27 Desember 2010
Menelanjangi China
Banyak orang menyepelekan produk China. Motor dan alat komunikasi buatan China barangkali termasuk yang punya citra kurang baik di Indonesia.
Paul Midler, pria Amerika Serikat yang beberapa tahun berada di China, mencoba memberikan gambaran nyata tentang bagaimana perusahaan manufaktur China beroperasi.
Di antara banyak buku yang bercerita tentang kehebatan China dengan perekonomian, jumlah penduduk, serta kemamuan menirunya yang luar biasa, buku "Abal-abal Produk Cina" ini adalah salah satu reportasi terbaik.
Para pengusaha China—buku ini menggunakan ejaan Cina—memiliki budaya dan cara komunikasi unik yang mungkin sulit dipahami oleh para mitranya dari Barat. Midler juga mampu menggambarakan kesalahpahaman dan miskomunikasi itu dengan baik.
Midler banyak ke luar masuk ke pabrik-pabrik di China. Suatu ketika dia datang ke sebuah perusahaan kimia. Ada bau sangat menyengat yang meliputi seluruh pabrik.
Dia kelepasan nyeletuk ketika mengunjungi pabrik itu. “bau sekali,” keluh Midler yang pandai berbahasa mandarin itu.
Mendengar kata-kata Midler, pemilik pabrik langsung membunag rokoknya dan berkata,” Anda orang asing. Anda datang ke China dan mengeluh tentang polusi, tetapi saya ttidak tahu apa sebabnya.”
Kemudian, dia menunjuk ke sekeliling yang berkabut dan berkata, “Bagi saya, tempat ini baunya seperti uang.”
Bagi sebagian besar orang China yang memimpikan kehidupan yang lebih baik, papar Midler, bau di pabrik berkaitan dengan peluang ekonomi yang lebih baik. Sudut kota yang lebih miskin, yang baunya segar atau sama seklai tidak berbau, tidak perlu dicemburui, melainkan dikasihani.
**Memberi kemudahan
China banyak sekali memberikan kemudahan bagi orang asing yang ingin berbisnis. Dan di negara totaliter itu, kesadaran untuk memperlakukan orang asing dengan sebaik-baiknya serta semudah-mudahnya sudah merambah ke segenap penjuru masyarakat.
Midler bercerita ketika dia harus membantu temannya di As untuk menjalin kerja sama dengan calon mitranya di China. Dalam pemesanan hotel, begitu tahu bahwa mereka akan melakukan kerja sama bisnis, pengelola langsung memberikan fasilitas berupa diskon yang besar.
Dalam keterbatasan cara komunikasi, para pengusaha China juga menyadari bahwa mereka perlu memberikan kemudahan bagi calon mitranya dalam mengirimkan barang dari China, mencari alamat, sistem pembayaran, penginapan, dan sebagainya. Perizinan juga nyaris tidak diperlukan sama sekali.
Para pengusaha di China umumnya tidak menyukai komunikasi email atau telepon. Mereka juga tidak suka membuat janji bertemu. Menurut Midler, mereka lebih suka mengandalkan pertemuan yang bersifat spontan. Janji bertemu akan dipandang sebagai salah satu hambatan untuk mendapartkan peluang lain yang mungkin saja datang tiba-tiba.
Karena ada perbedaan huruf dan bahasa yang signifikan, pemilik pabrik di China kadangkala tidak tahu persis benda apa yang sedang mereka buat. Tetapi seperti kata Midler, mereka nyaris bisa membuat apa saja. “Yang kami butuhkan hanyalah contoh produk Anda.”
Namun di tengah kesulitan cara dan model komunikasi, barangkali bahasa paling mudah dalam bisnis adalah uang. Agaknya itulah bahasa universal yang mampu mengalahkan beragam perbedaan budaya dan cara komunikasi.
**Pintar meniru
Kehebatan China sebagai surga peniruan ternyata juga membawa masalah tersendiri diantara para pengusaha.
