23 Juni 2008

Naik kereta api: Yang miskin harus berbagi


Jumat malam hingga Senin pagi ini saya gunakan waktu untuk mengunjungi keluarga dan kerabat di Tulusrejo, Kutoarjo, serta Purwokerto.

Ini adalah akhir pekan di saat liburan sekolah. Jadi wajar jika jumlah penumpang membeludak. Saya coba beli tiket Jumat malam di loket sudah habis. Begitupun pas kembali. Saya mencari tiket untuk Minggu malam (pada Sabtu siang) juga sudah tidak ada. Akhirnya saya beli lewat calo yang menjual tiket tidak sampai 10 meter di depan loket. Tidak ada lagi tiket kelas eksekutif untuk Sawunggalih Utama ini, jadi pulang pergi saya naik kelas bisnis dengan tarif resmi Rp70.000.

Saat berangakt dan pulang kereta dalam keadaan penuh sesak. Banyak orang yang naik tanpa tempat duduk. Mereka berdiri dan duduk di sembarang tempat, di dekat pintu, di WC, serta di sela-sela kursi milik penumpang yang punya tempat duduk. Saya bahkan sampai sama sekali tidak bisa meluruskan kaki karena ada orang tidur tepat di depan kakiku. Dia tiduran di situ sama sekali tidak berpindah sepanjang berjalanan dari Purwokerto ke Jatinegara.

Kondisi semacam ini jelas berbeda dengan gerbong kelas eksekutif. Di kelas eksekutif, jarak antarkursi relatif lebih lebar. Tetapi orang tanpa tempat duduk justru tidak diperkenankan untuk masuk ke gerbong di mana ada tempat penumpang bertempat duduk. Di sini ada kejelasan hak kursi bagi penumpang yang memiliki nomor tempat duduk itu.

Di kelas bisnis tidak ada batasan itu. Hak pemilik kursi ya hanya pada kursinya. Dia tidak punyak hak terhadap kolong dan ruang di sekitar kursi. Bagi penumpang kelas ekonomi lebih parah lagi. Hak atas kursi pun ditentukan oleh siapa yang duduk di situ terlebih dahulu. Selebihnya aturannya sama dengan kelas bisnis.

Jadi, dalam aturan Kereta Api Indonesia, orang-orang paling kaya dan mapan punya otoritas yang dilindungi untuk mempertahankan haknya sebebas dan seluas mungkin. (bahkan di saat Lebaran, di mana penumpang kereta di kelas lain endeng-endengan seperti sarden, penumpang kelas eksekutif tidak merasakan kepadatan mudik Lebaran di dalam gerbong).

Sementara itu, penumpang yang agak miskin, harus rela berbagi. Dan penumpang yang paling miskin justru harus paling banyak berbagi. Logika macam apa ya ini?

****
Naik kereta api di Indonesia ini memang harus membekali diri dengan pengenalan lokasi yang baik. Kereta ditujukan bagi orang-orang yang sudah sering naik dengan tujuan yang sama. Bagi penumpang yang baru pertama kali naik ke jurusan tertentu, silakan siap-siap tersesat. Tidak ada penunjuk yang jelas posisi kereta sudah sampai di mana.

Kalau orang harus bertanya berkali-kali tentu sangat tidak nyaman. Bukan hanya bagi penanya, tetapi juga bagi pihak yang ditanya. Sementara itu, kalau orang berada di gerbong paling belakang, kecil sekali kemungkinan untuk bisa membaca plang di depan stasiun mengingat posisinya seringkali berada di luar stasiun ketika kereta berhenti.

Salah satu alat yang bisa jadi penolong adalah informasi lokasi pada telepon seluler. Di bawah nama operator biasanya ada informasi mengenai lokasi yang sedang dilalui. Hanya saja, karena informasinya detil (kecamatan) seringkali penumpang juga tidak tahu persis ini berada di sekutar kota (besar) mana.

***

Kupikir ada banyak sekali hal yang harus diperbaiki dari perkereta apian. Sebagai penumpang, rasanya banyak kesengsaraan yang harus siap dihadapi bagi siapa saja yang akan menjadi penumpang dalam jangka waktu lama, misalnya semalam suntuk.

Jadwal kereta mestinya bisa lebih tepat. Jumlah kereta juga diharapkan lebih banyak, dengan pilihan kelas lebih banyak (jangan hanya tiga). Sistem informasi juga hendaknya lebih pintar. Dan, tentu saja, sistem penjualan juga mesti diperbaiki. Tetapi, itu semua tentu butuh biaya. Asal jangan banyak yang korupsi, saya kira kita bisa punya banyak uang lebih untuk investasi.

Wallahu alam.

20 Juni 2008

Bola dan media massa?


Yunani tumbang di babak pertama. Juara bertahan Piala Eropa itu pulang tanpa satu nilai pun. Kebobolan lima gol dan hanya memasukkan satu gol hiburan.

