Banyak kontroversi mengenai pemilihan pita frekuensi dan varian teknologi pita lebar nirkabel WiMax yang akan digunakan di Indonesia. Di sana ada standar internasional dengan pemain-pemain utama yang sudah tersohor, sementara di sini ada standar berbeda dengan pemain yang baru memulai.
Kekhawatiran yang sering muncul jika Indonesia memiliki standar (frekuensi) sendiri adalah tidak comply dengan standar internasional. Tapi, saya ingin membalik pertanyaan: apa ruginya sih sebenarnya kalau sekarang kita kembangkan standar sendiri yang agak unik sebagai entry barrier untuk pemain internasional?
Ada beberapa hal yang perlu dicermati
1. Bahwa pasar untuk WiMax di dunia ini belum matang. Nilainya masih sangat kecil dibandingkan dengan 3G dan GSM yang sudah menjangkau segala penjuru bumi. Bahkan dibandingkan dengan pasar untuk Wi-Fi pun WiMax masih kecil sekali. Saya yakin, butuh waktu paling tidak lima tahun ke depan untuk memungkinkan WiMax tumbuh menjadi raksasa (dengan asumsi yang sangat optimistis, berlaku di seluruh penjuru bumi)
2. Penetapan standar khas Indonesia toh tidak akan menghalangi perkembangan WiMax yang mengikuti standar internasional (WiMax Forum). Biar saja pemain internasional tetap menjalankan standar mereka, toh kita tidak diisolasi. Bukankah kita bisa setiap saat bergabung ke standar internasional kalaulah eksperimen dengan standar lokal gagal.
3. Katakanlah kita mencoba mengembangkan standar lokal ini untuk tiga tahun atau lima tahun ke depan. Mungkin kita bisa menguji dan mengoptimalkan sumber daya lokal untuk mengembangkan pasar domestik. Berapa besarnya investasi yang mungkin tersia-sia? Kita bisa lihat nilai pasarnya saja. Biaya langganan rata-rata yang bisa dianggap pas untuk kantong orang Indonesia kira-kira Rp100.000 per bulan. Dengan asumsi volume pasar yang matang adalah 2 juta sambungan, maka dalam keadaan pasar yang matang, omzet jasa yang tersedia sekitar Rp2 triliun per tahun. Katakanlah butuh lima tahun menuju volume pasar itu. Investasi sebelum masa itu saya kira di bawah Rp1 triliun per tahun (termasuk untuk riset, pabrikan, dan sebagainya). Artinya, nilai uang yang mungkin terbuang jika gagal adalah sekitar Rp5 triliun dalam 5 tahun. Nilai ini sebenarnya tidak besar-besar amat dibandingkan nilai uang yang sudah terbuang untuk pembangunan CDMA, 3G dan sebagainya. Jadi, siapa takut?
4. Apakah pengguna pada masa percobaan akan rugi? Mungkin saja rugi. Dia sudah beli dongle, access point dan sebagainya. Sama dengan orang beli handphone lalu layanannya mati. Tapi saya kira tidak terlalu besar kerugiannya. Toh pada saat yang sama pengguna individu masih bisa memakai 3G, dan pengguna korporasi bisa memakai Speedy.
Tentu saja lebih fair untuk membandingkannya dengan keuntungan apa saja yang mungkin kita dapatkan dari WiMax. Potensi keuntungan itu benar-benar perlu dieksplorasi dengan cerdas. Kalau memang mau pakai model proyek-proyekan seperti jaman dulu (asal tidak dikorupsi), kalau semua kantor pemerintah dan sekolah dilengkapi dengan koneksi WiMax, wah berapa besar pasar yang bisa diselamatkan?
Saya kira, sedekat dan sependek pengetahuan saya, dengan analisis yang sangat dangkal ini, tidak ada salahnya saat ini menetapkan standar WiMax yang khas Indonesia. Kondisinya mungkin berbeda kalau kita menetapkan standar unik itu tiga tahun mendatang. Wallahu alam.
1 komentar:
Copy paste dari Facebook
NE pada 17:07 06 Mei
Sebelumnya Korea sudah punya WiBro...
Memang di Wimax Congress Asia kemarin saya lihat tidak ada vendor yang memamerkan produk berbasis 16d, semua 16e. Tapi wait a minute, perbedaan besar di antara keduanya adalah OFDM/OFDMA dan mobilitas: 16e dirancang untuk berfungsi sampai 120 km/jam (walaupun kenyataannya jarang yang mencapai ini).
Secara malu2 ada beberapa vendor yang implisit mengatakan mereka "didekati" atau "mendekati" operator2 di Indonesia.
OR pada 17:20 06 Mei
Katanya yang 16e itu murah sekali, hanya dengan 50jt rupiah jadi 1 BTS, sedangkan 16d butuh dana 10M/BTS, bener gak? Dan di korea udah dijual kayak kacang goreng, bener gak? Dan katanya lagi kalo diterapkan di indonesia, hanya dengan uang 50rb/bulan, kita bisa dapet bandwidth buat nyetel film tanpa putus sedikitpun unlimited. Dan katanya lagi yang paling takut diterapkan standar 16e adalah TELKOM. Bener ga?
