25 April 2010

Buku komprehensif tentang wayang


Awal April lalu, ketika main ke toko buku diskon di Bandung, saya menemukan buku yang unik. Judulnya Nonton wayang dari berbagai pakeliran, karangan Pranoedjoe Puspaningrat, terbitan Kedaulatan Rakyat. Buku tentang wayang dengan ukuran mendekati kwarto, cober hitam bergambar tokoh wayang Batara Bayu ini menyajikan banyak sisi tentang wayang.*

Diawali dengan sejarah adopsi cerita wayang dari India, posisi negara-negara dunia wayang dalam peta India dan peta pulau Jawa serta beberapa hal yang bersifat filosofis mengenai masuknya wayang dalam budaya Jawa dan penyebaran Islam. (dalam peta itu disebut misalnya Amarta diidentikkan dengan Jepara, Hastina dengan Pekalongan, Dwarawati dengan Pati)

Ada pohon silsilah wayang, ada gambar-gambar yang lengkap dari banyak sekali tokoh yang disebut. Sebagian besar isi buku adalah cerita serba singkat lakon wayang baik Mahabarata maupun Ramayana.

Wayang-wayang yang tidak masuk tokoh utama dalam lakon tetap diceritakan ketika penulis memaparkan nama-nama tokoh yang ada dalam simpingan (dijejer di sebelah kanan/kiri layar)

***Istilah baru
Penulis menyajikan beberapa hal penting soal wayang dengan istilah tepat yang baru pertama kali saya kenal. Contohnya sebagai berikut:

Pathet wayang disebut sebagai expression of mode, wanda wayang disebut expression of mood, gagrak disebut expression of diversity, simpingan dan sunggingan disebut expression of beauty, serta lakon adalah expression of values. Masing-masing hal ini dipaparkan dengan panjang lebar dan sangat menarik.

Uraian mengenai sunggingan disertai gambar yang memadai, termasuk riasan dan hiasan dalam kepala maupun badan wayang kulit. Ini membuktikan betapa detilnya manusia jawa dalam memberikan nama terhadap segala sesuatu. (Bayangkan saja, sumping alias hiasan kuping saja ada tujuh jenis yang masing-masing punya nama sendiri: sumping mangkara, sumping surengpati, sumping gajah ngoling, sumping mangkara terate, sumping pudhak setegal, sumping setegal, serta sumping kudhup tun)

Macam-magam gelung, kelat bahu, serta elemen detil nan kecil dari masing-masing wayang juga diungkapkan dengan gambar.

Uraian mengenai wanda (expression of mood) juga sangat menarik. Betapa sosok Bima punya macam-macam bentuk tergantung moodnya ketika tampil saat itu. Ada sosok untuk perang, ada untuk bertapa, untuk senang, dan sebagainya.

Buku yang tebalnya 278 halaman dengan harga Rp60.000 ini, bagiku, memang salah satu buku paling menarik tentang wayang. Sayangnya ada beberapa kelemahan buku ini. Yang paling menonjol adalah kualitas gambar. Banyak tulisan dan gambar yang kesannya dikerjakan dengan teknologi lama, yaitu tempel dan lem sehingga ada yang tidak jelas, miring-miring dan tidak rapih.

Ada pula bagian-bagian tertentu yang bentuknya seperti tabel. Agaknya editor mengalami kesulitan untuk merapihkan dalam format baru sehingga format yang tampaknya jadul itu dipertahankan. Bagaimana pun, wayang adalah cerita jadul, jadi penggemarnya mungkin dianggap tidak akan terganggu dengan tampilan yang terasa jadul itu, hehehe.. (Setyardi KeLIK Widodo)

*) Ada dua buku dari pengarang dan penerbit yang sama di dalam rak itu. Desain cover dan ukuran buku serta tata letak keduanya mirip sekali. Buku yang satu adalah cerita tentang para tokoh di Jawa sejak jaman Mataram lama hingga zaman Mataram baru dan kemerdekaan. Mula-mula buku itulah yang menarik perhatian. Tak dinyana ada pula buku tentang wayang di sebelahnya. Saya tidak jadi membeli buku tentang tokoh Jawa, ganti dengan membeli buku tentang wayang.

