31 Mei 2009

Jatah umur dan teori tentang menunggu

Momentum ulang tahun mengingatkan saya mengenai jatah umur. Selalu ada teman yang dengan bijak menyatakan bahwa saat ulang tahun adalah saat di mana pengurangan usia kita justru diperingati. Momentum makin dekat dengan kematian tidak selayaknya dirayakan.

Dengan matematika sederhana tentu saja kita semua setuju bahwa berjalannya waktu yang ditandai dengan bertambahnya umur mendekatkan kita pada waktu ajal. Akan tetapi, pikiran saya terusik mengenai asumsi bahwa waktu ajal yang dijadikan acuan itu fixed. Bukankah ada hadits yang menyatakan bahwa silaturahim memanjangkan umur?

Yang juga menggelitik saya adalah tulisan Nassim Nicholas Thaleb mengenai menunggu dalam bukunya Black Swan.

“Makin lama Anda menunggu, makin lama pula Anda diharapkan menunggu. Misalkan Anda mengirimkan sepucuk surat kepada seorang pengarang terkenal. Anda tahu bahwa dia sibuk dan mungkin baru dua pekan ke depan dapat menjawab pesan Anda. Jika tiga pekan ke depan kotak pos Anda masih kosong, jangan berharap surat balasan akan datang besok. Sebaiknya Anda berharap surat itu akan datang kira-kira tiga pekan lagi. Jika tiga bulan kemudian surat balasan itu tidak datang, Anda harus menunggu satu tahun lagi. Tiap hari akan membawa Anda makin dekat kematian, namun makin jauh dari menerima surat balasan.”

Ini pernyataan lainnya yang lebih menarik. “Di sebuah negara maju, seorang bayi yang baru lahir diperkirakan meninggal 79 tahun kemudian. Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-79, harapan hidupnya, berdasarkan asumsi kesehatannya normal, adalah 10 tahun (bukan nol tahun). Pada usia 90 tahun, dia diharapkan hidup 4,7 tahun lagi (bukan minus 11 tahun). Pada usia 100 tahun, dia diharapkan hidup 2,5 tahun lagi (bukan minus 21 tahun).”

Jadi, harapan hidupnya memang berkurang, akan tetapi acuan batas kehidupannya juga bergerak, sesuai dengan pergerakan usianya.

Nah, kalau banyak ajang silaturahim (termasuk silaturahim virtual pada saat ulang tahun), tidakkah ini juga bisa dimaknai bahwa ada kemungkinan batas acuan kehidupan ikut bergerak ke depan kendati sisa harapan hidupnya berkurang? Atau bahkan ada kondisi tertentu yang membuat angka harapan hidup juga meningkat seriing berjalannya waktu, misalnya karena hidupnya semakin sehat??

Wallahu alam.

26 Mei 2009

Mouse kok semahal keyboard?


Saya baru saja membeli mouse untuk Eee PC. Warnanya klop banget dengan warna Eee PC. Beli di salah satu toko di Ratu Plaza, Jakarta, harga Rp85.000, ukuran kecil, merek Touch Link, kabel gulung. Nyaman sekali digunakan bersama dengan papan ketik eksternal. Serasa mengetik pakai PC saja. Hanya ukuran layar yang lebih kecil. Ukuran mouse serta keyboard secara keseluruhan sedikit dipangkas, tapi ukuran per tombol tetap sama. Jadinya nyaman sekali.

Mengapa saya tidak dari dulu mendapatkan kenikmatan mengetik di Eee PC dengan bantuan mouse? Mengapa begitu berhemat atau begitu pelit? Bukankah saya sudah lama pakai mouse, sejak pertama kali mengenal komputer. Lalu mengapa tidak dari dulu membeli mouse untuk mendapatkan kemudahan dalam mengetik, memproduksi informasi? Jadi tidak perlu merana terlalu lama karena touch pad yang tidak intuitif, yang tidak nyaman itu?

Sebenarnya saya bukannya pelit. Saya sudah beberapa kali punya mouse untuk Eee PC sebelum sampai pada titik yang sekarang ini. Mouse saya yang pertama, kecil, putih, ringan, keren, ada lampunya. Tapi ada beberapa masalah. Masalah pertama, sering error ketika dipakai pada Eee PC ini. Saya tidak tahu persis apakah ada masalah dengan OS bawaannya. Masalah terakhir, ada bagian pada mouse yang koneksinya tidak mantap. Jadi putus nyambung, begitu deh.

Mouse saya yang kedua warna merah, harga murah, bukan optik, ukuran lebih besar, baru dipakai sebentar sudah error. Kali ini yang error bagian klik kirinya. Ya sudah, langsung pensiun. Kayaknya ada satu mouse lagi yang juga error tapi entah sudah di mana benda itu. Saya juga sudah lama warnya.

Beberapa pengalaman dengan mouse yang dibawa-bawa itu menyebabkan saya sebal. Saya bandingkan dengan mouse yang di kantor yang jarang rewel.

Ada hal yang masih mengganjal dan sulit saya mengerti. Harga mouse bermerek ternyata mahal. Masak sih harga mouse bisa sama atau bahkan lebih mahal daripada harga keyboard? Harga mouse bisa lebih mahal juga daripada dongle Bluetooth? Apakah sensor gerak dan semacamnya dalam mouse itu masih begitu mahalnya?

24 Mei 2009

Sukses adalah akumulasi keberuntungan


Orang-orang tidak berawal dari nol. Semua berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Itulah yang saya tangkap sebagai premis utama dari buku Outliers karya Malcolm Gladwell. Biasanya, kisah tentang orang yang amat sukses menonjolkan faktor kecerdasan dan ambisi. Gladwell yang keturunan Jamaika dan pernah bekerja sebagai reporter bidang bisnis dan sains di The Washington Post itu ingin menyatakan bahwa faktor penentu kesuksesan jauh lebih rumit, kompleks, dan lebih menarik daripada apa yang seringkali diungkap orang.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek tertinggi di hutan menjadi yang tertinggi bukan semata-mata karena dia paling gigih. Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

***
Outlier adalah istilah yang dipakai untuk menyebut orang yang berada di luar distribusi normal, orang yang pencapaian suksesnya di luar jangkauan normal.

Gladwell dalam buku setebal 340 halaman terbitan Gramedia Pustaka Utama berusaha menjelaskan mengapa orang-orang yang paling terkemuka di bidang peranti lunak seperti Bill Gates, Steve Balmer dan Paul Allen (pendiri Microsoft), Steve Jobs (pendiri Apple), Eric Schmidt (boss Novell dan CEO Google), Scott McNealy, Bill Joy, Vonid Khosla, Andy Bechtolsheim (pendiri Sun Microsystems) lahir sekitar tahun 1953-1955.

Salah satu argumentasi Gladwell, adalah bahwa orang-orang yang lahir sebelum tahun 1950 sudah terlalu tua dan mapan untuk menangkap revolusi komputasi yang terjadi pada 1975, sementara orang yang lahir setelah 1956 pada saat yang sama masih terlalu muda.