BSH pada 17:30 06 Mei
Saya kira yang lebih dominan bagi calon operator seberapa besar kapasitas pelanggan yang dapat dilayani per BTS sector. Nah, dengan angka yang berkisar antara 10-15 pengguna bersamaan per BTS sector saat ini dari wimax lokal 802.16d, sangat sulit bagi siapapun untuk mencapai titik imbang ke-ekonomiannya. Sementara 802.16e berada diangka 200'an per BTS sector, yang tentu saja jauh lebih menarik untuk dikembangkan.
Tentang itung-itungan berapa investasi yang akan "burnt" saat migrasi ke sistem yang lebih baru (m atau e) ... ya tergantung ybs .... mungkin anggap saja cost of business atau buang sial :-)
SS pada 21:30 06 Mei
niat dan ide dasar depkominfo utk bikin WImax d di Indonesia di frek 2.3G sudah benar dan baik. Cuman, niat dan ide baik itu rasanya tidak dibarengi perencanaan dan pertimbangan detil yang menyeluruh dan matang. Akibatnya bisa muncul resiko 'back fire' ke kedua undustri dalam negeri yang sudah sangat terpuji mau mendesain dan memproduksi perangkat wimax d kita. Sebab, kalau pemenang tender frekuensi ditetapkan dan kena jadwal modern licensing , sementara produk industri DN nya belum comercially stabilized dan ready maka timbul situasi tak menentu dan kemungkinan besar industri DN akan kena semprot dan kritik yg sering dialami mereka ... tidak siap lah, tidak mampu lah, produksi luar negeri lebih baik lah ( tentu saja!) dll dll, kasihan...
DH pada 22:51 06 Mei
Sebagai ide dan gagasan, kebijakan ini perlu didukung. Hanya saja, kerap kebijakan tidak didukung dengan roadmapnya. Sebenarnya apa sich yang diharapkan dari semua ini. Sekali lagi soal visi. Harus diakui, saat ini kita miskin dengan para pemimpi. Yang muncul hanya gagasan sejenak. Visi-visi besar yang berdaya jangkau hampir tidak muncul. Demikian pula di teknologi informasi. Saya setuju untuk memulai berani melakukan standarisasi terhadap produk dalam negeri. Namun perlu dilakukan secara berkesinambungan dan ketat. Karena itu jangan heran jika Wimax hanya akan menjadi kegenitan proyek semata yang ujungnya masyarakat dan negara yang dirugikan.
WH pada 6:02 07 Mei
Jika pemerintah serius dalam membangun Industri Dalam Negeri (IDN) seharusnya Pemerintah berani menjadi pembeli utama perangkat IDN ini untuk mendukung program e-Government misalnya. Bayangkan, berapa banyak perangkat IDN yang diperlukan untuk menghubungkan semua instansi-instansi Pemerintah diseluruh Indonesia. Ini akan menjadi modal buat IDN untuk terus mengembangkan perangkatnya dan otomatis akan memberikan keyakinan dan contoh kepada operator-operator untuk menggunakan perangkat IDN. Liat aja skr, TELKOMSEL dengan proyek USOnya dan 10 MHz alokasi frekuensi BWA di 2,3 GHz yang didapat apakah telah benar-benar memanfaatkannya dengan membeli perangkat IDN ??
DH pada 6:11 07 Mei
Jika belanja modal tersebut bersumber dari APBN, menurut saya sangat sulit. Karena untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan berdasarkan laporan nota keuangan hanya berkisar 8-10 persen. Yang dibutuhkan adalah pemerintah yang bervisi dan mampu menyatukan kekuatan berdasarkan visi itu. Diharapkan kerja visilah yang mendorong penyerapan produk-produk dalam negeri, tidak hanya sektor IT semata. Jika itu bisa dilakukan, saya kira setengah problem bangsa dapat teratasi.
NE pada 6:44 07 Mei
Saya kira dengan perkembangan sekarang, sebuah standardisasi baru seperti WiBro sudah sangat terlambat. Lagipula, bukankah dengan tender 16d dan 2,3 itu menunjukkan "standardisasi" khusus Indonesia untuk tahap awal? Ya, untuk tahap awal.
@pak WH: seandainya betul tiba2 pemerintah dan DPR mau mengalokasikan untuk belanja alat Wimax, maukah MNC seperti Motorola (asumsi: divisi wireless tidak dijual) bikin JV untuk desain di Indonesia? :-)
WH pada 6:52 07 Mei
@Mas NE: seperti kebijakan TKDN, kita di lokal terus berusaha untuk "comply" namun semua juga berpulang ke Manajemen ditingkat Regional bahkan HQ. Memang susah ya, karena mereka memiliki banyak pilihan bisnis yang lebih menguntungkan. Katakan di Indonesia kebijakan "rese" dan "njelimet" dengan mudahnya mereka mengalihkan fokus bisnis ke Vietnam misalnya. Kita - kita di lokal saja yang siap - siap menerima dampaknya.
Posting Komentar