31 Oktober 2008

Antara Facebook & Pucang Tunggal (4)

Saya yakin dalam waktu 5 tahun atau 10 tahun mendatang, semua orang akan saling terhubung melalui Facebook (atau aplikasi jejaring sosial lain), sama seperti kita pakai e-mail sekarang ini. Kita akan kembali berkontak dengan semua teman lama, asalkan mereka bisa terhubung ke Internet. Kelebihan facebook adalah: bisa ditanyai.

***
Facebook memang luar biasa. Saat-saat pertama saya mengenalnya, saya hanya berusaha mengontak orang-orang terdekat yang benar-benar kenal. Teman lama, teman sekantor, nara sumber, contohnya. Pokoknya teman-teman yang secara fisik memang kenal.

Dari sana pun sudah terasa banyak sekali manfaatnya. Saya bisa tahu data-data personal yang sebelumnya tidak saya tahu tentang masing-masing orang itu, misalnya tanggal lahir, foto-foto keluarga, dan sebagainya.

Semakin lama, manfatanya semakin banyak. Kita bisa mengontak orang yang hanya kita kenal melalui televisi atau koran. Yang paling mengasyikkan adalah menemukan orang-orang yang sudah lama belum bertemu. Kemudian kita bisa berkontak lewat wall, kirim pesan seperti chatting, melihat profilnya secara lengkap (tergantung seberapa detil dia menulis di sana), membaca Note (semacam blog) di sana, dan sebagainya.

Memang benar bahwa selama ini kita juga bisa bertemu kembali dengan teman lama melalui telepon, SMS, atau e-mail. Tetapi kita tidak mungkin bertanya ke operator telepon, misalnya Telkomsel, eh nomor telepon teman saya bernama xyz itu berapa?
Kita juga tidak bisa bertanya ke server Yahoo atau Gmail, email saya si abc itu apa ya? Kita harus tahu e-mailnya dulu, baru berkontak.

Nah, di Facebook, lain cerita.
Kita bisa bertanya teman saya bernama eyd itu sudah gabung dengan Facebook atau belum? Kalau sudah, langsung bisa add/invite sebagai teman. Setelah approve, kita bisa lihat profil lengkap dan info terbaru, serta tentu saja bisa berkomunikasi dengannya.

Itulah hebatnya. Jejaring sosial semacam Facebook bisa ditanyai. Dan itulah sebabnya orang-orang malah jadi antusias untuk menggunakan nama asli. Kalau kita mendaftar Facebook tanpa nama asli, orang lain yang mencari nama asli kita, misalnya teman sekolah, tidak ada bisa menemukan kita. Hilanglah peluang untuk berkontak (opportunity loss).

***
Jejaring sosial memang tidak hanya Facebook. Masih ada Friendster dll. Masih butuh waktu untuk mencari mana di antara jejaring itu yang bertahan melalui seleksi alam. Atau mungkin nantinya akan muncul antarmuka yang bisa menghubungkan berbagai jejaring dalam satu wadah tunggal, atau minimal wadah yang saling terhubung.

Kecanduan Facebook juga membuat kita terobsesi untuk menambah terus jumlah teman, entah kenal fisik atau tidak. Kadang kita ingin add orang ternama sebagai teman kita, padahal orang tersebut tidak mengenal kita secara pribadi. Dia accept saja.

Sebaliknya, kadang ada orang yang tidak kita kenal ingin memasukkan kita sebagai temannya. Ya, kita berprasangka baik saja, sebagaimana kita juga sering minta orang ternama sebagai teman.

Kalau jumlah teman sudah terlaklu banyak (Mbak Fira, misalnya, yang baru-baru ini sudah tembus 5.000) maka sudah tidak jelas lagi itu teman beneran atau bukan. Kita juga pusing kalau refresh pengen melihat aktivitas teman-teman dekat lagi pada ngapain (pada menu status). Terlalu banyak yang muncul, kebanyakan bukan yang prioritas, jadi makin bikin pusing, hehe.

Walau bagaimana pun, ayo, mari bergabung ke Facebook
Wallahu a’lam.

27 Oktober 2008

Pohon dan ulang tahun Sekar


Saya menanam tiga pohon buah untuk menandai ulang tahun ke-4 Sekar

Anakku Sekar Nabila Inspirana tepat berusia 4 tahun pada 25 Oktober 2008. Si cantik itu kini sudah sekolah TK A, sudah mengenal sebagian besar huruf, mengerti angka 0-9, bisa naik sepeda roda 4, mengerti apa makna pakaian yang matching, bisa memakai dan melepas pakaian sederhana. Sekar rajin sikat gigi, dan bahkan sekarang sudah berani mandi sendiri. Dia juga tidak pernah ngompol lagi (kecuali dalam kasus khusus seperti habis perjalanan panjang).

Ulang tahun ke-4 ini agak istimewa dibandingkan ulang tahun sebelumnya. Sekarang Sekar sudah sangat mudah diberi pengertian, diingatkan untuk ini dan itu yang dikaitkan dengan mengatakan, “kan sekarang sudah empat tahun”. Sesuatu yang belum bisa dilakukan di masa-masa yang lalu.

***
Saya sudah beberapa pekan (atau bulan?) belakangan ini ingin sekali menanam pohon buah-buahan di halaman belakang rumah Gunungputri. Halaman belakang yang luasnya lebih dari 50 meter persegi itu nyaris kosong melompong. Sepertiganya sudah saya pasangi kon-blok, dua pert tiganya hanya berisi rumput jepang, sebuah pohon palm, serta jemuran yang jumlahnya tak seberapa.