Dengan cara yang sama, Gladwell berusaha menjelaskan mengapa para pemain hoki top di Kanada sebagian besar lahir pada triwulan pertama (Januari-Maret). Menurut dia, sekolah hoki di Kanada menetapkan batasan usia masuk pada tanggal 1 Januari. Sehingga, anak yang lahir pada 2 Januari memiliki kesempatan untuk berada satu kelas dengan anak yang lahir pada 31 Desember di tahun yang sama. Dengan demikian, anak yang lahir pada Januari memiliki keungulan usia 11 bulan dibandingkan yang lahir pada Desember.

Mereka direkrut dalam usia 9 atau sepuluh tahun. Selisih 11 bulan bisa berarti perbedaan fisik yang signifikan. Wajar jika prestasinya dalam bidang hoki juga berbeda. Anak yang unggul pada tahap awal penyaringan berhak untuk mendapatkan latihan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang kurang unggul, sehingga muncullah akumulasi keunggulan. Makin ke atas, fasilitas yang diperoleh anak unggulan dalam berlatih hoki semakin besar, sedemikian hingga jarak dengan mereka yang sejak awal sudah tersisih dalam persaingan menjadi semakin jauh.

Inilah yang menjelaskan mengapa sebagian besar pemain hoki top di Kanada lahir pada awal tahun. Goldwell mengandaikan, bila proses seleksi dilakukan secara lebih sering, misalnya dari semula satu tahun sekali menjadi tiga bulan sekali, maka penyebaran peluang untuk menjadi pemain hoki top pun akan meningkat.

Dia juga mengusulkan hal yang sama dalam proses penerimaan sekolah. Perbedaan awal dalam kedewasaan tidak menghilang seiring berjalannya waktu. Hal itu bertahan terus. Dan untuk ribuan siswa, keadaan yang merugikan itu akan menentukan perbedaan antara masuk kuliah (dan memiliki kesempatan menjadi warga kelas menengah) atau tidak.

***
Kaidah 10.000 jam. Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa orang yang memiliki keunggulan yang diakui di seluruh dunia, Malcolm Gladwell memaparkan bahwa mereka umumnya telah berhasil melalui latihan selama 10.000 jam.

Bill Joy (pendiri Sun Microsystems) serta Bill Gates (pendiri Microsoft) ternyata telah melalui latihan pemrograman selama kira-kira 10.000 jam kerja sewaktu remaja sebelum mereka menghasilkan produk yang mengguncang dunia. Penulis buku ini memaparkan perjalanan Gates dan Joy dan bagaimana mereka bisa mendapatkan latihan selama 10.000 jam selama masa remaja.

Gladwell menulis bagaimana The Beatles berhasil meraih latihan selama 10.000 jam. Sebuah proses penggodokan yang luar biasa selama beberapa tahun, delapan jam sehari, tujuh hari sepekan, yang berhasil mengangkat kualitas grup band itu menjadi luar biasa.

Dan 10.000 jam adalah waktu yang sangat banyak. Tidak mungkin meraih kesempatan latihan sebanyak itu di masa remaja tanpa dukungan lingkungan. Mereka harus punya orang tua yang mendorong dan mendukung. Mereka juga tidak boleh menjadi orang miskin karena, kalau harus nyambi bekerja, tidak akan tersisa waktu yang memadai untuk latihan yang cukup. Kebanyakan orang meraih jumlah tersebut karena masuk program istimewa atau mendapat kesempatan luar biasa.

Gladwell menegaskan bahwa yang membedakan orang-orang sukses itu bukan bakat yang luar biasa melainkan berbagai kesempatan istimewa yang telah diperolehnya. Orang hebat itu tentu gigih dan berbakat. Tetapi itu saja tidak cukup. Harus ada kesempatan untuk menjadi hebat. Di sinilah saya menangkap bahwa untuk sukses ternyata ada syarat perlu dan syarat cukup. Kegigihan, bakat, kecerdasan adalah syarat perlu. Tapi, untuk terwujud menjadi sukses, harus ada “momentum sejarah”, ada “kebetulan sejarah” yang memberikan kesempatan agar syarat perlu itu berguna secara optimal.

Di bagian akhir buku itu, Gladwell bercerita bagaimana akumulasi keberuntungan menyertai nenek moyangnya yang berada di Jamaika sehingga dirinya bisa dilahirkan di Inggris dan tumbuh dewasa di Kanada.

Latihan bukanlah hal yang dilakukan setelah mereka menjadi hebat. Latihan adalah hal yang membuat mereka hebat. Kata Gladwell: Sebelum dia menjadi ahli, harus ada orang yang memberikan kesempatan padanya untuk belajar bagaimana menjadi seorang ahli.

Saya menangkap pesan bahwa bagi siapa saja yang memiliki kekuasaan (entah sedikit atau banyak) bisa membuka lebih banyak kesempatan agar orang lain yang berada di bawah kekuasaanya memiliki kesempatan untuk tumbuh dan tidak terganjal oleh momentun sejarah yang entah sengaja atau terencana. Itu berlaku untuk orang tua terhadap anaknya, guru terhadap murid, penguasa negara atas`rakyat, petinggi di perusahaan terhadap anak buah, dan seterusnya.


***
Dukungan lingkungan. Dukungan lingkungan adalah hal yang sangat ditekankan oleh Gladwell. Dia memberikan banyak contoh mengenai orang genius yang gagal. Salah satunya adalah kisah tentang Chris Langan, seorang pria dengan IQ 195 (lebih tinggi daripada IQ Einstein yang sebesar 150). Orang dengan IQ setinggi namun tidak tercatat sebagai manusia berprestasi di dunia, bahkan akhirnya berprofesi sebagai tukang pukul serta penjaga sebuah peternakan kuda.

Langan bukan tidak mencoba untuk sukses. Tetapi dia gagal mendapatkan kesempatan dan gagal mendapatkan dukungan yang diperlukan. Dia berasal dari keluarga broken home yang miskin. Suatu ketika, Langan yang jago kalkulus itu mencoba menyampaikan kritik kepada dosen kalkulusnya yang dia anggap tidak bisa mengajar dengan benar. Alih-alih mendapatkan teman diskusi, yang diperolehnya justru kesalahpahaman.

Ketika kuliah tingkat kedua, beasiswanya dihentikan karena ibunya lupa mengisi formulir yang diperlukan untuk memperpanjang beasiswa. Langan mencoba bernegosiasi dengan pihak kampus tapi ditolak.

Tahun berikutnya dia mencoba kuliah di kampus lain sambil bekerja. Dia mencoba memindahkan jam kuliahnya ke waktu lain agar bisa mendapatkan angkutan ke kampus dengan mudah karena dia memiliki kendala dengan kendaraan. Langan kembali gagal. Begitulah, yang dia peroleh adalah akumulasi “kegagalan” atau “kesialan”.

Menurut Gladwell, Langan tidak cukup memililiki kecerdasan praktis. Dia tidak berhasil mengatasi masalah-masalah praktis yang lazimnya dapat dipecahkan bahkan oleh orang-orang yang kecerdasan analitisnya di bawah dia. Sebenarnya dia membutuhkan dukungan sebagaimana yang diperlukan orang-orang cerdas lain untuk sukses. Dia tidak sanggup menghadapi keruwetan hidupnya itu sendirian.

Lebih jauh Gladwell mengaitkan kasus Langan ini dengan dukungan yang diberikan orangtua terhadap anak-anaknya. Dia melihat orangtua yang kaya umumnya sering berdiskusi dengan anaknya, mengajak anaknya berunding, sementara orangtua yang miskin hanya memberikan perintah.

