25 Juli 2010

Legenda Candra Kirana dan Sekar Taji


Jika Oidipus adalah kisah tentang orang yang berupaya menghindari "takdir" buruk dan gagal, maka kisah Candra Kirana versi Ajib Rosidi adalah kisah tentang orang yang berupaya menghindari "takdir" baik (yang disangkanya buruk) dan jatuh dalam nasib buruk. Dalam pengetahuan yang penuh keterbatasan, mungkin manusia memang perlu mempertahankan prasangka baik dan kerelaan berkorban menghadapi "takdir" yang belum diketahui baik buruknya.

******
Sambil menunggu anak pulang dari sekolah pada Jumat lalu saya sempat mampir ke toko buku. Mata saya tertumbuk pada buku berjudul Candra Kirana, sebuah saduran atas cerita panji, karya Ajib Rosidi. Sebenarnya saya sudah pernah melihat dan membuka-buka buku ini sekian tahun lalu di perpustakaan (mungkin perpus ITB, mungkin perpus Salman), namun ketika itu saya tidak tertarik membacanya. Alasannya berbau SARA, Candra Kirana ini kan cerita Panji dari Jawa Timur, kok yang nulis Ajib Rosidi yang sastrawan Sunda?

Namun kini suasana berbeda. Saya tertarik membeli buku ini karena sekitar sepekan yang lalu, Kang Ery Djunaedy sempat memforward sebuah pertanyaan mengenai cerita Sekar Taji (yang dalam cerita rakyat adalah nama lain dari Candra Kirana) dan saya merasa tidak bisa menjawab dengan baik.

Alasan lain, kami sempat mempertimbangkan kata "kirana", yang diambil dari cerita Candra Kirana alias Sekar Taji, untuk calon nama anak kedua kami yang ketika itu belum jelas jenis kelaminnya. Secara harfiah "kirana" berarti cantik, jelita, atau bercahaya. Dua anak perempuan, satunya pakai nama Sekar (Taji), lalu adiknya (Candra) Kirana, alangkah pasnya jika demikian.

Maka begitulah, buku Candra Kirana karya Ajib Rosidi setebal 246 halaman seharga Rp39.000 (sebelum diskon) ini saya beli. Saya baca sambil nunggu Sekar pulang sekolah pada jam tiga sore.


***
Tokoh utama dari cerita versi Ajib Rosidi adalah Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota kerajaan Jenggala. Tokoh wanita yang banyak diceritakan adalah Sekar Taji, putri raja Kediri, serta Anggraeni, istri pertama Panji Kuda Waneng Pati.

Jenggala dan Kediri adalah pecahan dari kerajaan Kahuripan. Kahuripan dipecah menjadi dua oleh Airlangga karena dia memiliki dua anak lelaki yang sama-sama punya hasrat kuat terhadap kekuasaan. Negara dibagi dua menurut rumus yang dibuat oleh Mpu Baradha. Satu bagian disebut Jenggala atau Daha, satunya lagi disebut Kediri. Cerita Panji berlatar belakang dua negara ini.

Ayah Kuda Waneng Pati dan ayah Sekar Taji sepakat untuk menikahkan keduanya guna menyatukan kembali negeri yang dibelah oleh kakek mereka. Kesepakatan itu dibuat sejak Kuda Waneng Pati dan Sekar Taji masih kecil.

Kuda Waneng Pati (artinya kuda yang berani menghadapi mati) tumbuh menjadi anak yang suka mengembara. Berguru dari satu padepokan ke padepokan lain, meniru kakeknya, Airlangga. Ndilalah, dalam salah satu padepokan, dia bertemu dengan Dewi Anggraeni. Dan terpikatlah dia pada gadis gunung itu.

"Adakah yang lebih indah dalam hidup ini daripada mereguk keindahan alami sepanjang hayat dikandung badan? Adakah yang lebih bahagia daripada duduk berdampingan dengan bunga jelita itu menyusuri sisa usia," begitulah Ajib Rosidi membuka halaman pertama buku dengan judul bab Dewi Anggraeni.