Kondisi ini kontras sekali dengan halaman depan yang hanya sekitar 10 meter persegi namun penuh dengan tanan buah serta bunga.

***
Lalu bertemulah dua momentum itu. Ulang tahun sekar dan keinginan untuk menanam pohon. Kebetulan di dekat rumah kami di Bandung ada banyak penjual tanaman, termasuk Toko Trubus yang ada di Giant, Jl Djundjunan.

Pas ulang tahun itu kami membeli tiga pohon buah yaitu rambutan, nangka, serta durian. Kami membeli di Toko Trubus itu dengan harga masing-masing Rp25.000. Saya membelinya di Bandung, lalu membawanya ke kantor di Jakarta, dan menanamnya di halaman belakang rumah di Gunungputri.

Tinggi pohon nangka dan durian dalam keadaan belum ditanam hampir sama dengan tinggi Sekar anakku. Adapun tinggi durian dalam keadaan ditanam juga nyaris sama dengan tinggi Sekar.

Sebenarnya, membandingkan tingginya anakku dengan ketinggian pohon dalam lima tahun ke depan tentu saja tidak relevan, apalagi dalam 10 tahun ke depan. Pohon bisa mencapai ketinggian 10 meter atau 15 meter, sementara manusia tidak akan lebih tinggi dari 2 meter. Tapi tidak apa.

***
Bagi orang jaman dulu alias jadul, menanam pohon di saat-saat istimewa mungkin merupakan kebiasaan. Ini bisa menjadi semacam penanda di kala kalender belum banyak digunakan dan sebagian besar orang tidak pandai membaca.

Di dalam agama juga ada banyak pernyataan yang menunjukkan keutamaan menanam pohon, apalagi pohon buah-buahan.
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki bertemu Abu Darda' yang sedang menanam pohon. Kemudian, laki-laki itu bertanya kepada Abu Darda', ''Hai Abu Darda', mengapa engkau tanam pohon ini, padahal engkau sudah sangat tua, sedangkan pohon ini tidak akan berbuah kecuali sekian tahun lamanya.'' Abu Darda' menjawab, ''Bukankah aku akan memetik pahalanya di samping untuk makanan orang lain?''

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad menyebut cerita seorang sahabat Rasulullah SAW, ''Saya mendengar Rasulullah SAW membisikkan pada telingaku ini, 'Siapa menanam sebuah pohon kemudian dengan tekun memeliharanya dan mengurusnya hingga berbuah, maka sesungguhnya baginya pada tiap-tiap sesuatu yang dimakan dari buahnya merupakan sedekah di sisi Allah SWT'.'' (HR Ahmad).

Nabi Muhammad SAW memesankan kepada para sahabatnya, dalam peperangan janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak, dan jangan menebang/merusak tanaman (pohon).

Wallahu alam.
Selamat ulang tahun Sekar Nabila Inspirana.

23 Oktober 2008

Lepasnya roda mobil kami



Tadi malam saya mengalami hal yang mengerikan sebagai pengendara mobil. Salah satu roda mobil saya terlepas ketika mobil sedang berjalan di Tol Jagorawi di tengah malam yang gelap gulita.

Saya pulang dari kantor sekitar jam 21.15. Jalanan, termasuk tol dalam kota, relatif lancer. Sampai di Tol Jagorawi (sekitar km 9 atau 10, menjelang pintu tol Cibubur), saya merasakan sesuatu yang aneh pada ban.

Ada suara keras (wuk-wuk-wuk) dan goyang-goyang seperti ban kempes. Saya dan Hendra (teman kantor yang rumahnya di Cibinong yang kebetulan pulang bersama) segera turun. Kami periksa roda dan kaki-kaki. Tidak tampak gejala yang aneh. Ban tidak kempes, tidak ada tanda-tanda besi yang patah. Kami tidak memeriksa mur roda, karena tidak ada pemikiran ke arah itu. Saya coba goyang-goyangkan roda, tidak menemukan hal yang aneh. Tampaknya posisinya kokoh. Suasana gelap, kami hanya mengandalkan lampu dari kendaraan yang lewat.

Kami coba naik kembali, lalu mobil saya jalankan sekitar 10 meter. Muncul suara yang aneh-aneh dari sisi kiri bawah. Kami pun turun kembali. Saya menduga ada bagian dari kaki-kaki mobil yang mungkin patah.

Lalu saya naik ke mobil, menjalankan kendaraan barang 10 meter, Hendra mengawasi dari luar, melihat apa yang kira-kira salah dengan mobil ini. Tidak menemukan apa-apa.

Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan saja pelan-pelan ke arah rumah yang masih 16 km atau 17km di depan sana. Posisi Hendra saya minta pindah dari kiri depan ke kanan belakang karena tampaknya masalah ada pada sisi kiri mobil.

Sebuah mobil derek mendekat, tetapi petugasnya tidak turun. Mereka membayangi kami dari belakang.

Saya jalan pelan-pelan melalui bahu jalan (jalur darurat) sekitar setengah kilometer. Tidak lagi muncul suara-suara aneh. Saya berharap mudah-mudahan semuanya aman. Mobil derek masih terus mengikuti kami.

Saya pikir kalau jalan terus di bahu jalan, bisa ditilang polisi dan disuruh keluar di pintu tol Cibubur. Repot betul. Jadi saya coba ambil ke kanan, masuk ke lajur paling kiri. Berjalan dengan kecepatan 30km per jam-40km per jam, merayap di belakang truk-truk.