Prancis, finalis Piala Dunia 2006, juga tersingkir di babak pertama. Italia, meskipun mampu mengalahkan Prancis di babak penyisihan (seperti halnya mereka juga mengalahkan prancis pada final Piala Dunia dua tahun lalu), juga tertatih-tatih melewati masa yang berat. Jerman, kasusnya mirip dengan Italia, berat sekali untuk bisa lolos dari babak penyisihan.

Tim-tim jagoan, silih berganti menjadi unggulan. Silih berganti menjadi juara, melalui putaran yang cepat. Beberapa nama mengukir prestasi panjang. Ada nama-nama yang selalu muncul dalam setiap turnamen selama puluhan tahun. Tetapi banyak juga yang prestasinya tidak bisa bertahan lama. Muncul karena tangan dingin pelatih brilian (macam GH asal Belanda itu), lalu tenggelam setelah ditinggalkan.

***
Bagaimana dnegan persaingan di dunia koran? Siapakah nama-nama besar yang akan tetap bertahan untuk masa yang panjang? Adakah nama-nama yang bisa tiba-tiba muncul dan meroket? Adakah tangan dingin yang benar-benar menguasai rumus penerbitan koran (macam GH dalam Bola), sehingga apa pun yang dipegangnya bisa menjadi mainan berbahaya?

Apakah dunia koran konvensional, atau dunia koran maya yang akan mengalami masalah seperti turnamen bola itu? Apakah hal-hal yang model bisnisnya sudah mapan atau yang sedang mencari pola yang bisa memunculkan keajaiban sebuah turnamen?

Mari kita pikirkan bersama-sama. Barangkali Anda punya ide?
Wallahu alam.

17 Juni 2008

Haruskah wartawan seperti peneliti?

Dalam proses menulis sesuatu menjadi bermakna dibutuhkan pengetahuan dan penguasaan masalah yang memadai. Semakin mendalam sebuah tulisan, semakin mendalam juga pengetahuan yang diperlukan. Terlebih lagi jika tulisan itu ditujukan kepada publik, masyarakat luas.

Lalu, apakah itu berarti seorang wartawan, yang tiap hari memproduksi tulisan untuk publik, harus punya pengetahuan mendalam seperti halnya peneliti? Saya kira ada perbedaan mendasar antara peneliti dengan wartawan.

Peneliti menangkap sebuah masalah atau ide, kemudian berusaha mencari pemecahan/ solusi/ jalan ke luar sendiri. Untuk itu, dia harus belajar statistika, membuat alat untuk menghasilkan data, kemudian mempersenjatai diri dengan pisau analisis.

Wartawan juga memulai karyanya dengan menangkap masalah atau ide. Tetapi dia tidak perlu berusaha memecahkan sendiri persoalan itu. Dia mencari nara sumber/peneliti dan sebagainya untuk membantunya memecahkan masalah.

Jadi, bagi wartawan, punya pengetahuan mendalam adalah nilai tambah. Ini akan membantunya mudah memahami dan tidak salah interpretasi terhadap paparan peneliti. Bagaimana pun, ada pengetahuan menimal yang perlu diketahui wartawan agar bisa membuat analisis dengan tepat. Ini berlaku untuk pendalaman. Adapun untuk sekadar isu-isu umum, yang diperlukan adalah akal sehat, logika yang lurus, pengetahuan angka, dan alur berpikir yang cukup.


***
Khusus mengenai kewartawanan di dunia TI –khususnya ekonomi TI-- saya ingin mengusulkan semacam workshop untuk pembekalan. Beberapa materi yang hendaknya perlu diberikan kepada wartawan baru di dunia TI setidaknya meliputi.

1. Faktor-faktor dalam bisnis telekomunikasi. (Undang saja orang Mastel atau pengamat untuk berbicara mengenai isu investasi, regulasi, kompetisi, serta faktor-faktor kunci yang menentukan kondisi makro bisnis telekomunikasi)

2. Perkembangan/ evolusi teknologi telekomunikasi.
-Undang vendor, misalnya Ericsson, untuk bicara mengenai evolusi teknologi seluler dari generasi pertama sampai keempat. Mengapa disebut cellular, bagaimana sambungan antara pengguna ke sentral dan kembali lagi ke pengguna, penggunaan frekuensi dan alokasinya.
- Vendor juga diharapkan bisa menjelaskan evolusi teknologi sambungan kabel (dari telepon tembaga, DSL, hingga serat optik. Aplikasi-aplikasi yang berjalan di atasnya dan semacamnya)

3. Faktor-faktor dalam bisnis peranti lunak
Undang akademisi untuk bicara mengenai industri peranti lunak secara umum, pembagiannya, siapa yang dominan, perkembangan dari masa ke masa. Apa arti open source, propreitary, mengapa ada pembajakan. Peranti lunak korporasi, perannya dalam proses produksi, dsb.

4. Faktor-faktor dalam bisnis peranti keras
Undang akademisi untuk bicara mengenai unsur-unsur peranti keras pada komputer dan bagaimana alat itu bekerja. Bagaimana standardisasi peranti keras dibuat. Bagaimana peran perakit lokal, OEM, pabrikan besar dalam industri ini. Bagaimana tren peranti keras ke depannya.