18 April 2010

Sekolah sangat mahal. Tiru Ekalaya saja?


Ketika Pandawa dan Kurawa masih muda, di negeri Hastina ada sebuah perguruan yang sangat disegani. Namanya Padepokan Sokalima. ‘Guru besar’ sekaligus ‘rektor’ di Sokalima adalah Begawan Durna (atau Dorna, atau Drona).

Putra putra terbaik Hastina belajar di sana. Mereka belajar bermacam-macam ilmu yang nantinya diperlukan ketika menjadi pejabat atau pengelola negara. Juga, tentu saja, belajar ilmu beladiri dan ilmu perang.

Salah satu siswa yang paling menonjol adalah Arjuna alias Palguna. Kemampuan Palguna sangat menonjol dalam segala hal, terutama memanah dan ilmu beladiri. Penengah pandawa itu menjadi murid kesayangan Durna.

Lalu datanglah Palgunadi alias Bambang Ekalaya. Dia anak kampung Paranggelung. Dia datang jauh-jauh ke Hastina khusus untuk belajar di Padepokan Sokalima.

Ekalaya anak yang cerdas. Tekadnya kuat. Minat belajarnya tinggi. Sayangnya, dia ditolak masuk ke padepokan Sokalima. Alasannya, dalam kacamata sekarang, bisa dibilang sepele, yaitu dia bukan keturunan Barata. Menurut undang-undang pendidikan Hastina, perguruan itu hanya ditujukan untuk mereka yang memiliki darah Barata. Asal-usul Ekalaya tidak kompatibel dengan persyaratan masuk Padepokan Sukalima.

Ekalaya kecewa, tetapi minat belajarnya tidak surut. Akhirnya dia memilih belajar secara otodidak. Dia membuat patung Durna dan belajar secara mandiri.

“Arjuna berguru pada Durna yang hidup dan menghidupkannya. Aku belajar pada arcanya. Aku yang menghidupkan Durna dalam diriku,” begitulah kata Ekalaya seperti dikutip Pranoedjoe Poespaningrat dari Sujiwo Tejo dalam buku Nonton wayang dari berbagai pakeliran.

Karena kesungguhannya dalam belajar, Ekalaya memiliki kemampuan yang hebat. Dia sangat ahli memanah. Kemampuannya bahkan membuat iri Arjuna, murid terbaik Padepokan Sokalima. Maka dibuatlah siasat untuk membinasakan Ekalaya, agar tidak menjadi penghalang bagi kesuksesan Arjuna.

Begitulah garis besar cerita pewayangan Jawa Palguna-Palgunadi. Ekalaya alias Palgunadi sering dijadikan contoh bagi orang yang memiliki semangat belajar tinggi, memiliki bakat dan potensi, namun ditolak oleh lembaga pendidikan yang diakui, dengan alasan yang bersifat diskriminatif.

***Mencari sekolah
Sekarang banyak pencari sekolah yang mengalami nasib seperti Ekalaya di Sokalima. Tentu saja dengan alasan yang berbeda. Salah satu yang menjadi masalah besar sekarang adalah biaya sekolah semakin mahal dan proses seleksi kian ketat.

Jauh hari sebelum lulus SMA, anak-anak sudah sibuk dengan tes masuk perguruan tinggi favorit. Kendati perkuliahan baru dimulai Agustus mendatang, seleksi sudah dimulai sejak Februari. Ada bermacam-macam model seleksi yang disediakan.

Beberapa bulan sebelum anak lulus SMP, anak sudah harus mendaftar ke SMA. Meskipun pengajaran untuk SMP dan SD baru dimulai bulan Juli, pada bulan April kursi di sekolah-sekolah favorit sudah penuh.