Tiba-tiba, muncul suara sangat keras dari salah satu bagian mobil. Disusul dengan posisi mobil yang agak miring ke kiri, serta deritan keras hasil gesekan antara logam dengan aspal. Saya rem sebisanya dan kami pun menepi, persis di depan proyek pembangunan tempat istirahat menjelang pintu tol Cibubur.

Begitu keluar dari mobil saya merasakan bau menyengat karet terbakar. Lalu tampak di belakang sana, sekitar 50 meter di belakang mobilku, seorang petugas dari mobil derek sedang mengamankan sebuah roda yang tergeletak antara jalur darurat dengan lajur paling kiri.

Saya periksa roda, masya Allah, roda kiri belakang saya sudah lepas.

***
Kami tentu saja bersyukur bahwa kami tidak mengalami cedera karena masalah ini. Roda juga tidak meluncur ke tengah jalan yang bisa menyebabkan kecelakaan beruntun bagi kendaraan yang menabraknya. Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah.

Saya sempat bingung bagaimana cara memasang satu roda ini tanpa mur. Lalu saya ingat iklan sebuah produk susu. Tiap roda sebenarnya memiliki 4 mur-sekrup. Hilang 4 berarti masih ada 12 mur untuk 4 roda. Jadi, kami ambil satu mur dari masing-masing roda yang tersisa, lalu kami pasang pada roda yang lepas. Alhamdulillah. Masalah untuk sementara teratasi dan saya bisa pulang sampai rumah dengan selamat.

Paginya mobil saya bawa ke bengkel. Pasang 4 mur baru. Ternyata bemper belakang rusak karena terpukul roda yang lepas, pipa rem juga rusak karena benturan. Ada karet di bagian kaki-kaki yang juga rusak karena bergesekan dengan aspal.

Semuanya habis biaya Rp180.000. Porsi mahal ternyata adalah spooring (setting ulang posisi kaki-kaki) yang menghabiskan lebih dari setengah biaya itu.

***
Problem pada roda kanan belakang ini sebenarnya bisa dilacak sejak mudik Lebaran. Ketika pulang dari mudik, ban belakang sempat kempes di Cielunyi dan saya ganti di tol. Saya pasang sendiri ban serep yang sudah agak gundul karena ban aslinya benar-benar rusak tidak bisa dipakai lagi.

Beberapa hari kemudian saya beli ban bekas yang tidak gundul. Nah sejak pengalaman mengganti ban di tol itu, lalu membeli ban bekas, saya seperti terobsesi untuk mencoba mengganti ban sendiri lagi. Saya merasa teknik saya mengganti ban ketika itu ada yang keliru. Saya ingin mempraktikan teknik baru yang lebih baik dalam mengganti ban.

Setelah sekian lama keinginan itu mendesak, ditambah kekhawatiran akan ban gundul yang masih terpasang, maka kemarin pagi saya beranikan diri mengganti ban sendiri di rumah.

Kesalahan terbesar saya adalah tidak memasang mur dengan benar-benar kuat. Saya merasa sudah cukup kuat untuk mengikat roda sekaligus tidak terlalu sulit untuk sewaktu-waktu dibuka kembali. Saya memilih posisi tengah-tengah ini.

Dan begitulah hasilnya.

***
Sebenarnya secara teoritik saya sudah tahu cukup banyak soal mengganti ban. Saya baca bahwa uliran mur minimal tujuh kali. Saya juga pernah mendengar cerita seorang teman kantor bahwa ponakannya membawa mobil dan rodanya lepas. Seorang teman lain menimpali bahwa roda lepas itu pasti ada gejalanya.

Saya sudah ingat itu semua ketika mengganti roda. Semua teori itu benar-benar sudah nglothok dan saya fahami luar kepala. Tetapi ketika mengalami, saya tidak menduga bahwa persoalan bunyi-bunyi dan segala gejala itu berasal dari mur yang kendor, mur yang kurang kuat dipasangnya.

Jadi, pengetahuan teoritis itu saja ternyata tidak cukup. Perlu pengalaman riil atau melihat sendiri untuk tahu apa yang dimaksud dengan gejala-gejala dari sebuah kerusakan teknis pada mobil.

Dalam hal ini saya kembali bersyukur. Gusti Allah mengajarkan pengalaman yang sangat berharga ini kepada saya tanpa harus membuat saya (dan orang lain) celaka. Bandingkan dengan berita yang kita dengar sepanjang masa mudik, ada begitu banyak kecelakaan yang terjadi, fatal dan menyebabkan banyak nyawa meninggal, karena masalah ban dan roda ini. Alhamdulillah, terima kasih, yaa Allah.

***
Roda lepas ini sebenarnya bukan pengalaman gawat pertama saya berurusan dengan mobil. Pada Juni lalu, mobil yang sama ini mengalami putus timing belt di Tol Jagorawi km 16-km 17 di tengah malam.

Saat itu mobil melaju sekitar 70km per jam-80km per jam di lajur tengah. Tiba-tiba t-belt putus, mesin langsung mati dan semua system hidrolik, termasuk rem, tidak berfungsi. Jadi pedal rem sama sekali tidak bisa diinjak. Saya hanya mengandalkan rem tangan dan pasrah saja atas apa yang terjadi. Alhamdulillah semua baik-baik saja, saya berhasil menepi dengan aman. Putusnya t-belt ini sama sekali tidak terduga mengingat pemakaian baru sekitar 12.000 km, jauh di bawah standar usia t-belt yang rata-rata 40.000 km.

Bulan Agustus, masih merupakan dampak dari putusnya t-belt, mobil sempat mogok di Purwokerto malam-malam ketika saya pulang dari rumah sakit hanya bersama Sekar. Alhamdulillah, akhirnya masih bisa sampai rumah kakak dengan sangat pelan-pelan, gigi satu. Ternyata ada masalah dnegan kompresi dan mesin harus turun setengah.

Tahun lalu, sewaktu mengendarai mobil kakak (Mitsubishi Kuda) dari rumah sakit di Purworejo saya juga mengalami putus t-belt.

Empat tahun yang lalu, ketika ikut mudik kakak, ada masalah juga dengan kaki-kaki. Ada satu bagian kaki-kaki mobil yang tiba-tiba patah sehingga mobil langsung belok kanan tanpa bisa dicegah, dan menabrak motor. Untung tidak ada cidera yang serius. Lokasinya di daerah pedesaan sekitar Subang di jalur alternatif yang kecil ke arah Wado.

***
Mobilku ini memang sudah tua, hampir 9 tahun, dengan intensitas penggunaan sangat tinggi. Dalam keadaan normal, setiap pekan rata-rata saya memacunya 700 km (400 km untuk pulang pergi ke kantor 5 kali, serta 300 km untuk oulang pergi ke Bandung). Spedometernya sudah menunjukkan angka lebih dari 400.000 km, berarti sudah setara dengan 10 kali keliling bumi melalui Katulistiwa.

Kinerjanya sangat baik untuk harga yang sangat murah itu. Bagaimana pun, mengendarai mobil ini jauh lebih aman dan nyaman dibandingkan ke kantor naik motor. Naik mobil sendiri juga lebih menenangkan dibandingkan naik bus. Kalau naik bus setiap pulang saya selalu was-was masih ada bus ke Cibinong atau tidak malam ini karena pulang kantor hamper selalu mepet atau bahkan sesudah jadwal bus terakhir.

***
Setelah menjalani beberapa peristiwa gawat seputar mobil, ditambah dengan berbagai macam kerusakan yang tampaknya sepele di sana-sana, saya merasa sebaiknya para pengendara (atau pemilik) mobil mengetahui soal-soal teknis minimal dalam pengelolaan kendaraan.

Orang harus tahu hal-hal terpenting yang terkait dengabn mesin, roda, kaki-kaki, lampu, serta hal-hal dasar lainnya. Dan pengetahuan itu mestinya juga diberikan ketika seseorang baru belajar nyetir. Harus ada panduan baku mengenai soal-soal teknis semacam itu.

Majalah dan tabloid bidang otomotif mestinya berada pada garda terdepan dalam memberikan pendidikan soal-soal teknis penting itu, bukan hanya menonjolkan keuntungan dan kehebatan produk baru yang menjadi seperti iklan dan menggenjot sifat konsumtif.

Wallahu a’lam.

15 Oktober 2008

Laskar Pelangi & masa depan Andrea Hirata


Sebelum mengenal Laskar Pelangi saya sudah mengenal beberapa istilah/frase/kalimat yang menggunakan kata laskar. Pertama tentu saja Laskar Pajang (serta Laskar Banyubiru, Laskar Menoreh, dsb dalam cerita silat karangan SH Mintardja). Kemudian muncul Laskar Jihad yang sangat popular ketika kerusuhan Maluku. Belakangan ada pula Laskar FPI, dan Las-kar-bit (las karbit saingannya las listrik, hehe)

Saya menonton film Laskar Pelangi pada Sabtu malam lalu di BTC Bandung. Tadinya mau nonton siang/sore, ternyata tiket siang itu sudah habis.

Ini sebuah kisah yang inspiratif, bernilai, membangun, mengharukan, mengajarkan hal-hal yang berguna. Ada pertentangan tetapi tidak ada tokoh antagonis. Bagiku, ini sangat menarik. Ternyata dunia (dan cerita), bisa tetap menarik kendati tanpa ada tokoh yang benar-benar antagonis dan layak dibenci.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di dusun yang jauh dari peradaban kota, kemudian mendapat kesempatan untuk mendapat pendidikan terbaik di negeri ini, serta melihat-lihat pusat peradaban dunia dan menikmati produk-produk paling modern, saya bersyukur ada orang yang berhasil mendokumentasikan perjuangannya melalui Laskar Pelangi. Ada banyak “Laskar Pelangi” lain di negeri ini yang tidak terdokumentasi dengan baik, dan akibatnya tidak memiliki efek bola salju seperti kisah anak-anak Balitong itu.

***
Namun demikian, ada beberapa kritik kecil atas film itu.
Kritik utamaku adalah dipilihnya pemain-pemain yang sudah terlanjur terlalu dikenal publik dengan citra tertentu. Dalam hal ini misalnya adalah Rieke Diah Pitaloka (Oneng) sebagai ibu Ikal, serta Tora Sudiro (sebagai salah satu guru di SD PN). Mereka sudah terlalu dikenal di TV sebagai komedian dsb. Mereka sudah punya citra sendiri yang berbeda dnegan citra dalam Laskar Pelangi.

Beruntung saya kurang mengenal Cut Mini, Slamet Rahardjo, dan beberapa pemain lainnya sehingga citra mereka tidak menggangguku dalam memahami cerita.

Kalau tidak salah, ending cerita itu juga berbeda dengan yang ada di buku.

Sejujurnya saya juga ingin tahu bagaimana pandangan anggota Laskar Pelangi (selain Ikal dan Lintang) mengenai film itu. Ada seberapa besar modifikasinya dari kisah nyata (film dan atau novel selalu menggunakan dramatisasi, jadi sangat mungkin ada penambahan sana-sini pada kisahnya)

Yang juga sedikit menggangu adalah logat Melayu (atau Sumatra? Atau Riau) yang kurang akrab di telinga saya.

***
Satu lagi hal yang menjadi tanda tanya, yaitu masa depan Andrea Hirata. Masih muda, (kabarnya) belum menikah, kok otobiografinya sudah terkenal sebesar itu. Bagaimana dia harus membangun ‘kebesaran’ sisa kehidupannya? Bagaimana dia mempertahankan ‘kesuksesan’ dan ‘keajaiban’ itu di masa depan? Bagaimana dia akan menanggung beban itu?

Tetralogi Laskar Pelangi tentu berbeda pola dengan Harry Potter karya Rowling, atau Da Vinci Code dari Brown. Bahkan dibandingkan dengan karya-karya berbasis kenyataan yang ditulis oleh Tolstoy, Chekov, Pasternak, dll juga sangat berbeda. Karya para penulis yang telah lampaui itu jelas-jelas dinyatakan sebagai fiksi (kendati berbasis fakta) sehingga beban bagi penulisnya juga berbeda.

Wallahu alam.

14 Oktober 2008

Hukum ‘kekekalan’ kekuasaan


Jumlah energi tetap, hanya dapat dipindah-pindah atau diubah bentuknya. Begitulah hukum 'kekekalan' energi. Saya kira, jumlah kekuasaan dalam satu sistem juga tetap, hanya dapat dipindah-pindahkan, didistribusikan, atau dikumpulkan.

Jika ada seorang penguasa yang kuat, misalnya diktator, tumbang dan digantikan oleh penguasa yang tidak kuat, maka kekuasaannya akan tersebar ke elemen lain.

Pak Harto jatuh, kekuasaan DPR yang semula sangat kecil tiba-tiba membesar seiring kekuasaan presiden-presiden pengganti yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan Pak Harto. Kekuasaan yang dulu terkumpul pada penguasa yang sangat kuat itu kemudian menyebar dikangkangi oleh banyak pihak lain.

Panembahan Senopati yang membangun Mataram mengumpulkan kekuasaan sedikit demi sedikit. Dia membangun Mataram (Yogya) di pedalaman, kemudian pelan-pelan menguasai Bagelen (Purworejo), berlanjut ke Pajang (Solo dan Boyolali), Jipang (Blora), Demak, Pati, Jepara. Lalu ekspansi ke Madiun dan Surabaya.

Seiring melebarnya kekuasaan Panembahan Senopati, mereduplan kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang (serta Benawa sebagai penggantinya). Meredup pula Penjawi dan Pragola di Pati, Pangiri di Demak, Pangeran Timur alias Panembahan Madiun di Madiun, dan sebagainya. Tidak ada kota dan kerajaan baru di wilayah ini, jadi jumlah total kekuasaan pada masa itu bisa dibilang tetap.

Dalam satu perusahaan, hal yang sama pun berlaku. Jika ada dua orang wakil pemimpin redaksi (wapemred) maka mereka harus berbagi kekuasaan. Jika wapemred adalah jabatan baru maka jabatan baru itu akan mengurangi sebagian kekuasaan pemred (yang ada di atasnya) dan sebagian kekuasaan redpel (yang ada di bawahnya).

Jika muncul jabatan baru deputi direktur, maka dia akan mengurangi kekuasaan direktur sekaligus mengurangi kekuasaan general manager atau vice president atau senior vice president yang persis berada di bawahnya.

***
Kekuasaan dapat diciptakan dengan membuat sistem baru. Jika kita bisa membangun sebuah kerajaan baru di tempat yang sebelumnya tidak berpenduduk, maka kita bisa menciptakan kekuasaan.

Sistem baru itu bisa berupa negara, bisa berupa perusahaan baru. Bahkan, sistem itu juga bisa berupa sebuah ‘kerajaan virtual’. Sebuah sistem virtual yang sama sekali baru di dalam sebuah sistem yang sudah ada. Seperti ‘negara di dalam negara’.

Orang-orang yang sangat kreatif mampu menciptakan hal-hal baru yang belum pernah digarap orang lain di dalam sistem existing. Menggarap hal-hal baru, menciptakan ladang baru, berarti berkreasi membuat kekuasaan baru. Dan agar tidak mengganggu kesetimbangan kekuasaan di sekitarnya, dia harus membatasi sistemnya secara virtual. Pembatasan itu juga untuk mengamankan ‘sistemnya’ agar tidak terganggu oleh keterbatasan yang ada pada sistem existing.

Wallahu a’lam

13 Oktober 2008

Antara travel dan bus

Sopir bus yang melayani orang kecil umumnya lebih ‘berkuasa’ dibandingkan dengan sopir travel yang melayani orang-orang mapan. Ini mengikuti 'hukum kekekalan kekuasaan'.

***
Jumat malam dan Senin pagi saya naik travel dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Naik travel ini merupakan pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir. Selama tiga bulan terakhir itu saya lebih sering membawa mobil atau naik bus, tidak naik travel.

Ketika menembus tol dalam kota di tengah jalan yang padat dengan mengambil jalur kanan saya seperti mengalami déjà vu. Perasaan saya ketika itu persis seperti perasaan pada Februari 2008 ketika Sekar dirawat di RS Advent Bandung karena demam berdarah.

Ketika itu setiap hari selama sepekan saya pulang-balik Jakarta-Bandung. Pulang kantor naik travel terakhir ke Bandung, lalu paginya kembali ke Jakarta naik travel juga. Beruntung bahwa posisi RS Advent itu di jalan Cipaganti sehingga saya bisa naik dan turun travel dari depan kantor sampai depan rumah sakit.