Karena meniru sudah begitu merajalela, para pengusaha China kadang berkelakuan aneh. Mereka sangat khawatir para pesaing akan mencuri desain yang mereka peroleh dari Eropa.
Di sebuah pabrik sepatu, misalnya, para pegawai diberi kesempatan membeli sepatu dengan diskon, tetapi mereka tidak diizinkan membawa sepatu itu ke luar pabrik selama satu tahun penuh, sampai desain sepatu tersebut dikenal luas di pasaran.
Midler menggambarkan betapa pengusaha China mampu meniru apa pun, bahkan tanpa mengerti apa fungsi benda yang dibuatnya. Dia mengungkapkan cerita yang mengelikan tentang pesanan sepatu dari Turki.
Syahdan, pemesan dari Turki kebingunan ketika menemukan semua sepatu yang dipesannya tertancap paku pada sisi kiri. Usut punya usut, ternyata masalah ada pada sepatu contoh yang dibawa pemesan dari Turki. Pada sepatu contoh itu tertancap paku untuk menggantungkannya di ruang pamer. Itulah joke untuk menggambarkan betapa orang China hanya berorientasi untuk meniru semirip mungkin, tanpa peduli fungsi benda itu.
Hal-hal yang membingungkan para mitra di Barat seperti pabrik yang tiba-tiba hilang, kontak yang tiba-tiba sulit dihubungi, e-mail tidak dibalas, dijelaskan oleh Midler dengan memikat. (Setyardi Widodo)
*) Versi lebih singkat dimuat di Bisnis Indonesia edisi awal Desember 2010
14 Desember 2010
Terjemah Al-Quran dalam format MP3
Dalam perjalanan ke Bandung, saya menemukan penjual CD Al-Quran dalam format MP3 di masjid pada tempat istirahat Km 57.
Salah satu produk yang paling menarik dan memang sudah lama saya cari adalah CD yang berisi bacaan Al-Quran disertai dengan bacaan terjemah dalam Bahasa Indonesia.
Bagi saya, ini sangat membantu dibandingkan bacaan murattal yang dilengkapi terjemah dalam bentuk teks. Terjemah dalam bentuk teks membuat kita harus melihat ke layar untuk mengerti isi ayat yang dibaca. Ini sulit diakses di kendaraan atau sambil mengerjakan hal lain yang tidak memelototi layar.
CD Al-Quran yang saya beli itu terdiri atas 4 keping dalam satu wadah. Harganya Rp75.000. Sayangnya tidak bisa dibeli terpisah. Harus satu set. Wadahnya bagus. Anak saya sampai mengira itu buku karena wadahnya memang seperti buku.
Terjemah dibaca untuk masing-masing ayat. Dibaca satu ayat lalu dibaca terjemahnya. Masing-masing surat berada dalam satu file. Jadi kalau kita tekan next akan berlanjut ke surat berikutnya.
Salah satu yang menarik adalah kita bisa copy masing-masing file itu ke dalam komputer atau flash disk. Jadi, kalau kita khawatir CD-nya rusak, kita masih punya back up di perangkat penyimpan yang lain. File copynya, tanpa maksud membajak, bisa diputar di MP3 player atau pemutar musik yang bisa ditenteng ke mana-mana dengan ringan.
Murattal itu dibaca oleh Musyarii Rasyid. Bacaannya enak, intonasi enak. Suara jelas. Tidak terlalu cepat. Juga tidak terlalu lambat sebagaimana qiroah.
Adapun terjemah dibaca oleh seorang wanita yang tidak disebutkan namanya (Bagiku ini tanda tanya. Mengapa mesti perempuan yang membacanya?) Intonasinya datar (nyaris tanpa intonasi). Sebagai pembanding, saya pernah punya kaset berisi bacaan Quran dengan terjemah dibaca pria. Satu kaset berisi beberapa surat pilihan. Bacaan terjemahnya tegas, dengan intonasi kuat. Namun logatnya terlalu Melayu. Nah, pada CD MP3 ini, bacaan terjemahnya menurut saya terlalu lembut.