Di kota-kota besar, orang tua harus menyiapkan belasan juta rupiah atau puluhan juta rupiah untuk memasukkan anak ke sekolah favorit. Biaya masuk perguruan tinggi favorit bisa sampai ratusan juta rupiah. Bahkan, hal itu juga berlaku untuk perguruan tinggi negeri setelah era otonomi.

Begitu mahalnya biaya pendidikan sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengaku kaget menyimak biaya siswa baru di Universitas Indonesia.

"Saya yang menteri saja begitu tahu tuition [biaya masuk] kuliah di almamater saya langsung puyeng. Anggaran pendidikan yang bertriliun-triliun itu lari ke mana? Mengapa masyarakat tidak merasa mendapat apa-apa?" kata Sri Mulyani seperti dikutip Jawa Pos bulan lalu.

Soal pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri serta pemberlakuan BHMN itu bisa dilacak pada sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu ada wacana mengenai keterbatasaan anggaran negara sehingga kampus-kampus diberi otonomi untuk mencari pendanaan sendiri. Hal itu terutama didasarkan UU Sisdiknas keluaran tahun 1998 serta PP No. 60/1999 dan PP No. 61/1999.

Bukan hanya diberi otonomi, namun ada semacam tuntutan untuk menggali sumber-sumber pendanaan baru. Sejak itu, dibukalah jalur pendaftaran baru di luar UMPTN yang selama beberapa tahun sebelumnya menjadi jalur tunggal. Penerapan BHMN ini diperkuat dengan lahirnya UU Badan Hukum Pendidikan pada 2009.

Jika dalam cerita wayang Ekalaya ditolak karena tidak memiliki darah Barata, maka saat ini banyak anak muda yang ‘tertolak’ oleh sistem. Tidak ada yang secara aktif menolak mereka. Namun keterbatasan membuat mereka tidak bisa mengikuti alur yang tersedia. Mungkin, bahasa kerennya, tidak kompatibel dengan sistem yang ada.

Apakah sekolah dan perguruan tinggi negeri sekarang makin mendekati Sokalima milik Begawan Durna dalam memilih calon murid? Apakah anak-anak yang tidak termasuk ‘darah Barata’ harus kembali meniru cara Ekalaya, yaitu belajar mandiri saja dengan Internet dan alat-alat lain yang kian canggih?

Mahkamah Konstitusi pada akhir Maret lalu membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan. Lalu, perguruan tinggi negeri mulai meninjau kembali sistem seleksinya.

"Kemungkinan tahun ini merupakan pelaksanaan seleksi masuk [Simak] yang terakhir," kata Kepala Kantor Komunikasi UI Vishnu Juwono di sela-sela pemantauan pelaksanaan Simak pada Minggu (11 April), seperti dikutip Antara.

Agaknya, masih jauh jalan untuk membuat biaya pendidikan kembali terjangkau kendati negara telah mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan. Semoga segera ketemu formulasi untuk memungkinkan ‘Ekalaya’ belajar dan berkembang sebagaimana ‘Arjuna’.

*) Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 17 April 2010 halaman 12
**) Gambar adegan Durna memotong jari tangan Ekalaya agar tidak mampu menyaingi Arjuna dalam hal memanah. Difoto dari buku Nonton wayang dari berbagai pakeliran halaman 150.

