03 November 2009
Bila Trunojoyo merasa dicatut*
Cerita tentang Trunojoyo adalah kisah tentang sadisme. Kisah Trunojoyo juga merupakan cerita tentang pembantaian ribuan ulama penjaga moral bagi bumi pertiwi.
Trunojoyo yang kemudian bergelar Panembahan Maduretno adalah seorang pemberontak besar dan pahlawan pada zamannya. Dia melawan kekuasaan Raja Mataram Amangkurat I, anak Sultan Agung sekaligus cucu Panembahan Senopati. Hebatnya, Trunojoyo berhasil mengalahkan Amangkurat I yang kemudian meninggal dunia dalam pelariannya di Tegalwangi sehingga sering pula disebut sebagai Amangkurat Tegalarum.
Trunojoyo menentang kekuasaan Amangkurat I dengan dukungan Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Ulama besar Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, menyebut Trunojoyo sebagai pemimpin perang sabil.
Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat I menggandeng VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan menyediakan imbalan 250.000 rial dan 3.000 pikul beras. Karena perang lebih lama dari perkiraan, Amangkurat harus menambah lagi 20.000 rial. Dan sejak itu VOC dibebaskan dari biaya cukai memasukkan barang ke seluruh pelabuhan di Jawa, serta berhak mendirikan loji (kantor) di berbagai lokasi.
Amangkurat II sebagai penerus Amangkurat I berkoalisi dengan VOC dan Aru Palaka. Mereka berhasil memukul balik Trunojoyo. Kapten Yonker, orang Ambon yang jadi pemimpin pasukan Belanda, dapat menangkap Trunojoyo di Gunung Kelud pada 27 Desember 1679.
Yonker berjanji akan memperlakukan Trunojoyo sebagai tawanan perang. Namun apa daya, Amangkurat II justru memilih cara sangat sadis untuk menghabisi Sang Pahlawan.
Hukuman mati terhadap Trunojoyo juga diikuti dengan hukuman mati terhadap Pangeran Giri beserta ribuan ulama penjaga moral di Jawa. Seperti kita tahu, Giri sejak zaman akhir Majapahit hingga awal berdirinya Mataram adalah otoritas keagamaan yang paling disegani di Jawa.
Hamka menyebutkan Yonker yang kecewa dengan perlakuan Amangkurat II terhadap tawanannya akhirnya berkomplot menentang VOC dan 10 tahun kemudian dia dihukum mati di Batavia.
Babad Tanah Jawi mengungkapkan betapa sadis perlakuan Amangkurat terhadap tawanannya yang pernah memberontak itu. Tubuh Trunojoyo hancur dihujani keris oleh puluhan orang, lalu jantungnya dibagi-bagikan untuk dimakan mentah-mentah oleh para kerabat raja. Kepalanya dipenggal, dijadikan alas kaki untuk para abdi dalem, kemudian dihancurkan.
Amangkurat lalu menyerbu Giri dan membunuh ratusan santri yang mendukung Pangeran Giri dan Trunojoyo.
H. J. De Graaf menyebutkan bahwa pembunuhan ribuan ulama dan santri mula-mula dilakukan oleh Amangkurat I yang memicu banyak ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya.
Putra Mahkota (yang kemudian menjadi Amangkurat II) bersekutu dengan Trunojoyo untuk menyingkirkan Amangkurat I. Langkah ini berhasil menggulingkan Amangkurat I, namun Putra Mahkota ingkar janji dan kemudian berselisih dengan Trunojoyo. Dan pembunuhan terhadap para ulama tetap terjadi pada pemerintahan Amangkurat II.
***Melawan penguasa
Baik versi De Graaf, versi Hamka, maupun Babad Tanah Jawi, menggambarkan Trunojoyo sebagai seorang pemberani. Dia sanggup melawan otoritas tertinggi di wilayahnya, baik otoritas politik berupa Raja Mataram maupun otoritas ekonomi bernama VOC.
Trunojoyo sempat berhasil secara gemilang meskipun kemudian kalah telak. Namanya pun diabadikan sebagai pahlawan di negara yang terbentuk 266 tahun setelah dia meninggal...
*) Dimuat di Bisnis Indonesia, edisi Selasa 03 November 2009, Halaman 8.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar