25 Oktober 2011

Ketika penguasa tersandung tukang rumput

Hiruk pikuk tentang tukang kebun atau tukang rumput dan pembesar membawa ingatan saya terhadap cerita tentang Bupati Semarang, Adipati Pandanaran, yang berkuasa lima abad yang lalu.

Adipati Pandanaran adalah orang yang hebat. Selain berkuasa, dia juga pandai berbisnis serta berdagang. Hartanya melimpah ruah. Sebagai orang kaya dan berkuasa, dia punya kuda yang hebat dan mahal.

Suatu hari, pekathik yang bertugas memelihara kuda berhalangan. Jadi kuda-kuda mahal belum diberi rumput. Lalu datanglah tukang rumput yang baru dikenalnya. Si tukang rumput menjual rumput bagusnya dengan harga di bawah pasaran.

Esoknya, hal yang sama kembali terjadi. Tukang rumput datang lebih pagi dan menawarkan rumput yang lebih bagus. Ketika ditanya, si tukang rumput mengaku berasal dari tempat yang jauh. Adipati Pandanaran pun tidak percaya tukang bisa datang dari tempat yang begitu jauh sepagi itu.

Sebelum pergi, tukang rumput minta sedekah. Ketika diberi uang, dia tidak mau. Yang diminta adalah bunyi beduk di kota Semarang yang berarti meminta Adipati Pandanaran agar membangun mesjid.

Tentu saja hal itu ditolak. Lalu terjadilah dialog sengit yang intinya mempersoalkan peran harta. Si tukang rumput menyatakan bahwa harta bukanlah hal penting, dia bisa mencangkul emas di tanah.

Sang Adipati marah dan meminta tukang rumput itu membuktikan ucapannya. Lalu mencangkullah si tukang rumput. Dan ajaib, dari bongkahan tanah itu benar-benar muncul emas.

Maka bertobatlah sang Adipati. Tukang rumput itu tak lain adalah Sunan Kalijaga yang mendapat tugas dari para wali untuk mengingatkan penguasa Semarang.

Singkat cerita, Adipati Pandanaran berguru pada Sunan Kalijaga, meninggalkan semua harta kekayaannya, dan pada akhirnya dikenal dengan nama Sunan Bayat atau Sunan Tembayat.

Kisah perjalanan Adipati Pandanaran dalam berguru ini menjadi cerita mengenai asal usul daerah Salatiga dan beberapa tempat di sekitarnya.

***
Ada juga versi lain soal bertobatnya Adipati Pandanaran. Konon ada tukang rumput tua yang biasa mengirimkan rumput untuk kuda Sang Adipati, namun di dalamnya terselip emas dan barang berharga.

Beberapa kali hal itu terjadi, sampai suatu saat tukang rumput tua menghentikan pasoknya. Sang Adipati memaksa tukang rumput memberikan rumput yang disertai emas. Lalu sang tukang rumput yang tak lain adalah Sunan Kalijaga menunjukkan keajaiban dengan cara mencangkul tanah yang di dalamnya muncul emas.

Intinya sama-sama menunjukkan bahwa Sunan Kalijaga menyamar jadi tukang rumput, ada keajaiban dalam mencangkul tanah, serta penguasa yang gila harta itu bertobat dan kemudian menjadi pengikut utama dari Sang Wali.

***
Belakangan ini kita dikejutkan oleh berita tentang tukang kebun, kadang disebut pula tukang rumput, yang diamankan karena melintas di hadapan pembesar.

Soal hubungan tukang kebun dengan penguasa atau pembesar ini, mungkin kita bisa belajar dari cerita tentang Bupati Semarang Adipati Pandanaran alias Sunan Bayat alias Sunan Tembayat itu.

*) Gambar Sunan Kalijaga diambil dari forumsejarah.blogspot.com

Cerita dari Marshall Island

Pesawat dengan nomor registrasi PK-GFR itu mendarat mulus di sebuah pulau kecil di tengah Samudra Pasifik. Landas pacu dan tempat parkir pesawat menghabiskan hampir seluruh wilayah pulau yang memang sangat kecil itu.

Begitu pintu dibuka dan belalai gajah dipasang, seorang wanita berpakaian sederhana dan terkesan ndeso segera naik, diikuti beberapa pria berbadan tegap. Mereka adalah petugas pabean, imigrasi, serta karantina setempat.

Mereka memeriksa berbagai dokumen pesawat dan penumpang. Awak pesawat tak lupa sudah telah menyiapkan ‘upeti’ berupa satu kardus wine. Setelah sekitar 5 menit berbincang yang memberikan apa yang mereka minta, para penumpang pun diizinkan turun dari pesawat dan pesawat mengisi bahan bakar.

Itulah bagian dari perjalanan ferry flight pesawat Boeing 737-800NG yang diterima maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Seattle 17 Oktober waktu setempat. Usai serah terima, pesawat langsung diterbangkan Ke Honolulu, Hawaii, dan menempuh penerbagan sekitar 5 jam.

Dari Honolulu pesawat menuju ke bandara Amata Kabua, Majuro Toll, Republik Marshall Island yang berada di Samudra Pasifik, 5 jam penerbangan dari Honolulu. Di bandara yang dipimpin seorag pria brewok asal Austria itulah cerita di atas berlangsung.
Zona waktu Marshall Island 5 jam di depan Jakarta dan 2 jam di belakang Hawaii (dengan mengabaikan perbedaan tanggal atau hari).

Posisinya yang strategis membuatnya menjadi persinggahan bagi pesawat yang akan menyeberangi Pasifik namun tidak sanggup menjalani penerbagan langsung.

Marshall Island menjadi persinggahan yang paling singkat sekaligus menegangkan dibandingkan dengan persinggahan lain dari ferry flight tersebut. Kondisinya jelas berbeda dengan persinggahan di Honolulu yang disambut kalungan bunga, persinggahan di Biak yang disambut oleh Bupati Biak Numfor disertai tarian tradisional Wor, serta pendaratan di Jakarta yang disambut upacara wah.

Di Marshall Island, penumpang memang diizinkan turun, namun tidak boleh jauh dari pesawat. Bahkan berfoto di bawah plang nama bandara dan nama wilayah pun semula mereka larang.

Rute Seattle-Hawaii-Marshall Island-Biak-Jakarta merupakan rute standar bagi pesawat Boeing 737-800NG yag diambil dari Renton, Seattle, untuk dibawa ke Jakarta. Pesawat jenis ini tidak bisa melintasi Pasifik tanpa mengisi bahan bakar di perjalanan...

*) Selengkapnya bisa dibaca di Bisnis Indonesia halaman i5 edisi 25 Oktober 2011 dengan judul "Berpacu meremajakan armada".

Kesan tentang Hawaii

Hawaii tidak masuk dalam radar harapan untuk saya kunjungi. Lha pikiran saya menyatakan mau meliput apa ke Hawaii. Mana ada acara konferensi dan semacamnya yang digelar di surga pariwisata itu?

Ternyata takdir bicara lain. Kepulangan dari Seattle ternyata harus lewat Hawaii, selain Majuro Atoll di Republik Marshall Island. Baik Hawaii maupun Marshall Island sama-sama berada di Samudra Pasifik. Sebuah tempat yang bolehlah dibilang antah berantah.

Turun dari pesawat kami disambut dengan kalungan bunga. Masuk hotel kalungan bunga lagi. Berbeda dengan Seattle yang sama sekali tidak ada macet, kedatangan kami ke Honolulu langsung bertemu dengan kemacetan. Jalan dari bandara ke hotel harus menembus kemacetan panjang.

Mobil-mobil di Hawaii besar-besar, khas Amerika. Salah satu mobil yang menjemput kami adalah Cadillac yang jumlah seatnya sama dengan Avanza/Xenia, namun ukurannya sebesar truk. Di jalanan banyak mobil limo berupa sedan yang panjangnya tak kalah dengan truk besar di Indonesia.

Kendaraan umumnya mulus dan baru. Tapi di sana-sini sempat terlihat pula mobil tua. Ini tidak saya temui selama 3 hari sebelumnya di Seattle.

Jalanan bersih. Lingkungan juga tampak bersih. Tidak ada sampah. Selama 2 hari di Hawaii kami sempat disambut hujan gerimis yang berganti dengan mendung, ganti lagi dengan cerah, lalu hujan deras. Konon begitulah cuaca Hawaii sepanjang tahun. Tidak ada bedanya antara musim dingin dan musim panas, antara musim hujan dan kemarau. Hawaii tetap hangat di musim dingin, dan tidak menyengat pada musim panas.

Sama dengan hotel di Seattle, hotel di Hawaii pun tidak menyediakan sikat gigi dan odol. Padahal ini hotel yang besar dan bagus, jauh lebih besar daripada hotel di Seattle. Saya tidak tahu apakah memang begini aturan perhotelan di AS.

Business center juga sudah tutup jam 5 sore. Ini berbeda dengan hotel di Seattle yang menyediakan 2 komputer bebas pakai 24 jam di lobby. Memang kita bisa minta dibukakan business centre dan meminjam komputer serta Internet secara gratis di sana. Namun tetap ada proses dan prosedur yang harus ditempuh. Memang sebaiknya ke AS itu membawa laptop. (Dan tanpa stiker juga mungkin gak papa lho)

24 Oktober 2011

Kesan tentang AS


Alhamdulillah penantian visa selama hampir enam bulan tak sia-sia. Persis pada hari saya mengambil paspor yang sudah bervisa AS, muncul undangan ke AS dengan permintaan wartawan yang telah memiliki visa AS. Dan ini adalah perjalanan menarik karena melewati banyak tempat dan banyak lokasi yang semuanya baru buat saya.

Perjalanan berangkat dari Jakarta melalui Taipei (Taiwan) lanjut ke Seattle. Pulangnya dari Seatlle ke Honolulu, Hawii, lalu berlanjut ke Majuro, Marshall Island, di Samudra Pasifik, terus ke Biak, Papua.

Berikut ini beberapa kesan saya tentang AS yang dalam beberapa hal agak berbeda dibandingkan dengan asumsi atau dugaan awal.

*Soal imigrasi. Alhamdulillah proses di imigrasi Seattle lancar dan singkat sekali. Barangkali mereka sebenarnya ingin jawaban yang singkat satu dua buah kata saja. Mungkin karena kami berada di bagian terakhir dari antrean. Mungkin mereka sudah males, capek, atau memang merasa kami semua baik-baik saja. Proses di depan petugas paling cuma 1 menit, sama dengan di negara-negara lain.

Kebingungan sempat muncul soal mengisi check list keperluan. Kalau di negara lain, liputan biasanya kita bilang bisnis. Tetapi berhubung di AS ada visa wartawan yang berbeda dengan visa turis dan visa bisnis, jadi rada ragu. Mau dijawab bisnis takut ditanya soal perolehan uang, pembayaran pajak dll. Akhirnya saya centang yes saja bahwa acara bisnis.

Saya tak berani membawa laptop yang tidak berstiker software resmi. Apalagi Seattle kan kantor pusat Mikocok. Tapi ternyata di imigrasi kedatangan tidak ada scanning barang tentengan tuh.

*Mobil-mobil besar. Di tempat penjemputan di bandara Seattle, kesan pertama saya adalah mobil-mobil yang amat besar. Mobil penjemputnya sebesar truk di Indonesia. Di jalan raya, kendaraan juga besar-besar. Tidak ada city car di Seattle, kecuali Smart yang unik itu.

Harrier, Camry dan mobil-mobil yang di Jakarta termasuk besar di Seattle mah termasuk biasa atau bahkan kecil. Banyak sekali mobil yang lebih besar daripada itu. itulah makanya AS adalah konsumen minyak yang amat besar. Boros dan memancing krisis minyak dunia.

Kalau mereka bisa dipaksa pakai kendaraan yang lebih kecil, mungkin kebutuhan minyak dunia tidak besar-besar amat. Tapi bagaimana lagi, kebanyakan tubuh mereka memang besar-besar. Kegemukan dan jarang jalan kaki agaknya merupakan gejala umum.

*Barang mahal. AS termasuk yang anti barang bajakan dan barang palsu. Nah, merek-merek terkenal banyak dijual di mal seperti di Nordstrom, Norsdtrom Rack (yang diskon), serta Factory Outlet/ Premium Outlet di Tulalip dekat perbatasan dengan Kanada.

Nah, di tempat-tempat itu ternyata banyak diskon dan banyak barang bermerek yang dijual jauh lebih murah daripada di Indonesia. Tas Samsonite, misalnya, diskonnya ada yang sampai 50%. Merek-merek lain berbagai jenis pakaian, sepatu, tas, juga ada. Tapi saya yang ndeso ini tidak mengerti dan tidak beli.

Tapi, kesimpulan saya, AS adalah salah satu surga belanja juga bagi mereka yang hobi shopping dan banyak uang.
Souvenir murah juga ada dan cukup banyak. Tetapi umumnya itu buatan Chna, atau Honduras, atau negara dunia ketiga yang kemudian diimpor oleh AS.

*Angkutan umum. Ada asumsi bahwa di negara maju angkutan umum begitu banyak dipakai dan orang lebih memilihnya daripada kendaraan pribadi. Itu memang benar di Jepang, Singapura, dan mungkin sebagian Eropa. Tapi agaknya itu tidak berlaku di Seattle.

Kami menginap di dekat bandara, agak jauh dari down town. Katanya, yang pakai bus Cuma orang Asia. Itu pun nunggu bus bisa sampai 2 jam baru datang. Mana cuaca dingin pula. Jadi bus bukanlah kendaraan pilihan. Orang kebanyakan pakai mobil pribadi atau kendaraan sewaan. Enak juga wong jalanan lengang, tidak ada kemacetan.

*Penyeberang jalan. Salah satu budaya yang saya sangat suka adalah mereka sangat menghormati pejalan kaki. Kalau ada orang mau nyeberang jalan atau dekat tempat parkir, memerak jauh-jauh sudah mengerem dan memberi jalan. Sama sekali berebeda dengan orang Indonesia.

Benar-benar terasa bahwa pengendara mobil itu mengalah dan bersedia memberi kesempatan kepada pejalan kaki, bahkan kalau pejalan kaki itu kurang menyadari ada mobil yang telah menunggunya agar segera lewat. Tidak ada suara klakson karena memencet klakson konon dimaknai sebagai kemarahan besar yang akan dibalas dengan kemarahan balik. (Bersambung)

03 Oktober 2011

Cerita (lanjutan) tentang sepotong visa


Akhirnya visa AS ini keluar juga. Saya mengambilnya akhir September, lebih dari 5 bulan sejak wawancara pada pertengahan April 2011. Bagi saya, ini penantian terpanjang proses pengurusan visa. Saya kira bagi kebanyakan orang, masa 6 bulan (sejak awal pengurusan) itu termasuk sangat amat lama.

Sejatinya saya mendapat tugas ke AS pada Maret (untuk keberangkatan akhir April ke Orlando). Berhubung masa berlaku paspor saya tinggal 6 bulan, maka sekalian saya buat paspor yang baru. Waktu wawancara paspor, petugas di imigrasi bertanya mau ke negara mana. Begitu dengar AS, dia langsung nyeletuk, “Katanya bisa lama, ya, Mas. Ada yang sampai satu tahun nunggu visa.”

Waktu itu saya tidak menggubris. Tidak percaya bahwa proses pembuatan visa bisa begitu lama. Sekarang saya bisa maklum pernyataan Pak Petugas itu.