Kuda Waneng Pati menikahi Anggraeni dengan diam-diam, tanpa restu orangtuanya yang telah menjalin kesepakatan dengan raja Kediri. Raja Jenggala marah dengan tindakan Kuda Waneng Pati. Raja Kediri pun marah terhadap Raja Jenggala karena dianggap inkar janji.

Lalu mulai muncullah prasangka dan gugatan Kuda Waneng Pati terhadap "takdir"-nya. Mengapa dia mesti menjadi putra mahkota? Mengapa dia mesti berkorban untuk menyatukan dua negara? Mengapa dia yang harus disalahkan bila dua negara berselisih dan perang karena merasa ada yang ingkar janji? Bukankah itu kesalahan Airlangga yang dulu membagi negara?Bukankah dirinya punya hak untuk bahagia dengan jalan hidupnya sendiri? Bukankah dia berhak untuk memilih Anggraeni daripada Sekar Taji?

Sebenarnya Raja Jenggala dan Kediri pun sepakat untuk membiarkan Kuda Waneng Pati menikah dengan Anggraeni asalkan dia tetap menikah dengan Sekar Taji dan menjadikannya permaisuri. Namun, Kuda Waneng Pati yang sudah punya prasangka dan gugatan itu tetap menolak. Dia ingin mempertahankan hanya Anggraeni semata, sebagai satu-satunya.

Lalu bermainlah kekuasaan. Raja Jenggala mengatur siasat untuk membunuh Anggraeni. Kuda Waneng Pati lalu menjadi gila. Dalam keadaan hilang ingatan, hanya ditemani seorang pengiring setia, dia naik ke perahu. Dan perahu itu dilanda badai. Kuda Waneng Pati lenyap dari Jenggala, tetapi jenasahnya tidak pernah ditemukan. Datanglah masa-masa suram.

Raja Jenggala merasa kehilangan semangat hidup, lalu meninggalkan kekuasaan, pergi menyepi. Penggantinya yang tidak pernah menemukan jasad Kuda Waneng Pati tetap berpegang pada perjanjian.

Kemudian timbullah masalah di Kediri. Dan,seperti dalam cerita wayang, muncullah seorang ksatria hebat nan sakti yang menuntaskan segala perkara. Dia tak lain adalah Kuda Waneng Pati yang kini bergelar Jayeng Sari. Jayeng Sari berhasil menuntaskan masalah yang melanda Kediri dan menyelesaikan sengketa Kediri dengan Jenggala.

Kuda Waneng Pati yang sudah sembuh dari gila dinikahkan dengan Sekar Taji yang ternyata sangat mirip dengan Anggraeni. Sekar Taji dan Anggraeni sama-sama disebut sebagai Candra Kirana.

Kuda Waneng Pati berpikir, andai dulu tidak menolak, maka dia bisa mendapatkan rembulan di kanan dan matahari di kiri (serakah ya?? hehehe), dan tak perlulah hiruk-pikuk segala kerepotan yang melelahkan dan memakan banyak korban itu.

***
Cerita Candra Kirana versi Ajib Rosidi ini berbeda dengan cerita yang sering saya temui sebelumnya dalam cerita bertutur baik melalui kethoprak, sandiwara radio, majalah-majalah bahasa Jawa, maupun buku legenda cerita rakyat yang beredar.

Dalam cerita bertutur, tokoh pria dalam cerita ini bernama Panji Inu Kertapati dan populer disebut sebagai Panji Asmarabangun. Adapun tokoh wanitanya bernama Sekar Taji yang diberi julukan Candra Kirana karena konon kecantikannya seperti rembulan. Tidak ada Anggraeni, apalagi disebut sebagai istri tokoh utama pria.

Cerita Sekar Taji saling kait dengan cerita tentang Keong Emas serta cerita Ande-Ande Lumut. Semuanya tentang penyamaran dan kesetiaan dua tokoh itu. Lurus tidak ada gangguan internal seperti dalam cerita versi Ajib Rosidi. Konon nama Panji Inu Kertapati ini dikenal hingga Thailand dan Vietnam.

