19 November 2009
Mengimpikan klakson masa depan
Bulan lalu, selama hampir dua pekan saya tinggal di Bandung dan menggunakan sepeda onthel sebagai sarana transportasi utama ke sekolah anak, ke ITB, dan ke beberapa lokasi di sekitarnya.
Ini merupakan kesempatan tersendiri mengonthel sepeda jengki rata-rata 10 km sehari di jalan-jalan utama kota besar. Sepeda saya model jenki dengan keranjang di depan. Tidak punya klakson maupun lampu dim.
Sebagai alat transportasi tanpa mesin dengan kecepatan maksimal jauh lebih rendah dibandingkan kecepatan rata-rata kendaraan arus utama, sepeda memunculkan kendala tersendiri.
Saya berterima kasih kepada para pengguna mobil dan motor yang cukup sabar untuk memberi jalan serta toleran terhadap keterbatasan para pengontel sepeda.
Namun izinkan saya untuk juga menyampaikan kesebalan terhadap para pengguna motor dan mobil yang tidak sabaran, yang mudah sekali menyalakan klakson nan keras, suka menyalib lalu tiba-tiba berhenti, serta enggan memberi jalan kepada para penyeberang.
Selain sebagai pengonthel sepeda, saya juga pejalan kaki yang cukup setia. Dan apa yang dialami oleh pejalan kaki seringkali mirip dengan para pengonthel sepeda. Klakson yang mengagetkan, zebra cross yang kurang teperhatikan, serta pengendara yang kurangsabaran.
***Segala arah
Secara khusus saya ingin menyoroti klakson. Beberapa kali saya lihat orang-orang dengan mobil hebat, mewah, sangat tidak sabaran. Kena hambatan sedikit saja menyalakan klakson begitu keras, terus menerus, memekakkan telinga pejalan kaki yang tidak tahu menahu persoalan. Kadang menyalakan klakson yang suaranya seperti sirine atau seperti klakson polisi.
Penglakson yang berada di dalam mobil tertutup (sehingga suara dari luar teredam), berada di balik arah klakson (sehingga suara yang dia dengar tidak terlalu keras) sering tidak menyadari dampak sebuah klakson bagi pengendara sepeda onthel atau pejalan kaki. Klakson bisa sangat mengagetkan dan membuat panik. Padahal klakson itu belum tentu diarahkan kepada orang yang bersangkutan.
Klakson yang tersedia sekarang ini memang sifatnya menyebar (broadcast) sehingga jumlah pendengar yang tidak dituju lebih banyak daripada jumlah pendengar yang dituju.
Selain itu, sifatnya tidak timbal balik. Kalau si X mengklakson seseorang di jalan, kemudian si Y juga mengklakson, maka kita tidak bisa menyimpulkan apakah Y mengklakson si X atau mengklakson orang yang sama dengan yang dimaksud oleh si X.
***Klakson portabel
Karena sebal dengan klakson-klakson itu, saya punya ide mengenai klakson portable. Ini klakson yang bisa ditenteng oleh para pengonthel sepeda maupun pejalan kaki. Jadi, kalau dia sebal dengan penglakson yang ada di dalam mobil atau di atas motor, dia bisa klakson balik.
Paling tidak ini bisa mengatasi rasa tak berdaya sebagai pejalan kaki atau pengonthel sepeda yang tiba-tiba harus meloncat atau bermanuver sebagai reaksi atas klakson kendaraan yang lebih besar.
Kalau ada klakson portabel maka pejalan kaki bisa klakson balik. Klakson portabel—sebaiknya digabung dengan senter sehingga bisa menjadi lampu dim juga—harus mampu mengeluarkan suara keras sekeras klakson mobil supaya mereka yang ada dalam mobil tertutup bisa tetap mendengar.
Kalau produsen ponsel China tahu soal ini, saya kira mereka juga akan menambahkan fitur senter dan klakson ke dalam ponsel-TV-qwerty yang sekarang sedang populer itu, hehehe.
***Klakson terarah
Solusi lain adalah alat komunikasi yang terarah dan timbal balik sebagai gantinya klakson. Kalau saja mobil-mobil ini seperti ponsel dengan Bluetooth yang bisa mengenali mobil-mobil sekitarnya pada jarak tertentu, misalnya 100 meter, maka mereka bisa saling berkomunikasi.
Seandainya ada sebuah layar yang seperti radar 2 dimensi atau 3 dimensi yang menggambarkan kondisi riil di jalan. Jadi, kalau dia memencet klakson, cukup kendaraan yang dituju saja yang mendengar. Sama seperti kita kirim pesan dalam instant messenger. Orang-orang lain tidak perlu ikut bising. Bunyi pesan juga bisa diset agar tidak mengejutkan atau menyebalkan.