Kualitas perekaman bacaan terjemah ini juga kurang bagus. Banyak noise dan dengung, tidak sejelas bacaan Qurannya.
Alhamdulillah. Untuk para commuter yang setiap hari menghabiskan lebih dari 3 jam di jalan, CD MP3 Al-Quran beserta terjemahannya ini bisa menjadi opsi menarik. Apalagi jiga isinya dipindahkan ke pemutar MP3 yang bobotnya hanya beberapa gram dengan memori 16 GB. (Setyardi Widodo, inspirana.blogspot.com, wikeliks.blogspot.com)
13 Desember 2010
‘Lebih baik menyadari dirinya ningrat’
Di Yogya, perdebatan mengenai apakah demokrasi bertentangan dengan aristokrasi; adakah monarki; serta bagaimana keningratan berperan, belakangan memanas.
Saya jadi teringat dengan sebuah buku dengan sampul merah dan kertas berat terbitan Ina Publikatama, Jakarta, Mei 2004. Buku setebal 360 halaman itu berjudul Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain.
***
Fareed Zakaria dalam Masa Depan Kebebasan mengungkapkan cerita sisi lain dari tragedi Titanic. Apa yang diungkapkan oleh Zakaria berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam versi film yang amat laris.
Dalam film, para penumpang kelas pertama berebutan naik sekoci yang jumlahnya sedikit. Hanya karena kekerasan hati para kelasi yang menggunakan senapan untuk menghalangi para elit ini maka para wanita dan anak-anak dapat diselamatkan.
Zakaria, berdasarkan cerita dari orang-orang yang selamat, menyatakan bahwa prosedur ‘para wanita dan anak-anak dahulu’ diikuti tanpa kecuali oleh kalangan kelas atas.
Data dari kecelakaan mendukung hal ini. Di kelas pertama, setiap anak berhasil diselamatkan. Dari 144 wanita hanya 5 yang gagal diselamatkan. Tiga dari 5 orang itu memang memilih tinggal bersama suaminya di kapal yang tenggelam. Sebaliknya, 70% para pria kelas pertama tewas.
Di kelas kedua yang juga diisi kalangan profesional kaya, 80% dari para wanitanya diselamatkan namun 90% prianya tewas tenggelam.
Para pria yang ada dalam kapal Titanic sebenarnya masuk dalam Forbes 400 pada waktu itu. Bahkan ada kisah sangat heroik tentang John Jacob Astor dan Benjamin Guggenheim yang berenang menyelamatkan istrinya dan memberikan tempat duduknya untuk orang lain.
Menurut Zakaria, pembuat film mengubah cerita karena berpendapat bahwa orang zaman sekarang tidak akan percaya kisah yang sebenarnya mengenai kisah orang-orang elit itu. Dalam wacana masa kini, mereka para orang super kaya itu hanyalah seperti kita semua, orang biasa.
***
Fareed Zakaria mengungkapkan cerita tentang tragedi Titanic untuk mendukung hipotesisnya mengenai perbedaan sikap antara orang yang sejak semula sudah lahir dari kalangan elit dengan orang kaya baru yang awalnya berasal dari kalangan kebanyakan.
Perdebatan antara demokrasi dan keningratan sudah sejak lama dibahas para filosof. Meski Aristoteles tidak percaya bila kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat awam, arus utama yang menang di dunia saat ini tentu saja demokrasi di mana semua orang memiliki hak yang sama.
Agaknya Zakaria mengamati kelemahan dari penyerahan kekuasaan sepenuhnya kekuasaan kepada rakyak kebanyakan. Itu tampak pada perkembangan sosial di AS beberapa dekade belakangan ini.
Dia mengamati para elit baru AS adalah sekumpulan keluaran universitas yang cerdas. Kalangan elit ini lebih heterogen, meritokratis, dan dinamis dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Sayangnya, orang-orang di dalamnya bukanlah orang yang sejak awal telah sadar mengenai ststus elit mereka. Jika mereka dikatakan sebagai elit, mereka malah menyangkalnya.
