh untuk anak buah, kerabat, dan saudara ini sudah bagus sekali," ujar Jhonson Simbolon, pengurus Hipmi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang juga membeli beberapa unit 'iPhone' itu seperti halnya Ajiek.

Saking memesonanya 'iPhone' itu hingga menit-menit terakhir sebelum meninggalkan Shenzhen pun masih ada beberapa anggota rombongan menyempatkan diri membeli iPhone tiruan itu.

Selain menjual iPhone, para pedagang di Dong Men dan Lou Hu juga menjual ponsel berkelas seperti BlackBerry dan Vertu. 'BlackBerry Javelin' dengan tambahan fitur televisi analog bisa didapat dengan harga 460 yuan (sekitar Rp700.000), dan Vertu dapat dibawa pulang dengan 500 yuan (sekitar Rp750.000).

Fenomena 'iPhone' di atas memberi gambaran yang sangat jelas mengenai kemampuan China dalam meniru dan memasarkan produk tiruan itu dengan harga yang sangat rendah. Dalam kasus 'iPhone', konsumen bisa memperoleh produk dengan harga hanya 10% dari harga iPhone asli buatan Apple.

Kecepatan dan daya tiru China memang sudah diakui di segala penjuru. Kadangkala hanya diperlukan waktu seminggu untuk memalsu produk-produk dengan tingkat kerumitan tinggi.

Produk palsu pun seringkali sulit dibedakan dengan produk asli, seperti kata Alexander Theil, Direktur Investigasi General Motors Asia Pasifik. "Kami harus membongkarnya atau melakukan analisis kimia untuk mengetahui bahwa produk itu bukan produk asli," paparnya seperti dikutip Pete Engardio dalam bukunya Chindia.

Pemalsuan bukan hanya terjadi pada produk sederhana. Bahkan juga untuk antarmuka router buatan Cisco Systems. "Jika Anda bisa membuatnya, mereka bisa memalsukannya," kata David Fernyhough, Diretur Perlindungan Merek Hill & Associates Ltd Hong Kong, dalam buku tersebut.



***Terkait ACFTA

David Tampubolon, Wakil Ketua Panitia Hipmi Goes To China, mencoba mengaitkan fenomena 'iPhone' tadi dengan perjanjian perdagangan bebas Asean-China.

FTA Asean-China ini akan berlaku pada 2010 bagi China, Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei, Singapura, dan Filipina. Adapun bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, perjanjajian itu dijadwalkan berlaku 2015.

David mengkhawatirkan membanjirkan produk murah dari China yang akan memukul para produsen di Indonesia. "Bayangkan, kalau mereka bisa menjual 'iPhone' dengan harga 300 yuan berarti biaya produksinya jauh lebih rendah lagi. Bagaimana kita bisa bersaing dengan produsen seperti itu?" tanyanya retoris.

Bagi negara-negara Asean termasuk Indonesia, FTA Asean-China bisa menjadi ancaman yang luar biasa. Di pusat perbelanjaan Lou Hu kita memang tidak hanya bisa melihat iPhone dan BlackBerry tiruan, melainkan juga bermacam produk bermerek palsu.

Daya tiru yang tinggi, digabungkan dengan kecepatan produksi yang luar biasa serta harga yang sangat murah, merupakan senjata ampuh bagi China.

Rasanya sangat mudah untuk memahami logika sederhana di atas. Repotnya lagi, ancaman itu menjadi lebih serius karena daya tiru, kecepatan produksi (time to market), serta harga murah itu juga kadang diiringi banyak kecurangan. Setidaknya itu yang tercermin dalam proses jual beli beberapa unit 'iPhone' yang saya amati di Lou Hu.

Membeli barang di sana haruslah sangat hati-hati. Bahkan pemandu kami, seorang wanita kelahiran Pulau Alor yang menetap di China sejak 1960, mewanti-wanti agar mencatat nomor seri uang yang diserahkan serta memastikan barang yang benar yang dimasukkan ke kemasan.

"Kadang mereka suka bohong soal jumlah uang yang sudah dibayarkan atau menuduh uang itu palsu," ujarnya.