Tapi khusus untuk yang belakangan ini tentu saja masih butuh waktu lama dan biaya besar. Selain itu, ini hanyalah teknologi sampingan dari sebuah teknologi yang benar-benar baru mengenai cara komunikasi di jalan raya. Jika sebagai teknologi yang dikenbangkan sendiri, biayanya akan sangat mahal.
Jadi, untuk sementara, untuk mengobat kekesalan spikologi, yang diperlukan adalah suatu klakson potabel seperti senter. Bisa ditenteng, masuk saku, atau ditempelkan di tas, agar mudah dipencet. Wallahu alam.
PS: Solusi paling murah dan mudah, beli sempritan tukang parkir yang suaranya bisa kuerasss banget, hehehe.
Label:
jalan kaki,
jalan raya,
klakson,
onthel,
sepeda
15 November 2009
Pahlawan formal prosedural
Sutomo yang dikenal dengan nama Bung Tomo adalah ironi kepahlawanan di Indonesia. Cerita Sutomo juga cermin kalahnya kenyataan yang cetho welo-welo oleh prosedur formal yang berbelit.
Bung Tomo merupakan orator ulung dikenal sebagai penggerak arek-arek Surabaya dalam perjuangan melawan pasukan Sekutu yang didomplengi tentara Belanda pada November 1945. Dalam peristiwa itu, Brigjen Mallaby tewas dan pasukan Sekutu berhasil diusir dari Surabaya.
Peristiwa perlawanan rakyat Surabaya itulah yang menjadi dasar penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Akan tetapi, Bung Tomo baru diberi gelar resmi sebagai pahlawan nasional pada 2008, atau 63 tahun setelah peristiwa heroik di Surabaya dan 27 tahun setelah dia meninggal dunia.
Mengapa penetapan Bung Tomo sebagai pahlawan perlu waktu yang begitu lama? Konon karena banyak prosedur formal yang harus ditempuh sebelum seseorang ditetapkan sebagai pahlawan.
Untuk menjadi pahlawan nasional, seseorang harus diusulkan oleh sekelompok masyarakat, kemudian dibahas dulu dalam suatu seminar, lalu diteliti dan diusulkan berbagai instansi pemerintah seperti Badan Penelitian Pahlawan Nasional. Persyaratan prosedural formal itu baru terpenuhi pada 2008.
Sejarah, cerita rakyat, serta dunia pewayangan bertaburan dengan kisah kepahlawan menurut versi masing-masing. Dalam dunia pewayangan Jawa, terdapat beberapa tokoh yang dikenal sebagai pahlawan kontroversial seperti Karna dan Kumbakarna.
Karna adalah anak Kunthi, jadi merupakan saudara seibu dengan tiga ksatria Pandawa. Akan tetapi, sejak muda dia bergaul dengan para Kurawa. Dalam perang Baratayudha, Karna berpihak pada Kurawa, melawan adik-adiknya, Pandawa. Dalam perang Baratayuda, Karna yang berhasil membunuh Gatotkaca akhirnya tewas oleh senjata Arjuna, adiknya sendiri.
Adapun Kumbakarna adalah adik Rahwana dari negeri Alengka. Kumbakarna sebenarnya menentang langkah Rahwana menculik Dewi Shinta, istri Rama, yang menimbulkan sengketa besar. Akan tetapi, dalam perang antara Rahwana dengan Rama, Kumbakarna membela negerinya, Alengka, dari serbuan pasukan kera yang memihak Rama.
Karna dan Kumbakarna, sering digambarkan sebagai penganut nasionalisme fanatik sempit. Mereka berdua mengikuti prosedur formal sebagai rakyat yang harus membela negaranya. Padahal, membela negara dalam konteks kerajaan semacam itu seringkali identik dengan membela pemimpinnya, bukan membela rakyatnya.
“Benar atau salah yang penting prosedur [sebagai warga negeri pewayangan] terpenuhi,” begitulah barangkali dasar berpikirnya, seperti ditafsirkan seorang rekan yang sangat cerdas di milis Lulusan TF-ITB.
Penyederhaan birokrasi
Dalam organisasi, prosedur diperlukan untuk memastikan bahwa semua upaya berlangsung objektif, terbebas dari kepentingan dan kelemahan pribadi-pribadi yang terlibat. Akan tetapi, prosedur yang terlalu banyak sering membuat lumpuh organisasi.