Selama bertahun-tahun dia menjadi salah seorang terkaya sedunia, Bill Gates hanyalah memandang dirinya sebagai bagian dari kelas menengah ke atas biasa.
Dan sampai baru-baru ini, ketika kekuasaan mereka menjadi terlalu besar untuk diabaikan, negara memandang dia dan para taipan baru yang dia wakili sebagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang iasa yang kebetulan memiliki uang.
Namun gambaran ini, menurut Zakaria, salah dan menyesatkan. Kelompok orang yang relatif kecil –barangkali 1 juta atau 0,5 persen dari populasi AS— menjalankan sebagian besar lembaga utama dan memiliki pengaruh dalam banyak hal.
Jika mereka atau negara tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah elit, maka mereka juga tidak akan menysuaikan diri dengan status mereka.
***
Sebagai kesimpulan dan penegasan, Fareed Zakaria mengingatkan soal kesadaran dari kalangan elit. Menurut dia, pada dasarnya orang kaya dan berkuasa akan selalu ada. Kita hanya bisa meminta agar mereka menyadari bahwa dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki ada tanggung jawab tertentu. (Setyardi Widodo)
*Foto diambil lewat googling, tidak jelas sumbernya.
Saya jadi teringat dengan sebuah buku dengan sampul merah dan kertas berat terbitan Ina Publikatama, Jakarta, Mei 2004. Buku setebal 360 halaman itu berjudul Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain.
***
Fareed Zakaria dalam Masa Depan Kebebasan mengungkapkan cerita sisi lain dari tragedi Titanic. Apa yang diungkapkan oleh Zakaria berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam versi film yang amat laris.
Dalam film, para penumpang kelas pertama berebutan naik sekoci yang jumlahnya sedikit. Hanya karena kekerasan hati para kelasi yang menggunakan senapan untuk menghalangi para elit ini maka para wanita dan anak-anak dapat diselamatkan.
Zakaria, berdasarkan cerita dari orang-orang yang selamat, menyatakan bahwa prosedur ‘para wanita dan anak-anak dahulu’ diikuti tanpa kecuali oleh kalangan kelas atas.
Data dari kecelakaan mendukung hal ini. Di kelas pertama, setiap anak berhasil diselamatkan. Dari 144 wanita hanya 5 yang gagal diselamatkan. Tiga dari 5 orang itu memang memilih tinggal bersama suaminya di kapal yang tenggelam. Sebaliknya, 70% para pria kelas pertama tewas.
Di kelas kedua yang juga diisi kalangan profesional kaya, 80% dari para wanitanya diselamatkan namun 90% prianya tewas tenggelam.
Para pria yang ada dalam kapal Titanic sebenarnya masuk dalam Forbes 400 pada waktu itu. Bahkan ada kisah sangat heroik tentang John Jacob Astor dan Benjamin Guggenheim yang berenang menyelamatkan istrinya dan memberikan tempat duduknya untuk orang lain.
Menurut Zakaria, pembuat film mengubah cerita karena berpendapat bahwa orang zaman sekarang tidak akan percaya kisah yang sebenarnya mengenai kisah orang-orang elit itu. Dalam wacana masa kini, mereka para orang super kaya itu hanyalah seperti kita semua, orang biasa.
***
Fareed Zakaria mengungkapkan cerita tentang tragedi Titanic untuk mendukung hipotesisnya mengenai perbedaan sikap antara orang yang sejak semula sudah lahir dari kalangan elit dengan orang kaya baru yang awalnya berasal dari kalangan kebanyakan.
Perdebatan antara demokrasi dan keningratan sudah sejak lama dibahas para filosof. Meski Aristoteles tidak percaya bila kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat awam, arus utama yang menang di dunia saat ini tentu saja demokrasi di mana semua orang memiliki hak yang sama.