***
Saya mendapat jadwal wawancara pertengahan April. Karena ada data yang kurang lengkap pada formulir DS-160, saya harus melengkapinya, dan akhirnya dapat jadwal wawancara empat hari kemudian.

Saat itu semua terasa baik-baik saja. Saya dapat kertas putih yang menunjukkan permohonan visa disetujui dan paspor dapat diambil antara 2-7 hari ke depan di kantor RPX. Ternyata sampai hari H, tujuh hari berlalu, tetap paspor belum ada di RPX. Selidik punya selidik saya kena apa yang disebut “pemeriksaan administrasi tambahan.”

Nah proses ini tidak bisa dipastikan kapan selesainya. Saya tidak perlu melakukan apa pun dan tidak perlu melengkapi dokumen apa pun. Benar-benar membingungkan.

Repotnya, ada penugasan lagi untuk pergi ke Las Vegas, awal Juni. Sampai saat itu pun belum ada kabar soal visa dan saya tidak bisa berbuat apa-apa.

***
Juli ada tugas untuk ke Jepang. Sementara paspor masih ‘tertahan’ di kedutaan AS. Saya harus meminjam paspor milik saya sendiri. Caranya dengan kirim email yang menjelaskan untuk apa dan kapan paspor itu digunakan. Proses ini lancar, cepat, dan mudah.

Sepulang dari Jepang ada momentum puasa dan lalu Lebaran. Saya sudah enggak ngarep lagi untuk dapat visa mengingat waktunya sudah lewat dari 100 hari, dan sistem pengecekan online berubah sehingga saya tidak bisa melakukan pengecekan mandiri.

***
Nah, pertengahan September saya kok ndilalah iseng mencoba kirim email lagi sekadar bertanya apakah masih berpeluang mendapat visa mengingat waktunya sudah begitu lama, sekalian bertanya apakah perlu mengembalikan paspor.

Kali ini jawabannya luar biasa. Terkaget-kaget rasanya ketika muncul kalimat yang menyatakan “proses administrasi tambahan” atas nama saya sudah selesai. Saya diminta segera mengembalikan paspor ke RPX. Nah, titik cerah mulai muncul.

Pada kesempatan pertama paspor langsung saya bawa ke RPX. Lalu sepiii lagi. Seminggu kok tidak ada kabar apa-apa. Bukankah biasanya kalau paspor sudah bisa diambil kembali di RPX seorang pemohon visa mendapat notifikasi?

Saya coba kirim email. Eh, ternyata jawabannya kembali mengejutkan: paspor sudah dikembalikan ke RPX dua hari sejak saya serahkan.

Waah, langsung, segera saja saya meluncur ke jalan raya Ciputat. Kalau biasanya saya nauk busway dan sambung metromini ke sana, kali ini saya naik taxi. Tidak sabar rasanya naik metromini yang banyak berhenti.

Walaah, ternyata di RPX antre panjang, tidak seperti pekan sebelumnya waktu menyerahkan paspor. Ada sekitar 15 nomor di depan saya. Sebagian dilayani dengan lama karena kebetulan petugas yang biasanya ada di sana sedang tidak masuk. Nasib, nasib.

Bagaimana pun, akhirnya, semua itu tertebus ketika paspor sudah di tangan. Visa sudah benar-benar mewujud. Berlaku selama satu tahun (lumayan, nunggu setengah tahun berlaku satu tahun. Masih lebih lama masa berlaku daripada masa tunggunya, hehehe).

Ternyata, wujud fisik visa AS tidak seindah yang saya bayangkan. Wujudnya kalah menarik daripada visa Jepang yang mengkilap dan indah. Alhamdulillah penantian berakhir. Mudah-mudahan segera ada kesempatan menggunakan visa itu.

Mudah-mudahan cerita ini berguna bagi mereka yang mengurus visa AS, terutama yang prosesnya juga molor dan tertunda tanpa juntrung. Bisa menjadi pembanding bahwa sangat mungkin penantian memerlukanw aktu berbulan-bulan. Wallahu a’lam.