***
Dalam perjalanan itu saya mengamati bahwa kekuasaan sopir travel agaknya tidak sebesar kekuasaan sopir bus. Sopir travel harus melayani orang-orang mapan yang masing-masing punya keinginan untuk berhenti/ turun pada posisi yang berbeda-beda.

Adapun sopir bus umumnya punya kekuasaan yang relatif besar. Penumpang tidak bisa sembarangan mengajukan permintaan kepada sopir bus. Mereka juga seringkali melanggar aturan merokok tanpa ada yang bisa mengingatkan.

Kekuasaan barangkali mirip dengan energi. Pola distribusi dan penumpukan kekuasaan itu agaknya mengikuti ‘hukum kekekalan kekuasaan’.

Kekuasaan banyak mengumpul pada diri sopir bus sehingga kekuasaan penumpang mengecil. Sebaliknya, pada travel, kekuasaan terdistribusi kepada para penumpang sehingga otoritas sopir mengecil.

Wallahu a’lam

10 Oktober 2008

Bursa & para pemilik kebun

Bursa saham berjatuhan di seluruh dunia. Banyak pemodal nan kaya yang kehilangan nilai uang atau nilai perusahaannya dalam jumlah besar hanya dalam hitungan hari. Di Indonesia pun nilai kapitalisasi saham anjlok triliunan rupiah dalam sekejap.

Kejatuhan itu mengingatkan saya akan cerita mengenai para pemilik kebun dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 17-33. Tentu saja saya tidak berani menghakimi orang-orang yang mengalami kerugian besar secara mendadak karena krisis itu telah melakukan kesalahan besar sebagaimana para pemilik kebun dalam Al-Quran itu. Saya hanya menggarisbawahi betapa Allah bisa dengan banyak cara mengambil kekayaan manusia atau menambahkannya sekehendak DiriNya.

Dalam kisah pemilik kebun itu juga disebutkan mengenai orang-orang yang tidak terlalu lalim (dalam hal ini disebut mengenai ‘orang yang paling baik akalnya di antara mereka’)

Berikut ini terjemahan ayat-ayat itu:

Sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji mereka sebagaimana Kami (Allah) telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka akan memetiknya di pagi hari. Dan mereka tidak (mau) menyisihkan (untuk orang miskin).
Maka meliputi malapetaka dari Rab (Tuhan) mereka ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah ia (tanaman itu) seperti sudah dipotong.

Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari. "Pergilah di waktu pagi ke kebun kamu jika kamu hendak memetiknya.” Maka pergilah mereka sambil berbisik-bisikan. "Bahwa janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalamnya (kebun kamu) pada hari ini.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari (dengan niat) menghalangi (orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).

Maka tatkala mereka melihatnya, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat.” “Bahkan kita adalah orang dihalangi (daripada hasilnya)."

Berkatalah seorang yang baik fikirannya antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih?" Mereka mengucapkan: "Subhana Rabbina (Maha Suci Tuhan kami)! Sesungguhnya kami adalah orang yang zalim.”
Lalu sebagian mereka menghadapi sebahagian yang lain, saling menyalahkan.

Mereka berkata: "Aduhai celakalah kita! Sesungguhnya kita ini adalah orang yang melampaui batas.” “Mudah-mudahan Rab (Tuhan) kita memberikan ganti kepada kita dengan yang lebih baik daripada itu. Sesungguhnya kita, kepada Rab (Tuhan) kita mengharapkan.” Seperti itulah azab. Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.

08 Oktober 2008

Tidak kompatibel dengan model lama?


Lebih dari tiga tahun saya mengenal Nokia 6820. Saya menggunakan pertama kali berupa unit bekas yang saya beli di Roxi dengan harga sekitar Rp700.000. Sebelum menggunakan Nokia 6820 itu saya sudah menggunakan Nokia 6800 yang memiliki desain sama dengan ukuran lebih besar.

Ponsel 6800 dan 6820 memiliki desain yang unik. Dalam keadaan terlipat, bentuknya tidak berbeda dengan ponsel candy bar lainnya. Tetapi jika lipatannya dibuka, akan muncul keyboard qwerty ukuran kecil. Separuh berada di sisi kiri layer dan separuhnya lagi berada pada sisi kanan.

Ponsel Nokia 6820 sedikit lebih maju dibandingkan dengan 6800 karena sudah dilengkapi dengan Bluetooth, kamera CIF, koneksi EDGE. Ini fitur yang termasuk high end pada zamannya (2004-2005). Sistem operasinya adalah Nokia Seri 40 yang lebih tahan virus dibandingkan Symbian Nokia Seri 60.

Nokia 6820 yang sudah lama menemaniku tersebut rusak sejak bebera bulan lalu karena suatu kecelakaan. Kemarin saya sempat berjalan-jalan di Ambassador dan melihat ada yang menjual 6820. Itu satu-satunya Nokia 6820 yang saya temukan di pertokoan seputar mal Ambasador. Fisiknya lebih mulus dibandingkan 6820 punyaku yang sudah rusak.

Setelah melalui tawar menawar, saya beli unit itu Rp475.000.

Hal paling menarik yang membuat saya sulit melepaskan diri dari Nokia 6820 adalah desainnya yang unik, fitur keyboard qwerty. Satu lagi adalah tersedianya koneksi Bluetooth dengan system operasi lama yang memungkinkan unit ini saya pairing dengan Ipaq 4350 menggunakan aplikasi Running Voice GSM. Aplikasi ini memungkinkan saya menyedot dan mengirimkan SMS dari Ipaq (menjadikan Nokia 6820 sebagai modem SMS), serta mengkonversi arsip folder SMS ke dalam file TXT sehingga mudah disimpan dan dibaca di komputer.

