20 September 2012

“Mudik” ke Desa Tua Ukraina


Serbuan nyamuk yang ganas. Itulah yang kami rasakan ketika kemarin petang mengunjungi Pirogovo, sebuah perdesaan tua dekat kota Kiev, Ukraina, yang dipertahankan sebagai semacam museum.

Kami datang ke sana sebagai bagian dari acara makan malam hari pertama kegiatan Kongres Surat Kabar Dunia ke-64 sekaligus World Editors Forum ke-19 yang digelar WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News Publishers). 

Kami tiba sekitar pukul 19.45.  Seharusnya kami datang lebih cepat, sebelum udara menjad terlalu gelap. Sekadar informasi, waktu maghrib saat di ini sekitar Kiev kira-kira pukul 20.00 malam. Jadi kami tiba persis menjelang maghrib. Dan saat itulah agaknya waktu favorit bagi para nyamuk untuk menyerbu. Maka ratusan orang peserta kongres yang datang dari segala penjuru dunia dan baru turun bus itu pun menjadi mangsa yang menyenangkan.

Pirogovo yang disebut sebagai museum arsitektur tradisional ini berada kira-kira setengah jam perjalanan (bila tidak macet) dari pusat kota Kiev. Jalan di sekitar lokasi hanya pas untuk bus bersimpangan. Menjelang lokasi perdesaan itu hanya ada padang rumput yang luas.

Di Pirogovo terdapat belasan rumah yang dipertahankan asli, mirip dengan perdesaan Indonesia puluhan tahun yang lalu. Rumah-rumah dari kayu dan batu, dengan perabot di ruang tamu, ruang makan, serta ruang tidur ada di dalamnya. Peralatan dapur tradisional juga ditempatkan seperti seharusnya. Sayang sekali ketika kami mulai masuk ke rumah-rumah itu, hari sudah gelap. Dan tidak ada lampu listrik yang dinyalakan. Jadinya hanya mengandalkan penerangan dari “senter” berupa lampu ponsel.

Kegiatan makan malam dipusatkan di sebuah lapangan tak jauh dari rumah-rumah tradisional itu. Disediakan dua buah tenda besar untuk tempat makan. Di antara tenda itu terdapat beberapa meja yang dipakai penduduk setempat untuk menjual sovenir. Ada bermacam gerabah khas Ukraina. Juga pakaian tradisional dari katun dan kulit. Secara umum harga pakaian di Ukraina jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Namun souvenir semacam gerabah tidaklah mahal. Di Lokasi itu banyak pengunjung yang membeli sovenir dari gerabah namun tak banyak yang membeli pakaian tradisonal yang bentuknya mirip sekali baju koko di Indonesia.

Tarian tradisonal yang dinamis dengan puluhan penari berbagai usia agaknya merupakan tampilan khas. Siang hari pada pembukaan kongres para peserta disuguhi tarian itu. Malam hari kembali disuguhi tarian serupa. Ada puluhan orang, dari usia tua hingga anak-anak terlibat menyanyi.

Dengan warna kostum khas paduan antara merah dan putih, para penarik bergerak sangat dinamis. Ini mirip dengan pertunjukan senam. Tarian kolosal yang orang-orangnya bisa melompat-lompat secara sangat atraktif. Barangkali tarian dengan pola semacam ini adalah khas di Eropa Timur dan daerah sekitar Laut Hitam.

Malam semakin larut dan pertunjukan tari dipindah dari panggung ke lapangan terbuka. Kali ini pertunjukan tari dengan api. Kalau di Indonesia mirip dengan pertunjukan obor atau oncor, hanya saja dengan gerakan yang lebih atarktif serta berbahaya.

Nyamuk-nyamuk tetap saja menggigit ketika semua pertunjukan usai dan rombongan harus menunggu bus penjemput yang ternyata sangat lama.  “Nyamuknya lebih besar daripada nyamuk di Jakarta, tetapi tidak terlalu gatal,” celetuk seorang peserta dari Jakarta.  

*) Tulisan ini dimuat di Harian Jogja