21 Juni 2011
Prihatin membuat orang Jawa tahan menderita
Prihatin menjadi kata yang menarik belakangan ini. Pidato-pidato pejabat besar menyangkut hal-hal yang tidak menyenangkan biasanya menyebut kata prihatin ini.
Kebetulan di sebuah toko buku saya menemukan satu judul menarik. Laku Prihatin, investasi menuju sukses ala manusia jawa karya Iman Budhi Santosa.
Kendati definisi manusia Jawa dalam buku ini bagi saya agak absurd di tengah globalisasi, tetapi setidaknya saya adalah bagian dari orang Jawa. Dan dari dulu memang setahu saya orang Jawa diajari untuk prihatin, menjalani laku prihatin.
Konon prihatin mungkin berasal dari perih dan ati/ aten. Artinya hati/perasaan yang menderita nyeri. Akan tetapi ada juga makna prihatin sebagai bertalak atau berpantang.
Saya lebih cenderung pada pengertian kedua, bahwa prihatin dalam bahasa Jawa merupakan lawan dari sikap hedonis, bersuka-suka (suka parisuka), berfoya-foya, dan sebangsanya.
Adapun prihatin dalam bahasa Indonesia memang merujuk pada pengertian pertama, sebagai lawan dari kata senang dan gembira. Inilah makna kata prihatin yang sering digunakan pejabat besar ketika menyinggung hal-hal tak menyenangkan.
Nasihat-nasihat para pujangga Jawa di masa lalu tentang perlunya prihatin saya kira sejalan dengan nasihat sufistik. Secara umum biasanya yang dimaksud prihatin adalah membatasi makan, membatasi tidur, tidak boros, tidak bermewah-mewahan, berlaku sederhana. Kadang juga dengan berjalan jauh, berkelana, dan suka menolong tanpa pandang bulu.
Nah, teknisnya agak beragam. Saya kira soal teknis itu berkembang sesuai pengaruh budaya lain yang masuk seperti agama Hindu, Buda, serta Islam. . Oleh sebab itu, bagi yang mau serius prihatin dengan cara tertentu, hendaknya memeriksa kembali aturan-aturan teknis dalam agama supaya tidak menimbulkan pelanggaran (yang tentu saja bisa amat serius).
***
Prihatin ini saya kira ajaran yang amat populer dan lestari pada msayarakat Jawa. Barangkali hal itu pulalah yang menjadi semangat terpendam yang membuat orang Jawa biasanya tahan menderita, tahan menjalani kehidupan yang berat dan tidak menyenangkan, tahan menempuh bahaya dan kesusahan demi sesuatu yang dianggap luhur/mulia/bahagia di masa depan. Bukankah kebanyakan orang (asli) Jawa (sejati) dikenal demikian?
Elan prihatin ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tokoh ksatria kanan dalam dunia wayang semua bertubuh kurus kecil (kecuali Bima dan keturunannya), sementara tokoh lawannya besar-besar dan gendut-gendut.
07 Juni 2011
Sakitnya kematian
Sepekan ini ada heboh tentang penyembelihan sapi impor dari Australia di rumah jagal yang berada di Indonesia. Saya tidak betah nonton sampai akhir video sadis berita dari media Australia itu. Namun demikian, ada beberapa pendapat dan pertanyaan menyangkut soal penyembelihan hewan itu.
*Saya kira secara umum perlakuan terhadap hewan ternak (hewan berkaki) dalam proses mematikan sebelum memasak dagingnya relatif lebih baik dibandingkan perlakuan terhadap hewan tak berkaki. Paling tidak ada standar bahwa mematikan hewan ternak adalah dengan menyembelih, memotong bagian lehernya.
Coba bandingkan dengan perlakuan kita terhadap ikan. Ada yang dipancing, artinya saluran makannya ditancapi sesuatu yang tak bisa dia lepaskan, lalu seluruh tubuhnya ditarik berlandaskan benda yang menancap itu. Ikan-ikan juga sering berada di luar air berjam-jam dalam keadaan tidak mati dan tidak hidup di pasar.
Lalu, cara mematikan ikan atau belut bisa dengan dipukul, atau bahkan langsung disiangi tanpa menunggu mati. Tidakkah ini lebih kejam? Tidak adakah standar perlakuan terhadap ikan dkk-nya?