Orangtua kaya mengharapkan anaknya untuk bernegosiasi, mengungkapkan pikiran, mempertanyakan orang dewasa yang memiliki kewenangan. Sebaliknya, orangtua dari kelompok miskin merasa terintimidasi oleh orang yang memiliki wewenang. (contoh orang yang memiliki wewenang adalah guru di sekolah).

Memang benar bahwa banyak anak dari keluarga miskin umumnya memiliki perilaku yang lebih baik, penurut, tidak merengek, lebih kreatif dalam menggunakan waktu, serta lebih mandiri. Namun anak orang kaya lebih banyak belajar bagaimana berinteraksi secara nyaman dengan orang dewasa dan mengungkapkan pikiran saat dibutuhkan.

Orang seperti Langan tidak belajar bagaimana berdebat dan bernegosiasi dengan mereka yang memiliki wewenang. Langan dan anak-anak semacam itu tidak mempelajari perasaan memiliki hak. Ketika dihadapkan pada berbagai rintangan, hal yang tampak sepele ini bisa menjadi faktor yang penting.

Di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, kita juga mungkin dengan sangat mudah menemukan kasus semacam Langan. Banyak anak muda cerdas dari kota kecil atau desa gagal menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus di kota besar. Mereka mengalami gegar budaya. Menghadapi hal-hal yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, tidak cukup memiliki kemampuan negosiasi, dan tidak memiliki orang tua atau kerabat yang bisa membantunya seketika.

***
Ada banyak hal menarik terkait dengan budaya yang diungkapkan Malcolm Gladwell dalam Outliers, termasuk kisah yang berawal dari investigasi atas kecelakaan Korean Air.

Salah satunya adalah kesimpulan bahwa sebuah kecelakaan umumnya melibatkan tujuh kesalahan secara beruntun. Salah seorang kapten pilot melakukan satu kesalahan bukanlah masalah. Akan tetapi, salah satu dari copilot melakukan kesalahan setelahnya, yang bila dikombinasikan dengan kesalahan pertama tidak akan mengakibatkan bencana. Sayangnya, mereka kemudian melakukan kesalahan ketiga, dan berikutnya, dan berikutnya lagi. Kombinasi berbagai kesalahan inilah yang menyebabkan bencana.

Dia menyimpulkan bahwa setiap bangsa atau kelompok suku tertentu memiliki sifat dan gaya komunikasi yang khas. Dan hal ini terbukti menjadi salah satu penyebab kecelakaan yang berulangkali terjadi pada Korean Air pada dekade 1990-an.

Pesawat komersial besar setidaknya dikemudikan oleh seorang kapten pilot, seorang first officer (co-pilot), serta flight engineer. Pada bangsa-bangsa tertentu yang memiliki PDI (power distance index) yang besar seperti Korea, seorang first engineer tidak akan berani bicara lugas kepada kapten pilot. Bahkan dalam kondisi yang sudah sangat berbahaya. Itulah salah satu penyebab kecelakaan. Seandainya first officer dan flight engineer mampu bersikap asertif terhadap kapten pilot, ada banyak kecelakaan yang dapat dihindari.

Inilah contoh yan tersirat dan tersurat dalam percakapan dua orang Korea.
Kwacang: cuacanya dingin dan saya agak lapar (maksudnya: coba tolong belikan minum atau makanan).
Kim: bagaimana kalau segelas anggur (artinya: saya akan membelikan anggur untuk Anda).
Kwacang: Tidak usah repot-repot (artinya: saya akan menerimanya kalau kamu mengulangi tawaranmu).
Kim: Anda pasti lapar. Bagaimana kalau kita makan ke luar (artinya: saya memaksa untuk mentraktir Anda).
Kwacang: Apakah aku harus menerinya? (artinya: aku menerimanya).

Ini kasusnya mirip sekali dengan komunikasi model orang Jawa. Orang Korea dan kebanyakan orang Asia, konon, dalam berkomunikasi beroreintasi pada penerima. Artinya, pendengar bertanggungjawab penuh untuk mengartikan apa yang dikatakan. Ini berbeda dengan gaya komunikasi Barat yang berorientasi pemancar sehingga pembicara seringkali mengulang-ulang isi pesannya secara lugas sampai diterima dengan tepat.

Dan kalau model komunikasi dengan PDI tinggi itu diterapkan dalam kokpit maka menjadi sangat berbahaya. Ketika seorang first officer mengatakan: Apakah menurut Anda akan hujan lagi di daerah ini? Maka yang dimaksud adalah: Kapten, Anda telah memutuskan untuk mengambil pendekatan visual, tanpa adanya rencana cadangan, dan cuaca di luar benar-benar buruk. Anda pikir kita akan ke luar dari awan tepat pada waktunya dan bisa melihat landasan. Tetapi bagaimana kalau kita tidak melihatnya? Di luar sana benar-benar gelap gulita dan hujan turun dengan lebat, lalu glide scope sedang rusak.

Ketika flight engineer mengatakan: Kapten radar cuaca benar-benar menolong kita. Maka yang dimaksudkan adalah: Ini bukan malam di mana kita bisa mengandalkan mata kita ntuk mendaratkan pesawat. Lihat apa yang diinformasikan radar cuaca kita: ada cuaca buruk di depan.

Malcolm Gladwell dengan panjang lebar memaparkan bagaimana pola watak suatu kelompok manusia (seperti bangsa atau suku) bisa berpengaruh terhadap jenis pekerjaan atau bidang apa yang cocok digeluti.

Dia dengan bagus sekali menjelaskan mengapa bangsa-bangsa Asia (Timur) hebat dalam matematika, mengapa sebagian besar pengacara di New York memiliki silsilah hidup yang sama, dan mengapa banyak orang genius tidak sukses.

Wallahu alam.

21 Mei 2009

Menanti diary para politisi

Politisi adalah jenis pekerjaan dengan tingkat keacakan tinggi. Mereka berpeluang besar untuk dihantui rasa bersalah atau penyesalan yang berkepanjangan di masa mendatang. Konon, menulis diary adalah salah satu cara mengatasi masalah semacam ini.

***

Para politisi kelas atas, petinggi partai politik, orang-orang yang berada di teras kekuasaan negeri ini, sedang sibuk. Rapat sepanjang siang dan malam, lobby sana-sini, membangun koalisi. Mereka datang ke acara diskusi demi diskusi, terutama yang disorot kamera televisi.

Ada yang begitu percaya diri, ada yang tampak seperti oportunis. Ada yang ngotot, seolah-olah main gertak, menaikkan nilai tawar, dan ada pula yang terkesan plin-plan. Ada yang setia ada yang membelot.

Seusai pemilu legislatif dan menjelang pilpres, aktivitas elite politik memang tampak meningkat. Manuver jungkir balik terus berlangsung, sebagian besar berada di bawah sorotan media, sebagian lainnya di ruang-ruang tertutup entah di mana.

Meningkatnya suhu politik seusai pileg bisa dipahami karena perebutan sumber daya yang makin terbatas. Pemilu legislatif memperebutkan setidaknya 500 jabatan DPR dan ribuan jabatan DPRD I, DPRD II, serta DPD. Adapun dalam pilpres hanya ada satu lowongan presiden, satu wakil presiden (tidak seperti bank yang punya puluhan VP), serta beberapa menteri yang akan ikut terbawa dalam gerbong pemerintahan periode mendatang.

Pemilu legislatif melibatkan sangat banyak orang untuk melakukan kampanye dan sosialisasi calon anggota legistaltif, sementara lobi-lobi pilpres pada tahap sekarang lebih banyak dilakukan oleh elite parpol.

Sebagian upaya lobbi para petinggi itu berada dalam sorotan media. Ada yang berhasil memanfaatkan media sebagai sarana komunikasi, ada yang ingin tapi tampak gagal, dan ada yang barangkali tidak ingin dan memang gagal total.

Ada politisi yang seolah-olah tampak menggertak sana-sini, tapi tidak terbukti, bahkan tidak mengakui. Mungkin sebenarnya kalimat-kalimat “gertakan” itu ditujukan ke mitra atau lawan politik. Mereka yang disasar mungkin bisa menangkap dengan tepat. Akan tetapi, karena semua dilakukan di depan sorotan kamera televisi dan muncul di koran-koran, publik dan konsituen juga menangkap pesannya. Sayangnya, bisa jadi apa yang ditangkap itu berbeda dengan apa yang dimaksud oleh sang politisi.

***
Politisi adalah pekerjaan dengan tingkat keacakan yang tinggi. Kalau ada 50 orang elite politik dijejer, pasti relatif sulit bagi kita untuk memprediksi siapa yang benar-benar akan sukses sebagai pemenang dan siapa yang menjadi pecundang.

Dan orang yang bekerja dengan tingkat keacakan yang tinggi, mengacu pada kategorisasi dalam Black Swan-nya Nassim Nicholas Taleb, memiliki peluang besar untuk dihantui oleh penyesalan di masa mendatang.

Mereka bertindak berdasarkan data, informasi, dan pertimbangan yang tersedia saat ini. Namun jika gagal, di kemudian hari sangat berpeluang untuk terus dihantui oleh rasa menyesal karena mendasarkan pertimbangan dengan apa yang diketahui saat itu (saat mendatang itu ketika semua sudah terbukti, sudah nyata mana yang menang dan kalah).

Kalau mengacu pada seringnya politisi berusaha meluruskan apa yang dianggap sebagai kekeliruan, salah persepsi, salah tangkap dari apa yang beredar dalam opini public, tampak sekali bahwa peluang adanya penyesalan itu besar sekali.

Ada saran sederhana namun sangat mengenai dari Nassim Taleb soal cara mengatasi rasa bersalah dan penyesalan ini. Menurut dia, salah satu yang perlu dilakukan orang dengan pekerjaan yang memiliki tingkat kecakan tinghi adalah menulis diary atau catatan harian. Diary adalah catatan pribadi yang ditulis ketika peristiwa itu, pengambilan keputusan penting (yang sangat mungkin berpengaruh besar terhadap nasib diri sendiri, nasib partai, nasib konstituen, nasib negara) dipertaruhkan. Ini berbeda dengan memoar yang seringkali ditulis sekian lama setelah peristiwa terjadi.

Diary adalah cara (yang tampaknya sederhana, tapi kadangkala terasa berat dilakukan) untuk mengobati banyak masalah psikologis, terutama menyangkut tekanan-tekanan yang berat. Saya sering mendengar psikolog menyarankan orang melakukan terapi diary untuk meringankan beban psikologis pasien.

Membaca diary orang lain juga membuat orang bisa lebih mengerti, empati, terhadap si penulis. Orang bisa melihat “dari dalam” atau “dari sisi sang politisi” sehingga mudah mengerti mengapa dia mengambil keputusan yang barangkali kontroversial atau tidak popular.

***
Nah, apakah para elite politik kita cukup memiliki waktu untuk menulis diary sehingga suatu saat kita, para rakyat yang hanya melihat aktivitas mereka lewat media mssa ini, menangkap apa yang bergolak dalam hati para elite tersebut ketika mengambil keputusan? Sayangnya, saya kok tidak yakin.

Sebenarnya di dunia yang sudah modern dengan bnayak peraatan canggih ini upaya menulis diary (yang terbuka maupun tertutup) sangat dimudahkan. Ada blog, ada jaringan social, ada microblogging, ada computer, ada alat perekam suara, pereka gambar, video dan sebagainya yang sangat mungkin digunakan sebagai sara untuk menulis digital diary.

Pak politisi tingkat tinggi, saya menanti diary Anda. Terima kasih.
Wallahu alam.

19 Mei 2009

Saatnya membeli ponsel QWERTY


Ponsel dengan fitur fasilitas papan ketik QWERTY dan akses jaringan 3G saat ini dapat diperoleh dengan harga di bawah Rp2 juta (baru, branded, ada GPS pula). Jika mencari tambahan fitur 3G atau bahkan HSDPA, sudah dapat diperoleh dengan harga di bawah Rp3 juta. Dengan tambahan touch screen, diperoleh dengan Rp3,5 juta. Jika tanpa 3G, bahkan dapat diperoleh dengan harga di bawah Rp1 juta (baru, nonbranded, dual on).

***
Sejak awal mengenal ponsel, saya selalu menyukai fitur papan ketik QWERTY. Sebagai orang yang banyak berurusan dengan teks, dan lebih menyukai komunikasi tertulis dibandingkan omong-omong, adanya papan ketik QWERTY menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan bagi saya.

Sayangnya, ponsel dengan papan ektik QWERTY selama ini selalau ditempatkan untuk segmen bisnis dengan harga jual yang relative lebih mahal dibandingkan dengan ponsel lain. Fitur lain yang disertakan pada ponsel QWERTY pun umumnya lumayan banyak mengingat segmen yang disasarnya umumnya dianggap bisa mengalokasikan uang yang lebih banyak untuk ponsel. Jadinya, banyak fitur yang sebenarnya tidak perlu terpaksa harus ikut dibeli.

Oleh sebab itu, senang sekali rasanya saya mengamati perkembangan satu bulan terakhir yang menunjukkan gejala bahwa ponsel dengan papan ketik QWERTY mulai dipasarkan dengan harga yang jauh lebih masuk akal dibandingkan setengah tahun yang lalu.

Nokia e63, salah satu favorit saya, waktu awal diperkenalkan secara global sekitar setengah tahun yang lalu, sudah disebut bahwa harganya sekitar 250 euro. Harga yang diumumkan itu lebih murah dibandingkan harga e71. Akan tetapi, pas masuk ke Indonesia, harga jualnya masih mendekati (atau bahkan melampaui) Rp4 juta.

Sekarang, Nokia e63 dapat diperoleh dengan harga Rp2,85 juta. Sudah dekat sekali dengan 250 euro seperti yang digemborkan Nokia di pasar global. Dalam ponsel ini ada fitur ada 3G (bukan HSDPA), Wi-Fi, memori besar, kamera 2 mega piksel.

Yang mirip dengan itu, Samsung i600, dipasarkan dengan harga sekitar Rp2,9 juta. Saya mengenal pertama Samsung i600 itu di Hong Kong pada Desember 2006 di arena ITU World. Banyak sekali baliho tentang produk Samsung Black Jack seri II itu. Waktu masuk ke Indonesia pada 2007, ponsel ini dijual dnegan harga sekitar Rp6 juta. Ini salah satu favorit saya juga. Ada 3G, HSDPA, Wi-Fi, Windows Mobile. Bentuknya sangat mungil dan tipis. Warna hitamnya juga tampak elegan. Sayangnya tidak dilengkapi dengan layar touch screen.

Nah, versi pembaruan dari Samsung, dengan tambahan touch screen, muncul pada seri i780. Waktu awal masuk pasar, ponsel ini juga dijual dengan harga Rp6 jutaan. Kemarin saya lihat iklannya di koran, dijual dengan harga Rp3,49 juta dengan Simpati Pede. Menarik sekali.

Ada satu kejutan lagi terkait ponsel branded. LG K610 (yang pernah saya singgung juga dalam tulisan di blog ini tentang downgrade produk ala Nokia), kini turun harga secara signifikan. Ponsel QWERTY dengan 3G dan GPS buatan Korea Selatan itu sekarang seri barunya dijual dengan harga Rp1,9 jutaan. Pada awal kehadirannya, produk yang diklaim sebagai communicator mini ini dijual pada kisaran Rp4 juta.

Kalau puas dengan non-branded dan tidak butuh 3G namun mengidamkan QWERTY, bisa pilih Nexian G900 yang dipasarkan dengan harga Rp999.000.

Nah, barangkali sekarang saat yang tepat untuk berburu ponsel QWERTY?? Wallahu alam.

Foto dikompilasi dari berbagai situs

18 Mei 2009

Antara bisnis & masalah kejiwaan


Black Swan membuat minat saya untuk membaca buku tiba-tiba melonjak. Tulisan yang sangat menarik, mengalir, dan provokatif dari Nassem Nicholas Taleb benar-benar mampu membangkitkan ‘penyakit’ saya seperti 11 tahun atau 12 tahun yang lalu. Saya mencoba menghayati ini sebagai anugerah menjelang genapnya 34 kali saya mengelilingi matahari.

Pekan lalu, ketika saya berkesempatan mampir ke toko buku, yang paling teringat di kepala saya untuk saya baca setelah Black Swan adalah Outlier karya Malcolm Gladwell.

Akan tetapi, sebelum saya berjumpa dengan buku itu, masa saya terbentur buku berpenampilan tua: The Unwritten Laws of Business karya W.J. King, serta Catatan dari Bawah Tanah karya Fyodor Dostoyevski.

***
The Unwritten Laws of Business sebenarnya adalah buku kuno. Terbit pertama kali pada 65 tahun yang lalu, kemudian mengalami sedikit revisi (penyesuaian) pada 2001. Sangat mengejutkan bahwa isinya masih sangat cocok, pas, dengan kondisi sekarang. Mungkin hukum-hukum dasar dalam bekerja dan mengorganisasi orang-bisnis itu ya pada dasarnya begitu-begitu saja. Hanya alatnya saja yang berkembang.

Saya bahkan sampai berpikir bahwa buku ini merupakan buku yang paling cocok untuk dihadiahkan bagi siapa pun yang baru diterima bekerja, bekerja di tempat baru, mendapat promosi sebagai manager, atau ditempatkan pada posisi manajerial yang baru. Buku ini benar-benar universal dan dipaparkan dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti serta diadopsi untuk lingkungan mana pun.

Nasihat-nasihat itu contohnya:
“Sekasar dan seremeh apa pun tampaknya tugas awal Anda, kerahkanlah upaya terbaik.”
“Hindari kesan bimbang”
“Jangan malu-malu, berbicaralah, ungkapkan ide-ide Anda”
“Sangat berhati-hatilah mengenai akurasi pernyataan Anda”
“Setiap manager harus tahu apa saja yang berlangsung di dalam wilayah kekuasaannya”
“Jadikan prioritas utama apa pun yang menurut supervisor Anda harus Anda selesaikan”
“Rapat sebaiknya tidak terlalu besar atau terlalu kecil”
“Pelajari keterampilan dan teknik manajemen proyek, lalu terapkan dalam kegiatan yang Anda kelola”

Sebenarnya semua itu biasa-biasa saja, hampir menjadi pengetahuan umum. Tetapi bagi saya yang miskin ilmu manajemen ini terasa betul bahwa sebagian besar yang tertulis dalam buku itu sangat membumi dan relevan. Buku ini bisa menjadi pengingat dan penasihat yang baik.

Dan, pilihan kertas serta ukurannya yang sama dengan Black Swan menambah sensasinya sebagai buku yang menarik. Saya rekomendasikan untuk dibaca oleh siapa saja yang baru mendapat pekerjaan baru atau posisi baru, sekadar sebagai pengingat hal-hal dasar yang perlu tetap dipegang.

***
Buku lain yang juga menarik adalah karya Dostoyevski. Catatan dari Bawah Tanah merupakan buku ketiga karya Dostoyevski yang pernah saya baca. Sebelumnya adalah Si Lembut Hati yang saya pinjam dari Perpustakaan Salman 11 tahun yang lalu, serta Kejahatan dan Hukuman yang masih tersimpan di rumah.

Seperti buku Dostoyevski lainnya, nada cerita dalam buku ini pilu dan suram, sangat suram. Penulis kelahiran 1821 itu memang sangat piawai dalam mengambarkan penderitaan jiwani manusia. Tampak sekali bagaimana penderitaan itu menjadi sangat dekat dengan kegilaan atau bahkan memicu sikap aneh-aneh seperti psikopat.

Sampai taraf tertentu buku ini mampu mewakili perasaan saya (sebenarnya saya ingin mengatakan perasaan kita semua, tapi tidak pede) tentang penderitaan batiniah. Tapi pada titik yang lain, ungkapannya menjadi begitu menakutkan dan agak sulit dimengerti. Dan karena buku ini sepenuhnya cerita mengenai orang yang tersisih dan sangat menderita maka terasa betul kengerian dan kekacauan pikiran orang yang tertekan.

Cara pengungkapan yang sangat jujur dan terbuka mengenai Aku, si tokoh dalam cerita tersebut, pasti mempengaruhi pembacanya untuk mengungakpakan diri dengan cara serupa. Caranya yang begitu lugas dan jujur mengungkapkan penilaian atas kelebihan dan kekurangan diri, jika diterapkan dalam dunia nyata saat ini, pastilah sering disalahpahami sebagai bentuk lain dari kesombongan, keangkuhan tiada tara. Juga bentuk lain dari narsisme terselubung (atau malah narsisme telanjang??)

Sayang sekali bahwa sejumlah latar belakang yang ada dalam buku ini seperti penjelasan mengenai Kaum Romantik, serta situasi sosial politik di Rusia pada saat novel ini dituliskan tidak mampu saya pahami dengan baik. Buku ini tidak cukup dilengkapi dengan deskripsi mengenai situasi Rusia ketika itu.

***
Dua buku yang saya beli secara bersamaan ini, The Unwritten Laws of Business dan Catatan dari Bawah Tanah, adalah buku yang nyaris bertolak belakang.

Yang satu adalah mengenai bagaimana bekerja, berkarya, mengambil keputusan secara cepat, efektif, jangan tampak ragu-ragu. Semua tentang hal yang konkret dan nyata. Adapun buku satu lagi tentang keragu-raguan, ketakutan, bayangan penderitaan, rasa minder yang mencekam, serta cara berpikir yang tidak lazim.