Penerapan tertib prosedural kadang membuat proses organisasi berjalan lambat. Harapannya, proses akan berlangsung lebih cermat, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan. Sialnya, harapan ini sering hampa.
Negara adalah sebuah organisasi sangat besar. Dan akumulasi prosedur yang ada dalam birokrasi sebuah negara bisa besar sekali. Schumatcher dalam Kecil itu Indah memberi gambaran bagus sekali mengenai tidak nyamannya tumpukan prosedur dalam sebuah birokrasi.
“Tidak ada orang yang menyukai organisasi besar. Tidak ada orang yang suka menerima perintah dari orang yang menerima perintah dari seorang kepala yang juga menerima perintah dari kepalanya yang menerima perintah pula. Kalaupun peraturan-peraturan yang dibuat oleh birokrat itu sangat berperikemanusiaan, tak ada orang yang suka diatur oleh peraturan—artinya oleh orang yang kalau ada keluhan selalu menjawab: Saya tidak membuat peraturan. Saya hanya melaksanakan peraturan,” paparnya.
Dalam konteks ini Schumatcher memandang birokrasi yang ruwet sebagai hambatan bagi terobosan, kemajuan, dan inovasi. Banyak pemborosan yang terjadi karena prosedur birokrasi yang rumit. Banyak energi terbuang, uang terhambur, sumber daya tersia-sia.
Krisis hukum yang mencuat belakangan ini, serta ancaman kelangkaan pupuk seperti yang diberitakan Bisnis edisi 11 November, tak lepas dari kerumitan prosedur formal. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, slogan ‘benar atau salah ikut prosedur formal’ tampak sudah tidak relevan lagi.
Kita butuh pahlawan model baru, mereka yang dapat mengurangi kerumitan hidup rakyat, mampu menyederhanakan beragam prosedur tak perlu yang harus dihadapi rakyat ketika berhadapan dengan birokrasi negara.
Mampukan partai politik dan lembaga-lembaga formal di Indonesia melepaskan diri dari belitan prosedur dan birokrasi sebagaimana lembaga swadaya masyarakat, elemen-elemen masyarakat madani, serta media massa belakangan ini?
Debirokratisasi mungkin terkesan usang, tapi tetap relevan. Pasti menggembirakan kalau ada pahlawan baru yang sanggup menerapkan slogan lama KISS alias keep it simple, Smart!
*) Foto di Tokyo, tempat perdana menteri Jepang biasa memberikan pidato penting
**) Tulisan ini semacam manivesto dari seorang yang baru saja diingatkan oleh seorang mantan menteri mengenai visi lamanya waktu mahasiswa: “akhirnya jadi Presiden”.
08 November 2009
Mencuci sendiri
03 November 2009
Bila Trunojoyo merasa dicatut*
Cerita tentang Trunojoyo adalah kisah tentang sadisme. Kisah Trunojoyo juga merupakan cerita tentang pembantaian ribuan ulama penjaga moral bagi bumi pertiwi.
Trunojoyo yang kemudian bergelar Panembahan Maduretno adalah seorang pemberontak besar dan pahlawan pada zamannya. Dia melawan kekuasaan Raja Mataram Amangkurat I, anak Sultan Agung sekaligus cucu Panembahan Senopati. Hebatnya, Trunojoyo berhasil mengalahkan Amangkurat I yang kemudian meninggal dunia dalam pelariannya di Tegalwangi sehingga sering pula disebut sebagai Amangkurat Tegalarum.
Trunojoyo menentang kekuasaan Amangkurat I dengan dukungan Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Ulama besar Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, menyebut Trunojoyo sebagai pemimpin perang sabil.
Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat I menggandeng VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan menyediakan imbalan 250.000 rial dan 3.000 pikul beras. Karena perang lebih lama dari perkiraan, Amangkurat harus menambah lagi 20.000 rial. Dan sejak itu VOC dibebaskan dari biaya cukai memasukkan barang ke seluruh pelabuhan di Jawa, serta berhak mendirikan loji (kantor) di berbagai lokasi.
Amangkurat II sebagai penerus Amangkurat I berkoalisi dengan VOC dan Aru Palaka. Mereka berhasil memukul balik Trunojoyo. Kapten Yonker, orang Ambon yang jadi pemimpin pasukan Belanda, dapat menangkap Trunojoyo di Gunung Kelud pada 27 Desember 1679.
Yonker berjanji akan memperlakukan Trunojoyo sebagai tawanan perang. Namun apa daya, Amangkurat II justru memilih cara sangat sadis untuk menghabisi Sang Pahlawan.
