Bogor ini kota petir. Stereotipe itu terbukti sudah membuat saya menjadi korban. Jumat sore, 20 Februari, baru beberapa jam saya berada di rumah di bandung, tiba-tiba ada telepon dari nomor tetangga sebelah.
Saya diberitahu bahwa rumah kena petir. Lampu kamar hangus berantakan, lalu tiga rumah listriknya mati semua. Saya harus segera datang.
Panik benar mendengar kabar ini. Terbayang sudah bagaimana petir dengan tegangan ribuan (atau jutaan) Volt menghantam kabel listrik dan merusak semua yang terhubung dengan kabel. Terbayang juga dahsyatnya kalau sampai tiga rumah rusak semua listriknya. Terbayang juga kalau mengingat nada informasinya sayalah yang dianggap salah karena petir menghantam rumah saya dan menyebabkan kerusakan merembet ke tetangga.
Menelepon ke tetangga yang satu lagi, tidak ada orang dewasa yang bisa ditanya atau dimintai tolong secara jelas. Ya sudah deh, harus balik lagi ke Gunungputri, setelah menelepon PLN Citeureup untuk minta perbaikan.
Padahal saya belum bertemu istri karena dia masih di kantor. Padahal lagi saya masih pengen juga main dengan Sekar apalagi karena minggu lalu libur kami tersita oleh berbagai acara yang harus dikunjungi secara terpisah-pisah.
Begitulah. Di tengah hujan itu saya menuju ke BTC Bandung, mencari travel ke arah UKI. Untunglah sebelum travel berangkat masih sempat bertemu istri barang lima menit di ruang tunggu.
Selama dalam perjalanan saya benar-benar tidak bisa tersenyum sepanjang perjalanan. Saya merasa ini “ujian yang sempurna”. Betapa mungkin timingnya kok pas banget, hari di mana saya baru memulai libur bersama keluarga setelah pekan yang sangat melelahkan. Mengapa waktunya sore sehingga hanya tersedia waktu sangat pendek menuju kegelapan? Mengapa Bandung dan Cipularang juga diguyur hujan yang membuat perjalanan terasa begitu dinginnya.
Bagaimana mungkin rumah saya kena petir? Apakah yang diicar oleh petir di rumahku?
****
Tiba di rumah menjelang jam 11 malam setelah perjalanan dan penantian yang serba basah selama hampir 5 jam. Ternyata listrik di kanan kiri rumah menyala. Masuk rumah saya lihat memang ada lampu yang rusak yang mungkin membuat konslet. Saya lepas lampu yang rusak, nyalakan lagi meteran yang anjlok, sudah deh, hidup lagi.
Jadi bisa dipastikan bahwa ini bukan kena petir, tali listrik anjlok. Yang masih belum saya mengerti bagaimana mungkin lebih dari satu rumah anjlk bersamaan ketika hujan deras dan ada petir keras sekali di dekat sini.
****
Soal petir ini mengingatkan saya akan Ki Ageng Sela atau Selo. (Se-pada sela dibaca seperti se pada sehat. La dibaca seperti pada kata lo-mbok.)
Ki Ageng Sela yang disebut-sebut berkerabat dengan keluarga Karebet Hadiwijaya (Sultan Pajang) dan menurunkan keluarga Panembahan Senopati (Mataram)
Itu konon mampu menangkap petir. Mungkin karena begitu saktinya, atau begitu gesitnya geraknya seperti kilat, atau entah karena apa.
Lha, saya ini bukan Ki Ageng Sela, pasti pusing kalau dikirimi petir, meskipun hanya cuma konon…