Soal kecurangan bahkan juga sempat menimbulkan insiden kecil persis di depan konter check in penerbangan dari Shenzhen menuju Nanning, ketika seorang penjual 'iPhone' berupaya menipu salah satu anggota rombongan Hipmi.

Tampaknya fenomena 'iPhone' beserta liku-liku cara penjualannya benar-benar mewakili ancaman serius yang dibawa China. Siapa sanggup melawan?

*) Dimuat di Bisnis Indonesia edisi 21 Desember 2009
**) Foto: 'BlackBerry' China dan 'iPhone' China

10 Desember 2009

The Werther effect


Werther adalah sebuah karakter dalam novel karya Johann Wolfgang von Goethe. Dalam cerita Penderitaan Pemuda Werther, Goethe berkisah mengenai seorang pria cerdas, baik, lembut, mudah terharu, yang mengalami kehidupan tragis.

Setelah kegagalannya dalam karir, Werther yang muda mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan. Begitu dalam penderitaannya sehingga Werther memilih bunuh diri sebagai upaya mengakhiri tekanan batiniah.

Werther sudah menyatakan rencananya untuk membunuh diri sebagai bentuk ancaman bagi Lotte. Akan tetapi Lotte mengabaikannya. Werther pun menjalankan rencana bunuh dirinya dengan cara menembak kepala.

Cerita mengenai Werther ini dipublikasikan lebih dari 200 tahun yang lalu dan menjadi karya yang sangat digandrungi banyak orang. Namun, cerita yang sangat memikat ini juga dipersalahkan sebagai pemicu bagi sekitar 2.000 bunuh diri di kalangan remaja di Eropa.

Begitu kuatnya pengaruh tulisan Goethe itu sehingga dalam kajian mengenai bunuh diri dikenal Werther effect. Istilah ini digunakan untuk menyebut pengaruh tulisan atau pemberitaan yang memicu bunuh diri ikutan.

Pemerintah Inggris pernah melarang pemberitaan detil mengenai cara orang membunuh diri untuk menghindari apa yang disebut sebagai Werther effect itu.

Dalam kasus bunuh diri, pemberitaan dianggap sebagai faktor pendorong bagi orang-orang yang impulsif untuk mewujudkan rencana bunuh dirinya. Ada semacam peniruan setelah menemukan model, apalagi jika modelnya adalah orang ternama.

02 Desember 2009

BlackBerry 8120 memang nyaman


Sudah sejak lama saya mendengar kehebatan BlackBerry Pearl tipe 8120. Di milis pengguna BlackBerry, gadget ini sering dipuji sebagai handset yang kecil, ringan, keypad-nya super empuk. Ditambah lagi ada Wi-Fi.

Saya sudah membuktikan bahwa Pearl 8120 benar-benar peranti hebat. Ukurannya sangat mirip dengan 8100, bobotnya hanya 91 gram, dan keypadnya empuk sekali. Mungkin ini ponsel dengan keypad paling empuk yang pernah saya kenal.

Ada tambahan jenis huruf yang membuat tampilan teksnya jauh lebih enak dibaca daripada 8100. Begitu pula dengan tampilan browser. Enaknya lagi, harga Pearl jenis ini di bawah Rp2 juta. Bahkan harga bekasnya bisa di bawah Rp1,5 juta. Sejatinya, 8120 memang BlackBerry jadul. Sudah sulit sekali menemukan handset ini dalam keadaan baru di pasaran.

Hal yang mengkhawatirkan calon pengguna dari seri pearl adalah keypadnya yang tipe qwerty SureType. SureType hanya bisa dioptimalkan kalau ada basis data sesuai bahasa yang digunakan sang pemakai. Bagi konsumen Indonesia, perlu ada ‘suntikan’ basis data Bahasa Indonesia. Tanpa itu, SureType akan menyiksa. Dan untungnya, saya sudah berpengalaman dengan Pearl 8100 sehingga tidak canggung menggunakan 8120.