Cerita bertutur memang umumnya sederhana, serba lurus, dan mudah dicerna oleh anak-anak. Adapun cerita versi Ajip Rosidi ini lebih kompleks, mengandung banyak dialog tentang kekuasaan dan kehidupan, serta ditujukan untuk pembaca dewasa (atau minimal remaja).

Jika Oidipus yang saya review pekan lalu adalah kisah tentang orang yang berupaya menghindari "takdir" buruk dan gagal, maka kisah Candra Kirana versi Ajib Rosidi adalah kisah tentang orang yang berupaya menghindari "takdir" baik yang disangkanya buruk, lalu jatuh dalam nasib buruk (meski ujung akhirnya happy alias tidak buruk-buruk amat, saya menangkap ini sekadar untuk membuktikan bahwa persangkaan awal si tokoh adalah keliru dan terlalu terburu-buru).

Dalam pengetahuan yang penuh keterbatasan, manusia memang seringkali harus mempertahankan prasangka baik dan kerelaan berkorban dalam menghadapi "takdir" yang belum diketahui baik buruknya.

Wallahu alam. (Setyardi Widodo)

20 Juli 2010

“Takdir” dan nasib malang Oidipus


Ahad lalu, sewaktu mencari perlengkapan sekolah untuk Sekar yang akan masuk SD, saya menemukan buku menarik: Oidipus Sang Raja karya Sopokles, yang diterjemahkan oleh Rendra. Ini buku terbitan Pustaka Jaya yang sejak lama dikenal sebagai penerbit buku-buku sastra kelas dunia. Banyak buku lama yang diterbitkan kembali oleh Pustaka Jaya. Buku Oidipus ini salah satunya. Buku ini pernah diterbitkan pada 1976 lalu dicetak ulang pada tahun 2009.

Satu tahun belakangan ini saya tertarik dengan mitos-mitos Yunani, jadi buku Oidipus ini langsung menggoda mata. Apalagi diterjemahkan oleh Rendra. Dan sayup-sayup saya seperti ingat ada istilah oidipus complex (atau oedipus complex) kendati saya tidak tahu persis apa artinya. Maka saya belilah buku seharga Rp35.000 itu.

***

Oidipus atau Oedipus adalah sosok yang malang. Sewaktu lahir, dia dibuang oleh orangtuanya. Alasannya, ayahnya yang Raja Thebes itu mendengar ramalan (nujuman atau tujuman) yang menyatakan bahwa dirinya akan dibunuh oleh anaknya dan istrinya akan dikawini oleh anaknya itu.

Oidipus yang masih bayi diberikan kepada penggembala ternak dalam keadaan kaki terpaku (atau terikat dengan ikatan yang dipaku). Namun si gembala ternyata tidak membunuh sang bayi. Dia justru membuka paku yang mengikat sang bayi dan memberikan bayi itu kepada gembala lain di perbatasan negara. Asumsinya, toh bayi ini sudah dibawa begitu jauh dari Thebes, tak mungkin dia akan kembali ke Thebes untuk memenuhi ramalan yang dikhawatirkan itu.

Ternyata gembala dari negeri lain memberikan bayi itu kepada rajanya yang mandul, Raja Corintha. Oidipus, yang konon artinya berkaki cacat—sebagai dampak paku ketika dia dibuang-- dipelihara sebagai anaknya. Dia dianggap sebagai anak dan menganggap diri sebagai anak kandung Raja Corintha.

Sampai suatu ketika dia diejek sebagai bukan anak Raja. Dia marah sekali, lalu mengadu ke Dewa. Dia justru mendapat ramalan alias nujuman alias tujuman yang menggetarkan: Oidipus akan membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibu kandungnya, serta akan memiliki anak yang mengerikan.

Oidipus pun ketakutan dengan sabda Dewa itu. Dia melarikan diri dari Corintha untuk menghindari “takdir” buruknya: membunuh ayah dan menikahi ibu kandungnya. Dia menganggap ayahnya adalah Raja Corintha sehingga dia pergi sejauh-jauhnya dari sana. Dan, sialnya, dia justru pergi ke Thebes, tempat ayah dan ibu kandungnya berada tanpa dia ketahui.