Buku yang satu tentang bertindak sesuai kewajaran, satu lagi tentang kejujuran mengungkapkan perspektif pribadi yang mudah sekali disalahpahami dan dianggap sebagai kesombongan. Wallahu alam.

17 Mei 2009

Mencari kesempatan dalam Black Swan (iii)


Saya tergoda untuk mengutip beberapa hal unik yang terungkap dalam buku Black Swan karya Nassem Nicholas Taleb.

Apabila Anda bekerja dalam sebuah profesi yang sarat dengan keacakan, Anda akan menderita rasa bersalah akibat terus menerus menilai kembali langkah-langkah yang sudah lewat berdasarkan yang kemudian Anda kerjakan. Menulis buku harian adalah cara paling baik dalam mengatasi situasi ini.

Makin lama Anda menunggu, makin lama pula Anda diharapkan menunggu. Misalkan Anda mengirimkan sepucuk surat kepada seorang pengarang terkenal. Anda tahu bahwa dia sibuk dan mungkin baru dua pekan ke depan dapat menjawab pesan Anda. Jika tiga pekan ke depan kotak pos Anda masih kosong, jangan berharap surat balasan akan datang besok. Sebaiknya Anda berharap surat itu akan datang kira-kira tiga pekan lagi. Jika tiga bulan kemudian surat balasan itu tidak datang, Anda harus menunggu satu tahun lagi. Tiap hari akan membawa Anda makin dekat kematian, namun makin jauh dari menerima surat balasan.

Jurnalis dan cendekiawan publik dalam masyarakat yang gemar membuat ringkasan tidak membuat dunia menjadi lebih sederhana. Justru sebaliknya, hampir semuanya membuat segala sesuatu tampak lebih rumit daripada yang sesungguhnya.

Berhati-hatilah dengan hasrat Anda. Bisa jadi Anda lebih bahagia sebelum mendapatkan Black Swan yang Anda impikan. Dan banyak hal bersifat asimetris. Drogo membutuhkan waktu 35 tahun untuk menunggu peristiwa beberapa jam yang entah di mana, dan ternyata tidak pernah terwujud.

Para pembaca tidak akan bersedia membayar 26,95 dolar untuk sebuah cerita tentang kegagalan, bahkan andai Anda meyakinkan bahwa buku itu mengandung trik yang lebih berguna ketimbang sebuah kisah sukses. Makanya lebih sulit berkaca dari kegagalan orang dibandingkan belajar dari kesuksesan yang banyak ditulis orang.

Spesies manusia dipengaruhi oleh kebiasaan meremehkan yang kronis tentang kemungkinan masa mendatang menyimpang dari arah yang ditetapkan atau diharapkan.

Informasi adalah pengetahuan yang buruk. Ketika Anda mengembangkan pandangan-pandangan berdasarkan bukti yang lemah, Anda akan kesulitan menfasirkan informasi selanjutnya yang bertentang dangan pandangan ini. Bahkan jika informasi baru ini jelas lebih akurat. Maka, menahan diri untuk tetap skeptis, tidak buru-buru membuat penilaian atau memberikan pandangan, lebih baik.

14 Mei 2009

Mencari kesempatan dalam Black Swan (ii)


Rumus utama dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan adalah “terima takdir Anda”. Kata NNT, ketika Anda ketinggalan kereta, tidak perlu berlari-lari mengejarnya. Ketinggalan kereta hanya menyakitkan ketika Anda berusaha mengejarnya. Begitu pula, tidak memenuhi gagasan tentang sukses seperti yang diharapkan oleh orang lain dari Anda hanya menyakitkan jika memang itu yang Anda kejar.

***
NNT dalam buku Black Swan membagi dunia secara umum dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah ranah mediocristan, dan kelompok kedua berada dalam ranah extremistan.

Di ranah mediocristan, distribusi (serta jenis pekerjaan) umumnya nonscalable, keacakan tipe sedang, anggota paling tipikal bersifat medioker, pemenang mendapatkan sedikit bagian dari keseluruhan hasil (misalnya jumlah penonton biduan di era sebelum gramapon), dan peristiwa terdistribusi mengikuti kurva lonceng (distribusi normal?)

Pada ranah extremistan, distribusi umumnya scalable, keacakan tipe liar, tidak ada anggota yang tipikal, memiliki efek ‘pemenang mendapatkan semuanya’ (misal jumlah penikmat lagu di era pascagramapon), dan peristiwa terdistribusi secara sangat acak.

Contoh distribusi yang scalable adalah perbandingan antara pendapatan orang terkaya dunia dengan orang yang paling miskin. Perbandingannya bisa sangat ekstrem. Rasio semacam itu tidak bisa kita temua ketika kita membandingkan berat badan orang tergemuk dengan orang terkurus. Distribusi berat badan masuk mediocristan, sedangkan distribusi kekayaan masuk dalam extremistan.

***
Ada beberapa jenis pekerjaan yang dimasukkan oleh NNT dalam kelompok nonscalable. Gaji seorang karyawan pabrik mudah dihitung berdasarkan jumlah jam kerjanya. Gampang sekali mengetahui batas atas nilai pendapatan dari jenis pekerjaan semacam ini. Omzet pengelola restoran mudah untuk dihitung berdasarkan jumlah tempat duduk yang tersedia. Yang macam ini, masih masuk dalam nonscalable. Harus ada upaya dua kali lipat untuk mendapatkan gaji dua kali lipat (tempat duduk dilipatduakan, atau jam kerja dinaikkan dua kali lipat).

Ada juga jenis pekerjaan lain yang scalable. Penambahan usaha yang sedikit (atau bahkan tanpa penambahan sama sekali) meningkatkan pendapatan secara luar biasa. Hal ini, misalnya, terjadi pada buku best seller. (Di Indonesia mungkin kita bisa berkaca pada kasus Laskar Pelangi Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta Habiburrahman AS).

Pekerjaan lain, di Indonesia yang tampaknya masuk scalable adalah politisi. Orang yang semula tidak signifikan bisa meloncat menjadi sangat penting ketika menjadi politisi. Pekerjaan lainnya lagi yang masuk scalable, yang baru populer beberapa pekan belakangan, tampaknya adalah caddy golf, hehehe.
Sayangnya, beberapa jenis pekerjaan scalable yang saya sebut di atas umumnya berawal dari pekerjaan sampingan.

***
Sejumlah trik dianjurkan oleh NNT menghadapi Black Swan. Trik pertama, saya tulis pada paragraf pertama tulisan seri satu. Intinya, jangan sia-siakan setiap datangnya peluang besar yang muncul di depan mata.

Trik kedua, buat pembedaan antara Black Swan negatif dan positif. Kalau seseorang menjadi tentara, misalnya, risiko terbesarnya adalah kematian, sementara potensi keuntungan maksimalnya kita bisa hitung. Itu masuk Black Swan negatif. Menulis buku, potensi keuntungannya bisa besar sekali (bila menjadi best seller), dan potensi kerugian maksimalnya bisa kita hitung. Hal yang sama bisa berlaku untuk memilah-milah jenis Black Swan yang mungkin terjadi.

Trik ketiga, jangan mencari yang terlalu rinci di tempat yang terbatas. Jangan berpikiran sempit. Mengutip kata Pasteur: peluang berpihak pada siapa yang siap. Terbukalah terhadap peluang, jangan membatasi diri pada hal-hal yang terlalu detil dan sempit.