06 April 2010

Belajar dari cerita bhayangkara

Ada setidaknya dua peristiwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar di Jawa yang melibatkan nama bhayangkara. Pertama, pemberontakan Kalana Bhayangkara pada masa pemerintahan Raja Kertanegara di Singasari. Kedua, kisah tentang Pasukan Bhayangkara di bawah kepemimpinan Gajah Mada yang menyelamatkan Raja Jayanegara di Majapahit. Kalana Bhayangkara adalah nama yang misterius. Kidung Panji Wijayakrama menyebut namanya lengkap. Kalana berarti pemberontak atau penjahat, adapun bhayangkara berarti penjaga keselamatan raja atau pelindung raja. Pararaton menyebut nama pemberontak itu sebagai Kalana Bhaya, sedangkan Nagarakretagama menyebutnya sebagai Caya Raja yang atinya sama dengan penjaga keselamatan raja. Bhayangkara barangkali satu-satunya pemberontakan gagal yang tercatat dalam sejarah Singasari. Keberadaan kerajaan itu selama sekitar 70 tahun memang diwarnai pemberontakan oleh kerabat dekat raja. Dan uniknya, hampir semua pemberontakan itu berhasil. Raja pertama, Rajasa alias Ken Arok, ditumbangkan oleh Anusapati, anak tirinya. Anusapati dibunuh oleh adik irinya, Panji Tohjaya. Tak lama kemudian Tohjaya digulingkan oleh keponakannya, Ranggawuni. Kertanegara, raja terakhir, adalah anak Ranggawuni. Kertanegara adalah raja terbesar Singasari dan berani menentang kekuasaan Khubilai Khan dari Mongol. Pemberontakan Kalana Bhayangkara terjadi pada masa pemerintahan Kertanegara. Ketika baru naik tahta, Kertanegara melakukan perombakan kabinet. Dia mengubah orientasi kekuasaan menjadi ekspansif dan mencopot Patih Raganata. Dia juga melengserkan Demung Wiraraja dan menempatkannya hanya sebagai bupati di Madura Timur. Banyak pejabat lain yang dipecatnya. Kebijakan ekspansif Kertanegara yang ditentang oleh Raganata itu kelak diwujudkan oleh Gajah Mada melalui Sumpah Palapa. Sejarawan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menyimpulkan bahwa pemberontakan Kalana Bhayangkara adalah reaksi atas perombakan pejabat penting pada awal masa pemerintahan Kertanegara, terutama pencopotan Raganata. Pemberontakan yang hanya melibatkan orang-orang di ibukota ini gagal total dan Kalana Bhayangkara terbunuh. Pemberontakan karena alasan yang sama di Singasari baru berhasil ketika Wiraraja, yang juga dicopot dari jabatan penting, bersekutu dengan Jayakatwang dari Kediri. Pemberontakan terakhir ini meruntuhkan kerajaan Singasari. ***Warisan Gajah Mada Cerita tentang bhayangkara pada masa Singasari tidak sepopuler cerita tentang bhayangkara di zaman Majapahit. Pada zaman Majapahit, kata bhayangkara dilekatkan pada Gajah Mada, mahapatih dengan peran politik terbesar sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia. Nama Gajah Mada dan pasukannya yang bernama bhayangkara mulai dikenal saat terjadi pemberontakan kaum Dharma Putra di bawah kepemimpinan Ra Kuti. Kuti menguasai ibukota Majapahit dan menggulingkan Raja Jayanegara. Gajah Mada, yang ketika itu memimpin pasukan pengawal raja, membantu Jayanegara melarikan diri dari ibukota dan menyembunyikannya dari kejaran pasukan pemberontak. Cerita rakyat menyatakan dalam pelarian di Desa Badander itu, satu dari 15 anggota Pasukan Bhayangkara menyatakan ingin pulang ke ibukota. Gajah Mada melarangnya, namun prajurit itu ngotot. Akhirnya, prajurit itu dibunuh karena diduga akan membelot. Gajah Mada kemudian melancarkan operasi intelijen untuk menyelidiki kondisi ibukota Majapahit di bawah Kuti. Dia menggelar survei kilat untuk memetakan sikap para bangsawan kerajaan terhadap posisi Jayanegara. Dari sana dia tahu bahwa dukungan publik terhadap Jayanegara masih kuat. Dengan bantuan para bangsawan di pusat kota, Gajah Mada bersama Pasukan Bhayangkara berhasil memukul balik Kuti dan mendudukkan kembali Jayanegara ke istana untuk kedua kalinya. Setelah Jayanegara meninggal, Majapahit dipimpin oleh Tribuwana Tunggadewi yang kemudian mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih. Kedudukan mahapatih saat itu kira-kira dapat disamakan dengan perdana menteri dalam era politik modern. Sewaktu diangkat menjadi mahapatih pada tahun 1334, Gajah Mada yang digambarkan oleh Muhammad Yamin sebagai orang gempal berbadan besar itu mengucapkan Sumpah Palapa. Dia berhasil mewujudkan ambisi menundukkan banyak wilayah baru, agak serupa dengan keinginan Kertenagara yang dilawan Kalana Bhayangkara. Karier politik Gajah Mada berakhir setelah dia dianggap salah strategi dalam menundukkan Sunda sehingga menimbulkan tragedi Bubat. Tidak disebutkan apakah nama bhayangkara masih digunakan di Majapahit setelah era Gajah Mada.... *) versi lebih panjang dimuat di Bisnis Indonesia edisi 3 April 2010 **) gambar Candi Singosari diambil dari berwisata.com