Dalam perjalanan dia berjumpa dengan seorang tua dengan lima pengiring yang tak lain adalah Laius, Raja Thebes. Oidipus tidak tahu bahwa orang yang ditemuinya adalah Raja Thebes. Mereka berselisih dan Oidipus membunuh sang raja beserta pengiringnya. Hanya satu pengiringnya yang lolos yaitu si gembala yang kebetulan adalah gembala yang menyelamatkan bayi Oidipus sekian tahun sebelumnya.

Ketika itu Thebes sedang ditimpa masalah terkait dengan Sphink. Oidipus datang dan mengalahkan Sphink. Dia berhasil membebaskan Thebes dari ancaman Sphink. Beberapa waktu sebelumnya negeri itu kehilangan rajanya karena terbunuh di jalan oleh entah siapa, maka Oidipus sang pahlawan pun dinobatkan sebagai Raja Thebes menggantikan Laius. Dia lalu menikahi Jocasta, istri Laius, yang sebenarnya adalah ibunya sendiri.

Gembala yang selamat, ketika kembali ke istana, menemukan bahwa Oidipus sudah menjadi raja. Jadi dia melaporkan bahwa Laius dibunuh oleh sekawanan perampok, lalu dia minta diri untuk hidup menyepi jauh dari pusat kota, menjauh dari Ibukota Thebes.

Maka demikianlah. Laius yang diramal akan dibunuh oleh anaknya sudah berupaya sedemikian rupa mengindarkan diri, namun gagal. Jocasta, istri Laius yang membuang Oidipus, juga telah melakukan upaya semaksimal mungkin, namun tidak berhasil. Adapun Oidipus, yang juga menghindarkan diri dari ramalan itu, ternyata malah mengalami nasib yang jauh lebih tragis daripada dua orangtuanya.

***
Kisah dalam buku Oidipus Sang Raja ini dimulai ketika Oidipus sudah menjadi raja. Dia sudah menikah dengan Jocasta, namun tidak banyak tahu tentang raja sebelumnya, Lauis. Thebes terserang bencana. Oidipus mengutus kerabatnya untuk mencari sabda Dewa di Delphi.

Lalu datanglah petunjuk agar Thebes mengusut siapa pembunuh raja terdahulu, Laius. Karena tidak sadar akan siapa dirinya, Oidipus dengan lantang mengumumkan hukuman sangat berat bagi siapa yang terbukti membunuh raja terdahulu. Dia bersumpah untuk menegakkan hukum itu.

Lalu dimulailah pengusutan. Pertama-tama didatangkan pendeta buta yang ternama. Dia dianggap tahu siapa yang membunuh raja terdahulu. Namun pendeta buta itu bungkam. Katanya, kalau rahasia itu dibuka, kehancuranlah yang terjadi, bencanalah yang akan menimpa Oidipus.

Namun Oidipus justru menganggap pendeta buta itu berkomplot untuk menjatuhkan dirinya. Oleh sang pendeta dia dikutuk untuk menjadi buta seperti dirinya. Oidipus juga menuduh adik iparnya berkomplot. Dialog antara Oidipus dengan adik iparnya, Creon, soal pembagian dan minat terhadap kekuasaan sungguhlah menarik.

Kemudian satu per satu fakta terkuak. Dimulai ketika Jocasta bercerita tentang lokasi kematian Laius yangternyata cocok dengan lokasi Oidipus membunuh seorang tua dan beberapa pengiringnya.

Datanglah utusan dari Corintha yang mengabarkan kematian Raja Corintha dan menjelaskan bahwa Oidipus bukanlah anak raja Corintha. Utusan itulah yang menerima sang bayi Oidipus dari gembala di perbatasan dua negeri.

Terakhir, dipanggillah sang gembala yang juga bekas budak istana Laius. Dialah yang membuka semua rahasia mengenai siapa Oidipus, bagaimana dia dibuang, dipaku, diselamatkan, lalu diberikan kepada orang Corintha.