Trik keempat, berhati-hatilah dengan prediksi jangka panjang yang terlalu detil, apalagi jika itu datang dari pemerintah. Trik kelima, percayalah bahwa ketelitian perkiraan ekonom dan para analis saham umumnya menurun seiring berjalannya waktu.

***
Untungnya, di tengah berbagai kenyataan dunia extremistan di mana pemenang meraih hamper semuanya, masih ada peluang bagi pemain kecil untuk mengambil keuntungan. Itulah yang dikutip buku ini dari teori the long tail.

Kendati sebagian besar hanya membuka Google dan sejumlah situs khas lain ketika mengakses Internet, masih tersedia ruang pagi penyedia konten lain yang khas untuk maju. Ada lingkungan yang memungkinkan orang kecil tak bermakna untuk mencoba meraih sukses luar biasa. Selama hayat dikandung badan, masih ada harapan.

Dalam dunia Internet, misalnya, web mendorong munculnya inverse Google yang memungkinkan orang menemukan pelanggan yang mantap walaupun kecil. The long tail menyiratkan makna bahwa kaum yang kecil, secara kolektif, pastilah mengendalikan sebuah segmen besar kultur dan perdagangan.

***
Nassim Nicholas Taleb memberikan gambaran yang gamblang sekali mengenai bagaimana sulitnya memahami dunia, memahami sejarah beserta faktor-faktornya.

Dia memberikan contoh sebagai berikut:
Eksperimen 1: Bayangkan sebuah kubus es dan pikirkan bagaimana dia meleleh dalam dua jam ke depan. Cobalah bayangkan bentuk genangan yang muncul kemudian.

Eksperimen 2: Ada sebuah genangan air di lantai lalu cobalah rekonstruksi seperti apakah bentuk padatan es yang barangkali pernah berada di situ. Perhatikan bahwa genangan air itu bisa jadi bukan berasal dari genangan es.

Operasi yang kedua jauh lebih sulit dan mudah salah dibandingkan dengan operasi pertama.

Kehidupan berjalan seperti eksperimen yang kedua. Kita tidak bisa duduk-duduk saja sambil membaca persamaan yang mengatur jagad raya. Yang bisa kita lakukan adalah mengamati data dan membuat asusmsi mengenai proses yang harus ada, lalu melakukan “kalibrasi” dengan menyesuaikan persamaan yang kita buat dengan informasi tambahan.

Dengan cara inilah NNT benar-benar membuktikan bahwa dunia ini berjalan dengan mekanisme yang lebih banyak tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Sikap terlalu ‘sok tahu” dan mengandalkan teorema yang sudah ada untuk memahami keacakan dunia bisa jadi adalah sikap yang terlalu naïf.

Rumus utama dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan adalah “terima takdir Anda”. Menurut NNT, ketika Anda ketinggalan kereta, tidak perlu berlari-lari mengejarnya. Ketinggalan kereta hanya menyakitkan ketika Anda berusaha mengejarnya. Begitu pula, tidak memenuhi gagasan tentang sukses seperti yang diharapkan oleh orang lain dari Anda hanya menyakitkan jika memang itu yang Anda kejar. Demikianlah saran NNT.

Wallahu alam.

Mencari kesempatan dalam Black Swan (i)


Carilah kesempatan atau apa pun yang mirip kesempatan. Yang seperti ini langka, jauh lebih langka dari yang Anda kira. Ingat bahwa untuk beruntung Anda harus berada di tempat yang tepat untuk menerimanya. Banyak orang tidak sadar bahwa mereka mendapatkan keberuntungan dalam hidup justru saat mendapatkannya. Jika seorang penerbit besar atau tokoh besar atau eksekutif besar mengusulkan sebuah pertemuan dengan Anda, batalkan apa pun kegiatan lain yang telah Anda rencanankan: Anda mungkin tidak akan pernah menemukan jendela seperti ini terbuka lagi.

Begitulah salah satu saran Nassim Nicholas Taleb dalam buku Black Swan. Pria kelahiran Lebanon keturunan Yunani ini mengungkapkan hal-hal yang bagi saya sangat mengejutkan dan memikat dalam buku setebal 480 halaman terbitan Gramedia Pustaka Utama itu. Bagi saya, ini salah satu buku yang sangat berguna untuk memahami betapa kehidupan ini tidak bisa diramalkan dan manusia sering terjebak untuk sok tahu.

Black Swan digunakan untuk menyebut peristiwa besar yang terjadi secara acak dan berdampak besar bagi kehidupan. Munculnya buku best seller, kehadiran Internet, Google, resesi ekonomi, perang besar, adalah sebagian di antara Black Swan.

Tiga karakteristik Black Swan yang disebut NNT adalah: tidak dapat diramalkan; memberikan dampak yang masif; dan setelah terjadi, mendorong kita untuk membuat penjelasan bahwa peristiwa itu bukan kebetulan, dan lebih bisa diramalkan daripada sesungguhnya.

Lalu, mengapa dipilih nama Black Swan untuk menyebut peristiwa besar yang tidak lazim itu? Konon, sebelum benua Autralia ditemukan oleh orang Eropa, mereka yakin bahwa semua angsa berwarna putih. Semua ahli di “Dunia Lama” meyakini hal itu didasarkan pada segala pengamatan dan data dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, cukup diperlukan seekor angsa hitam untuk meruntuhkan pandangan umum yang berasal dari pengamatan banyak ornag terhadap jutaan angsa putih selama berpuluh-puluh abad. Hal yang diperlukan hanya seekor angsa hitam. Itulah Black Swan.

NNT berusaha menjelaskan bahwa kehidupan berjalan lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang tidak kita ketahui daripada sebaliknya. Jenis pekerjaan yang kita jalani saat ini, pasangan hidup yang ada di sebelah kita, kondisi kota yang kita diami, menunjukkan bukti betapa semua itu tidak seperti yang kita ramalkan beberapa puluh tahun yang lalu. Kenyataan menunjukkan betapa lemah kemampuan manusia dalam meramal masa depan.

***
Ada beberapa cerita menarik yang diungkapkan NNT. Salah satunya adalah soal kalkun yang diadopsi dari tulisan Russel soal ayam.

Seekor kalkun dipelihara dengan penuh perhatian selama 1.000 hari lalu disembelih pada hari ke-1.001. Bagi kalkun, data selama 1.000 hari pertama menunjukkan bahwa ekstrapolasi untuk hari ke-1.001 adalah perlakuan yang sama baiknya atau lebih baik. Disembelih pada hari ke-1.001 adalah kejutan, bertentangan dengan semua data yang dihimpunnya mengenai perlakuan si tuan selama 1.000 hari pertama.
Akan tetapi, bagi peternak, perlakuan pada hari ke-1.001 sudah sesuai rencana, tidak bertentangan dengan perlakuan pada hari-hari sebelumnya. Ini hanya masalah jadwal dan cakupan pemahaman.