***
Sebelum Nokia 6820 yang lama rusak, saya sudah sempat membeli baterai cadangan. Jadi saya punya dua unit baterai yang menganggur. Ketika membeli 6820 kedua ini, saya berharap dua buah baterai yang menganggur itu bisa saya daya gunakan. Saya akan punya tiga unit baterai untuk satu buah ponsel. Kalau saya melakukan perjalanan jauh hingga tiga atau lima hari pun, saya tidak terlalu khawatir mengenai proses charging.

Eh, ketika mencoba memasukkannya ke dalam Nokia 6820 yang baru, beterai itu susah masuk. Ternyata dua buah baterai model lama itu ukurannya lebih tebal. Saya cek, memang benar tipenya berbeda meskipun voltasenya sama. Baterai lama model 5C, baterai pada 6820 yang baru model 4C.

Saya paksa pasang dan charging juga tetap diam saja, tidak ada tanda kehidupan. Heran banget, bagaimana mungkin ponsel dengan tipe sama dilengkapi baterai yang berbeda?

Apakah Nokia sering melakukan hal yang sama untuk unit-unit buatannya? Entahlah…

06 Oktober 2008

Berwisata di pinggir laut


Sekitar 10 km dari rumah orangtuaku di Kutoarjo ada pantai yang hanya ramai selama Syawalan. Syawalan adalah istilah untuk keramaian pada pekan pertama bulan Syawal. Pantai itu disebut pantai Ketawang karena berada di desa Ketawangrejo.

Sewaktu Lebaran pecan lalu, kami (saya beserta anak, istri, adik, beberapa keponakan) menyempatkan diri menengok Pantai Ketawang.

Sebagaimana kebanyakan pantai di bagian selatan Pulau Jawa yang selalu dihantam ombak besar, Pantai Ketawang diliputi oleh hamparan pasir dalam ukuran yang besar (atau luas).

Jalan aspal terdekat berjarak hampir 2 km dari bibir pantai. Selanjutnya adalah jalan tanah yang bergelombang dan berlapis pasir. Semakin mendekati pantai semakin banyak pasirnya. Jalan seperti ini rawan selip terutama pada sepeda motor yang rodanya tipis. Mobil yang berani mengambil posisi terlalu dekat dengan pantai juga rawan kena selip, yaitu roda berputar tetapi mobil tidak bergerak maju maupun mundur.

***
Karena sudah lama tidak berkunjung ke pantai, saya lupa mempersiapkan beberapa hal yang seharusnya disiapkan atau dibawa ketika serombongan orang berwisata ke pantai yang terik, berpasir, berombak besar seperti Ketawang ini.

Saya coba tuliskan beberapa hal yang mestinya disiapkan untuk wisata ke daerah semacam ini, sekadar sebagai pengingat:
1. Siapkan tali (rafia) untuk membawa sandal-sandal. Di pantai berpasir sangat tidak nyaman berjalan memakai sandal. Paling enak berjalan tanpa alas kaki. Akan tetapi, menenteng-nenteng sandal (apalagi dalam jumlah banyak dan mengajak pula anak-anak yang belum bisa membawa sandal sendiri) bisa merepotkan. Pilihan terbaik adalah mengikat sandal-sandal itu dengan tali, lalu satu orang bertugas menyeretnya.
2. Bawa/pakai topi. Untuk orang yang sensitif dengan urusan kulit, ada baiknya memakai sunblock dan semacamnya.
3. Handuk serta pakaian ganti
4. Tas plastik untuk menampung sampah-sampah sisa makanan atau untuk melindungi barang-barang lainnya.
5. Kamera
6. Sebisa mungkin membawa kendaraan dengan ground clearance tinggi, ban jangan sampai gundul.
7. Hati-hati dengan barang elektronik ketika dekat air. Ketika bermain di pantai kita selalu tergoda untuk berbasah-basah. Dan ombak pantai selatan seringkali tidak bisa diduga. Ombak dapat sewaktu-waktu membesar sehingga jangkauan air naik ke darat cukup jauh karena bibir pantai berpasir sangat landai. Dalam keadaan seperti ini alat-alat elektronik yang berada di saku dapat dengan mudah terkena air.

05 Oktober 2008

Pintu 'neraka' dibuka akhir Ramadhan


Pada akhir Ramadhan dan awal Syawal, pintu ‘neraka’ dibuka lebar-lebar bagi para pemudik.

Bagi pengendara mobil, ‘neraka’ itu berada di Simpang Jomin (Cikampek), Kanci (Cirebon), Nagrek-Ciawi-Malangbong (Jawa Barat), serta beberapa pasar tumpah baik di pantura maupun jalur selatan Jawa. Bagi pengendara kapal, ‘neraka’ ada di pelabuhan (dan mungkin juga di dalam kapal). Bagi pengendara kereta api noneksekutif, ‘neraka’ berada di stasiun dan sepanjang perjalanan yang panas, penuh berdesakan, serta sering telat itu.

Coba saja baca pesan-pesan yang saya terima dalam lebaran kali ini:
"Kami istirahat di sumedang utk lanjut pagi ini ke depok. Kemacetan total kemarin di jalur purwokerto ke prupuk. Kami memutar ke arah selatan dan kembali terjebak macet dari menjelang ciawi sampai malangbong. Kami ambil arah wado dan istirahat di sumedang malam."

"Temen istri berangkat kemarin pagi ke kebumen, pagi ini baru nyampe purwokerto."