Masalah lain adalah baterai. Pengguna BlackBerry yang intensif hampir pasti butuh baterai cadangan. Sayangnya, baterai non-ori untuk tipe Pearl ini termasuk yang mahal dan jarang dijumpai. Ini berbeda sekali dengan bateri untuk BlackBerry 83xx Curve yang gampang sekali ditemui di toko-toko aksesoris ponsel.

Gambar: BB 8120 dari GSM Arena

01 Desember 2009

Gadget jadul tetap powerful


Jadul adalah singkatan dari jaman dulu. Ini akronim yang biasa dipakai anak gaul untuk menyebut produk atau fenomena yang ketinggalan zaman. Kadangkala anak-anak baru gede menuliskannya sebagai zadoel.

Gadget merupakan produk teknologi informasi yang memiliki siklus hidup relatif singkat sehingga cepat menyandang sebutan jadul.

Sebagai contoh, produk BlackBerry buatan Research In Motion dalam dua tahun terakhir mengalami siklus produk cepat sekali. Siklus yang cepat ditandai dengan penyediaan produk baru serta kejatuhan harga produk lama. Produk yang tersisih segera menjadi jadul.

Hingga pertengahan 2008, harga jual BlackBerry 8320, 8310, serta 8820 dan 8707v masih di atas rp6 juta. Ketika itu, pilihan bagi konsumen juga tidak banyak.

Setelah kehadiran BlackBerry Bold, harga jual produk di atas turun drastis. Harganya semakin tertekan setelah keluar produk Javelin yang kemudian diikuti dengan Gemini serta Onyx.

Sekarang, kita bisa mendapatkan harga untuk produk di atas pada kisaran harga di bawah rp3 juta untuk baru (meskipun sulit dan harus lewat distributor) serta di bawah rp2 juta untuk produk bekas.

Fungsi utamanya sebagai alat akses push e-mail, BBM, pesan instan, jejaring sosial, browser relatif sama saja dengan produk baru. Bagi mereka yang mengutamakan fungsi, saatnya untuk membeli BlackBerry edisi 2008 itu. Fungsinya dapat, sedangkan harga hanya setengah atau bahkan sepertiga dari model baru. Hanya saja, gensi serta beberapa fitur tambahan tidak bisa diperoleh.

Sejauh pengalaman dan pengamatan, alat-alat yang terkesan jadul itu juga masih sangat fungsional.

***Netbook
Contoh lain adalah netbook. Dalam satu tahun terakhir ini ada belasan tipe netbook yang diusung dengan belasan merek. Sebagian tergolong branded, sebagian lagi merupakan merek baru yang bermunculan dengan memanfaatkan popularitas produk notebook kecil nan murah itu.

Harga netbook baru masih bertengger di atas rp4 juta untuk branded dan di atas rp3 juta untuk merek yang kurang ternama. Harga ini relatif sama dengan harga waktu netbook pertama kali diperkenalkan ke publik pada 2007. Waktu itu harga Eee PC 2GB masih di atas rp3 juta dengan layar 7 inci dan sistem operasi Linux Xandros.

Sekarang, kendati harganya sama, fitur yang diusung oleh netbook jauh lebih hebat. Layar lebih lebar, memori lebih besar, prosesor lebih cepat.
Apakah itu berarti sudah waktunya pemilik netbook generasi pertama untuk berganti ke netbook generasi mutakhir? Kesimpulan saya sejauh ini ternyata tidak perlu ganti.

Memang ada godaan besar sekali untuk berganti netbook. Akan tetapi, kalau benar-benar dikaji secara seksama, jika keperluannya hanya untuk mengolah kata atau mengisi waktu kosong di perjalanan, netbook generasi pertama masih memadai. Saya bahkan masih menggunakan netbook Asus versi 2GB dan sejauh ini baik-baik saja.

Produk jadul seringkali ketinggalan zaman, tapi masih banyak cara untuk mengoptimalkannya. Saya bahkan mengetik tulisan ini menggunakan produk sangat jadul, PDA iPaq 4355 yang pernah dipilih sebagai best product oleh PC Magazine pada 2004. Siapa takut mengoptimalkan produk jadul.

Gambar: iPaq 4350