06 Agustus 2010

Amerika dalang konspirasi ekonomi dunia?

Semula saya ragu untuk membeli buku Confessions of an Economic Hit Man ketika pertama kali melihatnya di toko buku pada pekan lalu. Di sebelahnya ada buku-buku yang bagus pula dan lebih baru, misalnya buku berjudul Lobby Israel yang sangat tebal.

Saya baca-baca sekilas tulisan di cover belakang serta bagian awal buku karya John Perkins ini. Rasanya saya sudah terlalu banyak membaca buku yang menjelek-jelekkan Amerika dan kawan-kawannya. Sudah belasan tahun membacai buku semacam itu. Lalu apalagi yang bisa diharapkan dari buku yang juga tidak terlalu baru ini?

Tetapi saya tidak bisa menahan godaan untuk tetap membeli buku yang sangat terkenal ini. Covernya bagus. Ukuran kertasnya juga menarik. Buku ini menjadi perbincangan di mana-mana, bagaimana mungkin saya melewatkan diri untuk membacanya?

Akhirnya, beberapa hari sebelum berangkat ke Ambon, saya membeli buku setebal 278 halaman dengan harga Rp75.000 ini. Saya baca pelan-pelan dan baru saya selesaikan di Ambon, di sela-sela acara, saat menunggu ini dan itu.

***
Buku ini bercerita tentang pengalaman penulis, John Perkins, selama bekerja sebagai konsultan internasional. Dia bekerja sebagai seorang ekonom yang bertugas membuat prediksi dan tinjauan tentang perekonomian suatu negara. Prediksi dan tinjaunya itu haruslah masuk akal untuk memuluskan hadirnya proyek-proyek dari perusahaan multinasional milik AS.

Misalnya, mendorong elektrifikasi, eksploitasi minyak, pembuatan bendungan, serta proyek infrastruktur lainnya. Nasihat-nasihatnya itu pulalah yang membuat banyak negara terjerumus dalam utang jangka panjang yang sangat besar, yang membuat suatu negara tidak berkutik lagi menghadapi negara-negara donor, khususnya menghadapi AS.

Dia menguraikan bagaimana hal itu dilakukan, bagaimana para penguasa –baik yang lunak maupun yang keras terhadap AS—ditundukkan melalui cara halus, agak kasar, sampai cara kasar seperti pembunuhan politik serta invasi militer. Perkins bercerita tentang peran AS di Panama, Ekuador, Arab Saudi, Indonesia, Irak dan Kolumbia. Juga bercerita tentang peran Nixon, Reagen, Bush senior terhadap perusahaan multinasional dan nasib negara-negara itu.

Dia menempatkan perusahaan-perusahaan minyak pada posisi yang sangat buruk. Misalnya ketika bercerita tentang Ekuador. “Untuk minyak mentah senilai US$100 yang dimabil dari hutan Ekuador, perusahaan minyak menerima US$75. Dari US$25 sisanya, tiga per empat untuk membayar utang luar negeri. Sebagian besar untuk yang tersisa berikutnya untuk biaya militer dan biaya pemerintah lainnya. Hanya tersedia kurang dari US$3 yang diperuntukkan bagi orang-orang yang paling memerlukan, yakni mereka yang terdampak paling buruk dari hadirnya bendungan, pengeboran, dan perpipaan.”

***

Sebagai orang Indonesia, kendati uarian pada pengantar dan cover belakang buku ini kurang menarik, bab-bab awal justru menjadi bagian paling memikat. Ini cerita tentang perjalanan Perkins ke Indonesia pada awal dekade 1970-an dengan peran sebagai konsultan elektrifikasi.

Indonesia, khususnya Bandung, saya pikir mendapat tempat yang cukup terhormat dalam buku tulisan Perkins ini (setidaknya dalam versi Bahasa Indonesia yang saya baca). Dia punya kesan khusus tentang perjalanannya ke Indonesia, khususnya ke Bandung. Sayang, saya tidak banyak tahu tentang sejarah Indonesia era 1970-an jadi tidak bisa mengukur seberapa akurat paparan Perkins tentang Indonesia ketika itu.

Bagian-bagian lain saya kira biasa saja, khas sebuah paparan teori konspirasi. Bedanya, ini penerapan teori konspirasi dari sisi salam pelaku konspirasi itu sendiri.

Soal peran Bank Dunia juga disorot. Saya jadi bertanya-tanya bagaimana ya kira-kira reaksi Mbak Sri yang jadi petinggi World Bank itu kala membaca buku Perkins ini?

***
Buku ini bergaya memoar, bukan diary. Mungkin karena itu jadi ada beberapa hal yang terasa janggal. Paparan dalam buku terasa terlalu bijak. Dalam beberapa hal agak menghakimi dan terlalu arif.

Perjalanan karier tanpak terlalu mudah. Konflik tidak menonjol. Mungkin karena gaya memoar, jadi banyak konflik dan suasana jiwa yang kurang tergambar dengan baik. Tentu berbeda dengan catatan harian yang ditulis pada saat konflik dan pergulatan jiwa sedang terjadi.

Secara umum saya dapat menerima ide dasar paparan dasar buku ini. Namun, seperti komentar teman baru saya, buku ini terlalu bergaya Hollywood.

Ada beberapa hal menarik yang ingin saya kutip dari epilog buku Confessions of An Economic Hit Man ini, namun agaknya tulisan sudah terlalu panjang. Mungkin saya tulis pada posting lanjutan saja. (Setyardi Widodo)