***
Maka terbukalah fakta-fakta yang sangat menyakitkan. Oidipus yang melarikan diri dari Corintha untuk menghidar dari "takdir” membunuh ayahnya, ternyata justru datang ke Thebes dan menjadi pembunuh Laius.

Dia juga menghindar dari Corintha agar tidak menikahi ibunya, ternyata akhirnya juga menikah dengan Jocasta dan menghasilkan anak-anak yang sekaligus adalah adik-adiknya.

Jocasta yang sangat malu akhirnya bunuh diri. Oidipus yang merasa sangat terhina, sial, celaka, tak dikehendaki kehadirannya di dunia, meminta adik iparnya, yang pernah dia tuduh berkomplot menjatuhkannya, agar membuangnya ke tempat di mana dia dulu hendak dibuang dan dibunuh oleh orang tuanya.

Oidipus merasa tidak sanggup melihat dunia, jadi menusuk kedua matanya hingga buta. Buta seperti pendeta yang dihinanya. Namun dia tak lupa menitipkan anak-anaknya kepada Creon. Oidipus sendiri tidak sanggup menatap anak-anaknya karena anak itu lahir dari rahim ibu kandungnya.

Mengapa tidak bunuh diri saja? Oidipus merasa kalau mati dia akan bertemu dengan arwah ayah ibunya di alam lain. Dia tidak sanggup. Jadi dia memilih hukuman yang lebih berat dari mati. Buta, diasingkan, tanpa ada orang yang berbicara padanya. Bahkan dia pun ingin membuat telinganya tuli, kalau bisa.

Begitulah nasib tragis Oidipus. Orang yang berusaha menghindari "takdir" buruk namun tidak kuasa. Nasib buruknya sudah ditentukan, dan tak bisa dihindari. Duhai alangkah malang kehidupannya.

***
Membaca soal takdir buruk yang diketahui sebelum terjadi itu mengingatkan saya akan kisah Khidr. Khidr, dalam perjalanan yang diikuti Musa, membunuh anak kecil yang, berdasarkan pengetahuan yang diberikan Allah kepada Khidr, diketahui akan menyesatkan orang tuanya kelak bila dia dibiarkan hidup.

Bukankah itu seperti menghindari “takdir” dan ternyata berhasil?

Hal lain yang menarik dari Oidipus adalah istilah oedipus complex yang ternyata digunakan oleh Sigmund Freud untuk menyebut orang yang terobsesi akan ibunya. Kalau merujuk pada kisah karya Sopokles yang diterjemahkan Rendra ini, pemaknaan oedipus compex semacam itu kok jadi kurang pas. Yang seperti itu mungkin lebih tepat disebut sangkuriang complex.

Menarik sekali membaca terjemahan Rendra. Naskah drama itu tetap puitis.
Misalnya, begini kata Oidipus dalam gundahnya:
Aku setuju. Demikianlah hendaknya.
Namun begitu, panggillah si gembala
Buatlah cepat dan jangan tertunda
Sekarang, marilah masuk istana


Dan beginilah jawaban Jocasta
Baiklah, tak akan tertunda
Sekarang marilah masuk istana
Saya akan berbuat segalanya
Asal bisa menghibur Paduka


Dalam buku ini, kita bisa menemukan banyak kata yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya Delphi, Oracle, Apollo, Oedipus (complex).

Wallahu alam. (Setyardi Widodo)

*) Lama sekali rasanya saya tidak menulis khusus untuk blog. Nyaris dua bulan vakum. Kalau boleh beralasan, penyebabnya adalah kesehatan yang menurun dan beban pekerjaan yang meningkat. Saya sempat didera batuk, flu, masuk angin, serta sakit mata. Otomatis kegiatan membaca buku nyaris terhenti, kegiatan menulis juga terganggu. (Memang paling gampang cari pembenaran, hehehe)

06 Juli 2010

Meramal masa depan


Tidak banyak yang tahu bahwa Nokia, perusahaan yang produk ponselnya ada di seluruh penjuru dunia, semula adalah perusahaan pembuat sepatu boot karet.