***
Lebaran kali ini adalah Lebaran ketiga saya mudik membawa kendaraan pribadi. Perjalanan mudik kali ini, alhamdulillah tidak seberat perjalanan mudik tahun lalu.

Kali ini saya berangkat ke Bandung pada Sabtu siang. Saya pilih siang hari, sekitar jam satu, untuk menghindari kemacetan. Saya yakin jarang orang memilih waktu keberangkatan pada tengah hari saat sedang puasa. Alhamdulillah lancar.

Besoknya, Ahad pagi, saya bersama anak, istri, dan adik, berangkat sepagi mungkin dari Bandung ke arah timur. Kami berangkat sehabis sholat subuh. Berhubung saya tinggal di sisi barat Bandung (dekat tol Pasteur), butuh waktu hampir satu jam untuk mencapai Cileunyi.

Melihat ramainya arus di tol Cileunyi ke arah timur, saya langsung pesimistis. Pasti jalur Nagrek tidak sanggup menampung arus kendaraan sederas itu.

Benar saja, menjelang Nagrek, ternyata sudah macet. Asumsi saya, pagi-pagi itu sisa-sisa laskar macet* dari Jakarta-Cikampek belum tiba di Bandung, jadi sebagian besar pemudik yang lewat Nagrek pagi-pagi itu berasal dari Bandung dan sekitarnya.

Saya dengarkan di radio, semakin siang antrean di gerbang tol Cileunyi semakin panjang. Berarti ‘neraka’ kemacetan siang hari itu di Nagrek pasti sangat gawat. Mungkin segawat tahun lalu, ketika saya harus menghabiskan waktu sekitar lima jam untuk menempuh Cileunyi-Tasikmalaya.

Saya dengar dan baca berita, ‘neraka’ kemacetan di sekitar Kanci, Cirebon, lebih dahsyat dan lebih lama. Jumat malam kemacetan sudah terjadi, dan Minggu pagi saya dengar masih juga macet. Senin pagi di Purwokerto saya mendapat SMS, ada orang berangkat dari Jakarta Ahad pagi dan baru sampai Purwokerto pada Senin pagi.


Kami melanjutnya perjalanan Purwokerto-Kutoarjo pada Senin siang, mungkin bersamaan dengan sisa-sisa laskar macet yang kalah perang di pantura.

***

Kami kembali ke Bandung dari Kutoarjo pada Jumat. Terpaksa lewat Nagrek. Ini menjali perjalanan balik pertama saya lewat Nagrek. Selama ini saya menghindari melewati Nagrek dari arah timur karena tanjakannya curam dan hampir pasti macet.

Selama di luar Jakarta saya terus memantau berita mengenai arus lalu lintas. Dan saya membaca Nagrek selalu macet baik dari arah barat maupun dari arah timur. Bahkan pada hari H dan hari H+1.

Sampai di Malangbong saya membaca tulisan ‘Nagrek Macet, ke Bandung Silakan Lewat Wado’ tetapi saya jalan terus. Ciawi dan pasar Lewo (yang biasanya macet) berlalu dengan aman. Padat tetapi tetap bisa berjalan.

Lalu kami berhenti untuk sholat dan makan siang. Saat itu sekitar jam dua siang. Kami berhenti sekitar 4 km sebelum Nagrek (berdasarkan pathok tanda jarak yang ada di pinggir jalan).

Ternyata, selepas makan itulah kembali dibukanya pintu ‘neraka’. Padat sekali. Padat merayap**. Nanjak. Banyak pula kendaraan mogok di sekitar tanjakan itu.

Saya membayangkan alangkah malangnya yang terjebak di daerah ini pada malam hari nan gelap, apalagi kalau ditambah hujan pula. Wong macet siang-siang saja sudah sangat melelahkan dan menyebalkan.

***

Dalam kemacetan panjang di tengah perjalanan yang juga panjang itu ada banyak ujian.

Ada ujian kesabaran menghadapi orang-orang yang menyerobot ambil kanan di tengah kemacetan (sebal karena kita sudah tertib antre tetapi dipotong, bahkan juga bias saja penyerobot itu menyebabkan kemacetan parah pada dua arah kalau bertemu dengan kemacetan dari arah sebaliknya).

Ada ujian menghadapi panas dan tidak nyamannya jalan, menahan kebutuhan untuk buang air, makan, dan lain-lain. Apa-apa harus antre dengan ribuan pemudik lain, susah parkir di restoran dan tempat istirahat. Ada pula kesabaran menghadapi halangan pada kendaraan baik dari ban, mesin, AC, maupun lainnya.

Dibutuhkan banyak kesabaran menghadapi ‘neraka’ mudik itu.

Saya berharap para penguasa negara yang memiliki otoritas untuk membangun dan mengatur jalan itu segera mengurangi penderitaan para pemudik. Perlebar jalan sempit, buat jalan layang di atas pasar tumpah, atur persimpangan dengan benar. Manfaatkan teknologi terbaru, gunakan sistem informasi yang andal dan valid, buat simulasi yang akurat, dan sebagainya.

Biarkan pemudik itu menikmati ‘surga’ hingga Syawal (Bukankah pintu surga tanpa tanda kutip sudah dibuka lebar-lebar sejak awal Ramadhan? Jangan ditutup dengan ‘neraka’ dunia berupa kemacetan di mana-mana itu).

Wallahu alam


*) Diplesetkan dari Sisa-sisa Laskar Pajang karya S.H. Mintardja
**) Sebenarnya rayap itu jalannya cepat. Mungkin lebih tepat disebut menyiput daripada merayap.