Serbuan nyamuk yang ganas. Itulah yang kami rasakan ketika
kemarin petang mengunjungi Pirogovo, sebuah perdesaan tua dekat kota Kiev,
Ukraina, yang dipertahankan sebagai semacam museum.
Kami datang ke sana sebagai bagian dari acara makan malam
hari pertama kegiatan Kongres Surat Kabar Dunia ke-64 sekaligus World Editors
Forum ke-19 yang digelar WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News
Publishers).
Kami tiba sekitar pukul 19.45. Seharusnya kami datang lebih cepat, sebelum
udara menjad terlalu gelap. Sekadar informasi, waktu maghrib saat di ini sekitar
Kiev kira-kira pukul 20.00 malam. Jadi kami tiba persis menjelang maghrib. Dan
saat itulah agaknya waktu favorit bagi para nyamuk untuk menyerbu. Maka ratusan
orang peserta kongres yang datang dari segala penjuru dunia dan baru turun bus
itu pun menjadi mangsa yang menyenangkan.
Pirogovo yang disebut sebagai museum arsitektur tradisional
ini berada kira-kira setengah jam perjalanan (bila tidak macet) dari pusat kota
Kiev. Jalan di sekitar lokasi hanya pas untuk bus bersimpangan. Menjelang lokasi
perdesaan itu hanya ada padang rumput yang luas.
Di Pirogovo terdapat belasan rumah yang dipertahankan asli,
mirip dengan perdesaan Indonesia puluhan tahun yang lalu. Rumah-rumah dari kayu
dan batu, dengan perabot di ruang tamu, ruang makan, serta ruang tidur ada di
dalamnya. Peralatan dapur tradisional juga ditempatkan seperti seharusnya.
Sayang sekali ketika kami mulai masuk ke rumah-rumah itu, hari sudah gelap. Dan
tidak ada lampu listrik yang dinyalakan. Jadinya hanya mengandalkan penerangan
dari “senter” berupa lampu ponsel.
Kegiatan makan malam dipusatkan di sebuah lapangan tak jauh
dari rumah-rumah tradisional itu. Disediakan dua buah tenda besar untuk tempat
makan. Di antara tenda itu terdapat beberapa meja yang dipakai penduduk setempat
untuk menjual sovenir. Ada bermacam gerabah khas Ukraina. Juga pakaian
tradisional dari katun dan kulit. Secara umum harga pakaian di Ukraina jauh
lebih mahal daripada di Indonesia. Namun souvenir semacam gerabah tidaklah
mahal. Di Lokasi itu banyak pengunjung yang membeli sovenir dari gerabah namun
tak banyak yang membeli pakaian tradisonal yang bentuknya mirip sekali baju koko
di Indonesia.
Tarian tradisonal yang dinamis dengan puluhan penari berbagai
usia agaknya merupakan tampilan khas. Siang hari pada pembukaan kongres para
peserta disuguhi tarian itu. Malam hari kembali disuguhi tarian serupa. Ada
puluhan orang, dari usia tua hingga anak-anak terlibat menyanyi.
Dengan warna kostum khas paduan antara merah dan putih, para
penarik bergerak sangat dinamis. Ini mirip dengan pertunjukan senam. Tarian
kolosal yang orang-orangnya bisa melompat-lompat secara sangat atraktif.
Barangkali tarian dengan pola semacam ini adalah khas di Eropa Timur dan daerah
sekitar Laut Hitam.
Malam semakin larut dan pertunjukan tari dipindah dari
panggung ke lapangan terbuka. Kali ini pertunjukan tari dengan api. Kalau di
Indonesia mirip dengan pertunjukan obor atau oncor, hanya saja dengan gerakan
yang lebih atarktif serta berbahaya.
Nyamuk-nyamuk tetap saja menggigit ketika semua pertunjukan
usai dan rombongan harus menunggu bus penjemput yang ternyata sangat lama. “Nyamuknya lebih besar daripada nyamuk di
Jakarta, tetapi tidak terlalu gatal,” celetuk seorang peserta dari Jakarta.
*) Tulisan ini dimuat di Harian Jogja
1 komentar:
kobe sneakers
cheap jordans
nike air max
christian louboutin
cheap air jordans
adidas nmd
jimmy choo shoes
jordan 11
jordan shoes
air max 270
Posting Komentar