Sulitnya bersembunyi dari Google*

Pernah mencoba mencari nama Anda sendiri di Google? Apakah yang ditemukan sesuai harapan? Apa yang akan dan harus kita lakukan kalau menemukan konten-konten yang tidak menyenangkan ketika mencari tentang diri kita pada mesin pencari Internet?

Dalam sebuah workshop jurnalistik tahun lalu, seorang wartawan mengajukan kasus yang menarik. Suatu ketika seorang nara sumber mengajukan keberatan karena ada berita yang dianggap keliru. Lalu pada edisi berikutnya berita itu diralat.

Akan tetapi, nara sumber tidak kunjung puas karena ketika dia mencari berita lewat Google maka yang muncul adalah berita sebelumnya, yang dianggapnya keliru. Ralatnya tidak muncul. Saat itu, tidak ditemukan solusi untuk masalah tersebut, kecuali harus menyerahkan semuanya pada ‘kekuasaan’ Google, si raksasa mesin pencari.

Hal di atas adalah gambaran sederhana mengenai keberatan akan cara kerja Google. Di samping banyak sekali manfaat utama, mesin pencari memang bisa menjadi persoalan. Dan agaknya, keberatan semacam itulah yang menjadi latar belakang sengketa Google dengan pemerintah China. Banyak konten Internet yang tidak menyenangkan pemerintah China. Jadi, Google diminta menyensor.

***Mudah ditemukan
Bagi orang-orang yang berkutat dalam bisnis berbasis Internet, mesin pencari adalah sahabat sejati. Maka muncullah SEO atau search engine optimization. Ini merupakan cara agar suatu produk atau konten mudah ditemukan oleh mesin pencari.

Beragam trik digunakan agar posisi produk atau konten berada pada urutan teratas ketika pengguna Internet mencari informasi yang relevan. Muncullah cara mengoptimalkan kata kunci, memilih key words, mengatur label yang tepat, mengatur sistem pengalamatan postingan, dan sebagainya.

Intinya, berupaya sebisa mungkin agar produk atau kontennya mudah ditemukan. Dengan demikian, peluang orang untuk mampir dan mengklik situsnya menjadi lebih besar.
Dan karena perekonomian berbasis klik ini menjadi andalan, SEO seolah menjadi rumus wajib. Konon, lebih 70% kunjungan ke situs-situs Internet bukan dilakukan oleh pengakses yang setia pada alamat tertentu, melainkan oleh orang yang 'kesasar' ketika menggali informasi lewat mesin pencari.

Kita bisa maklum begitu besarnya peran mesin pencari mengingat Internet berisi triliunan halaman informasi. Tanpa bantuan mesin pencari, alangkah repotnya kita memilah-milah informasi yang relevan. Betapa capeknya kita harus mengingat begitu banyak alamat atau situs yang berisi informasi relevan yang kita perlukan.
Mesin pencari telah menjadi alat yang luar biasa sakti di era ketergantungan terhadap Internet. Google Inc, sebagai mesin pencari terkuat dan terdepan dunia, memainkan posisi kunci bagi perkembangan ekonomi berbasis klik itu.