6. Memahami bisnis Internet (minta orang APJII untuk bicara)
- sejarah Internet dunia dan sejarah Internet Indonesia
- faktor-faktor dalam menentukan biaya akses Internet, sewa jaringan dan akses
- nama domain, hosting, content, warnet, game online, dan bisnis yang terkait dengan Internet
- aplikasi di atas Internet, web 2.0, masa depan Internet

7. Riset dan sumber daya TI
Undang akademisi/peneliti untuk berbicara mengenai hal ini.

***
Masalahnya, untuk menggelar sebuah workshop, peserta satu desk dari satu saja perusahaan koran pasti sangat sedikit.

Jalan keluarnya, pengelola rubrik atau desk editor mungkin bisa mulai membuat tulisan mengenai masing-masing item yang diperlukan seperti di atas, sebagai modul-modul pembelajaran bagi wartawan pemula.

Cara yang lebih gampang, cari situs-situs Internet yang bisa memberikan pencerahan seperti di atas. Catat link-link itu, lalu diskusikan secara berkala sesuai target kurikulum (hehehe, kayak sekolah saja….)

Wallahu a’lam.

02 Juni 2008

Ketika disconnected justru diinginkan


Saat ini ada beberapa layanan akses data Internet unlimited dengan biaya terjangkau di Indonesia.

Firstmedia menyediakan paket Rp100.000 per bulan untuk akses melalui kabel dengan kuota tak dibatasi. Indosat, XL dan Telkomsel dengan Blackbery juga menyediakan akses unlimited melalui akses poin Blackberry.net, dengan biaya sekitar Rp200.000 per bulan. Balakangan Telkomsel menambah pilihan melalui Flash unlimited dengan biaya mulai Rp125.000 per bulan.

Pilihan untuk selalu terhubung ke Internet alias always connected (atau 'nyambung terus' kalau pakai bahasa XL) sudah semakin banyak dan terjangkau.

Paling-paling yang menjadi masalah adalah alat aksesnya saja. Sejauh ini hanya Blackberry yang memungkinkan always connected dalam arti sebenarnya. Akses melalui notebook atau PC desktop masih banyak mengalami kendala bobot dan ruang. Adapun akses melalui ponsel biasa akan mengalami kendala keterbatasan memori dan daya tahan baterai.

***
Saya sudah hampir setengah tahun ini menggunakan Blackberry dengan akses unlimited. Artinya, sudah sampai mabok rasanya mengakses Internet setiap saat, always connected.

Menerima puluhan e-mail dari milis Awak Readksi, IA-ITB yang ramai sekali, milis Lulusan TF-ITB yag juga sangat ramai, milis Telematika, Technomedia. Selain itu, ada beberapa milis yang kurang sibuk seperti Baitnet, Pucangtunggal, Timor-er dan beberapa milis otomotif (karena saya set daily digest saja).

Dan, tentu saja, penanda paling penting bagi siapa pun yang selalu terhubung ke Internet adalah akses ke pesan instan. Yahoo Messenger dan Gtalk yang selalu aktif dengan avatar/foto dan status yang diubah-ubah. Selain itu, Facebook dengan notifikasinya yang selalu dikirim langsung ke Blackbery.

Dalam keadaan seperti itu, sering rasanya saya ingin untuk tidak terhubung, terutama di malam hari. Belakangan ini saya sering mematikan Blackberry di malam hari. Membiarkan diri not connected atau disconnected.

Dulu ingin always connected padahal default-nya not connected atau connection on demand. Sekarang justru ingin disconnected ketika defaultnya always connected.

Memang perasaannya berbeda antara connection on demand dengan not-connected on demand. Masih ada perasaan aman karena sewaktu-waktu butuh sambungan tetap ada. Ini adalah pemutusan sambungan atas keinginan sendiri, bukan dipaksa oleh kondisi jaringan atau keterbatasan akses.

Barangkali kondisinya mirip dnegan orang yang punya mobil pribadi tetapi memilih naik angkot atau bus.

Ketika orang belum punya mobil, naik angkutan umum adalah keterpaksaaan, tidak ada pilihan lain, sesuatu yang harus diterima sebagai keputusan di luar diri. Pemakai angkot akan sering membayangkan, “seandainya punya mobil, gak usah capek-capek nunggu bus di Komdak.”

Tetapi kalau sudah punya mobil, naik angkot menjadi sebuah pilihan. Pilihan yang lebih murah, lebih tenang, lebih damai, meskipun mungkin butuh waktu lebih lama dan berkeringat lebih banyak. Ada ketenangan karena itu merupakan sebuah pilihan. Tidak ada kecemburuan terhadap pemilik mobil

Jadi, disconnected yang merupakan pilihan dapat diterima dengan lebih baik dibandingkan karena keterbatasan atau paksaan dari luar diri (seperti kondisi jaringan itu).

Wallahu a’lam.