15 Januari 2009

Lagu, ngelmu, serta laku

Ada lagu Jawa berbentuk Pocung yang sangat menarik. Saya mengingatnya kembali setelah seorang kawan sekaligus guru saya memasang status mengenai lagu ini di YM dan Gtalknya.

Salah satu lagu Pocung yang sangat menarik itu bunyinya begini:

Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyentosani
Setyabudya pangekese dur angkara

Arti (harfiah) versi saya kira-kira sebagai berikut:
Hikmah/ pengetahuan/ kefahaman itu tercapai melalui laku/ perjuangan/ prihatin/ bertapa
Modalnya/ permulaaanya dengan kas
Maksudnya kas adalah tekad yang kuat sentosa
Telaten/ tabah/ istiqomah dalam menekan nafsu dan kejahatan

Terjemah versi lainnya sbb
Ngelmu itu terlaksana dengan penghayatan,
Penerapannya harus dengan sungguh-sungguh,
Artinya, benar-benar dapat memberikan kesentosaan,
Dengan kesadaran yang kokoh untuk menaklukkan angkara murka

***
Memang bisa saja ada tafsir dan terjemahnya berbeda di luar paragraph pertama, karena kata-kata yang dipakai tidak lazim. Akan tetapi, dalam hal “laku”, hampir semua sepaham bahwa yang dimaksud adalah semacam sikap sungguh-sungguh, sepenuh hati, penuh penghayatan, dijalankan dengan prihatin, mengekang diri.

“Laku”, dalam bentuk yang ringan, biasanya dijalankan dengan mengurangi makan, mengurangi tidur, mengurangi hal-hal yang berbau kenikmatan hidup (kasukan), lalu menenggelamkan diri ke dalam prihatin, belajar, serta merenung. “Laku” dalam bentuk yang berat adalah bertapa.
Sejalan dengan pemahaman Jawa semacam itu maka tokoh kesatria yang sakti dalam pewayangan umumnya ditampilkan dalam sosok yang kecil, kurus, kalau menginjak kapas pun seolah tidak tertekan (midak kapuk ora pendeng) karena begitu ringan tubuhnya, namun mampu mengalahkan raksasa sabrang dan tokoh-tokoh lain yang bertubuh besar.

***
Begitulah, kendati ada penafsiran berbeda dalam paragraph bawah lagu tersebut, semua sepakat bahwa ada kandungan makna yang mendalam di sana. Ada pelajaran dan nasihat sangat berharga (dari terjemahan versi mana pun) di dalam lagu itu.

Lagu di atas adalah salah satu dari sedikit lagu jawa yang sangat populer waktu saya kecil. Populer lewat pelajaran di sekolah maupun lewat berbagai buku bacaan di masa kecil. (Salah satu bacaan favorit keluarga kami adalah majalah berbahasa jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya.)

Lagu Jawa jaman dulu itu dikelompokkan secara baku menurut jumlah susu kata dan akhiran. Makanya ada lagu Pocung, Dhandanggula, Kinanthi, Megatruh, dan sebagainya. Berbeda dengan lagu pop jaman sekarang yang tidak lagi terikat kaidah jumlah susu kata maupun bunyi akhiran kalimat.

Nah, sekarang ini saya merasa lagu Jawa dalam bentuk pop, yaitu campur sari, mencapai popularitas yang jauh melampaui lagu Jawa popular di masa lalu. Sayangnya, lagu pop itu, baik bahasa Jawa atau bahasa lainnya, relatif sama saja. Yang dipaparkan adalah masalah cinta yang tidak habis-habis itu. Nyaris tidak ada (atau bahkan memang sama sekali tidak ada) lagu populer yang berisi ajaran sangat menarik seperti dalam lagu Pocung tentang “Ngelmu” itu.

Saya masih merindukan lagu-lagu Jawa semacam “Ngelmu” itu. (Lagu dalam bahasa Jawa disebut sebagai tembang atau sekar).

3 komentar:

Setyardi Widodo mengatakan...

capy-paste dari komentar di Facebook

Arif Pitoyo
Wah mas, dulu aku hafal banget lagu-lagu macapat seperti Megatruh, dan apa itu namanya ahhhh lupa...
Definisi Laku dan Ngelmu di atas kayaknya lebih ke unsur klenik yah... padahal sebenernya bisa lebih luas lagi, yaitu segala tingkah laku keseharian kita harus dilandasi dengan ilmu dan tidak asal melakukan tindakan tanpa ilmu. Kalau dalam ilmu agama, Laku yang tanpa Ngelmu itu disebut bid'ah....

