29 Desember 2009

Pergantian tahun & teka-teki waktu*


Dzulhijjah berlalu, disambung dengan Muharram. Desember pun segera pergi, disusul dengan datangnya Januari. Pergantian tahun dari 1430 ke 1431 serta dari 2009 ke 2010 mengingatkan kita akan perhitungan waktu.

Perhitungan kalender yang menjadi penanda waktu, baik versi hijriah maupun versi masehi, didasarkan pada pergerakan dalam tata surya terutama Bumi, Matahari, serta Bulan.

Bagi manusia zaman sekarang, pernyataan bahwa planet Bumi bergerak mengelilingi pusat tata surya berupa Matahari dengan periode satu tahun, serta satelit yang bernama Bulan mengelilingi Bumi setiap satu bulan sekali, bukan lagi tanda tanya.

Akan tetapi, proses menuju kepada pengetahuan itu ternyata lama, dan memakan banyak korban. Kita tentu ingat tragedi yang menimpa Galileo Galilei ketika menyatakan bahwa pusat tata surya bukanlah Bumi melainkan Matahari.

Manusia terus mencari cara perhitungan waktu yang lebih presisi. Misalnya, 1 detik semula didefinisikan sebagai 1 per 86.400 hari, lalu diubah menjadi 9.192.631.770 kali periode radiasi atom tertentu pada keadaan tertentu.

Ukuran fisis seperti gerakan atom dan tata surya di atas hanyalah salah satu cara untuk mencari pegangan dalam mengarungi waktu. Manusia juga berupaya mencari makna yang lebih dalam mengenai bagaimana memperlakukan waktu yang dimilikinya.

Terkait dengan pamaknaan itu, filosof Prancis Voltaire dalam novelet Suratan Takdir menyajikan kisah menarik. Suatu kali, Pendeta Agung Babilonia menggelar sayembara dengan mengajukan cangkriman alias teka-teki.

“Apakah di antara yang di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus paling pendek. Paling cepat namun juga paling lambat. Paling terbagi-bagi namun juga paling luas. Paling disepelekan tetapi juga paling disesalkan. Tanpa hal itu tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan. Dia melahap segala yang kecil, namun mengabadikan yang besar.”

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan dalam sayembara itu hingga muncul seorang tokoh bernama Zadiq. Dia berpendapat jawab atas pertanyaan Pendeta Agung adalah waktu.

“Tidak ada yang dirasakan lebih panjang karena waktu adalah ukuran keabadian. Tidak ada yang lebih pendek karena selalu dirasa kurang untuk mewujudkan rencana-rencana kita. Tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu. Tak ada yang lebih cepat berlalu untuk mereka yang menikmati hidup.”

Zadiq menambahkan, waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi dalam ukuran sekecil-kecilnya. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan semua yang pantas diingat menjadi abadi.

***Relativitas waktu
Pergantian tahun biasanya menjadi momentum untuk merenungi waktu yang sudah lewat dan membuat rencana mengisi waktu yang tersisa. Ini mirip dengan ulang tahun. Bedanya, ulang tahun direnungi sendiri-sendiri, pergantian tahun dirayakan bersama-sama.

Banyak cara untuk mencari kejelasan mengenai waktu. Salah satu tokoh yang paling didengar dalam kajian mengenai waktu adalah fisikawan Albert Einstein yang dikenal melalui teori relativitas. Teori ini menyinggung relativitas waktu yang akan terasa sangat menonjol pada objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya.

Kisah terkenal dalam menjelaskan relativitas waktu adalah Paradoks Si Kembar, cerita tentang dua orang kembar yang mengalami beda usia signifikan karena yang satu tetap di bumi sementara yang lain menjelajahi angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.

Bagi saya, apa yang diungkapkan Zadiq dalam cerita Voltaire di awal tulisan ini merupakan bentuk lain mengenai relativitas waktu. Ini semacam formulasi psikologis dari relativitas waktu.

Orang yang sedang menunggu akan merasa bahwa pergerakan waktu lambat, sedangkan orang sibuk dengan banyak pekerjaan merasa kekurangan waktu. Orang menderita merasakan waktunya panjang, orang bahagia merasa waktu berjalan terlalu cepat.

Waktu, sebagaimana hidup, memang seringkali diterima orang tanpa ucapan terima kasih dan dinikmati tanpa tahu persis bagaimana caranya. Maka benar sekali saran agar berkaca kepada pelari sprinter untuk mengerti arti rentang waktu seperseratus detik. Juga, bertanya kepada orang yang tertinggal kereta api atau pesawat terbang untuk tahu arti pentingnya satu menit.

Berarti atau tidaknya waktu dalam hidup ini juga sangat ditentukan oleh seberapa bisa manusia memaknai peristiwa-peristiwa yang mengisi waktu. Barangkali menarik untuk menyimak pernyataan pendiri Pakistan, Sir Muhammad Iqbal, di bawah ini.

“Aku menilai hari-hari, bulan dan tahun dari pengalaman yang mereka [hari, bulan, tahun] berikan untukku. Kadang aku terkejut mendapati bahwa satu saat peristiwa tertentu lebih berharga dibandingkan dengan waktu setahun penuh,” paparnya dalam Stray Reflections.

*) Dimuat di Bisnis Indonesia (www.bisnis.com) edisi 29 Desember 2009