Seorang kawan berseloroh mengenai hal ini: bagi konsumen, kerusakan ponsel pada tahun ke-2 adalah musibah, sementara bagi produsen, hal itu sudah sesuai rencana. Dalam kehidupan nyata, banyak yang lebih rumit dibandingkan kerusakan ponsel yang (bagaimana pun) masih dapat diduga sebelumnya.
Jadi, penting untuk tetap skeptis, tidak terlalu percaya pada ramalan dan data-data yang sejauh ini menunjukkan semuanya baik-baik saja. Bisa jadi ada variable lebih penting, lebih besar, yang tidak atau belum diungkapkan.

***
Kisah lainnya yang juga menarik adalah mengenai Geovanni Drogo. Tokoh fiktif dalam novel karya (penulis fiktif) Yevgenia. Karakter utama dalam cerita Il Deserto itu begitu siap menghadapi Black Swan yang ternyata, tragisnya, tidak pernah datang. Drogo adalah seorang perwira muda yang penuh semangat. Pada awal karirnya ditempatkan di sebuah benteng perbatasan di pinggir padang pasir. Dalam penugasan selama empat bulan itu, semula dia merasa tidak nyaman. Akan tetapi, lama-lama dia menikmati penantian sebuah peristiwa besar.

Dia kerasan tinggal di benteng dan menantikan serbuan musuh yang akan membuatnya menjadi pahlawan. Dia terus menunggu dan menunggu hingga 35 tahun. Dan, tragisnya, dia justru tidak berada di tempat ketika peristiwa besar yang telah dinantikan bertahun-tahun itu terjadi.

Di dunia nyata, hampir semua orang mengira bahwa perang besar yang (akhirnya) terjadi bertahun-tahun (seperti Perang Dunia I & II) itu semula hanya akan berlangsung beberapa hari. Para korban mengungsi dengan harapan beberapa pecan kemudian dapat kembali ke tempat tinggalnya. Ternyata, berpuluh tahun kemudian, mereka masih tinggal di pengungsian.

Banyak orang menjadi pengamen dengan harapn sekian bulan ke depan dapat menemukan pekerjaan lain yang lebih baik. Ternyata, bertahun kemudian, dia masih juga mengamen. Banyak juga pilihan karir lain yang bentuknya serupa.

***
Cerita berikutnya mengenai Giacomo Cassanova. Cassanova yang menyebut dirinya sebagai Jaques, Chevalier de Seingalt, adalah sosok yang sangat ingin menjadi intelektual namun dikenal sebagai penggoda perempuan.

Dia digambarkan sebagai orang yang lebih licin daripada Teflon: kemalangan tidak pernah singgah kepadanya. Sastrawan yang dikenal dengan 12 jilid buku berjudul History of My life itu mengungkapkan cerita tentang serangkaian nasib baik yang mengubah jalan hidupnya.

Ketika sesuatu menjadi buruk baginya, entah bagaimana dia akan bertemu dengan seseorang di tampuk kekuasaan yang menawarkan kerja sama bisnis dengannya, seorang penyandang dana baru yang belum pernah dia khianati dalam perjumpaan sebelumnya, atau seorang yang cukup dermawan dengan ingatan yang cukup lemah untuk melupakan kesalahan-kesalahannya di masa lalu.

Cassanova seolah-olah dipilih oleh takdir untuk selalu lolos dari bahaya. NNT berusaha menjelaskan bahwa keberuntungan yang terus menerus seperti Cassanova itu mungkin terjadi dalam dunia yang pada hakekatnya adalah acak ini. (Bersambung, insya Allah)

Gambar: Gramedia Matraman

06 Mei 2009

Apa salahnya mendukung WiMax lokal?

Banyak kontroversi mengenai pemilihan pita frekuensi dan varian teknologi pita lebar nirkabel WiMax yang akan digunakan di Indonesia. Di sana ada standar internasional dengan pemain-pemain utama yang sudah tersohor, sementara di sini ada standar berbeda dengan pemain yang baru memulai.

Kekhawatiran yang sering muncul jika Indonesia memiliki standar (frekuensi) sendiri adalah tidak comply dengan standar internasional. Tapi, saya ingin membalik pertanyaan: apa ruginya sih sebenarnya kalau sekarang kita kembangkan standar sendiri yang agak unik sebagai entry barrier untuk pemain internasional?

Ada beberapa hal yang perlu dicermati
1. Bahwa pasar untuk WiMax di dunia ini belum matang. Nilainya masih sangat kecil dibandingkan dengan 3G dan GSM yang sudah menjangkau segala penjuru bumi. Bahkan dibandingkan dengan pasar untuk Wi-Fi pun WiMax masih kecil sekali. Saya yakin, butuh waktu paling tidak lima tahun ke depan untuk memungkinkan WiMax tumbuh menjadi raksasa (dengan asumsi yang sangat optimistis, berlaku di seluruh penjuru bumi)

2. Penetapan standar khas Indonesia toh tidak akan menghalangi perkembangan WiMax yang mengikuti standar internasional (WiMax Forum). Biar saja pemain internasional tetap menjalankan standar mereka, toh kita tidak diisolasi. Bukankah kita bisa setiap saat bergabung ke standar internasional kalaulah eksperimen dengan standar lokal gagal.


3. Katakanlah kita mencoba mengembangkan standar lokal ini untuk tiga tahun atau lima tahun ke depan. Mungkin kita bisa menguji dan mengoptimalkan sumber daya lokal untuk mengembangkan pasar domestik. Berapa besarnya investasi yang mungkin tersia-sia? Kita bisa lihat nilai pasarnya saja. Biaya langganan rata-rata yang bisa dianggap pas untuk kantong orang Indonesia kira-kira Rp100.000 per bulan. Dengan asumsi volume pasar yang matang adalah 2 juta sambungan, maka dalam keadaan pasar yang matang, omzet jasa yang tersedia sekitar Rp2 triliun per tahun. Katakanlah butuh lima tahun menuju volume pasar itu. Investasi sebelum masa itu saya kira di bawah Rp1 triliun per tahun (termasuk untuk riset, pabrikan, dan sebagainya). Artinya, nilai uang yang mungkin terbuang jika gagal adalah sekitar Rp5 triliun dalam 5 tahun. Nilai ini sebenarnya tidak besar-besar amat dibandingkan nilai uang yang sudah terbuang untuk pembangunan CDMA, 3G dan sebagainya. Jadi, siapa takut?

4. Apakah pengguna pada masa percobaan akan rugi? Mungkin saja rugi. Dia sudah beli dongle, access point dan sebagainya. Sama dengan orang beli handphone lalu layanannya mati. Tapi saya kira tidak terlalu besar kerugiannya. Toh pada saat yang sama pengguna individu masih bisa memakai 3G, dan pengguna korporasi bisa memakai Speedy.

Tentu saja lebih fair untuk membandingkannya dengan keuntungan apa saja yang mungkin kita dapatkan dari WiMax. Potensi keuntungan itu benar-benar perlu dieksplorasi dengan cerdas. Kalau memang mau pakai model proyek-proyekan seperti jaman dulu (asal tidak dikorupsi), kalau semua kantor pemerintah dan sekolah dilengkapi dengan koneksi WiMax, wah berapa besar pasar yang bisa diselamatkan?

Saya kira, sedekat dan sependek pengetahuan saya, dengan analisis yang sangat dangkal ini, tidak ada salahnya saat ini menetapkan standar WiMax yang khas Indonesia. Kondisinya mungkin berbeda kalau kita menetapkan standar unik itu tiga tahun mendatang. Wallahu alam.