Teorinya sederhana saja: bila mudah dicari maka mudah ditemukan, lalu mudah diklik. Itulah rumus yang berlaku dalam ‘negara Google’. Rumus dan trik untuk ini banyak diajarkan. Akan tetapi, bagaimana jika kita butuh menyembunyikan sesuatu dari Google. Bagaimana triknya? Semudah cara untuk tampil menonjol kah?

***Pindah ke Hong Kong
China sudah sejak lama memberlakukan pembatasan di dunia maya. Ini tidak hanya berlaku bagi Google, namun juga bagi penyedia konten lainnya.

Dengan ratusan juta jumlah pengguna Internet, China adalah potensi pasar yang besar bagi Google kendati saat ini nilainya masih sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan bisnis Google. Apalagi, bisnis Google juga meluas ke area di luar mesin pencari.

Sebenarnya China juga memiliki mesin pencari lokal, Baidu Inc. Dengan jenis huruf non-Latin dan bahasa non-Inggris, kesempatan untuk mengembangkan konten dan mesin pencari sendiri memang terbuka di China. Ini juga bisa menjadi entry barrier tersendiri bagi pemain internasional seperti Google.

Konflik antara China, negara terbesar di dunia, dengan Google, ‘negeri’ terbesar di dunia maya, memanas sejak awla tahun. Semula Google yang beroperasi di China sejak 2006 itu tunduk dengan ketentuan tentang sensor.

Namun perusahaan yang didirikan oleh Sergey Brin dan Larry Page itu lalu menolak sensor setelah merasa bahwa hacker dari China berusaha mengganggu Google. Google lalu mengalihkan operasi mesin pencarinya ke Hong Kong, wilayah otonomi bekas koloni Inggris.

Pekan lalu, wartawan Associated Press mencoba mengetik ‘Falun Gong’ dalam bahasa China melalui Google di Beijing. Hasilnya, halaman tersebut akan menjadi error dalam waktu semenit. Ketika mengetik kata kunci yang sama dari Hong Kong, yang diperoleh adalah banyak link terkait gerakan spiritual yang dilarang oleh Pemerintah China tersebut.

Dalam sebuah percobaan yang dilakukan AP, pemerintah China menggunakan mekanisme “Great Firewall” yang rumit agar bisa membatasi hal apa yang bisa dilihat masyarakatnya.

Dalam pencarian untuk beberapa topik yang dianggap tabu oleh Beijing, akan tampak tulisan ‘halaman tidak dapat ditampilkan’. Kemudian situs akan eror sekitar satu menit, bahkan lebih, jika pengguna berusaha mengakses beberapa situs terlarang setelahnya. Dengan kata lain, tidak hanya link pada beberapa situs tersebut yang tidak bekerja, tapi hasil pencarian juga tidak ada.

Namun, situs berbahasa Inggris ternyata lebih mudah diakses mungkin karena pemerintah China lebih mencemaskan situs berbahasa China karena mayoritas penduduk masih berbahasa China.

Penemuan ini menggambarkan bagaimana pemerintah China menjalankan sebuah mekanisme penyaring situs. Great Firewall dipandang sebagai metode yang tidak tepat, namun ini dimaksudkan untuk menjauhkan mayoritas masyarakat China dari beberapa topik sensitif yang ada.

Orang-orang berlomba agar mudah ditemukan oleh Google dan pengguna Internet mampir ke sana. Caranya mudah. China, yang ingin menyembunyikan banyak hal dari Google, justru harus menempuh banyak cara sulit. Agaknya, di era maya ini, lebih mudah tampil di Google daripada bersembunyi darinya. (t02/t02)

*) Bisnis Indonesia, edisi 3 April 2010