Bayu Widagdo
waahh...jangan sedikit2 budaya sendiri dikatakan klenik dong...?? banyak hal budaya jawa yang sangat2 mendalam artinya, tapi karena pemahaman kita yang sedikit, sering diartikan lain...
btw, sepakat aku bahwa ngelmu harus dengan laku,
ngelmu wartawan, bukannya dengan memindahkan begitu saja/percaya saja apa kata rilis...
ngelmu wartawan, ya harus mau 'laku'... wahh..dadi ga nyambung ya...

Adi Purdiyanto
....cangkemmu marep neng ndhuwur...saba mu neng sendhang...bener2 nguri-uri kabudayan Jawi nggih mas...

Ery Djunaedy
wah ini jadi mengingatkan masa muda dulu nih, apa saya perlu buka foto jadul lagi? Foto lomba nembang, yang pake blangkon segala? Sayang sekali bahasa jawaku tidak lebih dari sekadar bahasa pasaran yang sama sekali nggak tahu makna tembang-tembang yang dulu saya hafal. Favoritku dulu Dhandanggula, sekarang boro-boro hafal, ilang kabeh.

Tahir Saleh Heringuhir
Pocung, Dhandanggula, Kinanthi, Megatruh, aku belum pernah denger mas, ada juga megadeath, heheh. tapi iya tuh lagu jawa zaman sekarang ga jauh dari cinta. alasannya cinta kan ga abis digali. tau deh,,,

Heru Nugroho
Wid,
Mungkin akan lebih nikmat lagi kalo kita meresapinya secara lengkap, seluruh seri macapat (jawa) yg menurutku adalah sebuah wejangan (ajaran) leluhur yg disampaikan dalam format tembang (bagi orang jawa). Orang sunda juga memiliki wejangan (ajaran) yg sama dengan nama PUPUH (format & kandungannya nyaris sama dan sebangun) yg urutannya sbb:
Maskumambang, Mijil, Sinom. Kinanthi, Asmarandana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung.

Menurutku, Kalo kita disimak dalam2 sesuai urutan, tembang2 tersebut adalah sebuah ajaran yg luar biasa tentang perjalanan hidup manusia dari mulai bayi sampai meninggal (diurut dalam berbagai bentuk tembang).

Tentu saja tembang2 tersebut jauh lebih bermakna ketimbang lagu2 jawa yg ngepop sekarang yg cuma memiliki sensasi sesaat. Krn sekedar topik cinta2an itu ya tidak sebanding kalo disanding dg tema2 ttg kehidupan. Tapi, sensasi emang lebih menarik, meski cuma sesaat. Meidi Imanullah at 10:26pm January 15
contoh laku yg saya suka adalah yg dilakukan oleh agung sedayu, sayangnya lebih bersifat komikal. si pemeran utama harus lebih sakti daripada tokoh angkara murka, & utk itu ada sejumlah laku yg harus dilewati... Satriyo Pranoto at 8:37am January 16
mantep mas setyardi ini...bahasa dan filosofi jawanya masih kuat...saya dah menguap....

Setyardi Widodo
@ Mas Arif dan Mas Bayu, saya kira banyak hal yang bisa diambil dari budaya Jawa. Kalau soal detil teknis bagaimana cara “laku”, itu saya kira terus berkembang.
@ Mas Adi & Mas Satriyo, wah saya hanya Jawa pinggiran nih. Adoh ratu, cedhak watu
@ Kang Ery, saya justru lebih banyak mengenali lagu Jawa pop setelah tinggal di Bandung. Dulu suka nyetel wayang dan siaran Bahasa jawa lewat Radio Mutiara.
@ Mas Taher, betul juga, hehe
@ Mas Heru. Wah luarrrr biasa. Saya malah baru tahu urut-urutan kehidupan dalam macapat itu. Matur nuwun inkang kathah. Jadi kita masuk dalam fase mana nih, Dhandhangula atau Durma atau Pangkur? Atau malah Asmaradana (lagi)? Hehehe
@ Kang Meidi, berhubung Agung Sedayu itu tokoh cerita silat, maka “laku”nya ya harus mencari kesaktian. Kalau ceritanya soal perebutan kekuasaan tanpa ilmu silat, mungkin “laku” nya lain lagi, “laku” kampanye mungkin hehehe…

Sugeng Kariyodiharjo mengatakan...

Kula ngaturaken pangayubagya dene taksih wonten priyantun taksih timur sampun kersa nguri-uri kabudayan Jawi. Menapa inggih panjenengan taksih ngendikan mawi basa Jawi? UNESCO mratelakaken bilih 2.500 basa ing donya badhe sirna. Menapa kalebet basa Jawi?

Anonim mengatakan...

his comment is hereVisit This Link have a peek hereour website Check This Outtry these out