Agaknya Zakaria mengamati kelemahan dari penyerahan kekuasaan sepenuhnya kekuasaan kepada rakyak kebanyakan. Itu tampak pada perkembangan sosial di AS beberapa dekade belakangan ini.
Dia mengamati para elit baru AS adalah sekumpulan keluaran universitas yang cerdas. Kalangan elit ini lebih heterogen, meritokratis, dan dinamis dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Sayangnya, orang-orang di dalamnya bukanlah orang yang sejak awal telah sadar mengenai ststus elit mereka. Jika mereka dikatakan sebagai elit, mereka malah menyangkalnya.
Selama bertahun-tahun dia menjadi salah seorang terkaya sedunia, Bill Gates hanyalah memandang dirinya sebagai bagian dari kelas menengah ke atas biasa.
Dan sampai baru-baru ini, ketika kekuasaan mereka menjadi terlalu besar untuk diabaikan, negara memandang dia dan para taipan baru yang dia wakili sebagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang iasa yang kebetulan memiliki uang.
Namun gambaran ini, menurut Zakaria, salah dan menyesatkan. Kelompok orang yang relatif kecil –barangkali 1 juta atau 0,5 persen dari populasi AS— menjalankan sebagian besar lembaga utama dan memiliki pengaruh dalam banyak hal.
Jika mereka atau negara tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah elit, maka mereka juga tidak akan menysuaikan diri dengan status mereka.
***
Sebagai kesimpulan dan penegasan, Fareed Zakaria mengingatkan soal kesadaran dari kalangan elit. Menurut dia, pada dasarnya orang kaya dan berkuasa akan selalu ada. Kita hanya bisa meminta agar mereka menyadari bahwa dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki ada tanggung jawab tertentu. (Setyardi Widodo)
*Foto diambil lewat googling, tidak jelas sumbernya.
09 Desember 2010
Ketika data benar-benar terbuka
Sejak awal kehadirannya, Internet dan jaringan komputer sudah diramal akan membawa manusia ke dunia yang kian terbuka. Kehadiran situs web dengan berita-berita real time merupakan awal dari era keterbukaan itu.
Selain sampah informasi makin banyak, keterbukaan juga kian nyata di dunia maya. Para pesohor di dunia hiburan mungkin termasuk kelompok yang paling sering menjadi ‘korban’ keterbukaan informasi.
Banyak privacy dan hal-hal pribadi rahasia para pesohor itu yang terungkap secara lugas di Internet sehingga bisa menjadi konsumsi umum. Sesuatu yang memalukan sering nongol di dunia maya sehingga mengganggu kehidupan nyata si pesohor.
Belakangan ini, keterbukaan dunia maya kembali menghentak. Kali ini bukan hanya pesohor dari dunia hiburan yang dibikin kelabakan. Para politisi penting dunia, para penguasa panggung politik dunia, serta pejabat teras di negara-negara besar pun dibuat pusing.
Keterbukaan yang belakangan dihadirkan oleh WikiLeaks memang menjadi guncangan tersendiri sekalipun kita sudah belasan tahun mengenal Internet yang sejak awal kehadirannya diprediksi akan membawa manusia ke dunia yang lebih terbuka.
Tak banyak yang menyangka bahwa dokumen-dokumen yang semua dianggap super rahasia ternyata bisa mudah saja ditampilkan ke publik. Hal-hal yang pada masa lalu baru bisa diakses oleh masyarakat setelah 30 tahun dari penerbitan dokumen itu, kini bisa diakses dalam rentang beberapa tahun saja.
Itulah salah satu hal penting yang dibawa oleh WikiLeaks.
Dan dalam mengadang Wikileaks, akhirnya, tindakan biasa dalam politik—semacam penangkapan, tuduhan ini itu—lah yang digunakan untuk menutup keterbukaan. (sumber wikeliks.blogspot.com)
Foto dari AP, diambil lewat news.yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)