18 April 2010

Sekolah sangat mahal. Tiru Ekalaya saja?


Ketika Pandawa dan Kurawa masih muda, di negeri Hastina ada sebuah perguruan yang sangat disegani. Namanya Padepokan Sokalima. ‘Guru besar’ sekaligus ‘rektor’ di Sokalima adalah Begawan Durna (atau Dorna, atau Drona).

Putra putra terbaik Hastina belajar di sana. Mereka belajar bermacam-macam ilmu yang nantinya diperlukan ketika menjadi pejabat atau pengelola negara. Juga, tentu saja, belajar ilmu beladiri dan ilmu perang.

Salah satu siswa yang paling menonjol adalah Arjuna alias Palguna. Kemampuan Palguna sangat menonjol dalam segala hal, terutama memanah dan ilmu beladiri. Penengah pandawa itu menjadi murid kesayangan Durna.

Lalu datanglah Palgunadi alias Bambang Ekalaya. Dia anak kampung Paranggelung. Dia datang jauh-jauh ke Hastina khusus untuk belajar di Padepokan Sokalima.

Ekalaya anak yang cerdas. Tekadnya kuat. Minat belajarnya tinggi. Sayangnya, dia ditolak masuk ke padepokan Sokalima. Alasannya, dalam kacamata sekarang, bisa dibilang sepele, yaitu dia bukan keturunan Barata. Menurut undang-undang pendidikan Hastina, perguruan itu hanya ditujukan untuk mereka yang memiliki darah Barata. Asal-usul Ekalaya tidak kompatibel dengan persyaratan masuk Padepokan Sukalima.

Ekalaya kecewa, tetapi minat belajarnya tidak surut. Akhirnya dia memilih belajar secara otodidak. Dia membuat patung Durna dan belajar secara mandiri.

“Arjuna berguru pada Durna yang hidup dan menghidupkannya. Aku belajar pada arcanya. Aku yang menghidupkan Durna dalam diriku,” begitulah kata Ekalaya seperti dikutip Pranoedjoe Poespaningrat dari Sujiwo Tejo dalam buku Nonton wayang dari berbagai pakeliran.

Karena kesungguhannya dalam belajar, Ekalaya memiliki kemampuan yang hebat. Dia sangat ahli memanah. Kemampuannya bahkan membuat iri Arjuna, murid terbaik Padepokan Sokalima. Maka dibuatlah siasat untuk membinasakan Ekalaya, agar tidak menjadi penghalang bagi kesuksesan Arjuna.

Begitulah garis besar cerita pewayangan Jawa Palguna-Palgunadi. Ekalaya alias Palgunadi sering dijadikan contoh bagi orang yang memiliki semangat belajar tinggi, memiliki bakat dan potensi, namun ditolak oleh lembaga pendidikan yang diakui, dengan alasan yang bersifat diskriminatif.

***Mencari sekolah
Sekarang banyak pencari sekolah yang mengalami nasib seperti Ekalaya di Sokalima. Tentu saja dengan alasan yang berbeda. Salah satu yang menjadi masalah besar sekarang adalah biaya sekolah semakin mahal dan proses seleksi kian ketat.

Jauh hari sebelum lulus SMA, anak-anak sudah sibuk dengan tes masuk perguruan tinggi favorit. Kendati perkuliahan baru dimulai Agustus mendatang, seleksi sudah dimulai sejak Februari. Ada bermacam-macam model seleksi yang disediakan.

Beberapa bulan sebelum anak lulus SMP, anak sudah harus mendaftar ke SMA. Meskipun pengajaran untuk SMP dan SD baru dimulai bulan Juli, pada bulan April kursi di sekolah-sekolah favorit sudah penuh.

Di kota-kota besar, orang tua harus menyiapkan belasan juta rupiah atau puluhan juta rupiah untuk memasukkan anak ke sekolah favorit. Biaya masuk perguruan tinggi favorit bisa sampai ratusan juta rupiah. Bahkan, hal itu juga berlaku untuk perguruan tinggi negeri setelah era otonomi.

Begitu mahalnya biaya pendidikan sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengaku kaget menyimak biaya siswa baru di Universitas Indonesia.

"Saya yang menteri saja begitu tahu tuition [biaya masuk] kuliah di almamater saya langsung puyeng. Anggaran pendidikan yang bertriliun-triliun itu lari ke mana? Mengapa masyarakat tidak merasa mendapat apa-apa?" kata Sri Mulyani seperti dikutip Jawa Pos bulan lalu.

Soal pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri serta pemberlakuan BHMN itu bisa dilacak pada sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu ada wacana mengenai keterbatasaan anggaran negara sehingga kampus-kampus diberi otonomi untuk mencari pendanaan sendiri. Hal itu terutama didasarkan UU Sisdiknas keluaran tahun 1998 serta PP No. 60/1999 dan PP No. 61/1999.

Bukan hanya diberi otonomi, namun ada semacam tuntutan untuk menggali sumber-sumber pendanaan baru. Sejak itu, dibukalah jalur pendaftaran baru di luar UMPTN yang selama beberapa tahun sebelumnya menjadi jalur tunggal. Penerapan BHMN ini diperkuat dengan lahirnya UU Badan Hukum Pendidikan pada 2009.

Jika dalam cerita wayang Ekalaya ditolak karena tidak memiliki darah Barata, maka saat ini banyak anak muda yang ‘tertolak’ oleh sistem. Tidak ada yang secara aktif menolak mereka. Namun keterbatasan membuat mereka tidak bisa mengikuti alur yang tersedia. Mungkin, bahasa kerennya, tidak kompatibel dengan sistem yang ada.

Apakah sekolah dan perguruan tinggi negeri sekarang makin mendekati Sokalima milik Begawan Durna dalam memilih calon murid? Apakah anak-anak yang tidak termasuk ‘darah Barata’ harus kembali meniru cara Ekalaya, yaitu belajar mandiri saja dengan Internet dan alat-alat lain yang kian canggih?

Mahkamah Konstitusi pada akhir Maret lalu membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan. Lalu, perguruan tinggi negeri mulai meninjau kembali sistem seleksinya.

"Kemungkinan tahun ini merupakan pelaksanaan seleksi masuk [Simak] yang terakhir," kata Kepala Kantor Komunikasi UI Vishnu Juwono di sela-sela pemantauan pelaksanaan Simak pada Minggu (11 April), seperti dikutip Antara.

Agaknya, masih jauh jalan untuk membuat biaya pendidikan kembali terjangkau kendati negara telah mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan. Semoga segera ketemu formulasi untuk memungkinkan ‘Ekalaya’ belajar dan berkembang sebagaimana ‘Arjuna’.

*) Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 17 April 2010 halaman 12
**) Gambar adegan Durna memotong jari tangan Ekalaya agar tidak mampu menyaingi Arjuna dalam hal memanah. Difoto dari buku Nonton wayang dari berbagai pakeliran halaman 150.