*Soal rasa sakit menjelang kematian. Membunuh dengan cara yang santun dan cepat kan punya dua aspek. Aspek pertama dirasakan oleh penyembelih dan penonton. Menyembelih atau membunuh tanpa menyiksa saya kira pasti berdampak lebih baik bagi kejiwaan si penyembelih itu sendiri dibandingkan menyembelih dengan kekejaman.
Namun aspek lain yg menyangkut si hewan ternak itu sendiri saya kira tidak kita tahu pasti. Memang ketika hewan sehat dan jauh dari sakaratul maut, kita bisa memastikan bahwa perlakuan yg kejam lebih menyiksa. Akan tetapi, ketika sakaratul maut mulai terjadi, kita tidak tahu persis apakah kematian yg lambat lebih menyiksa dibandingkan kematian yg cepat. Kita belum punya sensor rasa sakit, bukan?
Satu organ tubuh kita tidak berfungsi normal saja kita bisa merasakan sakit. Misalnya ketika kita sesak nafas yang serius. Sakit kan?
Saya membayangkan bahwa kematian adalah tidak berfungsinya organ signifikan tertentu dalam tubuh sedemikian hingga kerja tubuh terhenti, macet. Jadi, bayangan saya, pasti suakiiit banget.
Secepat apa pun proses matinya, tetap saja ada lonjakan kesakitan yg luar biasa saat fungsi tubuh macet. Nah, dalam lonjakan amat tinggi seperti ini, apakah periode kesakitan masih signifikan?
Lah berhubung saya juga belum tahu jawabnya, saya menduga bahwa manfaat utama dari proses penyembelihan yang cepat dan tanpa menyiksa justru dirasakan oleh jiwa si penyembelih dan penonton, belum tentu oleh hewan yang dipotong.
Wallahu alam.
*Saya kira secara umum perlakuan terhadap hewan ternak (hewan berkaki) dalam proses mematikan sebelum memasak dagingnya relatif lebih baik dibandingkan perlakuan terhadap hewan tak berkaki. Paling tidak ada standar bahwa mematikan hewan ternak adalah dengan menyembelih, memotong bagian lehernya.
Coba bandingkan dengan perlakuan kita terhadap ikan. Ada yang dipancing, artinya saluran makannya ditancapi sesuatu yang tak bisa dia lepaskan, lalu seluruh tubuhnya ditarik berlandaskan benda yang menancap itu. Ikan-ikan juga sering berada di luar air berjam-jam dalam keadaan tidak mati dan tidak hidup di pasar.
Lalu, cara mematikan ikan atau belut bisa dengan dipukul, atau bahkan langsung disiangi tanpa menunggu mati. Tidakkah ini lebih kejam? Tidak adakah standar perlakuan terhadap ikan dkk-nya?
*Soal rasa sakit menjelang kematian. Membunuh dengan cara yang santun dan cepat kan punya dua aspek. Aspek pertama dirasakan oleh penyembelih dan penonton. Menyembelih atau membunuh tanpa menyiksa saya kira pasti berdampak lebih baik bagi kejiwaan si penyembelih itu sendiri dibandingkan menyembelih dengan kekejaman.
Namun aspek lain yg menyangkut si hewan ternak itu sendiri saya kira tidak kita tahu pasti. Memang ketika hewan sehat dan jauh dari sakaratul maut, kita bisa memastikan bahwa perlakuan yg kejam lebih menyiksa. Akan tetapi, ketika sakaratul maut mulai terjadi, kita tidak tahu persis apakah kematian yg lambat lebih menyiksa dibandingkan kematian yg cepat. Kita belum punya sensor rasa sakit, bukan?
Satu organ tubuh kita tidak berfungsi normal saja kita bisa merasakan sakit. Misalnya ketika kita sesak nafas yang serius. Sakit kan?
Saya membayangkan bahwa kematian adalah tidak berfungsinya organ signifikan tertentu dalam tubuh sedemikian hingga kerja tubuh terhenti, macet. Jadi, bayangan saya, pasti suakiiit banget.
Secepat apa pun proses matinya, tetap saja ada lonjakan kesakitan yg luar biasa saat fungsi tubuh macet. Nah, dalam lonjakan amat tinggi seperti ini, apakah periode kesakitan masih signifikan?
Lah berhubung saya juga belum tahu jawabnya, saya menduga bahwa manfaat utama dari proses penyembelihan yang cepat dan tanpa menyiksa justru dirasakan oleh jiwa si penyembelih dan penonton, belum tentu oleh hewan yang dipotong.
Wallahu alam.
Langganan:
Postingan (Atom)