Perusahaan Finlandia itu didirikan sejak 1865, atau 145 tahun yang lalu. Nokia pernah melakukan investasi besar-besaran dalam bidang industri kertas dan bubur kertas. Pada dekade 1920-an, perusahaan itu meluaskan bisnis ke bidang kabel dan karet, lalu pada dekade 1950-an mulai merambah ke sektor elektronika.

Pada 1970-an, perusahaan itu mulai membuat telepon seluler. Namun langkah paling drastis baru diambil oleh Jorma Ollila yang menjabat sebagai CEO pada dekade 1980-an.
Saat itu Ollila dihadapkan pada masalah rumit karena sebagian besar pelanggannya, yaitu Uni Soviet, terancam bangkrut. Maka Ollila mengambil langkah perubahan drastis dengan memfokuskan bisnis pada sektor telekomunikasi seluler. Nokia melepaskan semua bisnis yang lain dan menggantungkan diri pada bisnis handset seluler yang berbasiskan mikroprosesor.

Langkah besar Ollila ini terbukti berhasil membuat Nokia menjadi pemain terbesar dalam bisnis handset seluler dunia hingga saat ini. Cerita mengenai Nokia oleh Eric Garland dijadikan sebagai salah satu pembuka dalam buku Future Inc.

Garland mengontraskan keberhasilan Nokia ini dengan langkah Eastman Kodak yang dianggapnya tidak berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia fotografi digital. Padahal pada masa sebelumnya Kodak sangat berkuasa dalam dunia fotografi berbasis film.

Hal yang kontras antara Nokia dan Kodak, menurut Garland, menggambarkan bagaimana masa depan dapat menmpengaruhi bisnis. Ada kehadiran pesaing baru, substitusi produk, dan sebagainya yang mengadang di depan.

Meramal masa depan adalah harapan manusia sejak dahulu kala. Manusia umumnya merasa lebih beruntung bila bisa tahu, atau paling tidak memperkirakan, apa yang akan terjadi di masa depan. Dengan pemahaman yang lebih lengkap mengenai masa depan, orang maupun organisasi berharap bisa melakukan tindakan antisipasi.

Kemampuan meramal masa depan lebih penting lagi bagi para pengambil keputusan. Tentu saja bukan ramalan masa depan seperti yang dilakukan oleh Nostradamus yang terkenal itu. Future Inc menegaskan bahwa meramal masa depan secara spesifik dan detail adalah mustahil. Akan tetapi, Garland mencoba memberi panduan bagaimana memahami tren yang mungkin mengubah hidup dan bisnis.

Dia juga mencoba menjelaskan bagaimana mengevaluasi ramalan-ramalan terbaik dari para ahli, lalu menyatukannya dalam skenario baru tentang masa depan.

Buku karya Garland ini disertai dengan contoh konkret yang memudahkan pembacanya untuk mengerti bagaimana menjadi seorang futuris. Misalnya, dia mengajak pembaca untuk meramal masa depan cokelat melalui analisis STEEP (society, technology, economics, ecology, and politics).

Dalam bidang society atau masyarakat, masa depan cokelat di AS perlu dikaitkan dengan wabah diabetes yang kian menjadi perhatian serta maraknya gejala obesitas pada anak-anak. Dalam hal teknologi perlu dilihat hadirnya cara pengemasan yang lebih canggih dan modern.

Garland memberikan contoh bahwa obesitas pada anak-anak telah mencapai proporsi yang dahsyat di AS sehingga ada kemungkinan masyarakat menyalahkan para pemasar permen cokelat dan memposisikan mereka seperti perusahaan tembakau.

Pada bagian pertama buku ini mengajarkan bagaimana pola pikir futuris, misalnya melalui analisis STEPP. Bagian kedua buku ini menjelaskan perkembangan terbaru yang berpotensi mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh, Garland banyak memaparkan mengenai perkembangan bioteknologi, teknologi nano, teknologi informasi, serta pemeliharaan kesehatan.

Versi bahasa Indonesia buku ini cukup enak dibaca kendati ada beberapa istilah teknis yang kadang terasa membingungkan. (Setyardi Widodo)

*) Bisnis Indonesia, 4 Juli 2010