24 Maret 2008

Saatnya PDA mati

Pasar PDA booming di Indonesia sekitar 2002-2004. Saat itu, Ipaq dari Hewlett Packard mendominasi pasar PDA di Indonesia melalui berbagai tipe yang sangat populer, khususnya 2210.

Ketika itu, PDA menjadi alat komputasi bergerak yang paling terjangkau, memenuhi berbagai kebutuhan dasar sebagai alat untuk akses Internet, pengelola PIM dan sinkronisas ke PC, serta dapat di-install berbagai aplikasi terpenting.

Bobotnya sangat nyaman untuk dibawa (di bawah 500 gram termasuk case dan charger), memiliki layar sentuh, dapat dihubungkan ke ponsel baik untuk mengirim/menerima SMS ataupun mengakses Internet. Dapat juga dihubungkan dengan akses point Wi-Fi, perangkat GPS, atau bahkan dengan CF yang membuatnya berguna sebagai ponsel.

Kelemahan PDA ada pada keterbatasan dalam input data. Perangkat ini membutuhkan papan ketik eksternal untuk data digunakan sebagai alat ketik yang nyaman. Keterbatasan lain adalah sarana koneksinya yang umumnya mengandalkan hubungan nirkabel. Tidak bisa mengakses LAN kabel, tidak bisa dihubungkan degan flash disk yang murah, sulit disambungkan ke printer, menjadi keterbatasan yang kadangkala mengganggu optimalisasi PDA.

Belakangan PDA mendapat serbuan dari dua sisi. Sisi pertama adalah ponsel yang semakin cerdas. Sisi kedua adalah notebook ultraportabel yang semakin murah.

Kemampuan pengelolaan PIM, akses Internet secara nirkabel, kemampuan komunikasi teleponi, sepenuhnya digantikan oleh ponsel atau PDA-phone. Sayangnya, harga untuk PDA-phone umumnya masih Rp1-Rp3 juta di atas harga PDA sekelas (tanpa kemampuan teleponi).

Harga PDA ketika itu berkisar antara Rp2 juta dan Rp5 juta. (Bahkan Sony Clie yang termahal dijual degan harga Rp6 juta pada 2004, Ipaq 2210 yan dilengkapi CF dan antena seluler dihargai hampir Rp7 juta). Adapun harga PDA-phone saat ini sekitar Rp3 juta (tanpa layar sentuh) sampai Rp8 juta.

Serangan lain berasal dari notebook ultraportabel yang juga ultramurah. Contohnya adalah Eee PC, Intel Classmate, serta Zyrex Ubud. Harga perangkat ini tidak jauh dari kisaran harga PDA dua tahun lalu, yaitu antara Rp3 juta dan Rp5 juta.

Notebook menjanjikan kenyamanan dalam input data baik melalui papan ketik maupun layarnya yang lebar. Selain itu, kemudahan koneksi melalui USB, kabel LAN, Wi-Fi, menjanjikan fleksibilitas pemanfaatan yang sangat luas.

Selama ini, menghadapi serbuan ponsel cerdas yang semakin powerful saja PDA (stand alone) sudah keteteran. Pasarnya terus turun. Bagaimana lagi menghadapi low cost ultra portable notebook?

Tampaknya sekarang ini benar-benar menjadi saat matinya PDA (stand alone). Wallahu a’lam

2 komentar:

Anonim mengatakan...

tapi bisa buat dengerin musik ngegame mengisi waktu luang tanpa terganggu oleh borosnya battery PDA Phone atau Handphone

Anonim mengatakan...

Pada waktu nulis ini PDA iPAQ 2210 saya baru saja trobel. Mencoba membaca file pdf dengan sebuah software book reader, ternyata hang. Disoft-booting macet. Baterai dicopot macet juga. Terlihat hanya halaman booting yang berwarna putih dengan kotak biru hpiPAQ dan booting progress bar yang sudah penuh. Terus begitu. Nyantol disitu.

PDA banyak kelebihan. Selain denger musik, liat foto, liat video clips, kita bisa baca buku, artikel jurnal, bahkan baca Quran, dan terlebih penting lagi : bisa segera lihat data dalam Excel bila klien mendadak tanya tanpa harus buka komputer dulu. Database alamat jumlahnya seolah unlimited. Agenda juga bisa ditulisi di bawahnya sepanjang apapun.

Mobilitasnya dan easy-retrieve-nya belum tertandingi, apalagi oleh EePC yang lemot-lemot itu. PDA masih belum mati.