16 November 2012

Manyatunya penanggalan Jawa dan Hijriah

Tahun baru hijriah telah tiba. Tahun baru Jawa juga tiba. Ini saat yang menarik untuk menengok kembali bagaimana penanggalan hijriah dan penanggalan Jawa menyatu begitu rupa?

Lha, ndilalah, persis di penghujung tahun 1433 Hijriah itu, saya kok menemukan buku yang salah satu bagiannya membahas soal kalender Jawa-Islam. Buku itu tulisan Agus Sunyoto, pengarang Rahuvana Tattwa yang unik dan tidak biasa itu.

Judul bukunya sih provokatif dan terkesan memecah belah: Sufi Ndeso vs Wahabi Kota. Tapi, okelah, lupakan soal perjudulan, toh ini buku sisinya campur aduk, salah satunya ya soal penyatuan kalender Jawa dan Islam.

***
Kalender Hijriah adalah kalender yang berbasis pergerakan bulan terhadap bumi sehingga disebut qomariyah (qomar dalam bahasa Arab berarti bulan). Sistem bulannya sudah ada di Arab sebelum Nabi Muhammad diutus, namun perhitungan tahunnya baru ditetapkan oleh Umar bin Khatab (khalifah setelah Abubakar) dengan berpatokan pada permulaan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.

Sementara itu, di Jawa era kuno, kalender yang dipakai yakni penanggalan Saka yang berbasis pergerakan matahari atau syamsiah (syam dalam bahasa Arab berarti matahari). Penanggalan Saka ini ”ketinggalan” 78 tahun dari penanggalan Masehi. Jadi kalau ada tahun 1200 Masehi berarti sama dengan tahun 1122 Saka. Tahun 1200 Saka berarti 1278 Masehi.

Nah, Islam masuk dalam kekuasaan di Indonesia sejak akhir era Majapahit. Lalu menjadi penguasa terbesar di Jawa pada era Demak, Pajang, dan kemudian Mataram.

Pada masa Mataram (Islam) inilah penanggalan Jawa digabungkan antara Saka dan Hijriah. Hal itu dilakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram dengan kekuasaan terluas, ketika awal tahun 1555 Saka berlangsung bersamaan dengan awal tahun 1043 Hijriah. Ini terjadi pada Jumat legi, 8 Juli 1633 Masehi.

Dalam penanggalan Jawa model baru itu, angka tahun tetap melanjutkan tahun Saka, namun siklus dalam satu tahun mengacu pada penanggalan hijriah. Jadi awal tahun Jawa bersamaan dengan 1 Muharram. Bulan Muharram dalam penanggalan Jawa disebut bulan Suro (mungkin ada kaitannya dengan Hari Asy-Syura yang jatuh pada 10 Muharram?). Nama beberapa bulan lain ada yang mengacu pada nama Arab (misalnya Sapar, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Sawal, Dulkaidah)

Karena angka tahunnya hanya lanjutan sementara siklusnya berbeda, maka untuk peristiwa setelah 1555 Saka atau 1633 Masehi angka kalibrasinya tidak bisa konstan 68 tahun seperti semula melainkan kian mendekat berhubung jumlah hari pada tahun syamsiah lebih banyak daripada jumlah hari pada tahun qomariyah.

Namun Agus Sunyoto menegaskah bahwa masyarakat Jawa sebelum era Sultan Agung tidak sepenuhnya menggunakan kalender matahari. Mereka juga menggunakan kalender qomariyah. Hal ini terbukti bahwa hampir semua prasasti sejak era Mataram kuno (abad ke-7) menggunakan candrasengkala atau isyarat tahun yang berbasis bulan.

Agus Sunyoto menjelaskan lebih banyak lagi soal penggunaan candrasengkala di Jawa dan asimilasi nama hari serta pasaran Jawa. Jadi, menurutnya, yang dilakukan Sultan Agung bukan mengganti penanggalan Saka dengan Hijriah, melainkan asimilasi berbagai unsurnya menjadi kalender Jawa yang baru. Wallahu a’lam.