Hukuman mati terhadap Trunojoyo juga diikuti dengan hukuman mati terhadap Pangeran Giri beserta ribuan ulama penjaga moral di Jawa. Seperti kita tahu, Giri sejak zaman akhir Majapahit hingga awal berdirinya Mataram adalah otoritas keagamaan yang paling disegani di Jawa.
Hamka menyebutkan Yonker yang kecewa dengan perlakuan Amangkurat II terhadap tawanannya akhirnya berkomplot menentang VOC dan 10 tahun kemudian dia dihukum mati di Batavia.
Babad Tanah Jawi mengungkapkan betapa sadis perlakuan Amangkurat terhadap tawanannya yang pernah memberontak itu. Tubuh Trunojoyo hancur dihujani keris oleh puluhan orang, lalu jantungnya dibagi-bagikan untuk dimakan mentah-mentah oleh para kerabat raja. Kepalanya dipenggal, dijadikan alas kaki untuk para abdi dalem, kemudian dihancurkan.
Amangkurat lalu menyerbu Giri dan membunuh ratusan santri yang mendukung Pangeran Giri dan Trunojoyo.
H. J. De Graaf menyebutkan bahwa pembunuhan ribuan ulama dan santri mula-mula dilakukan oleh Amangkurat I yang memicu banyak ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya.
Putra Mahkota (yang kemudian menjadi Amangkurat II) bersekutu dengan Trunojoyo untuk menyingkirkan Amangkurat I. Langkah ini berhasil menggulingkan Amangkurat I, namun Putra Mahkota ingkar janji dan kemudian berselisih dengan Trunojoyo. Dan pembunuhan terhadap para ulama tetap terjadi pada pemerintahan Amangkurat II.
***Melawan penguasa
Baik versi De Graaf, versi Hamka, maupun Babad Tanah Jawi, menggambarkan Trunojoyo sebagai seorang pemberani. Dia sanggup melawan otoritas tertinggi di wilayahnya, baik otoritas politik berupa Raja Mataram maupun otoritas ekonomi bernama VOC.
Trunojoyo sempat berhasil secara gemilang meskipun kemudian kalah telak. Namanya pun diabadikan sebagai pahlawan di negara yang terbentuk 266 tahun setelah dia meninggal...
*) Dimuat di Bisnis Indonesia, edisi Selasa 03 November 2009, Halaman 8.
02 November 2009
Kacamata di kakilima
Satu lensa kacamata saya pecah ketika liburan Lebaran yang baru lalu. Itu membuat saya terobsesi untuk melihat-lihat banyak alternatif dalam soal perkacamataan. Selama lebih dari 15 tahun berkacamata, ini adalah pengalaman paling intens berurusan dengan tukang kacamata.
Saya ingat zaman mahasiswa. Setiap kali berurusan dengan kacamata selalu meluncur ke jl ABC, Bandung. Urusan frame di tangan kaki lima, sedangtkan lensa di toko optik dekat situ.
Nah, kali ini pun saya kembali ke Jl ABC. Saya mengganti lensa, tarifnya di toko optik di situ paling murah Rp80.000 dengan waktu pengerjaan dua jam.
Ketika saya jalan-jalan tanya ke kaki lima, tarifnya hanya Rp50.000 dengan waktu pengerjaan seperempat jam. Bedanya kaki lima tidak punya tempat untuk pengetesan memastikan mata ini minus berapa. Kalau kita sudah punya data akurat tentang mata, enak banget ke kaki lima itu. Dengan uang Rp80.000 sudah bisa dapat frame bekas dengan lensa baru sampai minus empat.
Di kaki lima itu frame-frame baru dalam berbagai macam merek juga tersedia. Ada Oakley, Tag Heuer, dan sebagainya. (Palsu kali ya?). Harganya murah sekali. Salah satu kacamata dengan tulisan Oakley dipasarkan dengan harga Rp125.000 sudah termasuk lensa hingga minus empat. Sementara itu, frame-frame di toko dipasarkan dengan harga umumnya di atas Rp150.000.
Saya juga sudah bandingkan dengan toko optik di Cibinong. Di Jl ABC Bandung jatuhnya lebih murah dengan kualitas pengerjaan yang –-berdasarkan pengalaman acak—-jauh lebih baik.
Jadi, kalau tidak banyak ngurus gengsi, tidak butuh frame ringan, tidak butuh lensa dengan spesifikasi aneh-aneh, bisa mempertimbangkan penjual kacamata di kakilima ini. Mereka ramah-ramah, harganya murah, pelayanan cepat. Tapi sabar saja, menunggunya sambil berkeringat karena udara kadang panas dan tanpa AC, hehehe.
Langganan:
Postingan (Atom)